Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENUGASAN INDIVIDU

ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN HIPERSENSIVITAS, SLE, SJS, ITP DAN PENCEGAHAN
PENANGANAN HEPATITIS DAN APENDISITIS
Keperawatan Medikal Bedah 2

NADIA TITIA MARGARINE


16031023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes HANG TUAH PEKANBARU
PEKANBARU
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
HIPERSENSITIVITAS, SJS, SLE, DAN ITP
1. Pendahuluan  
Definisi
Tubuh manusia memiliki pertahanan tubuhnya sendiri yang berfungsi melawan dan
menangkal benda-benda asing yang masuk dalam tubuh. Sistem imun ini juga mampu
mengenali perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh atau
sistem imun adalah sistem perlindungan dari pengaruh luar biologis yang dilakukan
oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme sehingga tidak mudah terkena penyakit.
Sistem imun yang bekerja dengan baik akan melindungi tubuh dari infeksi bakteri dan
virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Sebaliknya, jika
sistem imun melemah, maka kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang,
sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus penyebab demam dan flu, dapat mudah
masuk dan berkembang dalam tubuh. Sistem imun juga memberikan pengawasan
terhadap pertumbuhan sel tumor. Terhambatnya mekanisme kerja sistem imun telah
dilaporkan dapat meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker. (Ismanidar dkk,
2017)
Fisiologi Sistem Imun
Sistem imun memiliki fungsi utama yaitu melindungi tubuh dari serangan benda asing
atau bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Menghilangkan jaringan sel yang mati
atau rusak (debris cell) untuk perbaikan jaringan. Mengenali dan menghilangkan sel
yang abnormal. Menjaga keseimbangan homeostatis dalam tubuh.
Ada dua macam klasifikasi sistem imun: satu diperantarai terutama oleh sel B dan
antibodi dalam sirkulasi, dan dinamakan respon imun humoral (berasal dari cairan tubuh
= humor). Cabang yang satunya, diperantarai oleh sel T, yang tidak mensintesis
antibodi, tetapi mensintesis dan melepas bermacam-macam sitokin yang mempengaruhi
sel-sel yang lainnya.
a. Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi serum, yang merupakan protein
yang disekresi oleh sel B. Sel B yang diaktifkan, akan mensekresi antibodi,
setelah pengikatan antigen ke membran molekul imunoglobulin (Ig), yaitu
reseptor sel B (BCR), yang diekspresikan oleh sel B tersebut. Sudah
diperkirakan bahwa setiap sel B mengekspresikan sampai 105 BCR dari
spesifisitas yang sama. Sekali diikat, sel B menerima signal untuk memulai
mensekresi bentuk imunoglobulin ini, yang merupakan suatu proses yang
menginisiasi respon antibodi yang optimal dengan maksud untuk mengeliminasi
antigen dari hospes. Antibodi adalah suatu campuran heterogenus dari globulin
serum, yang saling bekerja sama untuk menunjukkan kemampuan mengikat
antigen spesifik. Semua globulin serum dengan aktivitas antibodi dinamakan
imunoglobulin Semua molekul immunoglobulin mempunyai struktur umum
yang memungkinkan untuk melakukan dua hal : (1) mengenal dan mengikat
secara spesifik struktur unik yang ada pada antigen, yang disebut epitop, dan (2)
menampilkan fungsi biologik setelah berkombinasi dengan antigen. (Uraian
tentang struktur imunoglobulin lebih lanjut, diberikan oleh pengampu mata
kuliah imunologi yang lain). Ikatan antara antigen dengan antibodi tidak
kovalen, tetapi tergantung pada bermacam-macam ikatan dengan kekuatan yang
lemah, seperti ikatan hidrogen, van der Waals, ikatan hidrofobik. Karena sifat
ikatan yang lemah ini, kesuksesan ikatan antara antigen dan antibodi tergantung
pada area yang sangat dekat dan sesuai, yang dapat dibayangkan seperti kontak
antara kunci dan gembok (a lock and a key).
Produksi IgE
IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang
mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang
mengalami inflamasi. IgE berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal
lokasinya. IgE sebagian besar menempati jaringan dan berikatan dengan
permukaan sel mast dengan reseptornya yang disebut FcεRI.
b. Imunitas Seluler
Imunitas seluler, terutama diperantarai oleh sel T. Tidak seperti sel B, yang
memproduksi antibodi larut yang disirkulasi untuk mengikat antigen spesifik,
setiap sel T, mengekspresikan beberapa reseptor antigen yang identik, yang
dinamakan T cell receptors (TCR), bersirkulasi langsung di sisi aktif antigen dan
membentuk fungsinya, apabila berinteraksi dengan antigen.

2. HIPERSENSITIFITAS
Definisi
Alergi atau Hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya.
Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat
terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen
memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan.
Patofisiologi
IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang
mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami
inflamasi. IgE berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian
besar menempati jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast dengan
reseptornya yang disebut FcεRI. Ikatan antigen dengan IgE menyebabkan terjadinya
penggabungan silang antar reseptor yang berakibat tersekresinya mediator kimia
dari sel mast. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I. Basofil
dan eosinofil
yang teraktivasi juga mengekspresikan FcεR sehingga dua macam sel tersebut juga
dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya reaksi hipersensitif tipe I.
Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen serta rute presentasi tertentu. TH2
yang merupakan subset CD4 dapat membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari
bentuk IgM menjadi IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah
sintesis antibodi dari IgM menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit dari IgM
menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus dapat mempengaruhi TH2
untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi IgE disebut alergen.
Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen kecil
yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering
menghirup berbagai macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE.
Ada beberapa kriteria sehingga protein mempunyai peran sebagai alergen inhalasi
karena dapat mengaktifkan TH2 dalam memicu perkembangan IgE. Pertama protein
tersebut harus menimbulkan terjadinya respon pada sel T. Kedua, protein tersebut
harus bersifat sebagai enzim aktif, dan kebanyakan alergen bersifat proteasis.
Ketiga, protein itu pada kadar yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T
populasi CD4 membentuk IL-4. Keempat, protein tersebut mempunyai berat
molekul yang rendah sehingga dapat berdifusi masuk ke mukus. Kelima, protein
alergen harus mudah larut. Keenam protein tersebut harus tetap stabil dan tidak
rusak pada kondisi kering. Ketujuh, alergen tersebut harus mempunyai peptida yang
dapat berikatan dengan MHC kelas II dari host yang mengawali aktivasi sel T.
Tipe II Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupaimunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi
komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat
pula menimbulkan kerusakan jaringan. 
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks
imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil.Manifestasinya di kornea dapat berupa keratitis herpes
simpleks, keratitis karena bakteri (stafilokokus, pseudomonas), dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen,
dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi
penolakan pasca keratoplasti, keratonjungtivitis flikten, keratitis Herpes
simpleks, dan keratitis diskiformis.
Etiologi  
Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas
juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
b.     Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya

Ikan  15,4 % Apel  4,7 %


Telur  12,7 % Kentang  2,6 %
Susu  12,2 % Coklat  2,1 %
Kacang  5,3 % Babi  1,5 %
Gandum Sapi
4,7 % 3,1 %

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
Terapi nutrisi
Diet. Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang
menyebabkan alergen.
Pemeriksaan penunjang
1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan biaya
yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan.
Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4
jam. Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi
oleh obat-obatan.
2.       Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya 
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada
kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak
menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu
30 menit. Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah
gatal. Syarat tes ini :
a.      Pasien harus dalam  keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin
(obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
b.     Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
3. Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes.
Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi Hipersensitivitas yang segera
pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut
terdapat kompleks IgE mast.

4.  Patch Test (Tes Tempel)


Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul
bercak kemerahan dan melenting pada kulit. Syarat tes ini :
a. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi,
posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
b. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti
bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol,
merah, gatal.

5.  Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup
dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek
alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak
nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok.

6.  Uji gores (scratch test)


Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi
sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.

7.  Uji intrakutan atau  intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan
derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena
mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak,
meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.

    8.     Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya
dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi.
Askep Hipersensitivitas
Pengkajian
 Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,pekerjaaan,   agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
Keluhan utama
Pasien mengeluh sakit, kemerahan pada kulit dan terasa gatal.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibulkemerahan pada
kulit, mual muntah dan terasa gatal.
Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sesak nafas,
demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah, dan terasa
gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu, riwayat
alergi sebenarnya.
Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama, atau memiliki riwayat alergi.
Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya.
Pemeriksaan fisik
a. Kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas
garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan
katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c. Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, adakah tanda-tanda misalnya: allergic crease, allergic shiners, allergic
facies.
e. Mulut dan orofaring, pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang
maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu
serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu
pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
Pemeriksaan Diagnostik.
a.      Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
b.     Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
c.      Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.
Kebutuhan Pernafasan
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur
respirasi rate.
Kebutuhan Makan
Dikaji apakan ada riwayat alergi terhadap makanan tertentu. Dikaji pula apakah klien
menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien mengalami mual
atau muntah ataupun kedua-duanya.
Kebutuhan Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan
(lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya
saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami
alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi
yang akan diberikan untuk kesembuhannya. Dikaji pula pengetahuan tentang
pencegahan alergi. Dan faktor pemicu alergi.

Diagnosa Keperawatan
1.   Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen
2.   Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3.   Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal,intrademal
sekunder
4.   Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen).

Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama ........ diharapkan pasien menunjukkan
pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
b.  Pasien tidak merasa sesak lagi
c.  Pasien tidak tampak memakai otot bantu pernapasan
d.  Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

 Intervensi :
a.      Manajemen jalan napas.
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat
upaya  pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
2.      Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels,
mengi, gesekan pleura.
3.      Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi (posisi semi fowler atau fowler).
4.      Observasi pola batuk dan karakter secret.
5.      Ajarkan batuk efektif.
6.      Lakukan hisap secret secara periodik pada pasien tidak sadar.

           Kolaborasi:
1.      Berikan oksigen sesuai kebutuhan.

b.      Manajemen Asma.
1.     Kaji pola napas pasien. Identifikasi bersama pasian tentang penyebab serangan
asma.
2.     Anjurkan pasien untuk menghindari pemicu asma.
3.     Identifikasi bersama pasien tanda dan gejala sebelum serangan dan ajarkan pasien
cara menanganinya.
Kolaborasi:
1.     Berikan obat bronkodilator.
2.     Berikan nebulizer saat periode akut.

c.       Manajemen Alergi.
1.     Identifikasi alergi yang diketahui pasien.
2.     Anjurkan pasien untuk melaporkan laergi yang diketahui pada petugas kesehatan.
3.     Pakaikan gelang alergi pada pasien.
4.     Catat riwayat alergi dalam rekam medis pasien.
5.     Anjurkan pasien mengikuti semua prosedur pengobatan.
6.     Waspadai adanya reaksi anafilaksis.
7.     Berikan pertolongan segera jika terjadi reaksi anafilaksis.
Kolaborasi:
1.     Kolaborasi pemberian obat anti alergi.
2.     Kolaborasi pemberian adrenalin segera jika terjadi reaksi anafilaksis.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses  inflamasi


Tujuan : setelah diberikan askep selama ..................... diharapkan suhu tubuh
pasien normal.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b. Napas pasien dalam rentang normal.

Intervensi :
1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
2.  Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
3. Berikan kompres hangat.
4. Anjurkan pasien banyak minum.
Kolaborasi:
1.   Berikan terapi antipiretik sesuai instruksi.

3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen farmaceutikal,


gangguan metabolisme.
Tujuan : setelah diberikan askep selama  .......................  diharapkan pasien tidak
akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
a. Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema.
b.  Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma.
c. Kerusakan integritas kulit berkurang.
Intervensi :
1. Periksa kulit adanya kemerahan, luka, oedema.
2. Berikan perawatan terhadap luka.
3. Jaga kebersihan luka.
4. Anjurkan pasien untuk tidak mengenakan pakaian yang terlalu ketat.

3. Sindrom Stevens-Johnson (SJS)


Definisi
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai macula,
vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. Sindrom ini pertama kali
ditemukan pada 1922. Sesuai namanya penyakit ini ditemukan oleh dua orang dokter
yang bernama dr. Stevans dan dr. Jonhson. (Ramayanti, 2011)
Maninfestasi
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan pada
mata berupa konjung-tivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis,
serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh makula dan papula yang
segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi
dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik
berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran.
Ulkus nekrosis ini mudah mengalami perdarahan dan menjadi krusta kehi-taman. Lesi
oral cenderung lebih yang hebat dapat menyebabkan pasien tidak dapat makan dan
menelan, banyak terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang
sering terlibat adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat
mencapai faring, saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada
gusi. Lesi oral sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan
keluhan sulit bernafas. (Ramayanti, 2011)
Etiologi
Etiologi sindrom Stevens- Johnson bersifat multifaktorial, sedang-kan etiologi pasti
belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat
secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi
pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit
kolagen. (Ramayanti, 2011)
Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui namun
ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Meka-nisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memi-
cunya. Sindrom Stevens-Johnson mun-cul biasanya tidak lama setelah obat disuntik
atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan
langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. (Ramayanti,
2011)
Gejala Klinis
Secara umum gejala klinis sindrom Stevens-Johnson didahului gejala prodromal
yang tidak spesifik seperti demam, malaise, batuk, sakit kepala, nyeri dada, diare,
muntah dan artralgia. Gejala prodromal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaanringan kesadaran pasien baik,
sedangkan keadaan yang berat gejalagejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran
pasien menurun bahkan sampai koma. (Ramayanti, 2011)
Gejala Pada Kulit
Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat
juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya
bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit
berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka
tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam
waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang
sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan
pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh permukaan
tubuh. (Ramayanti, 2011)
Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi,
ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening.
Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat
perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai
kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu
adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar. Terbentuknya
purpura pada lesi kulit memberikan prognosis yang buruk. (Ramayanti, 2011)
Gejala Pada Mata
Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens Johnson. Kelainan
yang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis kelopak mata seringkali
menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata.
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang
menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak mata,
uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi
lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan
kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan. (Ramayanti, 2011)
Gejala Pada Genital
Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis
adalah inflamasi pada glans penis. Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan
gejala klasik berupa secret uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering
buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya
melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva,
gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. Sindrom
Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflammed
anal. (Ramayanti, 2011)
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnson
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam bentuk
lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis sindrom Stevens-Johnson terutama
berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit
yang secara umum meliputi (Ramayanti, 2011):
1. Rawat inap Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol
setiap hari keadaan penderita.
2. Preparat Kortikosteroid Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan
life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat
segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg pada
hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan
preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
3. Antibiotik Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi
menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia yang
dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin
dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600mg
intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
4. Infuse dan Transfusi Darah. Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita
adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita
sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral
dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan
penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita
dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
5. KCl. Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami
penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500
mg sehari peroral.
6. Adenocorticotropichormon (ACTH). Penderita perlu diberikan ACTH untuk
menghindari terjadinya supresi korteks adrenal akibat pemberian kortikosteroid.
ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg.
7. Agen Hemostatik. Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai
purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
8. Diet. Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka
waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,
dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan
protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah
garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair,
terutama pada penderita yang sukar menelan.
9. Vitamin. Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C.
Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C
diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama
pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin
dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler.
4. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan
ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE
ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt, 2003). Menurut dokter umum
Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra (2008) , Lupus
atau SLE berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal
sejak abad ke-10. Sedang eritematosus berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam
merah pada kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi.
Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus
Erythematosus. (Roviati, 2012)
Gejala awalnya sering memberikan keluhan rasa nyeri di persendian. Tak hanya itu,
seluruh organ pun tubuh terasa sakit bahkan terjadi kelainan pada kulit, serta tak jarang
tubuh menjadi lelah berkepanjangan dan sensitif terhadap sinar matahari. Autoimun
maksudnya, tubuh penderita lupus membentuk daya tahan tubuh (antibodi) tetapi salah
arah, dengan merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah dan lain-
lain. Padahal antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri atau virus yang
masuk tubuh. Sedangkan sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir
seluruh organ tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini bisa
berkepanjangan, kadang ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh lagi. masuk tubuh.
Sedangkan sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir seluruh organ
tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini bisa berkepanjangan, kadang
ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh lagi. (Roviati, 2012)
terdapat tiga jenis penyakit lupus, yaitu lupus diskoid, lupus terinduksi obat dan lupus
sistemik atau SLE ini.
maninfestasi Lupus
Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tak spesifik,
antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas, demam, mual,
nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak khas ini mirip
dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh karena gejala penyakit ini sangat luas dan
tidak khas pada awalnya, maka tidak sembarangan untuk mengatakan seseorang terkena
penyakit lupus. Akibat gejalanya mirip dengan gejala penyakit lainnya, maka lupus
dijuluki sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si penyakit seribu wajah.
Karena itu, biasanya pasien melakukan shopping doctor (berpindah-pindah dokter)
sebelum diagnosis penyakitnya dapat ditegakkan. (Roviati, 2012)
Menurut American College Of Rheumatology 1997, yang dikutip Qiminta, diagnosis
SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari
11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan
kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
SLE menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang parah di
hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan yang ada pada
ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang mengelilinginya mengalami
pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi oleh tubuh yang
seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Penderita biasanya tidak menyadari adanya gangguan pada
ginjalnya, hingga kerusakannya menjadi parah, bahkan mungkin baru disadari setelah
ginjal mengalami kegagalan. Peradangan pada penderita SLE juga dapat terjadi pada
selaput dalam, selaput luar dan otot jantung. Jantung dapat terpengaruh meskipun tidak
pernak mengalami gejala gangguan jantung. Masalah yang paling umum adalah terjadi
pembengkakan pada endokardium dan katup jantung. SLE juga menyebabkan

peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama di bagian pipi dan hidung.

Gambar 1. Peradangan pada sendi dan otot


Hampir seluruh penderita SLE mengalami rasa sakit dan peradangan sendi. SLE dapat
mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling umum adalah tangan, pergelangan
tangan dan lutut. Terkadang sendi-sendi mengalami pembengkakan. Selain itu otot juga
tidak luput dari serangan SLE. Biasanya penderita mengeluhkan rasa sakit dan
melemahnya otot-otot atau jaringan otot mengalami pembengkakan. Pada stadium
lanjut, SLE dapat menyebabkan kematian tulang yang disebut dengan osteonekrosis.
Hal ini dapat menyebabkan cacat yang serius.
SLE dapat menyerang sistem syaraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh darah di
kepala yang tidak normal dan organic brain syndrome, yaitu masalah yang serius pada
memori, konsentrasi dan emosi serta halusinasi. Selain itu, serangan pada paru-paru dan
darah juga biasanya terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa peradangan,
perdarahan, penggumpalan darah pada arteri, kontraksi pembuluh darah dan
pembengkakan paru-paru. Sedangkan penurunan jumlah sel darah merah dan sel darah
putih sehingga menyebabkan anemia.
Patofisiologi
Temuan patologis SLE terjadi di seluruh tubuh dan diwujudkan oleh peradangan,
kelainan pembuluh darah yang mencakup baik vasculopathy dan vaskulitis, dan deposisi
kompleks imun. Hasil SLE dari reaksi abnormal terhadap resiko tubuh itu sendiri
jaringan, sel, dan protein serum. Dengan kata lain, sebagai penyakit autoimun, SLE
ditandai dengan penurunan toleransi tubuh terhadap penyakit (Black & Hawks, 2009
dalam Azizah 2013).
Etiologi dan Mekanisme Penyakit SLE
Penyebab atau etiologi dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit SLE, yaitu faktor jenis kelamin,
hormonal, dan faktor faktor genetik dapat menjadi predisposisi terjadinya SLE, hal ini
dibuktikan konkordansi penyakit SLE pada kembar identik adalah sekitar 20-25% dan
bahwa dalam kembar dizigot adalah sekitar 5% (Mok & Lau, 2013 dalam Azizah 2013).
Selain faktor diatas, faktor lingkungan yang dapat menjadi relevan dengan kejadian SLE
diantaranya faktor kimia seperti pewarna rambut, sinar ultraviolet, rokok, obat-obatan
(procainamide, hydralazine, chlorpomazine, isoniazid, phenytoin, penicillamine), faktor
makanan (L-canavanine/alfalfa sprouts, dan intake lemak jenuh yang berlebihan, faktor
agen infeksius seperti retrovirus dan endotoksin atau bakterial DNA, faktor hormon
(hormonal replacement therapy, kontrasepsi oral, dan prenatal yang terekspose dengan
estrogen) (Mok & Lau, 2013 dalam Azizah 2013).
Para dokter dan peneliti belum dapat mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan
penyakit ini. Hereditas memegang peranan yang cukup besar, karena jika kita memiliki
kerabat yang menderita SLE ada potensi pada tubuh kita untuk menderita SLE. Namun
faktor gen ini bukan satu-satunya penyebab, karena sepertinya timbulnya penyakit ini
dipicu dengan cara yang belum diketahui. Beberapa pemicu yang banyak diajukan oleh
peneliti sebagai pemicu SLE diantaranya adalah infeksi virus, stress, diet, toksin,
termasuk beberapa jenis obat-obatan yang diresepkan dokter. Pemicu-pemicu ini,
sedikit dapat menjelaskan mengapa penyakit ini timbul dan hilang silih berganti.
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu munculnya SLE diantaranya adalah
sinar ultraviolet, obat-obatan dan virus, yaitu Epstein-Barr Virus (EBV). Mekanisme
pertama yang dicurigai sebagai penyebab SLE adalah faktor genetis. Beberapa gen yang
paling penting dalam kejadian SLE adalah yang terdapat pada Major Histocompatibility
Complex (MHC). Gen-gen ini berhubungan dengan respons imun pada sel limfosit T,
sel B, makrofag dan sel dendritik, karena mengkode peptida pada molekul reseptor di
permukaan sel (Rahman & Isenberg, 2008).
Pada penderita lupus, sistem imun tubuh memproduksi antibodi yang melawan
tubuhnya sendiri, terutama protein yang terdapat di nukleus. SLE juga dipicu oleh
faktor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus) pada orang-orang
yang memiliki kombinasi gen-gen tertentu dalam sistem imunnya.

Gambar 2. Pembentukan kompleks imun pada peredaran darah pada pasien SLE
Akar penyebab lupus adalah disfungsional sistem imun. Pada orang sehat, sel-sel
limfositnya memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan protein
komplemen yang akan membentuk struktur glikoprotein. Pada penderita SLE, sel-sel ini
kehilangan struktur glikoprotein tertentu, sehingga bentuk permukaan sel menjadi
berbeda dibandingkan dengan sel-sel sehat yang mengakibatkan sel-sel imun melakukan
kesalahan dengan menganggap sel-sel tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan
penyerangan terhadapnya (gambar 4). Hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala
seperti peradangan kulit dan sendi, kelelahan yang ekstrim, kerusakan ginjal dan
seterusnya.
Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan adanya penyakit Systemic Lupus Erythematosus dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium khusus yang disebut sebagai Antinuclear Antibody (ANA)
dan Anti Double Stranded DNA.
Pada kasus penyakit lanjut, sering didapatkan adanya cairan di rongga paru atau di
rongga jantung yang menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini mirip dengan
penyakit jantung kronis atau penyakit paru kronis, sehingga menyebabkan salah
diagnosa dan berakhir dengan kematian. Kebocoran ginjal akan segera terjadi bila
penyakit ini tidak diobati dengan tepat, dan ditandai dengan meningkatnya kadar
albumin pada pemeriksaan air seni serta bengkak-bengkak di seluruh tubuh.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan kadar ANA, Anti Double
Stranded DNA, disertai dengan kurangnya sel darah merah (anemia), menurunnya
jumlah sel darah putih, dan menurunnya sel pembeku darah.
Pendidikan Kesehatan
Bagi yang belum terdiagnosis penyakit lupus ini, cara pencegahan adalah dengan
mengikuti gaya hidup sehat, mengkonsumsi makanan yang cukup gizi dan berolahraga.
Pun pada penderita SLE yang berada pada tahap belum parah, dengan menghindari
faktor pencetus dan bergaya hidup sehat, dapat mengurangi frekuensi kambuhnya
penyakit ini dan mengurangi tingkat keparahannya.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2.  Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal. Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5.  Sistem integumen. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan. Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler. Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
8. Sistem Renal. Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
Diagnosa Keperawatan
a)      Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b)      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c)      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Intervensi
1.      Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a)      Tujuan :
1)      Gangguan nyeri dapat teratasi
2)      Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b)      Kriteria Hasil :
1)      Skala Nyeri : 1-10
c)      Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
Mandiri :
1)      I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala
nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan
debridemen.
2)      I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan
pada udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.
3)      I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup
tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas
eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
4)      I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat
dan/atau pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan
penggantian balutan dan debridemen.
5)      I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan
mekanisme koping.
6)      I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas
dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan
rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7)      I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan
kembali perhatian.
 Kolaborasi
8)      I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2.      Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a)      Tujuan :
1)      Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b)      Kriteria Hasil :
1)      Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c)      Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1)      I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat.
2)      I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier
infeksi.
3)      I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4)      I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
 Kombinasi :
5)      I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3.      Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.


Tujuan dan Kriteria Hasil :
a)      Tujuan : Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan
keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).
b)      Kriteria Hasil : Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan
dari informasi yang diberikan
c)      Rencana Tindakan dan Rasional
1)      I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
2)      I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung
keamanan bagi pasien/orang lain.
3)      I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4)      I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.
5)      I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya  rumah sakit
sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung
pemulihan dan kemandirian.

5. Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP)


ITP atau Idiopatik Trombositopenia Purpura adalah keadaan dimana perdarahan
disifatkan oleh timbulnya petekia atau ekimosis di kulit ataupun selaput lendir serta
dapat terjadi pada berbagai jaringan disertai dengan penurunan jumlah trombosit
karena sebab yang tidak diketahui (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
2007). ITP merupakan gangguan autoimun karena adanya antibodi terhadap
trombosit sehingga terjadi penghancuran trombosit secara dini dan menyebabkan
angka trombosit darah perifer <150.000/mL (Sudoyo, dkk, 2009; Handayani &
Haribowo, 2008 dalam Giarti 2016).
Maninfestasi
Gambaran klinis ITP bervariasi antara setiap pasien. Beberapa pasien dengan
perdarahan mayor memerlukan perhatian segera, sementara yang lain dapat dengan
perdarahan mukokutaneus atau subkutaneus ringan. Bentuk perdarahannya dapat
berupa purpura, echimosis, petechiae dan perdarahan mukosa. Gelembung
perdarahan dapat tampak pada rongga mulut dan permukaan mukosa lainnya.
Perdarahan pada gusi dan epistaksis merupakan bentuk perdarahan lain yang sering
terjadi. Bentuk perdarahan lain mungkin dapat terjadi antara lain pada saluran
gastrointestinal seperti melena dan pada saluran genitourinari seperti hematuria dan
menorragia. Perdarahan spontan pada mukosa, intrakranial dan gastrointestinal
dapat terjadi apabila jumlah plateletnya <10.000/iL. (Giarti, 2016).
Kasifikasi
ITP dibedakan menjadi tipe primer dan tipe sekunder (berhubungan dengan
kelainan lain). Pada tipe primer dibedakan lagi menjadi dua bentuk yaitu akut dan
kronik. Tipe akut umumnya terjadi pada anak-anak usia 2 sampai 6 tahun dengan
angka kejadian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Umumnya pada tipe
akut dapat membaik dengan spontan. Sedangkan pada tipe kronik dialami pada
orang dewasa dengan rentangan usia 40 sampai 45 tahun dengan angka kejadian
lebih tinggi pada perempuan, dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki
3:1. Pada tipe kronik trombositopenia terjadi lebih dari enam bulan, biasanya
mempunyai onset yang tersembunyi dan sering membutuhkan intervensi medis
untuk mencegah perdarahan. (Giarti, 2016).
Patofisiologi
Pada ITP penurunan jumlah platelet disebabkan oleh platelet yang diikat oleh
antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan terhadap gp IIb – IIIa atau Ib.
Platelet yang diselimuti oleh antibodi kemudian difagosit oleh makrofag dalam
RES terutama lien, akibatnya akan terjadi trombositopenia. Keadaan ini
menyebabkan kompensasi tubuh dalam bentuk peningkatan megakariosit dalam
sumsum tulang. Sensitisasi platelet oleh autoantibodi (IgG) menyebabkan
difagositnya platelet tersebut secara prematur dari sirkulasi oleh makrofag sistem
retikuloendotel. Masa hidup normal untuk platelet adalah sekitar tujuh hari tetapi
pada ITP masa hidupnya memendek menjadi beberapa jam. (Giarti, 2016).
Maninfestasi
Tanda dan gejala ITP dibagi menjadi dua katagori yaitu dry dan wet purpura. Dry
purpura (perdarahan kutaneus) tampak sebagai bruising (memar) atau petechiae.
Sedangkan wet purpura berhubungan dengan perdarahan pada membran mukosa
termasuk saluran gastrointestinal, mulut, hidung dan mata. (Giarti, 2016).
Gambar 3. 1) wet purpura perdarahan pada mata, 2) purpura dan hematoma, 3)
perdarahan mukosa, 4) petechiae

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ITP pada anak dapat meliputi tindakan suportif dan terapi
farmakologis. Tindakan suportif penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak seperti
membatasi aktifitas fisik, mencegah terjadinya trauma, menghindari obat yang
menekan produksi trombosit serta memberikan pengertian kepada orang tua mengenai
penyakit pada anak (Setyoboedi, 2004 Giarti, 2016).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan secara sederhana dengan pemeriksaan darah
lengkap menunjukkan hitung darah yang normal, kecuali rendahnya jumlah platelet
(<150 x 109/L) dan jika terdapat riwayat perdarahan yang signifikan sebelumnya. Pada
sediaan blood smear menunjukkan jumlah platelet yang menurun, platelet yang ada
sering kali besar. Jika pada riwayat medis, pemeriksaan fisik, hitung darah dan
pemeriksaan darah didapatkan temuan yang tidak khas, maka diperlukan pemeriksaan
tambahan evaluasi sumsum tulang. Pada sumsum tulang biasanya normal atau
menunjukkan peningkatan megakariosit. Namun pemeriksaan sumsum tulang
direkomendasikan untuk pasien yang berusia lebih dari 60 tahun dan pada pasien
dengan kekambuhan penyakit setelah perbaikan menyeluruh, kegagalan dalam terapi
lini pertama atau pada pasien yang dipertimbangkan untuk splenektomi. Pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien di bawah 60 tahun dengan tanda dan gejala
yang khas. (Giarti, 2016).
Asuhan Keperawatan
Pada pemeriksaan fisik tanda perdarahan yang dialami dapat berupa petechiae, purpura,
perdarahan konjungtiva dan mukosa. Splenomegali juga dapat ditemukan pada pasien
muda. Lamanya waktu perdarahan dapat membantu untuk membedakan ITP akut
dengan ITP kronis. Menentukan tipe perdarahan penting dilakukan untuk membedakan
‘platelet-type’ perdarahan mukokutaneus dengan ‘coagulation-type’ hematoma.
diagnosa keperawatan
resiko cedera berhubungan dengan trombositopenia (Wilkinson, 2013).

Intervensi
Rencana keperawatan pada An. A bertujuan untuk mencegah terjadinya cedera pada An.
A dengan kriteria hasil pasien terbebas dari cedera ditandai dengan tidak ada area baru
petekia atau ekimosis, tidak ada epistaksis, gusi berdarah, hematuria, darah dalam feses,
menoragia dan hitung trombosit antara 150.000-400.000/mL, keluarga mampu
menjelaskan cara mencegah cedera dan keluarga mampu melaksanakan cara
pencegahan cedera. Rencana keperawatan pada An. A yaitu monitor tanda-tanda vital,
sediakan lingkungan yang aman (melapisi sisi tempat tidur dan tempat bermain), batasi
aktivitas dengan melakukan aktivitas pengalihan seperti membaca buku, hindarkan dari
lingkungan yang berbahaya, anjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien, observasi
tanda-tanda perdarahan, berikan terapi farmakologi sesuai program medis, berikan
informasi kepada keluarga mengenai adanya perubahan status kesehatan penurunan
trombosit akan menyebabkan peningkatan gejala. (Giarti, 2016).
Buchanan dan Holtkamp pada tahun 1984 mengemukakan bahwa prednisolon dapat
meningkatkan jumlah trombosit dalam 7 hari pengobatan ( Warrier, dkk, 2012).
Beberapa komplikasi umum yang terkait dengan pemberian steroid adalah nekrosis
vaskular, diabetes, gastritis, maag, gangguan pertumbuhan, hipertensi, insomnia,
osteoporosis pada orang dewasa, perubahan kepribadian dan infeksi oportunistik maka
perlu dilakukan tappering untuk menghindari komplikasi dari pemakaian steroid
(Pratama, 2015).
Pemberian immunoglobulin intravena masih jarang dilakukan karena masalah sosial dan
ekonomi sehingga pemberian immunoglobulin intravena tidak dilakukan sampai saat
ini. Imbach adalah yang pertama kali mengusulkan kegunaan immunoglobulin intravena
dalam pemulihan trombositopenia yaitu dengan merusak pembersihan trombosit.
Immunoglobulin intravena memiliki respon yang lebih cepat dibandingkan dengan
kortikosteroid (Pratama, 2015; Warrier, 2012).
Pengobatan lini kedua pada ITP adalah pemberian imunosupresan dan rituximab.
Pengobatan lini kedua digunakan ketika pengobatan lini pertama telah gagal atau pasien
menjadi tidak toleran. Imunosupresan bertindak pada tingkat sel T, obat utama yang
digunakan adalah azathioprine, siklofosfamid dan siklosporin. Dapson memiliki peran
untuk pemulihan trombositopenia. Rituximab berperan mengurangi jumlah sel yang
memproduksi autoantibodi. Jarang ditemukan efek samping rituximab tetapi meliputi
potensi neutropenia dan reaksi infeksi kronis seperti TBC (Warrier, 2012). An. A tidak
mendapatkan pengobatan lini kedua disebabkan karena An. A baru pertama kali
mengalami ITP. Manajemen bedah yang dilaksanakan pada ITP berupa splenektomi.
Splenektomi dilakukan jika anak mengalami menorraghia parah, perdarahan yang
mengancam jiwa dan anak yang mengalami pembatasan besar dalam aktivitas akibat
trombositopenia. (Giarti, 2016).
6. Pencegahan dan Penanganan Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-
laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun
(Mansjoer, 2010). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat (Smeltzer, 2005). Apendisitis adalah peradangan apendiks yang
mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Price, 2005).
Pencegahan Penyakit Usus Buntu.
Pencegahan pada apendisitis infiltrat yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau
peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita
apendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat
terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik (Oswari, 2000).
2. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi dengan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks
dilakukan drainase (Oswari, 2000).
7. Pencegahan dan Penanganan Apendisitis
Hepatitis adalah keadaan radang atau cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus,
obat atau alkohol (FKAUI, 2006). Hepatitis adalah infeksi sistemik oleh virus disertai
nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas.
Pencegahan
Karena terbatasnya pengobatan terhadap hepatitis maka penekanan lebih dialirkan pada
pencegahan hepatitis, termasuk penyediaan makanan dan air bersih dan aman. Higien
umum, pembuangan kemih dan feses dari pasien yang terinfeksi secara aman,
pemakaian kateter, jarum suntik dan spuit sekali pakai akan menghilangkan sumber
infeksi. Semua donor darah perlu disaring terhadap HAV, HBV, dan HCV sebelum
diterima menjadi panel donor.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Syaifuddin (2002) adalah:
1. Pada periode akut dan keadaan lemah diberikan cukup istirahat. Istirahat mutlak
tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan tetapi banyak pasien akan
merasakan lebih baik dengan pembatas aktifitas fisik, kecuali diberikan pada
mereka dengan umur orang tua dan keadaan umum yang buruk.
2. Obat-obatan
a. Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan bilirubin
darah. Pemberian bila untuk menyelamatkan nyawa dimana ada reaksi imun
yang berlebihan.
b. Berikan obat-obatan yang bersifat melindungi hati. Contoh obat : Asam
glukoronat/ asam asetat, Becompion, kortikosteroid.
c. Vitamin K pada kasus dengan kecenderungan perdarahan.
d. Obat-obatan yang memetabolisme hati hendaknya dihindari.
DAFTAR PUSTAKA

Giarti, Agnis Tri & Endang Zulaicha Susilaningsih. (2016). Upaya Pencegahan Cedera
Pada Klien Idiopatik Trombositopenia Purpura Di Rsud Pandan Arang.
Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2016
Ramayanti, Sri. (2011). Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita
Sindrom Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas 2(35)
Roviati, Evi. (2012). Systemic Lupus Erithematosus (Sle): Kelainan Autoimun Bawaan
Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia 1(2)
digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-ragilputri-6736-2

Anda mungkin juga menyukai