Anda di halaman 1dari 41

ALERGI

1.1. Definisi Alergi

Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diprakarsai oleh

mekanisme imunologis. Alergi dapat dimediasi oleh antibodi atau sel.

Prevalensi alergi meningkat di seluruh dunia seperti dermatitis atopik,

alergi makanan, rinitis alergi dan asma, dan masa kanak-kanak adalah fase

awalnya. Fenotip alergi disebabkan oleh kombinasi dua elemen:

kecenderungan genetik dan faktor lingkungan yang berinteraksi dengan

gen.

1.2. Patogenesis Alergi


Hipersensitivitas Tipe 1

Hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (hanya

dalam bilangan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen dengan antibodi IgE yang

sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang

tersensitisasi. Hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal (rhinitis) atau

sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal

(anafilaksis).
Reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap: (1) respons awal, ditandai

dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul

dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh alergen dan menghilang

setelah 60 menit; dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang muncul 2 - 8 jam kemudian dan

berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi

eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya dan juga ditandai dengan

penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Pada manusia, reaksi tipe I diperantarai oleh antibodi IgE. Rangkaian

kejadiannya dimulai dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen).

Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD,4+ tipe Th2. Sel CD4+ ini berperan

penting karena sitokin yang disekresikannya menyebabkan diproduksinya IgE oleh

sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan

mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi

yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil "dipersenjatai",

individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I

(Gbr. 5-7). Pajanan ulang terhadap antigen yang sama meng- akibatkan pertautan-

silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga

terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Salah satu perangkat sinyal mengakibatkan

degranulasi sel mast disertai pengeluaran mediator praformasi atau primer; perangkat

sinyal lainnya akan menginduksi sintesis de novo serta melepaskan mediator

sekunder, seperti metabolit asam arakhidonat dan sitokin.


Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen

target pada permukaan sel atau komponen janringnn. Antigen dapat berupa molekul

intrinsik normal bagi membran sel atau matriks ekstraselular, atau dapat merupakan

antigen eksogen yang diabsorbsi. Pada setiap kasus tersebut, respons hipersensitivitas

disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari tiga mekanisme

bergantung antibodi (Gbr. 5-10)


Komplemen dapat memperantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua

mekanisme: lisis langsung dan opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai

komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi

komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks

penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b

(teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang

paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada

jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Hal ini

terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen dan/atau metabolit toksik.
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:

 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak

setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen

golongan darah donor.

 Eritroblastosis fetalis, karena inkompatibilitas antigen rhesus; antibodi maternal

yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan

melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merah janin yang Rh-

positif.

 Anemia hemolitik nutoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang

disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang meng,

hasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.

 Reaksi obat, antibodi diarahkan unLnk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)

yang secara nonspesifik diabsorpsi pada permukaan sel

 Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibodi terhadap protein desmosom yang

menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis

Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-

antibodi imun, diikuti dengan aktivasi komplemen dan akumulasi leukosit

polimorfonuklear. Kompleks irnun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian

mengendap dalam jaringan atalrpnn terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen

tersebnt tertanam (kompleks imun in situ).

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut

terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ, atau terlokalisasi pada organ
tertentu (ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada

tempat khusus. Mekanisme terjadinya jejas jaringan sama; namun, urutan kejadian dan

kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda..

Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi 3 tahap: (1)

pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks

imun di berbagai jaringan, (3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh (Gbr. 5-

11).
Hipersensitivitas Tipe IV

Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam

mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta

agen ekstrasel seperti fungi, protozoa, dan parasit. Hipersensitivitas tipe IV diperantarai

oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi menjadi dua tipe dasar:

(1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel

langsung, diperantarai oleh sel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+

tipe Th1 mensekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama

makrofag.

Contoh klasik Delayed-Type Hypersensitivity / DTH adalah reaksi tuberkulin,

yang muncul pada seseorang yang telah tersensitisasi terhadap basil tuberkel oleh infeksi

sebelumnya. 8 - 72 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema

dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya dalam waktu 24 – 72 jam dan setelah itu

akan mereda secara perlahan. Secara histologis, reaksi DTH ditandai dengan penumpukan

sel Th CD4+ perivaskular dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit (Gbr.5-15).
Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan

permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan ederna dermis dan pengendapan

fibrin; penyebab utama infiltrasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin.

Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang terpajan

tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.

Urutan kejadian pada DTH pada reaksi tuberkulin dimulai dengan pajanan

pertama individu terhadap basil tuberkel. Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari

basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit. Proses

ini membentuk sel CD4+ tipe Th1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi

selama bertahun-tahun. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada individu

tersebut, se1 memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC

dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi), disertai dengan sekresi
sitokin Th1. Sitokin Th1 inilah yang akhirnya bertanggung jawab unttLk mengendalikan

perkembangan respons DTH. Sitokin yang terlibat yaitu IL-12, IFN-γ, IL-2, TNF, dan

limfotoksin.

1.3. Macam Penyakit Alergi

Alergi ditandai dengan peningkatan kapasitas limfosit B memproduksi

imunoglobulin E (IgE) terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh

melalui saluran udara, kulit atau GIT. Di antara penyakit alergi dapat

disebutkan dermatitis atopik, asma, rinitis alergi dan alergi makanan.

a. Asma

Asma adalah peradangan kronis pada saluran udara bagian bawah

yang diakibatkan oleh hiperresponsif terhadap alergen menyebabkan

peradangan di bronkus, membatasi aliran udara di paru-paru. Tanda

dan gejala yang muncul pada asma dapat berupa batuk, mengi dan

dispnea. Diagnosis didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan

klinis, fungsi paru dan evaluasi alergi melalui pemeriksaan skin prick

tes.

Pengobatan diindikasikan untuk mengurangi rekurensi asma serta

penderIta harus mengurangi kontak terhadap bahan alergen yang dapat

memicu timbulnya asma. Beberapa obat yang dapat digunakan seperti

kortikosteroid inhalasi (ICSs) dan beta-2 adrenergic agonis reseptor

yaitu Salbutamol yang dapat membantu mengontrol gejala

b. Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah gangguan hidung simtomatik kronis yang

dipicu oleh paparan alergi seperti debu, udara dingin, asap, bau dan

polutan yang menyebabkan peradangan yang diperantarai IgE pada

mukosa hidung. Diagnosis dibuat dengan riwayat klinis dan keluarga

dari atopi, dan tes fisik dan laboratorium.

Pengobatan penyakit meliputi pengendalian komponen alergen,

mengurangi benda-benda yang mungkin mendukung akumulasi debu,

seperti karpet, gorden, menghindari binatang dan bulu. Pengobatan

farmakoterapi dapat menggunakan agen antihistamin yang

menghambat mediator alergi utama; dekongestan, meningkatkan

vasodilatasi; kortikosteroid, mengontrol sintesis protein, mengurangi

produksi mediator inflamasi.

c. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik (DA) atau eczema atopik adalah penyakit

inflamasi kulit kronis dan residif yang ditandai dengan gejala eritema,

papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat, serta didasari

oleh faktor herediter dan lingkungan. Penyakit ini dinamakan

dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan

reaksi kulit yang didasari oleh imunoglobulin E (IgE) dan mempunyai

kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau keduanya di

kemudian hari yang dikenal dengan allergic march.

Farmakoterapi yang dapat digunakan seperti steroid topical

memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat aksi sel dendritik

(DC) dan limfosit; imunomodulator atau inhibitor kalsineurin topikal


mengurangi peradangan; imunosupresi sistemik diindikasikan untuk

kasus kronis yang tidak merespon pengobatan sebelumnya. Dapat

diberikan antihistamin yaitu antihistamin 1 generasi pertama yaitu

klorfeniramin maleat (CTM) dan generasi ke 2, setirizin hidroklorida

(HCL) atau loratadin.

d. Alergi Makanan

Alergi makanan terjadi ketika terdpata respons abnormal yang

diakibatkan oleh suatu makanan yang tertelan kemudian

mengakibatkan aktivasi kekebalan. Diagnosis dibuat berdasarkan

riwayat medis individu dan dapat dilengkapi dengan tes laboratorium

seperti penentuan IgE spesifik. Tes hipersensitivitas melalui kulit

langsung dan pemicu oral merupakan tes yang dapat diandalkan untuk

mendiagnosis alergi makanan. Tes ini terdiri dari memaparkan

individu pada makanan yang kemungkinan memiliki alergi.

Pengobatan didasarkan pada kombinasi pengecualian makanan

yang menyebabkan alergi dan obat-obatan yang mengobati gejala

alergi. Farmakoterapi yang dapat diberikan berupa injeksi adrenalin

dalam kasus alergi makanan yang mengakibatkan syok anafilaksis;

antihistamin untuk menghilangkan gejala sindrom alergi oral dan

gejala kulit yang dimediasi oleh IgE; kortikosteroid sistemik dapat

memicu membalikkan gejala inflamasi.


PROBIOTIK

2.1. Definisi Probiotik

Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang apabila

dikonsumsi dalam jumlah memadai dapat memberikan manfaat bagi

tubuh inang (host), dan bersifat strain spesifik (WHO, 2002). Sebagian

besar produk probiotik mengandung Lactobacillus, Bifidobacterium,

Lactococcus, Streptococcus, dan Enterococcus. Probiotik dapat

digunakan dalam pengobatan beberapa penyakit seperti kolitis ulseratif,

penyakit crohn, ileitis non-spesifik, intoleransi laktosa, irritable bowel

syndrome, peptic ulcer, serta mencegah kanker kolorektal (Markowiak &

Ślizewska, 2017).

Probiotik memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia. Manfaat

utama yaitu menyeimbangkan antara bakteri patogen dan flora normal

yang diperlukan untuk menjalankan fungsi normal tubuh. Probiotik juga

dapat menangkal aktivitas mikroba usus patogen yang berasal dari

makanan dan lingkungan yang tercemar. Secara umum terdapat 4

mekanisme kerja probiotik (Markowiak & Ślizewska, 2017) :

a. Memproduksi zat antimikroba

b. Mencegah bakteri patogen untuk adhesi ke epitel

c. Sebagai imunomodulator

d. Menghambat produksi toksin bakteri


The Joint FAO and WHO pada tahun 2006 membuat beberapa

kriteria agar suatu mikroorganisme dapat diterima sebagai suatu

probiotik antara lain (Kusuma, 2017) :

 Penentuan genus dan spesies mikroorganisme

 Tes in-vitro untuk menentukan potensi probiotik, seperti

resistensi terhadap asam lambung, kemampuan antimicrobial

probiotik untuk menghadapi bakteri patogen, atau kemampuan

probiotik untuk mengurangi adhesi bakteri pathogen ke

permukaan sel

 Strain probiotik tersebut terbukti aman dikonsumsi dan tidak

terdapat kontaminasi pada bentuk sediaan pemberiannya (well-

defined strains). Contoh strain probiotik seperti Lactobacillus

casei Shirota, Lactobacillus rhamnosus GG, dll.

 Telah dilakukan percobaan in-vivo untuk menentukan peran dan

manfaatnya pada inang hewan atau manusia sehat.

2.2. Macam dan Bentuk Sediaan Probiotik

2.3. Manfaat dan Fungsi Probiotik

Manfaat probiotik pada manusia dapat dikategorikan berdasarkan

mekanisme kerjanya, yaitu kegunaan dalam mikrobiologi, nutrisi,

fisiologi, dan imunologi. Probiotik sebagai fungsi mikrobiologi berperan

sebagai pencegahan perlekatan atau invasi agen patologis pada tubuh


inang. Probiotik memiliki sifat antagonis terhadap agen patologis secara

langsung dengan menghasilkan zat bakteriostatik atau bakterisida dan

berperan menempati daerah atau lingkungan hidup agen patologis.

Fungsi nutrisi probiotik berperan untuk mensintesis beberapa zat nutrisi

meliputi biotin, folat, asam nikontinat dan tiamin yang memiliki banyak

manfaat bagi tubuh. Probiotik sebagai fungsi fisiologi dapat memberi

manfaat bagi inanngnya, seperti meningkatkan absorp ion oleh sel

epitelial saluran cerna dan mengurangi toksiksitas akibat garam empedu.

2.4. Pengaruh Probiotik

Probiotik berperan dalam pengaturan respon imun bawaan dan

adaptif tubuh inang dengan memodulasi fungsi sel dendritik, makrofag,

dan limfosit T dan B. Berdasarkan penelitian sebelumnya, probiotik yang

mengandung L. acidophilus, L. casei, L. reuteri, E. bifidium, dan

Streptococcus thermophilus akan merangsang sel dendritik untuk

memproduksi IL-10, TGF-β, cyclooxygenase-2 (COX-2), dan

indoleamine 2,3-dioxygenase, yang selanjutnya meningkatkan

pembentukan sel T regulator CD4+Foxp3+ (Treg). Selain itu, probiotik

juga menurunkan responsivitas limfosit T dan B dan jumlah sitokin T

helper (Th) 1, Th2, dan Th17 tanpa menginduksi apoptosis (Borchers

dkk., 2015).

Saat sel epitel usus terpapar mikroba patogen atau rangsangan yang

dapat menghasilkan mediator proinflamasi seperti IL-8 dan TNF-.

Dengan pemberian probiotik akan menekan produksi sitokin tersebut


serta menginduksi mediator anti-inflamasi, seperti TGF- dan thymic

stromal lymphopoietin (TSLP). Proses ini dapat mendorong diferensiasi

sel dendritik imatur (iDC) menjadi sel dendritik regulasi (DCregs).

Makrofag di mukosa yang meradang akan menghasilkan IL-6 dalam

jumlah tinggi, dan probiotik dapat menurunkan produksi IL-6 serta

meningkatkan produksi IL-10 sehingga proses peradangan dapat ditekan

(Borchers dkk., 2015).

Gambar 2.1 Peran probiotik dalam memodulasi sistem imun

gastrointestinal (Borchers dkk., 2015)

Efek probiotik dalam pencegahan dan pengobatan penyakit sudah

banyak diteliti. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa probiotik

berperan aktif dalam mengurangi berbagai kondisi seperti penyakit

kronis, penyakit manula, penyakit autoimun dan penyakit anak Secara

klinis, terapi untuk memodulasi mikrobiota usus termasuk pemberian

probiotik oral (jurnal probiotic gastrointestinal). Viabilitas probiotik yang

diberikan secara oral dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti asam


lambung, garam empedu, enzim pendegradasi, sebelum probiotik

tersebut tiba di tempat fungsionalnya pada GIT.

2.5. Proses Transit Probiotik

Probiotik melalui pemberian oral masuk melewati GIT dari mulut

melalui lambung, usus kecil hingga usus besar. Ketika probiotik tertelan,

probiotik akan terpapar dengan saliva didalam mulut. Saliva adalah

cairan eksokrin yang jernih, agak asam, berlendir. Saliva terdiri atas

komponen imunologis meliputi Immunoglobulin A (IgA),

Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin M (IgM) serta komponen

non imunologis meliputi protein, musin, peptida dan enzim yang

berfungsi melindungi gigi dan permukaan mukosa.

Saliva memiliki efek antibakteri, namun bersifat selektif dan

mendukung pertumbuhan mikroflora nonkariogenik. Studi in vitro

menyebutkan pada beberapa strain Lactobacillus, Pediococcus, dan

Bifidobacteria tidak menunjukkan kehilangan yang signifikan saat

terpapar saliva, dibandingkan dengan kelompok kontrol (Haukioja dkk.,

2006; Garcia-Ruiz dkk., 2014).

Transit probiotik melalui mulut dan paparannya terhadap saliva

bersifat sementara setelah pemberian oral, pengaruh saliva pada tingkat

kelangsungan hidup probiotik bersifat minimal.

Setelah melewati esofagus, probiotik sampai di lambung dan

terekspos cairan asam lambung. Tidak semua bakteri dapat hidup di


lingkungan asam terutama bakteri yang non resisten terhadap asam.

Masuknya ion hidrogen (H+) menyebabkan penurunan aktivitas enzim

glikolitik yang mempengaruhi pompa proton F1F0-ATPase. Penurunan

aktivitas pompa F1F0-ATPase pada pH rendah bertanggung jawab

terhadap kelangsungan hidup probiotik. Adanya kondisi lain di lambung

seperti kekuatan ionik dan aktivitas enzim (pepsin) berdampak pada

viabilitas probiotik.

Setelah melewati pilorus, probiotik akan mencapai usus kecil

dimana terdapat pancreatic juice dan asam empedu. Asam empedu dan

enzim pencernaan (lipase, protease dan amilase) berdampak pada

viabilitas probiotik melalui gangguan membran sel dan kerusakan DNA.

Studi invitro menunjukkan viabilitas Lactobacillus salivarius Li01 dan

Pediococcus pentosaceus Li05 berkurang pada cairan usus.

Usus besar memiliki kepadatan bakteri terbesar yakni berkisar 1011

hingga 1012 CFU/ml. Di usus besar, probiotik harus melewati resistensi

dari bakteri komensal. Probiotik harus bersaing dengan mikrobiota usus

untuk menyerap nutrisi dan adhesi pada mukosa usus untuk kolonisasi

dan proliferasi.
Gambar 2.2

2.6. Efektivitas Dosis Probiotik

Pemanfaatan probiotik dalam meningkatkan kesehatan tubuh sangat

ditentukan oleh sifatnya yang stabil tetap dalam keadaan hidup (viabilitas),

sejak dikonsumsi hingga mencapai usus manusia. Ada pun viabilitas probiotik,

yaitu jumlah mikroba hidup harus cukup untuk memberikan efek positif bagi

kesehatan dan mampu berkolonisasi sehingga dapat mencapai jumlah yang

diperlukan. Viabilitas sel mikroba dalam produk probiotik harus mencapai 10 7-

109 cfu/g, karena viabilitas probiotik akan mengalami penurunan selama

penyimpanan dan saat berada dalam sistem pencernaan. Hal ini disebabkan

karena faktor lingkungan yang tidak menguntungkan dalam kelangsungan hidup

bakteri probiotik, diantaranya adalah pH dan garam empedu dalam sistem

pencernaan.

Usus merupakan salah satu organ tubuh yang terdapat dalam saluran

pencernaan yang juga memiliki flora normal. Bakteri dapat ditemukan pada

usus besar sebanyak 1011 - 1012 bakteri per gram. Pada usus kecil juga dapat

ditemukan bakteri, namun jumlahnya tidak sebanyak pada usus besar yaitu
sekitar 104 - 107 bakteri per gram. Probiotik bermanfaat bagi tubuh karena

menunjukkan peranan fisiologis yang penting dalam menjaga keseimbangan

mikroflora usus

2.7. Mikrobiota Usus dan Resistensi Kolonisasi

Mikrobiota pada usus manusia memiliki lebih dari 1.000 filotipe,

dimana sebagian besar filotipe pada manusia sehat dapat diklasifikasikan

menjadi Bacteriodetes, Firmicutes, Actinobacteria, Proteobacteria, dan

Verrucomicrobia. Sebagian besar mikroorganisme hidup di usus halus

bagian distal dan usus besar dengan rentang jumlah 1011 hingga 1012

CFU, sedangkan konsentrasi mikroorganisme rendah didapatkan pada

daerah lambung dan usus halus bagian proximal dengan jumlah kurang

dari 104 CFU dikarenakan kondisi yang buruk pada tempat tersebut.

Distribusi bakteri pada mukosa usus memiliki karakteristik ekologi

tertentu. Sepanjang axis longitudinal usus halus dan usus besar,

konsentrasi oksigen menurun secara bertahap, banyak bakteri anaerob

seperti Clostridium dan Faecalibacterium menempati saluran pencernaan

bagian bawah, sedangkan pada bagian atas sebagian besar ditempati oleh

bakteri kokus gram positif seperti Gemella dan Streptococcus. Sepanjang

garis horizontal dari usus halus dan usus besar molekul antimikroba dan

oksigen yang disekresikan dari sel epitel berkonsenterasi tinggi di lapisan

usus bagian dalam, dimana beberapa mikroba disana dapat berkoloni.

2.8. Hubungan Alergi dengan Mikrobiota Usus


Suatu hipotesis yang dikemukakan oleh Sachan pada tahun 1980

yaitu “Hygiene Hypothesis” menyatakan bahwa lingkungan yang kotor

dikaitkan dengan peningkatan alergi atau gangguan inflamasi yang

diperantarai oleh pathogen, komensal, dan organisme. Hal tersebut akan

memodulasi reaksi imunologis sehingga menyebabkan interaksi antara

proses inflamasi yang dihasilkan oleh alergen dan agen infeksi. Pada

tahun 2005 terdapat hiotesis lain berupa hipotesis "mikroflora" yang

dianggap sebagai perpanjangan modern lain dari "hygiene Hypothesis"

menunjukkan bahwa gangguan pada masa kehidupan awal manusia

(dengan penggunaan antibiotik, penyakit infeksi, atau diet) ke bakteri

yang berada di usus manusia (mikrobiota GIT) menghancurkan mikroba

normal yang dimediasi oleh mekanisme yang mempromosikan toleransi

imunologis, dan akhirnya membuat sistem kekebalan tubuh menuju

keadaan yang memicu penyakit alergi.

Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian terkait

probiotik yang dapat memodulasi respon imunologi dan inflamasi dengan

mempengaruhi fagositosis dan sintesis sitokin pro-inflamasi. Penelitian

tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pencegahan timbulnya

penyakit alergi. Definisi probiotik menurut WHO merupakan

mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah cukup dapat

memberikan manfaat terhadap host yang berkaitan dengan peran bakteri

pada usus. Pada saluran pencernaan manusia terdapat 500-1000 spesies

bakteri yang berbeda. Beberapa contoh kelompok filum bakteri

diantaranya seperti Firmicutes, Bacteroidetes, Actinobacteria,


Proteobacteria, Tenericutes dan Fusobacteri. Mikrobiota usus

didominasi oleh filum Firmicutes dan Bacteroidetes, dimana filum

Firmicutes didominasi oleh kelas Clostridia.

Bakteri fakultatif dan aerotolerant seperti bakteri asam laktat,

Enterobacteria, dan Streptokokus mendominasi flora normal di usus

neonates kemudian diikuti oleh peningkatan jumlah anaerob ketat

termasuk Bifidobacterium, Clostridium, dan Bacteroides. Diketahui

bahwa Bifidobacterium animalis dan Bifidobacterium longum dapat

modulasi sistem kekebalan tubuh dan memunculkan respon anti-alergi

pada masa awal kehidupan setelah bayi lahir melalui transmisi bakteri

dari ibu lewat barrier plasenta. Plasenta memiliki mikrobiota unik yang

tersusun dari mikrobiota komensal non-patogen yang mirip dengan

mikrobiota oral milik ibu, kemudian disebarkan secara hematogen dari

ibu kepada bayi.

Mikrobiota usus dapat dipengaruhi dari cara persalinan ibu.

Persalinan melalui sectio caesarea menunjukkan kekayaan dan

keberagaman microbiota GIT yang lebih rendah dibandingkan bayi yang

lahir melalui vagina. Sectio caesaria dapat mengurangi kolonisasi

Bifidobacterium dan Bacteroides. Dalam kasus ini, Bacteroides yang

berperan adalah Bacteroides fragilis memiliki permukaan polisakarida

yang akan dikenali langsung oleh Toll Like Receptors 2 (TLR-2)

kemudian menginduksi produksi IL-10 beserta sitokin pro inflamasi yang

lain sehingga terbentuk keseimbangan Th1/Th2. Dapat disimpulkan

bahwa berkurangnya Bacteroides berkaitan dengan pengurangan respon


Th1 dan perbedaan produksi sitokin pro inflamasi yang terdeteksi pada

bayi dengan sectio caesaria. Penurunan Th1 akan menyebabkan

rendahnya kemokin-Th1 sehingga tidak terjadi keseimbangan antara Th1

dan Th2 sehingga akan mengganggu proses perkembangan system imun

yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit alergi.

Pada individu yang sehat, mikrobiota usus berada dalam status

eubiotik (terdapat komunitas mikroba yang beragam hadir di usus dengan

banyak spesies bakteri). Ketika terjadi dysbiosis usus yaitu keadaan

dimana terjadi ketidakseimbangan dalam komposisi dan atau fungsi

mikrobiota usus yang berkaitan dengan penyakit alergi seperti dermatitis,

asma, dan alergi makanan. Terdapat suatu penelitian adanya dysbiosis

usus yang dilakukan terhadap bayi atopic dengan bayi non atopic

mengemukakan bahwa pada bayi atopic memiliki komposisi dan

perkembangan microbiota usus yang berbeda dibandingkan dengan bayi

non atopic. Dalam penelitian tersebut, bayi atopic menunjukkan jumlah

Bifidobacterium berkurang yang mendukung sebagai penyebab dalam

menimbulkan reaksi alergi. Padahal eubiotik microbiota usus memiliki

peran penting dalam memberikan sinyal pada maturasi mukosa intestinal,

jaringan limfoid instestinal seperti peyers patches, nodus limphatikus

mesenterikus serta mengembangkan dan atau mengumpulkan sel imun

yang telah matang.


Gambar 2.3 Peran sentral probiotik dalam membentuk

perkembangan dan pematangan sistem kekebalan tubuh

Mikrobiota usus merupakan kunci untuk mengembangkan

sistem imun terutama pada masa anak-anak sehingga akan membangun

hubungan yang efektif dengan host. Dalam microbiota terdapat

keseimbangan antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Bila

terdapat gangguan keseimbangan kedua jenis bakteri Gram dan terjadi

peningkatan bakteri Gram-negatif (Bacteroides, Proteobacteria) terjadi

peningkatan produk mikroba seperti lipopolisakarida (LPS) sehingga

menyebabkan perubahan dalam sistem kekebalan melalui aktivasi

makrofag dengan memproduksi Tumor Necrosis Factor (TNF-α), yang

mendorong transisi sel T naif menjadi sel Th2 yang memberikan efek

negatif pada permeabilitas tight junction. Probiotik membantu menjaga


homeostasis usus dengan memodulasi respon imun dan menginduksi

perkembangan T-reg. Mikrobiota usus memungkinkan mencegah dan

menghambat perkembangan sensitisasi alergi dengan cara :

1. Meningkatkan fungsi barrier pada system saluran cerna (tight

junctions, mucous barrier)

2. Memodulasi respon imun dengan meningkatkan sekresi IgA yang

berkontribusi pada pengeluaran antigen dari mukosa usus;

menurunkan sekresi IgE; menurunkan sekresi sitokin pro-inflamasi

seperti IL-1, IL-4, IL-13; dan meningkatkan C-Reactive Protein

(CRP) serta Natural Killer (NK)

3. Memodulasi antagonis patogen dengan memproduksi bakteriosin

dan SCFA (short-chain fatty acids). SCFA berasal dari serat

makanan memiliki yang dapat meningkatkan T-regulator (Treg),

Th1 dan Th17 perifer, memodulasi ekspresi sitokin dan

merangsang sel-sel progenitor (sel dendritic dan makrofag) di

sumsum tulang.
Gambar 2.4 Sel-sel imunologis penting yang berperan

terhadap perjalanan alergi (Hu dkk, 2021)

Gambar 2.5 Aksi sel bakteri pada host

2.9. Peran Probiotik dalam Patomekanisme Reaksi Alergi


Alergi pada organ pernafasan dan alergi pada makanan merupakan

penyakit alergi yang ditandai adanya respon imun dari sel T limfosit yang

memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan kadar yang rendah pada IFN-.

Sitokin tersebut menginduksi sel efektor lain yang berperan dalam

patogenesis alergi seperti sel mast, basofil, dan eosinofil (Eslami dkk.,

2020). Gastrointestinal memiliki peranan penting dalam sistem imun

yaitu mengembangkan efektor dan respon toleransi terhadap antigen

asing dengan cara menyeimbangkan Th1, Th2, meregulasi Th17 dan juga

Treg di lamina propria (Pascal dkk., 2018). Disfungsi sistem imun yang

disebabkan disbiosis usus berhubungan erat dengan penyakit alergi

seperti asma dan penyakit atopik. Keberagaman mikrobiota usus lebih

banyak di rongga mulut dan usus dibandingkan dengan lambung karena

lingkungan yang bersifat asam. Sebagian besar antigen di sistem

pencernaan berasal dari pola makan dan mikroba komensal di usus,

keduanya mempengaruhi toleransi imun yang dibantu oleh sel Treg.

Mikroba pada usus Perubahan diversitas dan penurunan jumlah bakteri

komensal dapat mengacaukan toleransi imun di mukosa usus yang

menyebabkan terjadinya alergi seperti asma dan alergi makanan (Pascal

dkk., 2018).
Gambar 2.6 Mekanisme disbiosis terhadap penyakit alergi

(Pascal dkk., 2018)

Peranan probiotik dalam pengobatan yang berhubungan tentang

disbiosis, abnormalitas regulasi sistem imun dibuktikan oleh beberapa

penelitian yang sudah dilakukan bahwa probiotik dapat memberikan efek

positif apabila diberikan dengan jumlah yang cukup. Bakteri probiotik

harus memiliki beberapa kriteria untuk memberikan manfaat bagi tubuh

seperti tahan terhadap pH enzim pencernaan dan empedu, mencegah

penempelan patogen atau antigen asing di sel epitel, memiliki efikasi

yang tinggi pada manusia, memberikan efek secara langsung terhadap

toxin bakteri, virus, atau parasit, dan keamanan dalam penggunaanya

(Eslami dkk., 2020). Pada penyakit yang berhubungan alergi probiotik

memiliki kemampuan memodulasi regulasi sistem imun. Dalam kondisi

normal probiotik memiliki manfaat pencernaan makanan, pertumbuhan


dan perkembangan sistem imun, mengontrol pertumbuhan dan

differensiasi sel epitel intestinal (Han dkk., 2021).

Bakteri komensal memiliki peran dalam fermentasi serat makanan

serta memproduksi short chain fatty acid (SCFA). Butyrate merupakan

salah satu produk SCFA yang memodulasi protein penting dalam tight

junction dan molekul yang dapat meningkatkan barier epitel seperti,

cingulin, Zo, dan occludin. SCFA memiliki efek mengurangi respon sel

proinflamasi dengan cara memodulasi sinyal NF-B pada sel epitel dan

neutrofil dengan berikatan pada G-protein coupled receptor (GPR) 41

dan 43 . Pada penelitian model hewan menunjukkan produk lain SCFA

seperti asetat dapat menurunkan respon inflamasi pada penyakit colitis

dan asma (Eslami dkk., 2020).

Fungsi terpenting probiotik adalah berperan dalam perkembangan

sistem imunitas tubuh. Probiotik mampu membantu mengatur sistem

kekebalan melalui pengembangan jaringan limfofid terkait usus (GALT)

dan meningkatkan toleransi terhadap antigen asing yang tidak berbahaya

seperti, makanan. Respon ini berawal dari deteksi antigen oleh sel epitel

intestinal dan sel imun intrinsik melalui pattern recognition recepetor

(PRR). Reseptor ini terikat pada pathogen-associated molecular patterns

(PAMPs). Probiotik dapat mencegah invasi bakteri patogen dengan cara

berkompetisi saat menempel di sel epitel usus. Fungsi fisiologis lain dari

probiotik yaitu dapat meningkatkan integritas barier epitel dan regulasi

ekspresi dari protein yang berperan dalam fungsi tight junction dan

sekresi mukus (Eslami dkk., 2020).


Pada kasus penyakit alergi probiotik membantu stimulasi dari

kadar igA pada mukosa, allergen-specific sel T dan sel B. Interaksi

tersebut melibatkan jaringan gen, Toll like Receptors (TLRs), molekul

pemberi sinyal, dan juga meningkatkan respon igA intestinal. Aktivasi

TLRs oleh mikroorgsnisme dapat menyebabkan respon imun lokal dan

sistemik. Probiotik Lactobacillus dapat menurunkan respon inflamasi

melalui modulasi sinyal NF-B dan memodulasi maturitas sel dendritik

(DCs) yang menginduksi sekresi sitokin antiinflamasi IL-10. Probiotik

juga dapat mengatur keseimbangan Th1 dan Th2 yang berdampak pada

respon inflamasi pada penyakit alergi. Penelitan tikus model asma

pemberian Lactobacillus GG dapat mengurangi gejala alergi pada asma

(Pascal dkk., 2018). Sedangkan penelitian di manusia pemberian

Lactobacillus GG pada bayi baru lahir yang memiliki riwayat alergi di

keluarga seperti eczema, rhinitis alergi, dan asma menunjukkan

penurunan insidensi dermatitis atopik pada anak sebesar 50%, 44% dan

36% pada tahun kedua,ß keempat dan ketujuh (Eslami dkk., 2020).
Gambar 2.7 Mekanisme fisiologis dan imunologis probiotik di

usus (Eslami dkk., 2020)

Pada gambar tersebut menunjukkan terdapat 2 mekanisme

probiotik pada usus yaitu : mekanisme fisiologis dan mekanisme

imunologis. Mekanisme fisiologis probiotik meliputi a) probiotik

berkompetisi dengan bakteri patogen yang menempel pada lapisan

mukosa, b) meningkatkan integritas dan fungsi barier sel epitel, c)

meningkatkan produksi mukus dengan menstimulasi sel goblet. Pada

mekanisme imunologis probiotik secara langsung dan tidak langsung

mempengaruhi epitel dan mengurangi ekspresi sitokin proinflamasi

dengan cara menekan persinyalan NF-B. Pada gambar menunjukkan

probiotik dapat menyeimbangkan antara Th1 dan Th2 dengan cara

meregulasi sitokin dari Th1 (TNF-, IL-6, IFN-) dan Th2 (IL-4, IL-5,

dan IL-13). Probiotik dan produknya dapat menstimulasi sel dendritik


yang mengarah pada differensiasi Treg dengan menginduksi CD4+ dan

Foxp3+ sel Treg dan produksi TGF- dan IL-10. Probiotik juga

mempengaruhi profil sitokin melalui efek yang diberikan pada sel

dendritik, meningkatkan sekresi IgA, IgG4 dan menurunkan allergen-

spesific IgE (Eslami dkk., 2020).

2.10.Efek Probiotik terhadap Berbagai Penyakit Alergi

2.10.1. Probiotik terhadap Asma

Kolonisasi mikroorganisme di paru-paru manusia berkaitan

erat dengan fungsi anatomis dan fisiologis paru. Mikroba yang

tersuspensi pada partikel udara akan masuk ke mulut kemudian

berjalan menuju paru-paru bersama dengan udara. Sistem respirasi

atas memiliki epitel silindris yang dilapisi mucus. Fluktuasi mucus

dan udara yang bersifat konstan menentukan keseimbangan

migrasi mikroba. Kolonisasi bakteri tersebut akan terbentuk

sepanjang system respirasi atas dan bawah. Pada individu yang

sehat terdapat kepadatan dan replikasi bakteri yang rendah.

Kondisi yang memungkinkan peningkatan repiklasi bakteri pada

paru-paru menyebabkan ketidakseimbangan atau gangguan pada

mikrobioma paru-paru sehingga menyebabkan asma.

Studi meta-analisis Lin dkk pada tahun 2013 menyarankan

bahwa probiotik dapat secara signifikan mengurangi episode asma,

namun tidak ada perbedaan signifikan yang diperoleh mengenai


FEV1 dan Childhood Asthma Control Test (CACT) skor (Hu dkk,

2021).

Kejadian alergi dan asma dapat dipengaruhi oleh

keberagaman mikroflora usus pada saat awal kehidupan. Adanya

Bacteroides fragilis subgroup atau Clostridium coccoides

subcluster XIVa pada feses anak usia 3 minggu merupakan

prediktor kejadian asma di kemudian hari. Studi meta-annalisis

membuktikan bahwa pemberian probiotik baik pre- maupun post-

natal dapat mengurangi kadar total IgE dan sensitasi atopi (skin

prick test dengan hasil positif) khususnya pada anak, tetapi tidak

mengurangi risiko asma (Kusuma, 2017).

2.10.2. Probiotik terhadap Rhinitis Alergi

Dibandingkan dengan penyakit alergi lainnya, literatur

yang secara khusus membahas efek mikrobiota GIT pada

perkembangan rinitis alergi jauh lebih sedikit dan banyak dari studi

yang ada didasarkan pada model tikus. Terdapat beberap studi

yang menunjukkan hubungan positif antara pemberian probiotik

terhadap rhinitis alergi yang berhubungan dengan asma (Hu dkk,

2021).

Beberapa penelitian tentang probiotik, ditemukan dan

diketahui bahwa probiotik dapat mengurangi gejala rinitis alergi.

Dua peneliatian acak dan tersamar ganda menjelaskan peran dari

Lactobacillus sp. dalam mengurangi gejala rinitis alergi baik


dewasa maupunn anak-anak. Studi metaanalisis menyimpulkan

bahwa probiotik bermanfaat memperbaiki kualitas hidup pasien

rinitis alergi, meski masih diperlukan penelitian dengan kualitas

lebih baik untuk menentukan rekomendasi terkait penggunaan

probiotik sebagai terapi rinitis alergi (Kusuma, 2017).

Pemberian probiotik Lactobacillus paracasei bersama

levocetirizine pada anak-anak tidak memberikan perubahan

bermakna pada mediator inflamasi, namun menurunkan gejala

secara bermakna berdasarkan Physical examinations and Pediatric

Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaires (PRQLQs)

dibandingkan levocetirizine saja (Kusuma, 2017).

Pada studi kohort yang dilakukan oleh Bertelsen dkk pada

tahun 2014 dimana ibu diminta untuk mengonsumsi dua merek

susu dan yogurt yang mengandung strain probiotik (L. acido-philus

LA-5, B. lactis Bb12, +/– L. rhamnosus GG) selama kehamilan.

Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pengurangan risiko

rhinokonjungtivitis pada usia kehamilan 18-36 minggu dan pada

anak yang telah dilahirkan selama 6 bulan kehidupan dibandingkan

dengan kelompok placebo (Sestito dkk, 2020).

2.10.3. Probiotik terhadap Dermatitis Atopik

Penelitian yang dilakukan oleh Ardantry dkk pada tahun

2015 menggunakan multiprobiotik pada penderita eksema yang

berisi 7 galur yaitu Lactobasillus acidophilus, Lactobasillus casei,

Lactobassilus salivarius, Lactobasillus lactis, Bifidobacterium


longum, Bifidobacterium lactis, Bifidobacterium infantis,

Maltodreksin, dan rice starch. Wu melaporkan bahwa penggunaan

multiprobiotik lebih efektif daripada monoprobiotik. Pemberian

probiotik diharapkan dapat menimbulkan respon imun selular

dengan menurunkan Th2 sehingga stimulasi ke limfosit B yang

diharapkan dapat menurunkan kadar IgE total. Keadaan tersebut

akan mengurangi pertemuan antara IgE spesifik alergen, alergen,

dan reseptor FcE di sel mast sehingga tidak terjadi degranulasi sel

mast yang memproduksi mediator penting alergi.

Dalam hasil penelitian Wu menunjukkan terdapat

perbedaan perubahan IgE total antara kelompok probiotik dan

plasebo. Kadar IgE total pada kelompok probiotik mengalami

penurunan lebih banyak dibandingkan dengan plasebo dan

penurunan kadar IgE total kelompok probiotik. Dari hasil analisis

tersebut, terdapat pengaruh pemberian probiotik pada anak dengan

dermatitis atopik terhadap penurunan kadar IgE total.

Kombinasi B.bifidum, L.acidophilus, L.casei, L.salivarius

dengan riwayat eksim selama 8 minggu menurunkan Scoing

Atopic Dermatitis (SCORAD) maupun kadar sitokin IL-5,IL-6,

IFN-γ, IgE total serum serta akan mengembalikan komposisi dan

peran bakteri yang bermanfaat dan menghambat perkembangan

respon alergi sel Th2. Pemberian kombinasi probiotik berperan

sebagai aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena

mempunyai molekul spesifik peptidoglikan dan lipoteichoic acid


pada dinding sel yang akan berinteraksi dengan toll-like receptor

(TLR)2 dan TLR4. Interaksi menghasilkan aktivasi sel T pada

sistem imun dengan cara polarisasi ke arah sel Th1 maupun Treg.

Sitokin yang berperan dalam stimulasi Th1 yaitu IFN-γ akan

menekan respon imun Th2 dengan menurunkan sintesis IL-4.

Terbukti dalam hasil penelitian tersebut bahwa kadar rerata IFN-γ

lebih tinggi dan rerata IL-4 lebih rendah pada kelompok yang

diinduksi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Pada studi literatur,12 dosis probiotik paling sering untuk

pasien dermatitis atopi anak adalah 5x109 CFU, terendah 108 CFU

dan tertinggi 1010 CFU. Konsentrasi probiotik yang dianjurkan

adalah lebih dari 109 CFU (Kusuma, 2017).

2.10.4. Probiotik terhadap Alergi Makanan

Probiotik juga bermanfaat untuk pencegahann penyakit

alergi karena makanan. Atopi sering disebabkan sensitasi bahan

pangan. Kejadian atopi dapat dikurangi dengan perbaikan kondisi

mukosa saluran cerna. Probiotik seperti Lactobacillus dan

Bifidobacterium dapat mencegah terjadinya alergi makanan

melalui sintesis IgA dan IL-10 untuk meningkatkan pertahanan

saluran pencernaan. Pada penelitian sebelumnya, peran probiotik

sebagai pencegahan atau pengobatan alergi karena makanan sangat

terbatas. Menurut metaanalisis 17 studi terkait probiotik ditemukan

bahwa pemberian probiotik pre-natal dan post-natal dapat

menurunkan risiko atopi dan hipersensitivitas makanan pada anak,


terutama pada yang memiliki riwayat alergi di keluarga (Kusuma,

2017).

Tidak banyak penelitian yang dilakukan pada manusia

untuk mengevaluasi efek dari strain probiotik yang berbeda pada

tanda dan gejala alergi terhadap makanan tertentu (Crovesy dkk,

2017).

Sebuah uji coba terkontrol secara acak baru-baru ini

mengevaluasi penggunaan probiotik L. rhamnosus CGMCC 13724

(2x1010CFU) sebagai tambahan dalam pengobatan imunoterapi oral

pada anak dengan alergi kacang dan menemukan bahwa tidak ada

respon alergi terhadap makanan (Crovesy dkk, 2017).

Sebuah uji klinis acak yang dilakukan dengan anak-anak

berusia antara 3 sampai 12 bulan diberikan 1x109 CFUB B.

animalis subsp. lactis BB-12 dan 1x108 CFU Streptococcus

thermophilus TH-4 selama 8 minggu kemudian dievaluasi

pengaruhnya terhadap gejala gastrointestinal pada alergi susu sapi.

Mereka menemukan bahwa kelompok yang menerima probiotik

terkait dengan pengobatan konvensional untuk alergi susu sapi

telah memperbaiki gejala gastrointestinal dan menurunkan

manifestasi klinis gastrointestinal akibat alergi susu (Crovesy dkk,

2017).
KIMCHI

3.1 Definisi dan Pembuatan Kimchi


Kimchi merupakan sajian tradisional dari Korea yang terbuat dari

sayuran yang telah melalui tahap fermentasi oleh bakteri asam laktat (BAL) yang

berasal dari bahan mentah pembuatan kimchi. Bahan utama pembuatan kimchi

yang paling popular dan paling sering disajikan sebagai bahan dasar kimchi

adalah baechu, jika bahan tersebut tidak tersedia, maka bahan utama pembuatan

kimchi dapat diganti dengan lobak, timun, ataupun sayuran lainnya. Bahan

pelengkap lainnya merupakan bahan-bahan pelengkap yang bisa dijadikan sebagai

bumbu, seperti daun bawang, bawang putih, bubuk cabai merah, jahe, bawang

prei, garam, gula, jeotgal (makanan fermentasi khas korea yang terbuat dari

hewan laut seperti ikan, kerang, dan udang), aekjot (jeotgal berwujud cair yang

menyerupai saus ikan), dan juga bahan-bahan lain yang ditambahkan sebagai ciri

khas dari daerah tertentu.

Kimchi kaya akan vitamin, mineral, serat makanan, dan juga

beragam senyawa biofungsional yang berguna bagi tubuh. Senyawa biofungsional

dari kimchi dapat dihasilkan baik dari bahan baku pembuatan kimchi ataupun

hasil metabolisme dari fermentasi BAL. Fermentasi kimchi dimulai oleh BAL

yang berasal dari bahan baku pembuatan kimchi, terutama bawang putih, diikuti

oleh jahe dan daun bawang, sedangkan baechu sendiri cenderung menghasilkan

BAL dalam jumlah yang sedikit.

Proses pembuatan kimchi dimulai dengan mempersiapkan alat dan

bahan yang diperlukan, kemudian dilanjutkan dengan mulai mengolah dari bahan

utama yang akan digunakan, apabila kimchi akan dibuat dengan menggunakan
Baechu sebagai bahan utama, maka Baechu yang akan digunakan dapat dipilah

dan dinilai terlebih dahulu dari kondisi dan kesegarannya. Baechu yang segar

kemudian dapat dicuci menggunakan air hingga bersih dan dipotong sebelum

kemudian dilakukan pengasinan. Baechu yang sudah diasinkan kemudian dapat

dicuci kembali dan dikeringkan selama tiga jam, selama pengeringan dari Baechu

ini, bahan-bahan tambahan yang nantinya akan digunakan sebagai bumbu

penambah rasa pada kimchi dapat mulai untuk diolah, biasanya bahan-bahan

tersebut dicampur hingga menyatu untuk nantinya dicampurkan pada Baechu

yang sudah dikeringkan sebelum akhirnya Baechu yang sudah tercampur dengan

bumbu kemudian memasuki tahap fermentasi.

Fermentasi dilakukan pada suhu pendinginan antara suhu -1oC

hingga 7oC yang berlangsung selama beberapa malam hingga beberapa bulan,

dimana selama proses fermentasi berlangsung, BAL akan berkembang biak dan
menghasilkan metabolit seperti asam organik (asam laktat dan asam asetat), asam

amino, eksopolisakarida, vitamin, mannitol, bakteriosin, dan lain sebagainya,

dimana senyawa-senyawa tersebut memiliki efek yang baik untuk kesehatan

seperti antioksidan, antipenuaan, antiobesitas, antikanker, antimutagenik,

antimikroba, menurunkan kolesterol, dan antiinflamasi.

3.2 Jenis Metabolit pada Kimchi

3.2.1 Bakteriosin

Bakteriosin merupakan protein atau peptida yang dihasilkan

di ribosom sebagai metabolit utama. Bakteriosin memiliki fungsi sebagai

antimikroba spektrum sempit ataupun spektrum luas. Bakteriosin,

bersama dengan nisin banyak diproduksi oleh BAL, salah satunya adalah

bakteriosin yang diproduksi oleh Lactococcus lactis, merupakan

bakteriosin yang paling dikenal dan satu-satunya produk bakteriosin yang

disetujui oleh badan pengawas makanan milik pemerintah sebagai sebuah

pengawet makanan. Bakteriosin yang berasal dari BAL juga dikenal

sebagai salah satu alternatif dalam dunia medis sebagai antibiotik untuk

menyembuhkan penyakit akibat infeksi.

3.2.2 GABA (γ-Aminobutyric Acid)

GABA merupakan protein asam amino dan merupakan salah

satu neurotransmitter penghambat utama di sistem saraf pusat pada

mamalia. GABA dikenal memiliki sejumlah fungsi fisiologis seperti

antidepresan, pereda panik, antihipertensi, antidiabetik, pelindung ginjal,

dan beberapa fungsi lainnya. GABA tersedia secara komersial, di Korea


GABA yang dikonversikan dari asam L-Glutamic dapat didapatkan dari

produk makanan sehat yang sudah tersertifikasi oleh pemerintah Korea

dan dikenal memiliki fungsi menurunkan tekanan darah. BAL yang

berasal dari makanan terfermentasi merupakan salah satu penghasil

utama dari GABA, dimana Levilactobacillus brevis merupakan salah satu

spesies utama dalam produksi GABA pada makanan terfermetasi.

Anda mungkin juga menyukai