Anda di halaman 1dari 7

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi:

 Reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE)atau reaksi anafilaktif contohnya anafilaktis dan


allergic rhinoconjunctivitis
 Reaksi hipersensitivitas tipe II (IgM & IgG) reaksi sitotoksik contohnya drug-induced
hemolytic anemia.
 Reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks antigen & antibodi) yaitu reaksi kompleks
imun contohnya serum sickness
 Reaksi hipersensitivitas tipe IV (sel T) yaitu reaksi yang diperantarai oleh sel
contohnya dermatitis akibat alergi nikel.
 Reaksi hipersensitifitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

 Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat
itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru
diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas
tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat
peradangan lainnya.
 Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik
yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang
bersangkutan.
 Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan
yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap
penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
 Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).
 Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator
yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik
neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian
merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada
reaksi tipe I.
 Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya
terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan
basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik
reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
 Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast
masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa
reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel
mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang
ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
 Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor
dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel
mast dan sel lain.
 Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor
kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam
peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan
setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
 Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas
bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik
yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan
mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya
mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau
basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator
primer (mediator sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta
berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma
adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji
provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa
menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi
gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung,
kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin
hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada
bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin
membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan
sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi
histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi
lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui
reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel
termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang
yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan
tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada
basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit
alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-
A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit
dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah
timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini
terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut
mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan
menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat
kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk
yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu
atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta
tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk
PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi
trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama
reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas
vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator
sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang
pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang
dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta
merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang
tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara
kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih
penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi
1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta
merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil
metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat
menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu
PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas
vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna.
Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi
alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit
melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin
yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan
aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai
respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu
terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada
serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan
adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih
antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang
berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai
alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi
sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan
memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan
menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar
genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.
Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag
(APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang
kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin
lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga
bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi
interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi
oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi
sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε
(FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF
= B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi
dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel
basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel
mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated
upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell
factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat
menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi
antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan
komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada
alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta
SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit,
eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke
arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan
oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat
pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini
eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh
stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

 Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target
antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)
atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi
hipersensitivitas tipe III)
 Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia.
Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai
jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi
ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di
pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan
tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun
cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis,
artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan
autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan
ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan
jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat,
digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang
beredar dalam darah.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan
diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih
ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

 Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme


autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel
yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T
cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak
bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap
reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap
M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit
dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan
pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu
merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap
hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
 Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan
dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T
CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
 Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel
T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi
terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi
inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi
sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat
menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit
autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang
spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Anda mungkin juga menyukai