Anda di halaman 1dari 17

SKENARIO 2

Bentol dan Gatal


Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke puskesmas, dengan keluhan gatal dan bentol-
bentol kemerahan di beberapa bagian tubuh. Keluhan dirasakan sejak 30 menit setelah makan
roti dengan selai kacang. Pasien memiliki riwayat penyakit asma bronkial. Pemeriksaan vital
sign tekanan darah 125/80 mmHg, frekuensi nadi 90x/menit, frekuensi nafas 25x/menit, dan
suhu 37,2˚c. Pemeriksaan wajah dan leher menunjukkan adanya edema dan terdapat merah-
merah dan bentol-bentol di kulit dagu, dahi, abdomen, dan ekstremitas atas. Pada pemeriksaan
thoraks paru dan jantung dalam kondisi normal.
Kata Sulit :
1. Edema : penumpukan cairan dalam ruang di antara sel tubuh.
2. Asma bronkial : penyempitan bronkiolus, menghasilkan lendir berlebih
Pertanyaan :
1. Mengapa terjadi gatal dan bentol kemerahan pada tubuh?
Terjadi reaksi alergi makanan. Alergi makanan dibedakan menjadi 3, yaitu reaksi
yang dimediasi IgE (hipersensitifitas tipe I), reaksi yang tidak dimediasi IgE, dan tipe
campuran yang melibatkan IgE dan sel T. Alergi makanan yang dimediasi oleh IgE
timbul gejala yang cepat, sementara yang tidak dimediasi IgE lebih lambat. Selain itu
faktor yang mempengaruhi alergi adalah Jumlah eosinofil darah yang meningkat akibat
infeksi, alergi, dan defisiensi imun.
a. Reaksi Hipersensitivitas Ig E
Reaksi Hipersenstivitas Ig E Alergi dapat didefinisikan
sebagai kemampuan kekebalan sistem tubuh untuk menghasilkan
kadar tinggi antibodi imunoglobulin (Ig) E terhadap alergen.
Alergi makanan yang diperantarai IgE adalah alergi tipe 2 sel T
helper (Th2).
Alergen adalah protein yang diambil oleh antigen
presenting cell (APC) → disajikan ke sel T-helper. Lalu
menyebabkan diferensiasi sel Th naif menjadi sel efektor Th2.
Sel-sel Th2 ditandai oleh adanya faktor generasi transkripsi
spesifik (GATA3) dan menghasilkan sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-
13 dan IL-25). Sitokin IL-4 dan IL-13 sangat penting untuk sintesis
Imunoglobulin E (IgE). Pengikatan IL-4 dan IL-13 pada reseptor
masing-masing menyebabkan aktivasi faktor transkripsi, kondisi
ini disebut transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi (STAT). Hal
ini menyebabkan transkripsi gen.
b. Reaksi Hipersensitivitas Non-Ig E
Alergi makanan yang diperantari Non IgE mencakup
berbagai gangguan yang mempengaruhi saluran pencernaan seperti
Food protein–induced enterocolitis syndrome [FPIES], Food
protein–induced allergic proctocolitis [FPIAP], Food protein–
induced enteropathy [FPE], penyakit celiac, dan alergi yang
disebabkan kekurangan zat besi pada alergi susu sapi anemia),
kulit (dermatitis kontak untuk makanan dan dermatitis
herpetiformis), dan paru-paru (sindrom Heiner, juga dikenal
sebagai hemosiderosis paru).
Barier mukosa saluran cerna mempunyai peranan dalam
proses pencernaan dan juga penyerapan tanpa memicu reaksi imun
dan dapat hidup bersama secara komensal dengan flora saluran
cerna sambil mempertahankan kekebalan tubuh terhadap mikroba.
Di mukosa usus terdapat mekanisme kekebalan yang mempunyai
toleransi terhadap makanan. Imun toleransi ini diatur oleh
mekanisme spesifik sel T dimana keadaan dipengaruhi berbagai
faktor lingkungan seperti perubahan flora komensal. Respon alergi
tersebut dapat akibat dari konsekuensi dari gagal toleransi
imunologi, baik karena tidak dibentuknya toleransi imunologi.
c. Reaksi Eosinofil
Eosinofil mengandung beberapa enzim yang
menginaktifkan mediator-mediator peradangan seperti
Histaminase. Nilai normal dalam tubuh adalah 1 – 4%.
Peningkatan eosinofil terdapat pada kejadian alergi, infeksi parasit,
kanker tulang, otak, testis, dan ovarium. Penurunan eosinofil
terdapat pada kejadian shock, stres, dan luka bakar.

2. Apa hubungan makan roti dan selai kacang dengan gatal dan bentol?
Alergi makanan adalah reaksi sistem imun yang terjadi setelah paparan terhadap
makanan tertentu. Alergen makanan didefinisikan sebagai komponen spesifik dari
makanan atau bahan makanan yang dikenali oleh sel imun yang kemudian menimbulkan
reaksi imunologik yang diperantarai oleh sel mast dan IgE.
Alergen makanan yang cukup sering mengakibatkan alergi pada makanan adalah
glikoprotein yang larut dalam air yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Penyebab yang
cukup sering pada kasus alergi pada dewasa adalah susu, kacang, kedelai, tree nuts,
udang, kepiting, dan wijen.
Faktor alergi :
a. Faktor Genetik
Tidak mengikuti pewarisan hukum mendel, tetapi mengikuti konsep
multigenetik yang kompleks. Kecenderungan sel T berkembang menjadi
sel Th2 yg diatur oleh banyak sitokin, reseptor sitokin, dan faktor
transkripsi. Berdasarkan hal itu diduga bahwa penderita alergi terletak
pada berbagai gen dan itu berbeda antara satu individu dengan individu
yang lain.
b. Faktor Lingkungan
Seperti faktor risiko pada jenis alergi lain, stimulus imun yang
berpengaruh pada awal masa kehidupan disebutkan dalam the hygiene
hypotesis. Hipotesis ini berdasarkan adanya interaksi antara stimulus imun
pada awal masa kehidupan dengan innate immune system atau sistem
imun non spesifik, termasuk di dalamnya toll-like receptor yang
menginduksi fenotipe toleran melalui sel Tregulatory.

3. Apa hubungannya dengan asma bronkial?


Urutan patofisiologis pada asma atopik diprakarsai oleh aktivasi sel mast sebagai
respons terhadap alergen yang mengikat IgE serta oleh sel Th2 yang bereaksi terhadap
alergen (Gbr. 20-10). Mediator lipid dan sitokin yang diproduksi oleh sel mast dan sel T
menyebabkan perekrutan eosinofil, basofil, dan lebih banyak sel Th2. Peradangan kronis
pada penyakit ini dapat berlanjut tanpa sel mast aktif. Ada bukti eksperimental bahwa sel
T lainnya himpunan bagian, termasuk sel TH1 dan TH17, serta mensekresi IL-9 Sel T,
berkontribusi pada patologi penyakit yang sudah mapan. Hipertrofi dan hiperreaktivitas
sel otot polos diperkirakan hasil dari mediator yang diturunkan dari leukosit dan sitokin.
Sel mast, basofil, dan eosinofil semuanya menghasilkan mediator yang menyempitkan
otot polos saluran napas. Yang paling mediator bronkokonstriksi yang penting adalah
LTC4, LTD4, dan LTE4. Dalam beberapa studi klinis, antagonis LTC4 atau antagonis
reseptor leukotrien telah berkurang penyempitan jalan napas akibat alergen. Peningkatan
lendir hasil sekresi dari aksi sitokin, terutama IL-13, pada sel epitel bronkus.
4. Berapa paramater vital sign normal?
 Suhu : 37˚c
 Denyut nadi : 60-100x/menit. Lebih dari 100 disebut takikardia, kurang dari 60
disebut brakikardia
 Frekuensi napas : 14-20x/menit. Lebih dari 20 disebut tachypnea, kurang dari 14
disebut bradypnea
 Tekanan darah : kurang dari 120/80 mmHg
Berdasarkan anamnesis diatas, pasien memiliki tekanan darah normal, frekuensi nadi
normal, frekuensi nafas berlebihan (tachypnea), dan suhu sedikit demam
5. Bagaimana terbentuknya edema?

6. Apa yang membuat gatal, bentol kemerahan, dan edema?


Terjadi pelepasan isi granula sel mast
Materi (Hipersensitivitas)

 Hipersensitivitas tipe 1 : terjadi akibat reaksi antara Ig E terhadap antigen yang


menyebabkan pelepasan mediator dari sel mast
 Hipersensitivitas tipe 2 : tanpa Ig E yang bekerja langsung pada antigen dan dapat
merusak atau mengganggu fungsi sel
 Hipersensitivitas tipe 3 : antibodi terhadap antigen membentuk kompleks imun yang akan
terkumpul pada pembuluh darah. Lalu menyebabkan inflamasi dan cedera jaringan
 Hipersensitivitas tipe 4 : penyakit akibat reaksi limfosit T terhadap antigen di jaringan
PERTEMUAN 2
INFLAMASI
Penyebab Inflamasi
akut
1. Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) dan mikroba racun. Infeksi berbeda patogen
menimbulkan respon inflamasi yang berbeda, dari peradangan akut ringan yang
menyebabkan sedikit atau tidak berlangsung lama
2. Nekrosis jaringan menimbulkan peradangan, yang mungkin iskemia
(berkurangnya aliran darah), trauma, dan cedera fisik/kimia
3. Benda asing (serpihan, kotoran, jahitan) dapat menimbulkan peradangan. Bahkan
beberapa zat endogen merangsang berpotensi berbahaya peradangan jika sejumlah
besar disimpan di jaringan; zat tersebut termasuk kristal urat (pada penyakit asam
urat), dan kristal kolesterol (pada aterosklerosis).
4. Reaksi imun (hipersensitivitas) adalah reaksi dimana sistem kekebalan yang
biasanya protektif, menjadi merusak jaringan.
Kronik
1. Mikroorganisme yang sulit dibunuh
Mekanisme Inflamasi
Inflamasi Akut
menunjukkan respons yang cepat dan berlangsung sebentar. Respons ini
merupakan respons khas respons imunitas innate. ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
Peradangan akut memiliki tiga komponen utama: (1) pelebaran pembuluh
darah kecil, menyebabkan peningkatan aliran darah, (2) peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler, memungkinkan protein plasma dan leukosit untuk
meninggalkan sirkulasi darah, dan (3) emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi,
akumulasi mereka dalam fokus cedera, dan aktivasi mereka untuk menghilangkan
pelanggaran agen
Inflamasi Kronik
Inflamasi kronik merupakan inflamasi dengan durasi waktu yang lama.
Inflamasi kronik terjadi bila proses infalamasi akut gagal, dan bila antigen
menetap. ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag disertai dengan
proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan parut. Cedera jaringan luas
Tanda Inflamasi
a) Rubor (kemerahan), terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah berkumpul
pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh (kimia,
prostaglandin, histamin).
b) Tumor (pembengkakan), merupakan tahap kedua dari inflamasi, plasma
merembes ke dalam jaringan intestinal pada tempat cidera. Kinin mendilatasi
asteriol, meningkatkan permeabilitas kapiler.
c) Kolor (panas), dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah atau
mungkin karena pirogen yaitu substansi yang menimbulkan demam, yang
mengganggu pusat pengaturan panas pada hipotalamus
d) Dolor (nyeri), disebabkan pembengkakan pada pelepasan mediator kimia
e) Functio Laesa (hilangya fungsi), disebabkan oleh penumpukan cairan pada cidera
jaringan dan karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada daerah yang
terkena
Mediator inflamasi dan efeknya
 Vasodilatasi : prostaglandin dan nitrit oksida
 Peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien
C4, leukotrien D4, dan leukotrien E4
 Kemotaksis, aktivasi leukosit : leukotrien B4, kemokin (misalnya: interleukin 8
[IL-8])
 Demam : IL-1, IL-6, prostaglandin, faktor nekrosis tumor (TNF)
 Nyeri: prostaglandin dan bradikinin
 Kerusakan jaringan: nitrit oksida, enzim lisosom neutrofil dan makrofag

HIPERSENSITIVITAS TIPE 1
Hipersensitivitas cepat adalah reaksi yang diperantarai antibodi IgE dan sel mast terhadap
antigen → menyebabkan kebocoran vaskuler dan sekresi mukosa, sering diikuti inflamasi.
Kelainan ini disebut juga alergi atau atopi. Jenis alergi yang sering dijumpai adalah hay fever,
alergi makanan, asma bronkial, dan anafilaksis.
Rangkaian proses hipersensitivitas cepat dimulai dengan aktivasi Th2 dan sel T helper
folikuler (Tfh) pensekresi IL-4 yang merangsang produksi antibodi IgE pada reseptor Fc spesifik
sel mast. Lalu terjadi pengkaitan silang IgE yang terikat antigen dan pelepasan mediator sel mast.
Beberapa mediator sel mast menyebabkan peningkatan cepat permeabilitas vaskuler dan
kontraksi otot polos, menimbulkan banyak gejala. Reaksi vaskuler dan otot polos tersebut dapat
terjadi dalam beberapa menit. Mediator sel mast lainnya adalah sitokin yang mengerahkan
neutrofil dan eosinofil ke lokasi reaksi setelah beberapa jam.
Ag menginduksi ikatan silang ikatan IgE ke sel mast dan basofil dengan pelepasan
vasoaktif mediator.
Manifestasi seperti demam, asma, gatal-gatal, makanan alergi, dan eksim.
Aktivasi Sel Th2 dan Produksi Antibodi IgE
1) Ketika bertemu protein dalam serbuk sari, makanan tertentu, racun serangga, gigitan
binatang, atau obat tertentu (alergen) → tercetus respons Th2 kuat
2) Sekresi sitokin IL-4 dan IL-13 → merangsang limfosit B berubah menjadi sel plasma
yang memproduksi IgE
Aktivasi Sel Mast dan Sekresi Mediator
1) IgE dihasilkan sebagai respon terhadap alergen
2) IgE berikatan dengan reseptor Fc berafinitas tinggi yang ada pada sel mast
3) Sel mast ada di semua jaringan ikat khususnya di bawah epitel dan dekat pembuluh
darah. Sel mast yang teraktivasi oleh IgE tergantung jalur masuknya alergen. Ex : alergen
terhirup mengaktivasi sel mast di jaringan submukosa bronkus, sedangkan yang tertelan
mengaktivasi sel mast di dinding usus.
4) IgE menyelubungi sel mast (sensitisasi). Karena penyelubungan IgE spesifik antigen,
maka sel mast sensitif terhadap antigen selanjutnya
5) Setelah sensitisasi, sel mast melepaskan isi granula, sintesis dan sekresi mediator lipid,
dan sintesis dan sekresi sitokin.
a. Granula berisi amine vasoaktif dan protease.
b. Histamin sebagai amine utama, menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan merangsang kontraksi sementara otot
polos
c. Protease menyebabkan kerusakan jaringan lokal
d. Asam arakidonat termasuk prostaglandin menyebabkan dilatasi vaskuler dan
leukotrien yang merangsang kontraksi berkepanjangan otot polos
e. Sitokin mencetuskan inflamasi lokal, merangsang pengerahan leukosit (reaksi fase
lambat) [eosinofil, neutrofil, sel Th2]
f. TNF dan IL-4 menyebabkan inflamasi
g. Kemokin juga berperan dalam pengerahan leukosit
h. Eosinofil dan neutrofil melepaskan protease, menyebabkan kerusakan jaringan
i. Eosinofil komponen utama pada reaksi alergi yang diaktivasi oleh IL-5 yang
diproduksi sel Th2, sel limfoid alami, dan sel mast
j. Sel Th2 dapat memperberat reaksi dengan memproduksi lebih banyak sitokin
Respon hipersensitivitas I dibagi menjadi respon langsung dan fase akhir. Respons awal
terjadi dalam beberapa menit setelah paparan alergen dan, seperti dijelaskan di atas, hasil dari
pelepasan histamin, leukotrien, dan prostaglandin dari sel mast lokal.
Namun, beberapa jam setelah fase langsung dari tipe I reaksi hipersensitivitas mulai
mereda, mediator dilepaskan selama reaksi menginduksi inflamasi lokal, disebut reaksi fase
akhir.
Sitokin yang dilepaskan dari sel mast, terutama TNF- dan IL-1, meningkatkan
ekspresi molekul adhesi sel pada sel endotel venular, sehingga memfasilitasi
masuknya neutrofil, eosinofil, dan Sel TH 2 yang mencirikan fase respons ini.
Eosinofil memainkan peran utama dalam reaksi fase akhir
IL-3, IL-5, dan GM-CSF, berkontribusi pada pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel
ini, yang kemudian diaktifkan oleh pengikatan antigen berlapis antibodi. Hal ini
menyebabkan degranulasi dan pelepasan lebih lanjut dari mediator inflamasi
Neutrofil melepaskan isi granulanya, termasuk enzim litik, faktor pengaktif
trombosit, dan leukotrien
Reaksi hipersensitivitas cepat mempunyai gambaran klinis yang berbeda, dikaitkan pada
mediator yang dihasilkan sel mast dalam jumlah berbeda dan jaringan berbeda
Hay fever (rinitis dan sinusitis) adalah reaksi terhadap alergen yang terhirup. Sel mast di
mukosa nasal menghasilkan histamin dan sel Th2 menghasilkan IL-13 dan 2 mediator ini
menyebabkan peningkatan produksi mukus.
Alergi makanan, alergen tertelan memicu degranulasi sel mast dan pelepasan histamin
menyebabkan peningkatan peristaltik (ditandai dengan muntah dan diare)
Asma bronkial adalah bentuk dari alergi saluran nafas dimana alergen sering tidak
diketahui merangsang sel mast bronkus melepaskan mediator (leukotrien →
menyebabkan serangan berulang konstriksi bronkial dan obstruksi jalan napas). Pada
asma kronik, terdapat banyak eosinofil terakumulasi di mukosa bronkus, sekresi
berlebihan mukus di saluran napas, dan otot polos bronkus menjadi hipertrofi dan
hiperaktif terhadap berbagai stimuli. Pada beberapa orang yang terkena, asma mungkin
dipicu oleh dingin atau olahraga; di mana penyebab aktivasi sel mast masih belum
diketahui.
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang ditandai edema pada banyak jaringan termasuk
laring, disertai penurunan tekanan darah dan bronkokonstriksi. Penyebab tersering adalah
sengatan lebah, injeksi, atau konsumsi antibiotik golongan penisilin, konsumsi kacang
atau kerang. Reaksi ini disebabkan oleh degranulasi sel mast yang tersebar luas dan dapat
mengancam nyawa karena penurunan mendadak tekanan darah dan obstruksi jalan napas.

Terapi reaksi hipersensitivitas cepat bertujuan untuk menghambat degranulasi sel mast,
menetralkan efek mediator sel mast, dan mengurangi inflamasi.
ALERGI
Faktor :
1. Genetik : masih belum jelas apakah memang bisa diturunkan persis. Karena berdasarkan
penelitian, tiap individu memiliki respon yang berbeda-beda dan efek yang ditimbulkan
berbeda-beda. Akan tetapi, orang tua yang memiliki alergi kemungkinan besar akan
menularkannya ke anak.
2. Lingkungan : lingkungan memiliki pengaruh besar pada perkembangan alergi karena
dapat mempengaruhi fungsi jaringan. Waktu hidup juga berpengaruh. Anak-anak yang
sudah sering terpapar alergen/patogen memiliki kemungkinan besar untuk tidak alergi
saat beranjak dewasa. Hal tersebut disebabkan karena paparan awal kehidupan dan
infeksi menyebabkan pematangan sistem kekebalan dan pengembangan sel T. Oleh
karena itu, individu ini respon Th2 terhadap alergen berkurang dan kecil
kemungkinannya untuk menyebabkan penyakit alergi.
HIPERSENSITIVITAS TIPE 2

Antibodi selain IgE mengikat antigen di sel atau jaringan.


Reaksi yang dihasilkan dari pengikatan IgG atau IgM ke permukaan sel inang, yang
kemudian dihancurkan oleh mekanisme komplemen atau sel-mediasi
Ab diarahkan ke permukaan sel antigen memediasi sel penghancuran melalui komplemen
aktivasi atau ADCC.
Manifestasi reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis, dan autoimun anemia hemolitik.
Antibodi yang paling sering menyebabkan penyakit adalah autoantibodi melawan antigen
diri sendiri.
Antibodi spesifik untuk sel dan antigen jaringan dapat terdeposit dalam jaringan dan
menyebabkan kerusakan dengan adanya inflamasi lokal, fagositosis, respon seluler
 Inflamasi
Antibodi dengan antigen yang terdeposit dalam pembuluh darah
mencetuskan inflamasi dengan menarik dan mengaktifkan leukosit
1) IgG (IgG1 dan IgG3) berikatan dengan reseptor Fc neutrofil dan
makrofag
2) Leukosit teraktivasi
3) Terjadi inflamasi
4) IgG atau IgM mengaktivasi sistem komplemen jalur klasik →
leukosit dikerahkan dan tercetus inflamasi
5) Saat leukosit diaktivasi pada tempat deposisi antibodi, sel melepas
ROS dan enzim lisosomal yang merusak jaringan sekitar

 Opsonisasi dan fagositosis


Jika antibodi terikat pada sel, sel diopsonisasi, dapat ditelan dan
dihancurkan oleh fagosit inang

 Respon seluler abnormal


Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa merusak jaringan
Antibodi terhadap reseptor hormon dapat menghambat fungsi
reseptor
Antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi
neuromuskular → menyebabkan paralisis (kasus miastenia gravis)
Antibodi dapat langsung mengaktivkan reseptor
Antibodi terhadap reseptor untuk thyroid stimulating hormone
(TSH) merangsang sel tiroid meski tidak ada hormon tersebut
(kasus hipertiroidisme / graves disease)
HIPERSENSITIVITAS TIPE 3
Antibodi membentuk kompleks imun
reaksi kompleks antigen-antibodi disimpan pada sel inang menginduksi fiksasi
komplemen dan respon inflamasi berikutnya
Kompleks Ag-Ab yang disimpan di berbagai jaringan menginduksi aktivasi komplemen
dan respons inflamasi berikutnya yang dimediasi oleh infiltrasi masif neutrofil.
Manifestasi reaksi Arthus lokal dan reaksi umum seperti penyakit serum, vaskulitis
nekrotikans, glomerulonefritis, rheumatoid arthritis, dan lupus eritematosus sistemik.

HIPERSENSITIVITAS TIPE 4
Sel T peka melepaskan sitokin yang mengaktifkan makrofag atau sel Tc yang
menyebabkan kerusakan sel
Manifestasi seperti dermatitis, lesi tubercular, dan penolakan cangkok
Terjadi lambat, 24-48 jam setelah terpapar antigen. Sebab butuh waktu agar limfosit T
menghasilkan limfosit dan berefek
Penyebab utamanya adalah autoimunitas dan respons berlebih terhadap antigen
Kerusakan jaringan diikuti dengan respon sel T terhadap mikroba
Aktivasi sel T berlebihan dapat memicu produksi banyak sitokin inflamasi, menimbulkan
sindrom serupa syok septik
Pada penyakit yang diperantarai sel T, kerusakan jaringan disebabkan oleh inflamasi
yang dicetuskan oleh sitokin yang dihasilkan oleh sel T CD4+ atau oleh pembunuhan sel
inang oleh CTLS CD8+
Sel T CD4+ dapat melawan antigen dan sekresi sitokin → inflamasi lokal dan
mengaktifkan makrofag
Sel Th1 adalah sumber IFN gamma → aktivasi makrofag
Sel Th17 untuk pengerahan leukosit, termasuk neutrofil
Sel T CD8+ dapat langsung membunuh sel antigen

RECOVERY (robbins)
Pemulihan jaringan dapat terhambat akibat bermacam-macam pengaruh, bisa ekstrinsik (misal
infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang mengalami jejas.
 Infeksi merupakan penyebab terpenting yang menghambat proses pemulihan. Infeksi
akan memperpanjang proses radang dan berpotensi menambah luas tempat cedera
 Nutrisi berperan penting pada pemulihan, defisiensi protein, misalnya, pada khususnya
defisiensi vitamin C akan menghambat sintesa kolagen dan menghambat proses
penyembuhan
 Glukokortikoid (steroids) dikenal mempunyai efek anti-radang, pemberian obat ini
mengakibatkan lemahnya jaringan parut karena inhibisi produksi TGF-β dan
pengurangan fibrosis Pada beberapa keadaan pengaruh glukokortikoid menguntungkan.
Misalnya pada infeksi kornea, glukokortikoid dipergunakan (bersama antibiotik) untuk
mengurangi kemungkinan mata keruh akibat deposisi kolagen
 Variabel mekanik seperti tekanan lokal yang meningkat atau torsi dapat mengakibatkan
luka tertarik menjadi pecah (dehisce)
 Perfusi buruk akibat arteriosklerosis dan diabetes atau karena obstruksi drainase vena
(misal varices) juga akan menghambat penyembuhan.
 Benda asing misal fragmen besi, kaca, atau tulang juga akan mengganggu penyembuhan.
 Tipe dan luasnya jejas jaringan mempengaruhi proses pemulihan. Restorasi lengkap
hanya dapat terjadi pada jaringan yang terdiri atas sel stabil dan sel labil, kerusakan
jaringan yang terdiri atas sel permanen tidak dapat dihindarkan akan mengakibatkan
jaringan parut seperti pada infark miokardium.
 Lokasi jejas dan sifat jaringan tempat jejas berada juga menentukan. Contoh, inflamasi
yang berasal dari jaringan berongga (misalnya pleura, peritoneum, atau rongga sinovia)
akan menyebabkan terbentuknya eksudat yang ekstensif. Pemulihan terjadi dengan
pencernaan eksudat, diinisiasi oleh enzim proteolitik leukosit dan resorpsi eksudat yang
menjadi encer. Hal ini disebut resolusi, dan biasanya, apabila tidak ada nekrosis sel,
arsitektur normal jaringan akan pulih kembali. Apabila dijumpai akumulasi eksudat yang
banyak, akan terjadi organisasi eksudat. Jaringan granulasi tumbuh di dalam eksudat dan
akan terbentuk jaringan parut
 Aberasi pertumbuhan sel dan produksi ECM dapat terjadi pada awal penyembuhan luka.
Contohnya, akumulasi kolagen yang berlebihan akan mengakibatkan jaringan parut yang
tumbuh menonjol ke atas, disebut keloid (Gambar 2-32). Agaknya ada pengaruh
keturunan pada timbulnya keloid, keadaan ini lebih sering dijumpai pada orang Amerika
asal Afrika. Penyembuhan luka juga dapat menghasilkan jaringan granulasi yang
berlebihan dan menonjol sampai di atas permukaan jaringan kulit sekitarnya dan akan
mengganggu proses reepitelisasi. Jaringan tersebut disebut daging yang membanggakan
("proud flesh") jaman dahulu, dan untuk restorasi kontinuitas epitel dibutuhkan
kauterisasi atau reseksi bedah jaringan granulasi tersebut

Anda mungkin juga menyukai