Anda di halaman 1dari 6

Produksi IgE

IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah
yang mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang
mengalami inflamasi. IgE berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya.
IgE sebagian besar menempati jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast
dengan reseptornya yang disebut FcεRI. Ikatan antigen dengan IgE menyebabkan
terjadinya penggabungan silang antar reseptor yang berakibat tersekresinya mediator
kimia dari sel mast. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I.
Basofil dan eosinophil yang teraktivasi juga mengekspresikan FcεR sehingga
dua macam sel tersebut juga dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya
reaksi hipersensitif tipe I. Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen serta rute
presentasi tertentu. TH2 yang merupakan subset CD4 dapat membelokkan sisntesis
isotipe antibodi dari bentuk IgM menjadi IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4
dapat mengubah sintesis antibodi dari IgM menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit
dari IgM menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus dapat mempengaruhi
TH2 untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi IgE disebut alergen.
Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen
kecil yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering
menghirup berbagai macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE. Ada
beberapa kriteria sehingga protein mempunyai peran sebagai alergen inhalasi karena
dapat mengaktifkan TH2 dalam memicu perkembangan IgE. Pertama protein tersebut
harus menimbulkan terjadinya respon pada sel T. Kedua, protein tersebut harus
bersifat sebagai enzim aktif, dan kebanyakan alergen bersifat proteasis. Ketiga,
protein itu pada kadar yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T populasi CD4
membentuk IL-4. Keempat, protein tersebut mempunyai berat molekul yang rendah
sehingga dapat berdifusi masuk ke mukus. Kelima, protein alergen harus mudah larut.
Keenam protein tersebut harus tetap stabil dan tidak rusak pada kondisi kering.
Ketujuh, alergen tersebut harus mempunyai peptida yang dapat berikatan dengan
MHC kelas II dari host yang mengawali aktivasi sel T. Hampir semua alergen berupa
partikel kecil, dan berupa protein mudah terlarut contohnya berupa butir serbuk sari
dan kotoran tungau. Apabila terjadi kontak antara partikel alergen dengan mukosa
pada saluran pernafasan partikel tersebut segera larut dan berdifusi masuk mukosa.
Alergen umumnya dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis yang sangat
rendah. Artemisia artemisiifolia merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai potensi
menimbulkan alergi dari serbuk sarinya. Diperkirakan setiap tahun seseorang
menerima paparan melalui inhalasi tidak melebihi 1μg. Namun demikian, paparan
tersebut dapat menimbulkan iritasi dan bahkan mengancam hidup seseorang yang
peka. Reaksi itu diperantarai oleh antibodi IgE yang sekresinya dipacu oleh TH2.
Sangat penting untuk diketahui bahwa hanya orang-orang tertentu yang merespon
substansi tersebut dan membuat antibodi IgE melawan substsubstansi itu, namun
tidak bagi yang lain. Nampaknya kehadiran antigen transmukosa pada level yang
sangat rendah merupakan cara yang sangat efisien menginduksi respon IgE yang
dipacu oleh TH2. Produksi antibodi IgE memerlukan bantuan TH2 yang mensekresi
IL-4 dan IL-13. Peran TH2 dapat dihambat oleh TH1 yang memproduksi interferon-γ
(IFN- γ). Presentasi antigen pada dosis yang sangat rendah akan memungkinkan
terjadinya aktivasi TH2 dan tidak menyebabkan aktivasi TH1, dan banyak alergen
yang masuk sistem respirasi dengan dosis yang sangat rendah. APC yang dominan
pada sistem respirasi adalah sel dendritik. Sel dendritik memproses antigen yang
berupa protein secara efisien dan sel tersebut mengalami aktivasi.
Selanjutnya sel dendritik akan melakukan migrasi menuju lymph node dan
berdiferensiasi menjadi APC yang mengekspresikan molekul kostimulator dan
membantu deferensiasi TH2. Banyak bukti yang memperkuat bahwa IgE mempunyai
peran sebagai pertahanan terhadap parasit. Banyak parasit yang menginvasi host
dengan mensekresi enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan konektif yang
memungkinkan parasit menerobos jaringan pada host. Enzim ini diduga mempunyai
peranan mengaktivasi TH2. Alergen utama pada feses Dermatophagoides
pteronyssimus yang menimbulkan alergi pada 20% populasi di Amerika Utara berupa
sistein protease yang mirip dengan enzim papain yang disebut Der p1. Der p1
merupakan suatu enzim yang dapat memecah okludin. Okludin adalah protein
intraseluler komponen tight junction. Dengan rusaknya intergrasi tight junction di
antara sel-sel epitel memungkinkan Der p1 menjangkau beberapa sel yang terletak
pada subepitel misalnya APC, sel mast, dan eosinofil.
Molekul alergen semakin kuat pengaruhnya karena daya proteolitik yang
dimilikinya terhadap reseptor tertentu yang terletak pada sel B dan sel T. Der p1
mempunyai kemampuan memecah komponen IL- 2Rα, CD25, dari sel T. Hilangnya
reseptor IL-2 dapat mengganggu survival dan aktivitas sel TH1 dan menyebabkan
terjadinya aktivitas sel TH2. Protease papain dari buah pepaya yang digunakan untuk
melunakkan daging dapat menyebabkan alergi bagi seseorang kontak dengan enzim
tersebut. Alergi yang sama terdapat pada kasus asma yang disebabkan oleh inhalasi
enzim subtilisin dari bakteri. Injeksi enzim papain aktif pada mencit menstimuli
sintesis IgE. Kimopapain merupakan enzim yang mirip papain, digunakan pada medis
untuk merusak intervertebrata discs pada pasien yang menderita linu punggung.
Penggunaan kimopapain ini dapat menyebabkan anafilaksis, merupakan respon
sistemik terhadap suatu alergen. Tidak semua alergen berupa enzim, bahkan ada
alergen yang merupakan penghambat enzim, contohnya alergen yang berasal dari
cacing filaria.

Mekamisme efektor pada reaksi alergi

Reaksi alergi terpicu jika alergen berikatan silang dengan IgE yang telah
terikat sel mast. Sel mast mempunyai reseptor FcεRI yang dapat mengikat IgE. Sel
mast mempunyai fungsi sebagai pemberi peringatan adanya infeksi pada daerah
dimana sel tersebut berada. Sel mast yang teraktivasi akan mensekresikan sitokin
proinflamasi yang tersimpan pada granula dan juga mensintesis prostagladins,
leukotrin, dan sitokin lain. Pada alergi, sel mast menimbulkan reaksi terhadap antigen
yang sebenarnya tidak berbahaya. Reaksi-reaksi yang berkembang itu sebenarnya
tidak ada kaitannya dengan invader yang seharusnya dieliminasi. Seberapa berat
akibat aktivasi sel mast oleh IgE sangat tergatung dengan banyaknya antigen yang
masuk dan juga rutenya. Pada kasus alergi serbuk sari, simtom dapat ringan berupa
pilek, namun di pihak lain dapat menyebabkan kematian jika terjadi kolap pada
sistem sirkulasi, misalnya terjadi anafilaksis sistemik.
Alergi fase cepat yang ditimbulkan oleh degranulasi sel mast diikuti oleh
inflamasi yang berkelanjutan, yang dikenal dengan istilah respon fase lambat. Respon
fase lambat ini melibatkan perekrutan sel-sel efektor, terutama limfosit TH2, basofil,
dan eosinofil yang berkontribusi pada imunopatologi pada reaksi alergi.

Kebanyakan IgE terikat pada sel dan terlibat pada mekanisme efektor

Antibodi berikatan dengan sel-sel efektor misalnya dengan sel mast. Antibodi
tersebut berikatan menggunakan Fc yang terletak pada bagian konstan dengan
reseptor Fc yang terletak pada sel mast. Kebanyakan antibodi melakukan ikatan
dengan reseptor Fc apabila sisi variabel antibodi berikatan dengan antigen spesifik
membentuk kompleks antigen:antibodi. IgE merupakan suatu perkecualian dari
semua antibodi sehubungan dengan ikatannya dengan reseptor Fc. IgE mempunyai
daya ikat dengan reseptor Fc dengan afinitas yang sangat tinggi walupun IgE tidak
berikatan dengan antigen. IgE berbeda dengan antibodi lain yang umumnya terdapat
pada cairan tubuh, IgE banyak terdapat pada jaringan yaitu pada sel mast yang
mempunyai reseptor Fc dan juga pada basofil yang bersirkulasi serta pada eosinofil
yang teraktivasi.
Ikatan antigen pada antibodi yang telah melekat pada sel akan memicu sel
tersebut untuk melakukan aktivasi yaitu pada tempat dimana antigen itu masuk pada
jaringan. Tersekresinya faktorfaktor proinflamasi baik berupa lipid, sitokin, dan
kemokin oleh sel-sel efektor yang mengikat IgE:antigen, akan memacu terjadinya
perekrutan eosinofil dan basofil untuk meningkatkan reaksi hipersensitif tipe I.
Kejadian di atas juga menyebabkan terekrutnya sel efektor lain seperti limfosit T
yang dapat memediasi terjadinya reaksi hipersensitif tipe IV.
Ada dua macam reseptor yang dapat mengikat IgE.
Pertama, FcεRI. FcεRI merupakan reseptor yang mempunyai afinitas
pengikatan yang tinggi terhadap IgE. FcεRI terdapat pada permukaan sel mast,
basofil, dan eosinofil yang teraktivasi. Ketika terjadi ikatan silang (cross-link) antar
IgE dipermukaan sel oleh antigen, maka akan terjadi signal transduksi melalui FcεRI
untuk mengaktivasi sel tersebut. Banyaknya sekeresi IgE pada suatu individu seperti
yang terjadi pada penderita penyakit alergi maupun infeksi parasit akan memicu
peningkatan ekspresi FcεRI pada sel mast, peningkatan kepekaan sel mast pada
antigen walaupun konsentrasinya sangat rendah, dan peningkatan sitokin dan
mediator lainnya yang sekresinya terkait dengan keberadaan IgE. Reseptor lain yang
mempunyai kompetensi terhadap IgE adalah FcεRII. FcεRII sering dikenal dengan
nama CD23, suatu lektin yang strukturnya tidak ada hubungan dengan FcεRI. FcεRII
mengikat IgE dengan afinitas yang sangat rendah. FcεRII menyebar pada berbagai sel
termasuk sel B, monosit, eosinofil, platelet, sel dendritik, sel epitel timus, dan sel T
yang teraktivasi.
FcεRII diduga berperan penting pada pengaturan konsentrasi IgE, namun
mencit CD23-/- menunjukkan respon IgE normal. Dari model mencit CD23-/-
akhirnya diketahui bahwa CD23 berperan pada peningkatan jumlah produksi IgE.
Respon terhadap suatu antigen spesifik akan meningkat jika antigen tersebut
mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan IgE. Namun peningkatan respon
tersebut tidak terjadi pada mencit CD23-/-. Kejadian di atas dijadikan suatu alasan
bahwa CD23 pada APC mempunyai peranan untuk menangkap antigen yang
melakukan ikatan dengan IgG.
Sel mast tinggal pada jaringan dan menyebabkan terjadinya alergi

Sel mast pada awalnya ditemukan oleh Ehrlich. Sel tersebut ditemukan pada
mesenterium kelinci dan diberi nama Mastzellen, yang artinya sel gemuk. Sel mast
sebagaimana basofil mempunyai granula yang menyimpan proteoglikan dengan pH
yang sangat rendah. Keberadaan granula yang sangat asam ini dapat diperiksa dengan
mudah dengan bukti adanya ikatan dengan pewarna basa.
Sel mast berasal dari sumsum tulang namun pemasakannya di luar sumsum
tulang. Sel mast sering menempati daerah yang sering terekspos oleh patogen dan
alergen. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel mast
adalah IL-3 dan semua sitokin yang berhubungan dengan TH2 seperti misalnya IL-4
dan IL-9. Sel mast yang mempunyai cacat pada gen Kit tidak dapat berdiferensiasi
secara sempurna. Meskipun sel tersebut mempunyai kemampuan memproduksi IgE,
namun tidak dapat memediasi inflamasi yang umumnya diperantarai IgE.
Aktivasi sel mast sangat ditentukan oleh aktivasi phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3-
kinase) oleh Kit. In-aktivasi p110δ yang merupakan isoform PI 3-kinase
menyebabkan mencit tidak mempunyai kepekaan terhadap agen alergen. Kenyaataan
tersebut menjadikan p110δ sebagai target penting untuk terapi penyakit alergi
ataupun penyakit lain yang munculnya terkait
dengan kerja sel mast.

Anda mungkin juga menyukai