alergi makanan, rinitis alergi dan asma, dan masa kanak-kanak adalah fase
gen.
Hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (hanya
dalam bilangan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen dengan antibodi IgE yang
sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang
tersensitisasi. Hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal (rhinitis) atau
sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal
(anafilaksis).
Reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap: (1) respons awal, ditandai
dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul
dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh alergen dan menghilang
setelah 60 menit; dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang muncul 2 - 8 jam kemudian dan
berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi
eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya dan juga ditandai dengan
Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD,4+ tipe Th2. Sel CD4+ ini berperan
sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil "dipersenjatai",
(Gbr. 5-7). Pajanan ulang terhadap antigen yang sama meng- akibatkan pertautan-
silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga
terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Salah satu perangkat sinyal mengakibatkan
degranulasi sel mast disertai pengeluaran mediator praformasi atau primer; perangkat
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen
target pada permukaan sel atau komponen janringnn. Antigen dapat berupa molekul
intrinsik normal bagi membran sel atau matriks ekstraselular, atau dapat merupakan
antigen eksogen yang diabsorbsi. Pada setiap kasus tersebut, respons hipersensitivitas
disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari tiga mekanisme
komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi
komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks
penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b
(teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang
paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada
jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Hal ini
terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen dan/atau metabolit toksik.
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak
setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen
yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan
melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merah janin yang Rh-
positif.
disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang meng,
Reaksi obat, antibodi diarahkan unLnk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ, atau terlokalisasi pada organ
tertentu (ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Mekanisme terjadinya jejas jaringan sama; namun, urutan kejadian dan
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi 3 tahap: (1)
imun di berbagai jaringan, (3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh (Gbr. 5-
11).
Hipersensitivitas Tipe IV
mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta
agen ekstrasel seperti fungi, protozoa, dan parasit. Hipersensitivitas tipe IV diperantarai
oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi menjadi dua tipe dasar:
(1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel
langsung, diperantarai oleh sel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+
tipe Th1 mensekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama
makrofag.
yang muncul pada seseorang yang telah tersensitisasi terhadap basil tuberkel oleh infeksi
sebelumnya. 8 - 72 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema
dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya dalam waktu 24 – 72 jam dan setelah itu
akan mereda secara perlahan. Secara histologis, reaksi DTH ditandai dengan penumpukan
sel Th CD4+ perivaskular dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit (Gbr.5-15).
Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan
fibrin; penyebab utama infiltrasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin.
Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang terpajan
Urutan kejadian pada DTH pada reaksi tuberkulin dimulai dengan pajanan
pertama individu terhadap basil tuberkel. Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari
basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit. Proses
ini membentuk sel CD4+ tipe Th1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi
selama bertahun-tahun. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada individu
tersebut, se1 memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC
dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi), disertai dengan sekresi
sitokin Th1. Sitokin Th1 inilah yang akhirnya bertanggung jawab unttLk mengendalikan
perkembangan respons DTH. Sitokin yang terlibat yaitu IL-12, IFN-γ, IL-2, TNF, dan
limfotoksin.
melalui saluran udara, kulit atau GIT. Di antara penyakit alergi dapat
a. Asma
dan gejala yang muncul pada asma dapat berupa batuk, mengi dan
klinis, fungsi paru dan evaluasi alergi melalui pemeriksaan skin prick
tes.
b. Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah gangguan hidung simtomatik kronis yang
dipicu oleh paparan alergi seperti debu, udara dingin, asap, bau dan
c. Dermatitis atopik
inflamasi kulit kronis dan residif yang ditandai dengan gejala eritema,
papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat, serta didasari
d. Alergi Makanan
langsung dan pemicu oral merupakan tes yang dapat diandalkan untuk
tubuh inang (host), dan bersifat strain spesifik (WHO, 2002). Sebagian
Ślizewska, 2017).
c. Sebagai imunomodulator
permukaan sel
meliputi biotin, folat, asam nikontinat dan tiamin yang memiliki banyak
dkk., 2015).
Saat sel epitel usus terpapar mikroba patogen atau rangsangan yang
melalui lambung, usus kecil hingga usus besar. Ketika probiotik tertelan,
cairan eksokrin yang jernih, agak asam, berlendir. Saliva terdiri atas
viabilitas probiotik.
dimana terdapat pancreatic juice dan asam empedu. Asam empedu dan
untuk menyerap nutrisi dan adhesi pada mukosa usus untuk kolonisasi
dan proliferasi.
Gambar 2.2
ditentukan oleh sifatnya yang stabil tetap dalam keadaan hidup (viabilitas),
sejak dikonsumsi hingga mencapai usus manusia. Ada pun viabilitas probiotik,
yaitu jumlah mikroba hidup harus cukup untuk memberikan efek positif bagi
penyimpanan dan saat berada dalam sistem pencernaan. Hal ini disebabkan
pencernaan.
Usus merupakan salah satu organ tubuh yang terdapat dalam saluran
pencernaan yang juga memiliki flora normal. Bakteri dapat ditemukan pada
usus besar sebanyak 1011 - 1012 bakteri per gram. Pada usus kecil juga dapat
ditemukan bakteri, namun jumlahnya tidak sebanyak pada usus besar yaitu
sekitar 104 - 107 bakteri per gram. Probiotik bermanfaat bagi tubuh karena
mikroflora usus
bagian distal dan usus besar dengan rentang jumlah 1011 hingga 1012
daerah lambung dan usus halus bagian proximal dengan jumlah kurang
dari 104 CFU dikarenakan kondisi yang buruk pada tempat tersebut.
bagian bawah, sedangkan pada bagian atas sebagian besar ditempati oleh
garis horizontal dari usus halus dan usus besar molekul antimikroba dan
proses inflamasi yang dihasilkan oleh alergen dan agen infeksi. Pada
pada masa awal kehidupan setelah bayi lahir melalui transmisi bakteri
dari ibu lewat barrier plasenta. Plasenta memiliki mikrobiota unik yang
usus yang dilakukan terhadap bayi atopic dengan bayi non atopic
mendorong transisi sel T naif menjadi sel Th2 yang memberikan efek
sumsum tulang.
Gambar 2.4 Sel-sel imunologis penting yang berperan
penyakit alergi yang ditandai adanya respon imun dari sel T limfosit yang
memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan kadar yang rendah pada IFN-.
patogenesis alergi seperti sel mast, basofil, dan eosinofil (Eslami dkk.,
asing dengan cara menyeimbangkan Th1, Th2, meregulasi Th17 dan juga
Treg di lamina propria (Pascal dkk., 2018). Disfungsi sistem imun yang
dkk., 2018).
Gambar 2.6 Mekanisme disbiosis terhadap penyakit alergi
salah satu produk SCFA yang memodulasi protein penting dalam tight
cingulin, Zo, dan occludin. SCFA memiliki efek mengurangi respon sel
proinflamasi dengan cara memodulasi sinyal NF-B pada sel epitel dan
seperti, makanan. Respon ini berawal dari deteksi antigen oleh sel epitel
berkompetisi saat menempel di sel epitel usus. Fungsi fisiologis lain dari
ekspresi dari protein yang berperan dalam fungsi tight junction dan
juga dapat mengatur keseimbangan Th1 dan Th2 yang berdampak pada
penurunan insidensi dermatitis atopik pada anak sebesar 50%, 44% dan
36% pada tahun kedua,ß keempat dan ketujuh (Eslami dkk., 2020).
Gambar 2.7 Mekanisme fisiologis dan imunologis probiotik di
meregulasi sitokin dari Th1 (TNF-, IL-6, IFN-) dan Th2 (IL-4, IL-5,
Foxp3+ sel Treg dan produksi TGF- dan IL-10. Probiotik juga
2021).
natal dapat mengurangi kadar total IgE dan sensitasi atopi (skin
prick test dengan hasil positif) khususnya pada anak, tetapi tidak
perkembangan rinitis alergi jauh lebih sedikit dan banyak dari studi
2021).
dan reseptor FcE di sel mast sehingga tidak terjadi degranulasi sel
sistem imun dengan cara polarisasi ke arah sel Th1 maupun Treg.
lebih tinggi dan rerata IL-4 lebih rendah pada kelompok yang
pasien dermatitis atopi anak adalah 5x109 CFU, terendah 108 CFU
2017).
2017).
pada anak dengan alergi kacang dan menemukan bahwa tidak ada
2017).
KIMCHI
sayuran yang telah melalui tahap fermentasi oleh bakteri asam laktat (BAL) yang
berasal dari bahan mentah pembuatan kimchi. Bahan utama pembuatan kimchi
yang paling popular dan paling sering disajikan sebagai bahan dasar kimchi
adalah baechu, jika bahan tersebut tidak tersedia, maka bahan utama pembuatan
kimchi dapat diganti dengan lobak, timun, ataupun sayuran lainnya. Bahan
bumbu, seperti daun bawang, bawang putih, bubuk cabai merah, jahe, bawang
prei, garam, gula, jeotgal (makanan fermentasi khas korea yang terbuat dari
hewan laut seperti ikan, kerang, dan udang), aekjot (jeotgal berwujud cair yang
menyerupai saus ikan), dan juga bahan-bahan lain yang ditambahkan sebagai ciri
dari kimchi dapat dihasilkan baik dari bahan baku pembuatan kimchi ataupun
hasil metabolisme dari fermentasi BAL. Fermentasi kimchi dimulai oleh BAL
yang berasal dari bahan baku pembuatan kimchi, terutama bawang putih, diikuti
oleh jahe dan daun bawang, sedangkan baechu sendiri cenderung menghasilkan
bahan yang diperlukan, kemudian dilanjutkan dengan mulai mengolah dari bahan
utama yang akan digunakan, apabila kimchi akan dibuat dengan menggunakan
Baechu sebagai bahan utama, maka Baechu yang akan digunakan dapat dipilah
dan dinilai terlebih dahulu dari kondisi dan kesegarannya. Baechu yang segar
kemudian dapat dicuci menggunakan air hingga bersih dan dipotong sebelum
dicuci kembali dan dikeringkan selama tiga jam, selama pengeringan dari Baechu
penambah rasa pada kimchi dapat mulai untuk diolah, biasanya bahan-bahan
yang sudah dikeringkan sebelum akhirnya Baechu yang sudah tercampur dengan
hingga 7oC yang berlangsung selama beberapa malam hingga beberapa bulan,
dimana selama proses fermentasi berlangsung, BAL akan berkembang biak dan
menghasilkan metabolit seperti asam organik (asam laktat dan asam asetat), asam
3.2.1 Bakteriosin
bersama dengan nisin banyak diproduksi oleh BAL, salah satunya adalah
sebagai salah satu alternatif dalam dunia medis sebagai antibiotik untuk