Pembimbing:
Prof. Dr. Oki Suwarsa, dr.,Sp.KK (K)
Oleh:
Esti Sunyaruri 1604 2118 0001
Priska Angelia 1604 2118 0002
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI
i
1
BAB I
PENDAHULUAN
alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang
artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam
tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya
diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang
terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara
atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk
melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini,
dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan
komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk
ganas. Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem
dalam tubuh.
1
2
dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
respons imun seseorang yang “sensitif” terhadap antigen yang tidak berbahaya
yakni alergen seperti serbuk sari, makanan serta obat-obatan. Reaksi patologis
2.2. Etiologi
diantaranya adalah:1
dalam tubuh. Fenomena ini disebut juga ‘self tolerance’ yang artinya
mampu mentoleransi antigen dari dalam tubuh. Jika keadaan ini gagal,
3
4
membentuk granuloma.
substansi alam secara berlebihan (sebuk bunga, bulu hewan, debu), namun
Alergi adalah penyakit yang disebabkan oleh respon imun yang berbeda
menjadi empat kategori berdasarkan dari waktu mulai terpapar antigen sampai
terjadinya reaksi serta mekanisme sistem imun yang terlibat pada reaksi tersebut.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III, yang termasuk tipe respons cepat,
diperantarai antibodi, sedangkan tipe IV, yang termasuk tipe respons terlambat,
4
5
dengan jenis yang lain dalam mengenali antigen dan kelas yang berbeda dari
antibodi yang dilibatkan. Tipe-I dimediasi oleh antibody lgE, yang mempengaruhi
aktivitas mast-cell, Tipe-II dan III dengan media IgG, yang melibatkan
tergantung pada subklas lgG dan sifat alami antigen yang dilibatkan. Tipe-II
respon perlawanan diarahkan pada permukaan sel atau matrik antigen, sedangkan
yang disebabkan oleh faktor pencetus dari kompleks immun. Suatu kategori
khusus Tipe-II melibatkan respon antibodi lgG melawan permukaan sel reseptor
diperantarai sel T dan dapat dibagi lagi dalam tiga kelompok. Kelompok yang
kerusakan disebabkan secara langsung oleh cytotoxic T sel (CTL) di dalam reaksi
hipersensitivas.2,5
5
6
contoh alergen antara lain bulu binatang, zat kimia, makanan, sengatan serangga,
serbuk sari atau obat-obatan. Alergen ini belum tentu berbahaya untuk semua
Pada paparan pertama dari alergen, fagosit sebagai sel penyaji antigen
membawa dan mengenalkan fragmen antigen (Fc) yang telah dihancurkan kepada
sel TH2. Lalu sel TH membantu sel B memproduksi antibodi IgE. Saat terjadi
paparan berikutnya, IgE berikatan dengan degranulasi sel mast atau basofil,
6
7
kerusakan jaringan. Manifestasi klinis mekanisme ini bisa berbentuk reaksi alergi,
atopi atau anafilaksis.2 Seringkali reaksi yang memicu produksi IgE terjadi dalam
dua tahap (Gambar 2.1) yaitu yang pertama respons cepat yang bercirikan
vasodilatasi, diapedesis dan spasme otot polos. Kejadian ini, setelah terpapar
alergen, berlangsung dalam waktu 5-30 menit dan berkurang dalam 60 menit.1
kerusakan jaringan seperti kerusakan sel epitel mukosa. Sel-sel inflamasi yang
mendominasi reaksi ini antara lain netrofil, eosinofil, limfosit terutama sel T H2.
Kejadian ini biasanya berlangsung dalam jangka waktu 2-8 jam setelah terpapar
7
8
Gambar 2.2 Dua tahap reaksi hipersensitivitas tipe I. A. Kinetik dari tahap
respons cepat dan respons terlambat. B–C, Morfologi: respons cepat (B)
bercirikan vasodilatatasi, kongesti dan edema. Respons terlambat (C) bercirikan
infiltrasi sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil dan sel T.1
8
9
intrinsik normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler atau dapat
hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu dari
Receptor
deplesi. Saat antibodi (IgG/ IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan
yang akan terikat pada permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit
yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-
opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc. Hasil akhirnya
yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan.
9
10
Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain
kerjasama leukosit. Sel yang di selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu
dibunuh oleh berbagai macam sel efektor yang berikatan pada sel target
dengan reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa mengalami
neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC
parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai
berikut:
10
11
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak
setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen
darah donor. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan
diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi dapat bersifat toksik. Gejala
khasnya dapat berupa demam, menggigil, nausea, demam, nyeri pinggang dan
hemoglubinuria.
yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke dalam sirkulasi darah janin
hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh- mempunyai janin
Rh+. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama,
karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada
kehamilan berikutnya limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat
11
12
neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui
permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel
atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor
sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada
12
13
permukaan membran sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa
antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi
obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik obat yang
13
14
berupa kemotaksin sebagai sel inflamasi akut akan menyebabkan inflitrasi sel
PMN dan pelepasan enzim lisozim sehingga terjadi cedera jaringan. Reaksi
hipersensitivitas tipe III ini bisa terlihat pada penyakit rheumatoid arthritis,
kompleks imun. Pada keadaan normal, kompleks imun ini dihilangkan oleh
fagositosis sel PMN yang bekerja sama dengan sel darah merah. Kemampuan
sistem imun dalam menghilangkan kompleks imun ini dapat melebihi toleransi
ambang batas ketika terjadi infeksi persisten, penyakit autoimun serta terus-
14
15
Gambar 2.5 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe III. Penimbunan kompleks imun di dasar
pembuluh darah menyebabkan agregasi platelet, fiksasi komplemen dan inflitrasi sel
PMN. Mediator inflamasi yang dilepaskan sel PMN menyebabkan kerusakan jaringan,
yang diperantarai pembentukan complement cascade membrane attack complex (MAC)
atau sitolisis melalui granula sitotoksik. Keterangan: NK, natural killer; Ig,
immunoglobulin.2
Ketidakmampuan sistem imun dalam menoleransi kompleks imun
darah, membran sinovial sendi, dasar membran glomerulus ginjal dan pleksus
koroid otak.
itu sendiri, tetapi pada beberapa kasus seperti yang telah disebutkan sebelumya,
terjadinya penyakit.
15
16
Gambar 2.6 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe IV. A. Sel T CD4+ T merespons antigen di
jaringan dengan menyekresi sitokin yang menstimulasi inflamasi dan pengaktifan
fagositosis, sehingga menyebabkan cedera jaringan. B. Pada beberapa penyakit, sel CD8+
CTLs langsung membunuh sel atau jaringan yang terinfeksi. Keterangan: APC, antigen-
16
17
cedera jaringan dan penyakit yaitu yang pertama adalah sel limfosit T CD4+ dari
jenis TH1 dan TH17 melalui sitokin sebagai perantara inflamasi sehingga
mengaktifkan makrofag dan yang kedua adalah sel limfosit T CD8+ yang bersifat
Tahap awal dari reaksi inflamasi yang diperantarai sel limfosit T ini
dimulai dari terpaparnya pertama kali sel limfosit T oleh antigen. Sel limfosit T
CD4+ “naif” yang masih murni belum terpapar memori antigen, pertama kali
permukaan molekul MHC kelas II pada permukaan sel dendrit atau makrofag.1
Jika sel dendrit memproduksi IL-12, sel limfosit “naif” tadi berdiferensiasi
menjadi sel efektor TH1. Sitokin IFN-γ, yang diproduksi sel NK sel T H1 itu
memproduksi IL-1, IL-6 atau IL-23 darpada IL-12, maka sel CD4+ berkembang
diproduksi tadi bekerja menuju tempat yang terpapar antigen, yang diaktifkan
oleh sel penyaji antigen. Sel TH1 kemudian akan menyekresi IFN-γ, yang
17
18
mikrobisida.
MHC kelas II sehingga kapasitas fagositosis juga makin meningkat. Sel makrofag
TH1.
Sel efektor TH17 yang diaktifkan oleh antigen akan menyekresi IL-17 dan
beberapa sitokin lain untuk merekrut netrofil dan monosit, sehingga menstimulasi
inflamasi. Oleh karena sitokin-sitokin ini diproduksi sel limfosit T yang juga
semakin merekrut dan mengaktifkan lekosit, maka reaksi inflamasi ini dapat
mikroorganisme penyebab penyakit dan sel nekrosis, tetapi ketika ada keterlibatan
sel limfosit T maka akan terjadi peningkatan inflamasi dengan waktu yang lebih
lama.
diferensiasi sel limfosit CD8+ menjadi sel efektor yang disebut sel limfosit
sitotoksik (CTLs).1
dan beberapa tumor. Prinsip mekanisme sitotoksik dari sel limfosit jenis ini
granula sel sitotoksik dan dengan cepat akan dilepaskan ketika sel ini menemukan
18
19
masuknya granzim ke dalam sel target. Granzim sebagai enzim protease akan
aspartate) seluler sehingga menstimulasi kematian atau apoptosis dari sel target.
19
20
BAB III
KESIMPULAN
bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe I), tipe II, tipe III, dan tipe
IV.
20
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar, V., Abbas, A. . & Fausto, N. Robbins and Cotran Pathologic Basis Of
(Elsevier, 2012).
21