Anda di halaman 1dari 7

BAB III

ETIOPATOGENESIS

2.3 ETIOPATOGENESIS

2.3.1. Innate and Adaptive immunity

Menurut sejarah, immunitas adalah perlindungan terhadap suatu penyakit dan lebih

spesifik, penyakit infeksi. Akan tetapi fungsi fisiologis dari reaksi imun tidak hanya

ditimbulkan oleh mikroba infeksius tetapi juga oleh substansi asing yang tidak infeksius.

 Immunitas innate adalah garis pertahanan pertama untuk melindungi manusia dari

serangan patogen dan membersihkan jaringan tubuh dari sel-sel mati da produknya.

Komponen terpenting dari immunitas innate adalah: (6)

a. Pertahanan fisik dan kimia, seperti epitel pada permukaan tubuh, lisozim, saliva dan

air mata.

b. Sel fagosit (neutrofil, makrofag), sel dendritik, Natural killer, sel mast, dan sel

limfoid lainnya.

c. Protein darah yaitu sistem komplemen dan mediator-mediator inflamasi. (6)

 Respon imun yang lebih kuat dari immunitas innate untuk mengeliminasi patogen

yang lebih banyak dan spesifik adalah immunitas adapatif. Immunitas adaptif terdiri dari

2 respon yang berbeda,yaitu immunitas selular dan humoral.

a. Immunitas humoral

Respon imun ini diperantarai oleh protein darah dan sekresi mukosa yang dikenal

dengan antibodi, yang diproduksi oleh limfosit B. Antibodi dapat berikatan

dengan mikroba dan toksin yang dihasilkan mengeliminasinya dengan

mekanisme effektor yang bervariasi. Sebagai contoh, ada antibodi yang dapat

menyebabkan ingesti mikroba oleh sel host (fagositosis), ada juga yang dapat
memicu dilepaskannya mediator-mediator inflamasi, dan juga dapat menembus

plasenta untuk memberikan perlindungan melawan mikroba yang teringesti

maupun terinhalasi oleh bayi yang baru lahir. (6)

b. Immunitas selular (Cell mediated immunity)

Immunitas selular diperantarai oleh limfosit T, bekerja dengan mengeliminasi

mikroba yang bertahan dari immunitas innate dan terus berproliferasi dalam

fagosit dan sel host lainnya, dan tak berhasil ditaklukkan oleh antibodi yang

bersirkulasi. Limfosit T memicu destruksi mikroba yang terus berproliferasi dan

fagosit atau membunuh sel yang terinfeksi untuk mengeliminasi sumber infeksi.

Beberapa limfosit T juga bekerja dengan cara merekrut lebih banyak leukosit

untuk mengeradikasi patogen dan juga membantu limfosit B membentuk antibodi

yang efektif.

2.3.2 Klasifikasi Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Phillip HH Gel (1963) dibagi

menjadi 4 tipe:

a. Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi tipe I disebabkan oleh antibodi IgE dan muncul setelah adanya paparan

allergen. Reaksi ini dapat timbul setelah adanya ikatan antigen-antibodi terhadap

sel mast yang telah tersenstasi terhadap antigen. (6) Dalam hal erupsi obat, IgE

yang spesifik terhadap obat akan berikatan dengan reseptor IgE pada permukaan

sel mast dan basofil dan memicu dilepaskan mediator-mediator inflamsi seperti

histamin, leukotrin C4, Prostaglandin D2 dan protease. Mediator-mediator inilah

yang mberkontribusi pada terjadinya vasodilatasi pembuluh darah yang mana

menyebabkan kemerahan dan edema,dalam hal ini urtikaria dan angioedema dapat
terjadi. Selain itu, reaksi ini juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan diare.

(3)

b. Hipersensitivitas Tipe II

Reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya

antibodi IgM dan IgG terhadapt antigen yang merupakan bagian dari sel penjamu. IgG

dan IgM dapa menyebabkan kerusakan jaringan dengan mengaktivasi sistem

komplemen dan merekrut sel-sel inflamasi dan menganggu fungsi normal sel. (6)

c. Hipersensitivitas tipe III

Hipersensitivitas tipe ini dapat terjadi karena reaksi antigen-antibodi yang mengendap

pada jaringan yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen dan juga mereksrut

neutrofil sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. Contoh kasus hipersensitivitas

tipe III adalah vaskulitis nekrotikans dan henoch-scholein purpura. (3)(6)

d. Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe ini melibatkan limfosit Tyang menginduksi inflamasi atau

bahkan langsung membunuh sel target. Reaksi ini utamanya terjadi karena aktivasi

dari T helper CD4+ , yang mana menghasilkan sitokin yang dapat memicu terjadinya

inflamasi dan aktivasi leukosit, khusunya neutrofil dan makrofag. Sel T helper juga

menstimulasi terbentuknya antibodi yang merusak jaringan.

Tipe Hipersensitivitas Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan jaringan


dan Penyakitnya
Tipe I Antibodi IgE, sel Th2 Sel mast, eosinofil dan mediator-
mediatornya.(Amin vasoaktif,
mediator lipid, sitokin)
Tipe II : Antibody- IgM,IgG, antibodi yang - Opsonisasi dan fagositosis
mediated menyerang permukaan sel - Komplemen dan aktivasi leukosit
dan antigen matriks ekstrasel. (neutrofil dan makrofag)
- Abnormalitas fungsi sel, misalnya
signal reseptor hormon, blokade
reseptor neurotransmitter
Tipe III: Immune complex- Kompleks imun atau anigen - Komplemen dan aktivasi leukosit
mediated dan antibodi yang (neutrofil dan makrofag)
bersirkulasi.
Tipe IV: T cell-mediated - Sel T CD4+ 1. Inflamasi yang diinduksi sitokin
- CTLs CD8+ 2. Membunuh sel target secara
langsung dan Inflamasi yang
diinduksi sitokin
Tabel 1. Klasifikasi Hipersensivitas
Abbas AK, Litchtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. Eighth
Edition.Philladelphia:Saunders Elsevier.2015. P.400

2.3.3. Exanthema Drug Eruption adalah bentuk paling umum dari erupsi kulit akibat obat.

15 Exanthema Drug Eruption dapat disebabkan oleh berbagai macam obat seperti beta-

laktam (penisillin), antibiotik sulfonamid, non-nucleoside reverse transcritase inhibitors

(nevirapin), obat-obatan anti-epilepsi (karbamazepin), NSAIDs, allopurinol, derivat

hidantoin, isoniazid, eritromisin dan streptomisin. 1,2(535),3 Sedangkan obat-obatan yang

paling sering menyebabkan Fixed Drug Eruption adalah tetrasiklin, sulfonamid,

metronidazole, nistatin, salisilat, nsaid, phenacetin, fenilbutazone, kontrasepsi oral,

barbiturat, kuinin dan fenolftalein. 2 (541)

Erupsi obat exanthem dan FDE sering dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas

immunologi. Patofisiologi yang mendasari dapat bermacam-macam. Dalam sebagian besar

kasus, patomekanisme yang mendasari adalah hipersensitivitas tipe IV berdasarkan tipe-tipe

hipersensitivitas Combs and Gell. 3,4 Hipersensitivitas tipe IV dibagi lagi menjadi 4

subklasifikasi yaitu tipe IVa-IVd:

a. Hipersensitivitas tipe IVa melibatkan reaksi imun Th1 dengan makrofag sebagai sel

effektor major yang mensekresi INF-γ dan menstimulasi reaksi pro-inflamasi melalui

TNF-α dan IL-12. 4 (contoh:dermatitis kontak alergi)

b. Hipersensitivitas tipe IV b melibatkan respon imun Th2 yang menghasilkan sitokin-

sitokin khusus seperti IL-4, IL-5, dan IL-13 yang merangsang aktivasi sel B dan sel

plasma dengan memproduksi IgE dan IgG4. Patomekanisme tipe ini dapat

menjelaskan inflamasi yang kaya akan eosinofil yang dapat ditemukan pada kasus
erupsi obat exanthem dan khususnya drug reaction with eosinophilia and systemic

symptoms (DRESS).4 Ada kaitan antara erupsi obat exhantem dengan reaktivasi

human herpesvirus yang laten, khususnya EBV,HHV-6, dan HHV-7. Reaktivasi

human herpesvirus adalah hal yang lazim dan dapat menjelaskan gejala yang timbul

pada erupsi obat exanthem. Obat yang memicu respon imun Th2 ini dapat merusak

kontrol virus pada host dan menyebabkan reaktivasi virus diikuti dengan antivirus sel

T CD8+ yang menyebabkan secondary flare pada erupsi kulit. 3

c. Hipersensitivas tipe IV c melibatkan reaksi imun dimana sel T sendiri yang menjadi

sel efektor. Sitotoksisitas langsung dimediasi oleh granzyme B, granulysin dan sel

yang mengekpresikan Fas (CD95), oleh ligan FAS (CD85L). Patomekanisme ini

dapat ditemukan pada kasus exanthem makulo-papular dan lebih sering lagi pada

reaksi kulit yang lebih pada contohnya Stevens-Johnson syndrome/Toxic Epidermal

Necrolysis. 4

d. Hipersensitivas tipe IV d dimediasi oleh sel T yang menghasilkan CXCL8

(Interleukin 8) dan granulocyte-macrophage stimulating factor (GM-CSF) yang

merekrut granulosit neutrofil dan mencegah apoptosisnya. Patomekanisme ini

menjadi dasar terjadinya acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP). 4

Fixed drug eruption (FDE) adalah bentuk hipersensitivitas tipe IV dan diyakini sel T

residen menjadi mediator utama. Lesi yang telah lama sembuh pada FDE mengandung sel

T CD8+ pada dermal-epidermal junction yang akan tetap diam hingga tersensitasi

kembali oleh obat yang sama. Ketika tersensitasi dengan obat yang sama maka terjadi

aktivasi sel T CD8+ yang kemudian melepaskan INF- γ dan granul sitotoksik yang dapat

menyebabkan apoptosis keratinosit. Akan tetapi pada akhir dari respon imun tersebut, sel

T regulasi direkrut pada lesi dan mencegah kerusakan lebih jauh dengan mencegah sel T
sitotoksik. Sel T sitotoksik akan tetap ada pada bekas lesi tersebut sebagai sel memori

sampai direaktivasi kembali. Hal inilah yang menyebabkan lesi yang sama muncul di

tempat yang sama pada kasus FDE. 3

1.fitzpatrick 450
2.atlas fitzpatrick 494,500
3. christopher griffin 3325,293,3336,295
4. Jurnal Adverse cutaneus drug eruption hal 1-12
5. andrew’s dermatology 112

1. Klaus Wolff, etc. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight Edition


Volume 2. McGraw Hill.2012. P.450
2. Klaus Wolff, etc. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatolgy. Eight
Edition. McGraw Hill. 2017. P.494,500
3. C. Griffiths, etc. Rook’s textbook of dermatology. Ninth Edition Massachusetts:
Blackwell Science.2016 P.293,295,3325,3336
4. W.Hoetzeneeker,etc. Adverse cutaneous drug eruption: Current Understanding.
Semin Immunopathol Journal. 2015. P.1-12
5. William D. James, etc.Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology. Twelfth
Edition. Philadelphia:Elsevier. 2016. P.112
6. Abbas AK, Litchtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. Eighth
Edition.Philladelphia:Saunders Elsevier.2015. P.399-400

Anda mungkin juga menyukai