ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN HIPERSENSIVITAS, SLE, SJS, ITP DAN PENCEGAHAN
PENANGANAN HEPATITIS DAN APENDISITIS
Keperawatan Medikal Bedah 2
2. HIPERSENSITIFITAS
Definisi
Alergi atau Hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya.
Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat
terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen
memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan.
Patofisiologi
IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang
mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami
inflamasi. IgE berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian
besar menempati jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast dengan
reseptornya yang disebut FcεRI. Ikatan antigen dengan IgE menyebabkan terjadinya
penggabungan silang antar reseptor yang berakibat tersekresinya mediator kimia
dari sel mast. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I. Basofil
dan eosinofil
yang teraktivasi juga mengekspresikan FcεR sehingga dua macam sel tersebut juga
dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya reaksi hipersensitif tipe I.
Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen serta rute presentasi tertentu. TH2
yang merupakan subset CD4 dapat membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari
bentuk IgM menjadi IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah
sintesis antibodi dari IgM menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit dari IgM
menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus dapat mempengaruhi TH2
untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi IgE disebut alergen.
Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen kecil
yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering
menghirup berbagai macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE.
Ada beberapa kriteria sehingga protein mempunyai peran sebagai alergen inhalasi
karena dapat mengaktifkan TH2 dalam memicu perkembangan IgE. Pertama protein
tersebut harus menimbulkan terjadinya respon pada sel T. Kedua, protein tersebut
harus bersifat sebagai enzim aktif, dan kebanyakan alergen bersifat proteasis.
Ketiga, protein itu pada kadar yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T
populasi CD4 membentuk IL-4. Keempat, protein tersebut mempunyai berat
molekul yang rendah sehingga dapat berdifusi masuk ke mukus. Kelima, protein
alergen harus mudah larut. Keenam protein tersebut harus tetap stabil dan tidak
rusak pada kondisi kering. Ketujuh, alergen tersebut harus mempunyai peptida yang
dapat berikatan dengan MHC kelas II dari host yang mengawali aktivasi sel T.
Tipe II Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupaimunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi
komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat
pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks
imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil.Manifestasinya di kornea dapat berupa keratitis herpes
simpleks, keratitis karena bakteri (stafilokokus, pseudomonas), dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen,
dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi
penolakan pasca keratoplasti, keratonjungtivitis flikten, keratitis Herpes
simpleks, dan keratitis diskiformis.
Etiologi
Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas
juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
Terapi nutrisi
Diet. Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang
menyebabkan alergen.
Pemeriksaan penunjang
1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan biaya
yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan.
Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4
jam. Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi
oleh obat-obatan.
2. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada
kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak
menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu
30 menit. Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah
gatal. Syarat tes ini :
a. Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin
(obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
b. Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
3. Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes.
Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi Hipersensitivitas yang segera
pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut
terdapat kompleks IgE mast.
5. Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup
dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek
alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak
nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok.
7. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan
derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena
mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak,
meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
8. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya
dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi.
Askep Hipersensitivitas
Pengkajian
Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,pekerjaaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
Keluhan utama
Pasien mengeluh sakit, kemerahan pada kulit dan terasa gatal.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibulkemerahan pada
kulit, mual muntah dan terasa gatal.
Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sesak nafas,
demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah, dan terasa
gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu, riwayat
alergi sebenarnya.
Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama, atau memiliki riwayat alergi.
Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya.
Pemeriksaan fisik
a. Kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas
garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan
katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c. Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, adakah tanda-tanda misalnya: allergic crease, allergic shiners, allergic
facies.
e. Mulut dan orofaring, pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang
maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu
serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu
pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.
Kebutuhan Pernafasan
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur
respirasi rate.
Kebutuhan Makan
Dikaji apakan ada riwayat alergi terhadap makanan tertentu. Dikaji pula apakah klien
menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien mengalami mual
atau muntah ataupun kedua-duanya.
Kebutuhan Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan
(lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya
saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami
alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi
yang akan diberikan untuk kesembuhannya. Dikaji pula pengetahuan tentang
pencegahan alergi. Dan faktor pemicu alergi.
Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal,intrademal
sekunder
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen).
Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama ........ diharapkan pasien menunjukkan
pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
b. Pasien tidak merasa sesak lagi
c. Pasien tidak tampak memakai otot bantu pernapasan
d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :
a. Manajemen jalan napas.
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat
upaya pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels,
mengi, gesekan pleura.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi (posisi semi fowler atau fowler).
4. Observasi pola batuk dan karakter secret.
5. Ajarkan batuk efektif.
6. Lakukan hisap secret secara periodik pada pasien tidak sadar.
Kolaborasi:
1. Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
b. Manajemen Asma.
1. Kaji pola napas pasien. Identifikasi bersama pasian tentang penyebab serangan
asma.
2. Anjurkan pasien untuk menghindari pemicu asma.
3. Identifikasi bersama pasien tanda dan gejala sebelum serangan dan ajarkan pasien
cara menanganinya.
Kolaborasi:
1. Berikan obat bronkodilator.
2. Berikan nebulizer saat periode akut.
c. Manajemen Alergi.
1. Identifikasi alergi yang diketahui pasien.
2. Anjurkan pasien untuk melaporkan laergi yang diketahui pada petugas kesehatan.
3. Pakaikan gelang alergi pada pasien.
4. Catat riwayat alergi dalam rekam medis pasien.
5. Anjurkan pasien mengikuti semua prosedur pengobatan.
6. Waspadai adanya reaksi anafilaksis.
7. Berikan pertolongan segera jika terjadi reaksi anafilaksis.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian obat anti alergi.
2. Kolaborasi pemberian adrenalin segera jika terjadi reaksi anafilaksis.
Intervensi :
1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
3. Berikan kompres hangat.
4. Anjurkan pasien banyak minum.
Kolaborasi:
1. Berikan terapi antipiretik sesuai instruksi.
peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama di bagian pipi dan hidung.
Gambar 2. Pembentukan kompleks imun pada peredaran darah pada pasien SLE
Akar penyebab lupus adalah disfungsional sistem imun. Pada orang sehat, sel-sel
limfositnya memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan protein
komplemen yang akan membentuk struktur glikoprotein. Pada penderita SLE, sel-sel ini
kehilangan struktur glikoprotein tertentu, sehingga bentuk permukaan sel menjadi
berbeda dibandingkan dengan sel-sel sehat yang mengakibatkan sel-sel imun melakukan
kesalahan dengan menganggap sel-sel tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan
penyerangan terhadapnya (gambar 4). Hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala
seperti peradangan kulit dan sendi, kelelahan yang ekstrim, kerusakan ginjal dan
seterusnya.
Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan adanya penyakit Systemic Lupus Erythematosus dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium khusus yang disebut sebagai Antinuclear Antibody (ANA)
dan Anti Double Stranded DNA.
Pada kasus penyakit lanjut, sering didapatkan adanya cairan di rongga paru atau di
rongga jantung yang menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini mirip dengan
penyakit jantung kronis atau penyakit paru kronis, sehingga menyebabkan salah
diagnosa dan berakhir dengan kematian. Kebocoran ginjal akan segera terjadi bila
penyakit ini tidak diobati dengan tepat, dan ditandai dengan meningkatnya kadar
albumin pada pemeriksaan air seni serta bengkak-bengkak di seluruh tubuh.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan kadar ANA, Anti Double
Stranded DNA, disertai dengan kurangnya sel darah merah (anemia), menurunnya
jumlah sel darah putih, dan menurunnya sel pembeku darah.
Pendidikan Kesehatan
Bagi yang belum terdiagnosis penyakit lupus ini, cara pencegahan adalah dengan
mengikuti gaya hidup sehat, mengkonsumsi makanan yang cukup gizi dan berolahraga.
Pun pada penderita SLE yang berada pada tahap belum parah, dengan menghindari
faktor pencetus dan bergaya hidup sehat, dapat mengurangi frekuensi kambuhnya
penyakit ini dan mengurangi tingkat keparahannya.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal. Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan. Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler. Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
8. Sistem Renal. Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Gangguan nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :
1) Skala Nyeri : 1-10
c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala
nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan
debridemen.
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan
pada udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup
tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas
eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat
dan/atau pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan
penggantian balutan dan debridemen.
5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan
mekanisme koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas
dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan
rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan
kembali perhatian.
Kolaborasi
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier
infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
Kombinasi :
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ITP pada anak dapat meliputi tindakan suportif dan terapi
farmakologis. Tindakan suportif penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak seperti
membatasi aktifitas fisik, mencegah terjadinya trauma, menghindari obat yang
menekan produksi trombosit serta memberikan pengertian kepada orang tua mengenai
penyakit pada anak (Setyoboedi, 2004 Giarti, 2016).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan secara sederhana dengan pemeriksaan darah
lengkap menunjukkan hitung darah yang normal, kecuali rendahnya jumlah platelet
(<150 x 109/L) dan jika terdapat riwayat perdarahan yang signifikan sebelumnya. Pada
sediaan blood smear menunjukkan jumlah platelet yang menurun, platelet yang ada
sering kali besar. Jika pada riwayat medis, pemeriksaan fisik, hitung darah dan
pemeriksaan darah didapatkan temuan yang tidak khas, maka diperlukan pemeriksaan
tambahan evaluasi sumsum tulang. Pada sumsum tulang biasanya normal atau
menunjukkan peningkatan megakariosit. Namun pemeriksaan sumsum tulang
direkomendasikan untuk pasien yang berusia lebih dari 60 tahun dan pada pasien
dengan kekambuhan penyakit setelah perbaikan menyeluruh, kegagalan dalam terapi
lini pertama atau pada pasien yang dipertimbangkan untuk splenektomi. Pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien di bawah 60 tahun dengan tanda dan gejala
yang khas. (Giarti, 2016).
Asuhan Keperawatan
Pada pemeriksaan fisik tanda perdarahan yang dialami dapat berupa petechiae, purpura,
perdarahan konjungtiva dan mukosa. Splenomegali juga dapat ditemukan pada pasien
muda. Lamanya waktu perdarahan dapat membantu untuk membedakan ITP akut
dengan ITP kronis. Menentukan tipe perdarahan penting dilakukan untuk membedakan
‘platelet-type’ perdarahan mukokutaneus dengan ‘coagulation-type’ hematoma.
diagnosa keperawatan
resiko cedera berhubungan dengan trombositopenia (Wilkinson, 2013).
Intervensi
Rencana keperawatan pada An. A bertujuan untuk mencegah terjadinya cedera pada An.
A dengan kriteria hasil pasien terbebas dari cedera ditandai dengan tidak ada area baru
petekia atau ekimosis, tidak ada epistaksis, gusi berdarah, hematuria, darah dalam feses,
menoragia dan hitung trombosit antara 150.000-400.000/mL, keluarga mampu
menjelaskan cara mencegah cedera dan keluarga mampu melaksanakan cara
pencegahan cedera. Rencana keperawatan pada An. A yaitu monitor tanda-tanda vital,
sediakan lingkungan yang aman (melapisi sisi tempat tidur dan tempat bermain), batasi
aktivitas dengan melakukan aktivitas pengalihan seperti membaca buku, hindarkan dari
lingkungan yang berbahaya, anjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien, observasi
tanda-tanda perdarahan, berikan terapi farmakologi sesuai program medis, berikan
informasi kepada keluarga mengenai adanya perubahan status kesehatan penurunan
trombosit akan menyebabkan peningkatan gejala. (Giarti, 2016).
Buchanan dan Holtkamp pada tahun 1984 mengemukakan bahwa prednisolon dapat
meningkatkan jumlah trombosit dalam 7 hari pengobatan ( Warrier, dkk, 2012).
Beberapa komplikasi umum yang terkait dengan pemberian steroid adalah nekrosis
vaskular, diabetes, gastritis, maag, gangguan pertumbuhan, hipertensi, insomnia,
osteoporosis pada orang dewasa, perubahan kepribadian dan infeksi oportunistik maka
perlu dilakukan tappering untuk menghindari komplikasi dari pemakaian steroid
(Pratama, 2015).
Pemberian immunoglobulin intravena masih jarang dilakukan karena masalah sosial dan
ekonomi sehingga pemberian immunoglobulin intravena tidak dilakukan sampai saat
ini. Imbach adalah yang pertama kali mengusulkan kegunaan immunoglobulin intravena
dalam pemulihan trombositopenia yaitu dengan merusak pembersihan trombosit.
Immunoglobulin intravena memiliki respon yang lebih cepat dibandingkan dengan
kortikosteroid (Pratama, 2015; Warrier, 2012).
Pengobatan lini kedua pada ITP adalah pemberian imunosupresan dan rituximab.
Pengobatan lini kedua digunakan ketika pengobatan lini pertama telah gagal atau pasien
menjadi tidak toleran. Imunosupresan bertindak pada tingkat sel T, obat utama yang
digunakan adalah azathioprine, siklofosfamid dan siklosporin. Dapson memiliki peran
untuk pemulihan trombositopenia. Rituximab berperan mengurangi jumlah sel yang
memproduksi autoantibodi. Jarang ditemukan efek samping rituximab tetapi meliputi
potensi neutropenia dan reaksi infeksi kronis seperti TBC (Warrier, 2012). An. A tidak
mendapatkan pengobatan lini kedua disebabkan karena An. A baru pertama kali
mengalami ITP. Manajemen bedah yang dilaksanakan pada ITP berupa splenektomi.
Splenektomi dilakukan jika anak mengalami menorraghia parah, perdarahan yang
mengancam jiwa dan anak yang mengalami pembatasan besar dalam aktivitas akibat
trombositopenia. (Giarti, 2016).
6. Pencegahan dan Penanganan Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-
laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun
(Mansjoer, 2010). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat (Smeltzer, 2005). Apendisitis adalah peradangan apendiks yang
mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Price, 2005).
Pencegahan Penyakit Usus Buntu.
Pencegahan pada apendisitis infiltrat yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau
peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita
apendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat
terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik (Oswari, 2000).
2. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi dengan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks
dilakukan drainase (Oswari, 2000).
7. Pencegahan dan Penanganan Apendisitis
Hepatitis adalah keadaan radang atau cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus,
obat atau alkohol (FKAUI, 2006). Hepatitis adalah infeksi sistemik oleh virus disertai
nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas.
Pencegahan
Karena terbatasnya pengobatan terhadap hepatitis maka penekanan lebih dialirkan pada
pencegahan hepatitis, termasuk penyediaan makanan dan air bersih dan aman. Higien
umum, pembuangan kemih dan feses dari pasien yang terinfeksi secara aman,
pemakaian kateter, jarum suntik dan spuit sekali pakai akan menghilangkan sumber
infeksi. Semua donor darah perlu disaring terhadap HAV, HBV, dan HCV sebelum
diterima menjadi panel donor.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Syaifuddin (2002) adalah:
1. Pada periode akut dan keadaan lemah diberikan cukup istirahat. Istirahat mutlak
tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan tetapi banyak pasien akan
merasakan lebih baik dengan pembatas aktifitas fisik, kecuali diberikan pada
mereka dengan umur orang tua dan keadaan umum yang buruk.
2. Obat-obatan
a. Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan bilirubin
darah. Pemberian bila untuk menyelamatkan nyawa dimana ada reaksi imun
yang berlebihan.
b. Berikan obat-obatan yang bersifat melindungi hati. Contoh obat : Asam
glukoronat/ asam asetat, Becompion, kortikosteroid.
c. Vitamin K pada kasus dengan kecenderungan perdarahan.
d. Obat-obatan yang memetabolisme hati hendaknya dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Giarti, Agnis Tri & Endang Zulaicha Susilaningsih. (2016). Upaya Pencegahan Cedera
Pada Klien Idiopatik Trombositopenia Purpura Di Rsud Pandan Arang.
Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2016
Ramayanti, Sri. (2011). Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita
Sindrom Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas 2(35)
Roviati, Evi. (2012). Systemic Lupus Erithematosus (Sle): Kelainan Autoimun Bawaan
Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia 1(2)
digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-ragilputri-6736-2