Anda di halaman 1dari 9

Menjelaskan patomekanisme hipersensitifitas

Hipersensitivitas adalah semua bentuk jejas yang diperantarai sistem imun secara kolektif.
Hipersensitivitas menunjukkan sensitivitas terhadap suatu antigen yang abnormal atau
berlebihan. Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi tipe I-IV.1
1. Hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas satu merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara
cepat (secara khusus hanya dalam hitungan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen
dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil
pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe I
dapat terjadi sebagai reaksi lokal yang benar-benar mengganggu (misalnya, rhinitis
musiman atau hay fever atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu
gangguan sistemik yang fatal: anafilaksis). Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi
mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas: (1) respons awal, ditandai
dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos, yang biasanya muncul
dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan
menghilang setelah 60 menit dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8
jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai
dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat
pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel
epitel mukosa. 1
Karena sel mast dan basofil merupakan inti dari terjadinya hipersensitivitas tipe I,
beberapa karakteristiknya yang menonjol akan dikaji ulang pertama kali dan kemudian
akan dibahas mengenai mekanisme imun yang mendasari bentuk hipersensitivitas ini.1
Sel mast berasal dari sumsum tulang dan tersebar secara luas dalam jaringan, sel
ini ditemukan menonjol pada daerah di dekat pembuluh darah dan saraf serta di dalam
subepitel. Sitoplasmanya mengandung granula dilapisi membran yang mempunyai
berbagai mediator yang aktif secara biologis. Seperti yang akan digambarkan kemudian,
sel mast (dan basofil) diaktivasi oleh IgE yang bertautan silang yang terikat pada
permukaan sel melalui reseptor Fc yang berafinitas tinggi. Sel mast dapat pula dipicu oleh
rangsang lain, seperti komponen komplemen C5a dan C3a yang berikatan pada reseptor
membran sel mast spesifik. Sel mast dapat pula diinduksi untuk mengeluarkan granulanya
oleh sitokin tertentu yang berasal dari makrofag (misalnya, IL-8), obat-obatan seperti
kodein dan morfin, melitin (terdapat dalam bisa lebah), dan rangsang fisik (misalnya,
panas, dingin, dan sinar matahari).1
Dalam banyak hal, basofil serupa dengan sel mast, tetapi secara normal tidak
terdapat dalam jaringan. Basofil justru masuk sirkulasi darah dalam jumlah yang sangat
sedikit dan seperti granulosit lainnya, dapat direkrut menuju tempat peradangan. Pada
manusia, reaksi tipe I diperantarai oleh antibodi IgE. Rangkaian kejadiannya dimulai
dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen). Alergen tersebut merangsang
induksi sel T CD4+ tipe Th2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis
hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya lL-4 dan IL-5)
menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan
untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada
reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil, begitu sel mast dan
basofil "dipersenjatai", individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan uiang terhadap antigen yang sama
mengakibatkan pertautan silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Salah satu perangkat
sinyal mengakibatkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran mediator praformasi atau
primer; perangkat sinyal lainnya akan menginduksi sintesis de novo serta melepaskan
mediator sekunder, seperti metabolit asam arakhidonat dan sitokin.1

MEDIATOR PRIMER
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe I. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain
yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).1

MEDIATOR SEKUNDER
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa: mediator lipid dan sitokin.
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A, yang memecah fosfolipid
membran sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat
merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.1
a. Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekursor asam arakhidonat
dan sangat penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I.
b. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling
poten; pada dasar molar, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif dari pada histamin
dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
c. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenase dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.
d. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolisme asam arakhidonat.
e. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut
dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat
poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.1
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme
memerantarai reaksi hipersensitivitas tipe I. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat
dari sel mast yang tersensitisasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat
yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti
sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekruitmen sel radang.
Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan,
tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
Eosinofil direkrut oleh eotaksin dan kemokin lain yang dilepaskan dari epitel yang
diaktivasi oleh TNF dan merupakan efektor penting pada cedera jaringan dalam respons
fase lambat pada hipersensitivitas tipe I. Sebagai contoh, eosinofil menghasilkan protein
dasar utama dan protein kationik eosinofil, yang toksik terhadap sel epitel. Demikian pula,
leukotrien C, dan faktor pengaktivasi trombosit yang dihasilkan oleh eosinofil secara
langsung akan mengaktivasi pelepasan mediator sel mast. Akibatnya, sel yang direkrut
akan memperkuat dan mempertahankan respons peradangan pada saat tidak adanya
pajanan alergen tambahan. Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi fase
lambat dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat anti
inflamasi berspektrum luas, seperti kortikosteroid.1

Gambar : Reaksi hipersensitivitas tipe I


Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2012.
Hal 124

2. Hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik


Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh
oleh karena antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada
permukaan sel.2 Ada tiga jenis reaksi yang berkaitan dengan hipersensitifitas tipe II yaitu:1
a. Opsonisasi
Pada reaksi ini, akan terjadi opsonisasi pada sel-sel seperti eritrosit atau trombosit.
Ketika sel-sel tersebut dilapisi oleh autoantibody dengan atau tanpa komplemen, maka
sel tersebut akan menjadi sasaran fagositosis oleh neutrophil dan makrofag. Fagosit
tersebut memaparkan reseptor untuk bagian ekor Fc dari antibodi Ig-G dan reseptor
protein komplemen C3, dan menggunakan reseptor tersebut untuk mengikat dan
menelan partikel yang teropsonisasi
b. Inflamasi
Antibodi yang terikat pada antigen kemudian akan mengaktifkan komplemen. Protein
komplemen yang teraktifasi contohnya yaitu C5a dan C3a yang kemudian akan memicu
reaksi inflamasi dan bisa mengakibatkan jejas jaringan.
c. Disfungsi sel diperantarai antibody
Pada beberapa kasus, antibody bisa menyebabkan terjadinya disfungsi sel. Contohnya
pada myasthenia gravis. Pada penyakit ini, antibody Ig G akan menduduki reseptor
asetilkolin pada sel otot sehingga akan memicu terjadinya gangguan pada fungsi otot.

Gambar Mekanisme jejas yang doperantarai antibodi


Sumber; Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.
115p

Reaksi hipersensitivitas dua fokus biasanya pada sel yang secara antigenik aktif
atau protein matriks ekstrasel, dengan hapten berikatan dengan sel endogen atau sel darah
asing masuk ke organisme. Setelah sensitisasi/alergisasi pada kontak pertama dengan
alergen, pajanan antigen berikutnya menyebabkan pembentukan IgM dan IgG spesifik
alergen dalam jumlah besar dan terikat secara padat ke permukaan sel alergenik
(opsonisasi).2
Dengan cara ini, sistem komplemen diaktifkan dan sel NK mengembangkan efek
sitotoksiknya yaitu antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Keduanya
menyebabkan kerusakan sel alergenik dalam beberapa jam (sitolisis). Karenanya
pengikatan hapten ke eritrosit menyebabkan anemia hemolitik, pengikatan hapten ke
trombosit menyebabkan trombositopenia, begitu juga dengan agranulositosis dan sindrom
goodpasture.2
Gambar : Reaksi hipersensitivitas tipe II
Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2000. 53p

3. Hipersensitivitas tipe III


Reaksi hipersensitivitas tiga ini disebabkan oleh pembentukan dan pengendapan
kompleks imun (kompleks antigen-antibodi), dengan antigen umumnya berikatan satu
sama lain melalui keikutsertaan IgM dan IgG. Kompleks imun ini tidak saja mengaktifkan
komplemen, tetapi juga makrofag, granulosit, dan trombosit (melalui reseptor Fc).
Pengaktifan ini terutama jika terdapat kelebihan antigen sehingga akan terbentuk
kompleks imun yang kecil dan larut serta beredar dalam darah dalam jangka waktu lama
dan hanya secara lambat diuraikan. Kompleks ini terutama mengendap di kapiler
glomerulus tetapi dapat juga ditemukan di sendi, kulit dan tempat lain. Dinding kapiler
kemudian akan diserang oleh sistem komplemen serta fagosit yang telah tertarik secara
kemotaksis dan kemudian menjadi aktif. Fagosit mengeluarkan protease, oksidan dan
mediator peradangan sehingga terjadi glomerulonefritis, nyeri sendi urtikaria, limfadenitis
dan demam.2
Gambar : Reaksi hipersensitivitas tipe III
Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2000. 53p

4. Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”).
Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T. 3 Reaksi ini
berkaitan dengan CD 4 dan CD8 yaitu :1
a. Inflamasi diperantarai sitokin
APC menyajigan antigen jaringan yang tidak mampu untuk di fagositosis oleh fagosit.
Akibatnya akan terjadi aktivasi dari sel T CD4 yang kemudian akan menyebabkan
pengeluaran dari sitokin-sitokin sehingga akan menambah reaksi inflamasi dan memicu
jejas pada jaringan.
b. Sitolisis diperantarai sel T
Pada reaksi ini sel epitel yang terinfeksi kemudian akan mempresentasikan antigen oleh
MHC class I. Sel T CD8 yang teraktifasi oleh ikatan dengan MHC class I kemudian
akan merusak sel yang terinfeksi tersebut.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe IV, tidak memiliki komplemen karena adanya
pelepasan sitokin IF-ɣ yang merupakan sitokin kuat untuk mengaktifkan makrofag. IF-
ɣ kemudian akan meningkatkan aktifitas fagositik dan mikrosidal dari makrofag.
Reaksi hipersensitivitas empat ini terutama melibatkan sel Th 1, sel T pembunuh dan
makrofag, mencapai efek maksimalnya dalam 2-4 hari (reaksi tipe lambat). Reaksi ini
dipicu terutama oleh protein dari patogen, protein asing, dan hapten misalnya obat,
logam, kosmetik dan parfum. Penolakan primer organ transplantasi juga merupakan
rekasi hipersensitivitas tipe IV.2

Gambar : Reaksi hipersensitivitas tipe IV


Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2000. 54p

Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah dan disajikan ke sel T helper. Sensitisasi
memerlukan waktu lebih dari 5 hari. Pada kontak berulang, sejumlah sel T diaktifkan
menjadi sel Th1. Sel-sel ini merangsang produksi monosit di sumsum tulang melalui IL-3
dan GM-CSF, menarik monosit dan makrofag melalui kemokin misalnya MCP, IFNγ dan
TNFβ menyebabkan reaksi peradangan hebat yang dapat merusak jaringan transplan atau
endogen secara luas. Hapten dikulit sering merupakan penyebab reaksi tipe IV dalam
bentuk dermatitis kontak. Contohnya nikel dalam perhiasan atau jam tangan dapat masuk
ke kulit , setelah berikatan dengan protein endogen, zat tersebut difagositosis oleh
makrofag kulit (sel langerhans) dan diproses. Kemudian makrofag bermigrasi ke kelenjar
limfe regional dan disana makrofag menyajikan antigen ke sel T spesifik-antigen dari
darah dan limfe. Terakhir makrofag berproliferasi dan berdiferensiasi dan dengan cara ini
mencapai tempat pajanan antigen dalam jumlah besar.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta: EGC;
2014.
2. Hikmah N, Dewanti IDA. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). Somat (JKG Unej ).
2010;7(2):108–19.
3. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2014.

Anda mungkin juga menyukai