Anda di halaman 1dari 23

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Pembimbing:
Prof. Dr. Oki Suwarsa, dr.,Sp.KK (K)

Oleh:
Esti Sunyaruri 1604 2118 0001
Priska Angelia 1604 2118 0002

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3

2.1 Definisi ....................................................................................................... 3

2.2 Etiologi ....................................................................................................... 3

2.3 Klasifikasi Berdasarkan Gells & Coombs ................................................. 4

2.3.1 Hipersensitivitas Tipe I ..................................................................... 7

2.3.2 Hipersensitivitas Tipe II ....................................................................9

2.3.3 Hipersensitivitas Tipe III ..................................................................15

2.3.4 Hipersensitivitas Tipe IV...................................................................16

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................20

i
1

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas

alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang

artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam

tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya

diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang

terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara

aktif dan didapat secara pasif.

Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat

bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing

atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk

melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini,

dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan

pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi

mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-

komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk

menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi

ganas. Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem

agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di

dalam tubuh.

1
2

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya

menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau

pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak

menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau

dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral

maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan

oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan

imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

2
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Terminologi reaksi hipersensitivitas berasal dari suatu gagasan bahwa

respons imun seseorang yang “sensitif” terhadap antigen yang tidak berbahaya

yakni alergen seperti serbuk sari, makanan serta obat-obatan. Reaksi patologis

atau berlebihan ini disebut hipersensitivitas.1

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana

tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap

bahan-bahan yang umumnya non-imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia

bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh

dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas

tersebut disebut allergen.1

2.2. Etiologi

Respon imun memungkinkan untuk melawan antigen yang berbeda-beda

jenis, dan mungkin merupakan hasil dari abnormalitas beberapa penyebab,

diantaranya adalah:1

1. Autoimun. Normalnya, sistem imun tidak bereaksi melawan antigen dari

dalam tubuh. Fenomena ini disebut juga ‘self tolerance’ yang artinya

mampu mentoleransi antigen dari dalam tubuh. Jika keadaan ini gagal,

menyebabkan reaksi melawan sel dan jaringan yang dinamakan autoimun.

3
4

2. Reaksi melawan mikroba. Jika antibodi diproduksi oleh tubuh untuk

melawan antigen, antibodi akan berikatan dengan antigen mikroba untuk

membentuk kompleks imun, dimana terkumpul di jaringan dan pencetus

inflamasi, seperti pada penyebab mekanisme dari post streptococcal

glomerulonephritis. Sel-T merespon untuk melawan mikroba yang

persisten dapat menyebabkan peningkatan inflamasi yang parah, terkadang

membentuk granuloma.

3. Reaksi melawan antigen lingkungan. Individu yang sehat tidak melawan

substansi alam secara berlebihan (sebuk bunga, bulu hewan, debu), namun

hampir 20% individu mengalami ‘’alergi’’ terhadap substansi tersebut.

Alergi adalah penyakit yang disebabkan oleh respon imun yang berbeda

terhadap sesuatu yang non-infeksius, atau berbahaya, namun antigen dari

individu tidak merespon hal yang sama terhadap antigen.

2.3. Klasifikasi Berdasarkan Gell & Coombs

Gell dan Coombs (1963) mengklasifikasikan reaksi hipersensitivitas

menjadi empat kategori berdasarkan dari waktu mulai terpapar antigen sampai

terjadinya reaksi serta mekanisme sistem imun yang terlibat pada reaksi tersebut.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III, yang termasuk tipe respons cepat,

diperantarai antibodi, sedangkan tipe IV, yang termasuk tipe respons terlambat,

diperantarai imunitas sel (Tabel 2.1).1–4

Ada empat jenis bentuk reaksi hipersensitivas diantaranya mekanisme

imunologi kerusakan jaringan. Tipe I-III antibody-mediated yang membedakan

4
5

dengan jenis yang lain dalam mengenali antigen dan kelas yang berbeda dari

antibodi yang dilibatkan. Tipe-I dimediasi oleh antibody lgE, yang mempengaruhi

aktivitas mast-cell, Tipe-II dan III dengan media IgG, yang melibatkan

mekanisme effector phagocytic dan complement-mediated untuk berbagai tingkat,

tergantung pada subklas lgG dan sifat alami antigen yang dilibatkan. Tipe-II

respon perlawanan diarahkan pada permukaan sel atau matrik antigen, sedangkan

Tipe-III diarahkan melawan pelarut antigen, dan melibatkan kerusakan jaringan

yang disebabkan oleh faktor pencetus dari kompleks immun. Suatu kategori

khusus Tipe-II melibatkan respon antibodi lgG melawan permukaan sel reseptor

yang mengganggu fungsi normal reseptor, yang menyebabkan pengaktifan tak

terkontrol atau pemblokiran oleh reseptor. Tipe-IV reaksi hipersensitivas

diperantarai sel T dan dapat dibagi lagi dalam tiga kelompok. Kelompok yang

pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh pengaktifan makrofag oleh sel TH 1,

yang menyebabkan respon inflamasi. Kedua, kerusakan disebabkan oleh

pengaktifan eosinophilic inflamatory respons oleh sel TH2. Ketiga adalah

kerusakan disebabkan secara langsung oleh cytotoxic T sel (CTL) di dalam reaksi

hipersensitivas.2,5

Tabel 2.1 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas1

Immediate (Respons cepat) Delayed


(Respons
terlambat)
Tipe I II III IV
Waktu 15-30 menit Menit ke jam 3-8 jam 48-72 jam
hingga
terjadi
reaksi

Mediator IgE, sel Mast, IgG, IgG, Sel T,

5
6

eosinophil komplemen, komplemen, makrofag


fagosit netrofil
Mekanisme Diperantarai Antibodi Penimbunan Sel Th
IgE yang berlawanan kompleks melepaskan
mengaktifkan dengan antigen-antibodi sitokin yang
mediator permukaan sel sehingga menstimulasi
seperti antigen mengaktifkan makrofag atau
histamin sehingga komplemen dan sel T
sehingga menyebabkan memicu lekosit sitotoksik
terjadi Antibody- sehingga sehingga
degranulasi dependentcell- melepaskan menyebabkan
sel mast lalu mediated enzim dan kerusakan
memicu cytotoxicity molekul toksik seluler secara
inflamasi (ADCC) atau langsung
pengaktifan
komplemen

Contoh Anafilaksis, Transfusi SLE (systemic Penolakan


reaksi alergi, asma darah, lupus transplantasi,
bronhial eritroblastosis erythematosus), tbc, dermatitis
(bentuk atopi) fetalis Hepatitis B kontak,
diabetes tipe I

2.3.1 Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I terjadi akibat produksi dan aktivitas IgE yang

berbeda dari biasanya terhadap alergen sebagai antigen non-patogenik. Beberapa

contoh alergen antara lain bulu binatang, zat kimia, makanan, sengatan serangga,

serbuk sari atau obat-obatan. Alergen ini belum tentu berbahaya untuk semua

manusia, karena sifatnya individual dan dapat diturunkan secara genetik.1

Pada paparan pertama dari alergen, fagosit sebagai sel penyaji antigen

membawa dan mengenalkan fragmen antigen (Fc) yang telah dihancurkan kepada

sel TH2. Lalu sel TH membantu sel B memproduksi antibodi IgE. Saat terjadi

paparan berikutnya, IgE berikatan dengan degranulasi sel mast atau basofil,

sehingga memicu pelepasan mediator vasoaktif seperti histamin, lekotrien,

6
7

prostaglandin D2. Pelepasan mediator vasoaktif ini menyebabkan vasodilatasi,

permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos sehingga memicu inflamasi dan

kerusakan jaringan. Manifestasi klinis mekanisme ini bisa berbentuk reaksi alergi,

atopi atau anafilaksis.2 Seringkali reaksi yang memicu produksi IgE terjadi dalam

dua tahap (Gambar 2.1) yaitu yang pertama respons cepat yang bercirikan

vasodilatasi, diapedesis dan spasme otot polos. Kejadian ini, setelah terpapar

alergen, berlangsung dalam waktu 5-30 menit dan berkurang dalam 60 menit.1

Tahap kedua yaitu reaksi terlambat yang bercirikan inflamasi dan

kerusakan jaringan seperti kerusakan sel epitel mukosa. Sel-sel inflamasi yang

mendominasi reaksi ini antara lain netrofil, eosinofil, limfosit terutama sel T H2.

Kejadian ini biasanya berlangsung dalam jangka waktu 2-8 jam setelah terpapar

alergen dan bertahan hingga beberapa hari.1,2

7
8

Gambar 2.1 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe I


Keterangan: TCR, T-cell receptor; TH2, T helper 2 cell; PAF, platelet activating
factor1,2.

Gambar 2.2 Dua tahap reaksi hipersensitivitas tipe I. A. Kinetik dari tahap
respons cepat dan respons terlambat. B–C, Morfologi: respons cepat (B)
bercirikan vasodilatatasi, kongesti dan edema. Respons terlambat (C) bercirikan
infiltrasi sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil dan sel T.1

8
9

2.3.2 Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II terjadi akibat respons antibodi terhadap antigen di

membran sel atau jaringan yang menyebabkan pengaktifan komplemen sehingga

terjadi sitolisis atau sitotoksik. Antigen tersebut dapat merupakan molekul

intrinsik normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler atau dapat

merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya metabolit obat).  Respon

hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu dari

tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1.         Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc

Receptor

Sel-sel yang menjadi target antibodi  diopsonisasi oleh molekul-

molekul  yang mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami

deplesi. Saat antibodi (IgG/ IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan

sistem komplemen. Aktivasi komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b,

yang akan terikat pada permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit

yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-

opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc.  Hasil akhirnya

yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan.

Aktivasi komplemen juga menyebabkan terbentuknya membrane attack complex,

yang mengganggu integritas membran dengan membuat ‘lubang-lubang’

menembus lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel.

9
10

Gambar 2.3 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe II. Reaksi hipersensitivitas tipe II


dapat terjadi melalui pengenalan antibodi pada permukaan sel antigen sehingga
terjadi penimbunan komplemen; Sitolisisi diperantarai terbentuknya complement
membrane attack complex (kiri). Mekanisme lain, Antibodi, melalui reseptor Fc,
berikatan dengan sel polimorfonuklear (PMN) lekosit atau sel natural killer (NK),
sehingga menyebabkan terjadinya granula sitotoksik (kanan).2

Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain

yaitu antibody-dependent cellular cytotoxicity  (ADCC).  Bentuk jejas yang

ditimbulkan tidak melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan

kerjasama leukosit. Sel yang di selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu

dibunuh oleh berbagai macam sel efektor yang berikatan pada sel target

dengan  reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa mengalami

fagositosis.  ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk

neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC

diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan

parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari

ADCC dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan

Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai

berikut:

10
11

 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak

setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen

darah donor. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan

oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Antibodi

golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen, dan hemolisis

intravaskular.Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam

plasma dan di saring melalui ginjal (hemoglobinuria). Beberapa hemoglobin

diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi dapat bersifat toksik. Gejala

khasnya dapat berupa demam, menggigil, nausea, demam, nyeri pinggang dan

hemoglubinuria.

 Hal serupa terjadi pada hemolytic diseases of the newborn (HDN) akibat

ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus Incompatibility) dimana anti-D IgG

yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke dalam sirkulasi darah janin

dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi

hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh- mempunyai janin

Rh+. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama,

karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada

kehamilan berikutnya limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat

menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan faktor Rh pada

permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).

 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang

disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang

menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.

11
12

 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau

metabolitnya) yang secara nonspesifik diabsorpsi pada permukaan sel

(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).

2.         Inflamasi yang Diperantarai Komplemen dan Fc Receptor

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan

matriks), kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan

fagositosis/lisis sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan

komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a (yang menarik

neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui

reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan

intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi

ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

3.       Disfungsi Sel yang Diperantarai oleh Antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor

permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel

atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor

asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi

neuromuskular disertai kelemahan otot.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi

hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan

sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada

12
13

permukaan membran sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa

menjadi reaksi hipersensitivitas tipe II melalui adanya pembentukan kompleks

antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi

obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik obat yang

merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I.

Gambar 2.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe II1

13
14

2.3.3 Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat kompleks imun antigen-antibodi

yang mengaktifkan komplemen. Produk dari aktivasi komplemen (C3a, C5a)

berupa kemotaksin sebagai sel inflamasi akut akan menyebabkan inflitrasi sel

PMN dan pelepasan enzim lisozim sehingga terjadi cedera jaringan. Reaksi

hipersensitivitas tipe III ini bisa terlihat pada penyakit rheumatoid arthritis,

systemic lupus erythematosus (SLE).2

Pada berbagai situasi, reaksi antara antigen dan antibodi membentuk

kompleks imun. Pada keadaan normal, kompleks imun ini dihilangkan oleh

fagositosis sel PMN yang bekerja sama dengan sel darah merah. Kemampuan

sistem imun dalam menghilangkan kompleks imun ini dapat melebihi toleransi

ambang batas ketika terjadi infeksi persisten, penyakit autoimun serta terus-

14
15

menerus terpapar antigen atau allergen.3

Gambar 2.5 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe III. Penimbunan kompleks imun di dasar
pembuluh darah menyebabkan agregasi platelet, fiksasi komplemen dan inflitrasi sel
PMN. Mediator inflamasi yang dilepaskan sel PMN menyebabkan kerusakan jaringan,
yang diperantarai pembentukan complement cascade membrane attack complex (MAC)
atau sitolisis melalui granula sitotoksik. Keterangan: NK, natural killer; Ig,
immunoglobulin.2
Ketidakmampuan sistem imun dalam menoleransi kompleks imun

tersebutlah yang menyebabkan penimbunan kompleks imun di dalam pembuluh

darah, membran sinovial sendi, dasar membran glomerulus ginjal dan pleksus

koroid otak.

Penimbunan kompleks imun ini terkadang terbentuk di tempat peradangan

itu sendiri, tetapi pada beberapa kasus seperti yang telah disebutkan sebelumya,

fagositosis tidak dapat mencapai tempat-tempat tersebut sehingga menyebabkan

terjadinya penyakit.

2.3.4 Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV melibatkan interaksi antara sel limfosit T dengan

antigen yang mengaktifkan sekresi sitokin dan pembentukan granuloma, sehingga

15
16

dapat terjadi fibrosis dan jaringan nekrosis.2

Gambar 2.6 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe IV. A. Sel T CD4+ T merespons antigen di
jaringan dengan menyekresi sitokin yang menstimulasi inflamasi dan pengaktifan
fagositosis, sehingga menyebabkan cedera jaringan. B. Pada beberapa penyakit, sel CD8+
CTLs langsung membunuh sel atau jaringan yang terinfeksi. Keterangan: APC, antigen-

16
17

presenting cell; CTLs, cytotoxic T lymphocytes.1

Dua jenis sel limfosit T yang mampu bereaksi menyebabkan terjadinya

cedera jaringan dan penyakit yaitu yang pertama adalah sel limfosit T CD4+ dari

jenis TH1 dan TH17 melalui sitokin sebagai perantara inflamasi sehingga

mengaktifkan makrofag dan yang kedua adalah sel limfosit T CD8+ yang bersifat

sitotoksik1 (Gambar 2.6).

1. Reaksi inflamasi oleh sel limfosit CD4+

Tahap awal dari reaksi inflamasi yang diperantarai sel limfosit T ini

dimulai dari terpaparnya pertama kali sel limfosit T oleh antigen. Sel limfosit T

CD4+ “naif” yang masih murni belum terpapar memori antigen, pertama kali

mengenali peptida antigen sendiri atau protein mikroorganisme melalui

permukaan molekul MHC kelas II pada permukaan sel dendrit atau makrofag.1

Jika sel dendrit memproduksi IL-12, sel limfosit “naif” tadi berdiferensiasi

menjadi sel efektor TH1. Sitokin IFN-γ, yang diproduksi sel NK sel T H1 itu

sendiri, akan meningkatkan diferensiasi TH1. Jika sel penyaji antigen

memproduksi IL-1, IL-6 atau IL-23 darpada IL-12, maka sel CD4+ berkembang

menjadi sel efektor TH17.

Pada paparan berikutnya terhadap antigen, sel-sel efektor yang telah

diproduksi tadi bekerja menuju tempat yang terpapar antigen, yang diaktifkan

oleh sel penyaji antigen. Sel TH1 kemudian akan menyekresi IFN-γ, yang

diketahui sebagai sitokin paling potensial dalam mengaktifkan makrofag.

Pengaktifan makrofag ini akan meningkatkan fagositosis dan aktivitas

17
18

mikrobisida.

Pengaktifan makrofag ini juga diikuti peningkatan pembentukan molekul

MHC kelas II sehingga kapasitas fagositosis juga makin meningkat. Sel makrofag

kemudian menambah sekresi IL-12, sehingga makin menstimulasi respons sel

TH1.

Sel efektor TH17 yang diaktifkan oleh antigen akan menyekresi IL-17 dan

beberapa sitokin lain untuk merekrut netrofil dan monosit, sehingga menstimulasi

inflamasi. Oleh karena sitokin-sitokin ini diproduksi sel limfosit T yang juga

semakin merekrut dan mengaktifkan lekosit, maka reaksi inflamasi ini dapat

mejadi kronis kecuali siklus ini diintervensi secara terapeutik.

Pada kenyataannya, inflamasi timbul sebagai respons awal terhadap

mikroorganisme penyebab penyakit dan sel nekrosis, tetapi ketika ada keterlibatan

sel limfosit T maka akan terjadi peningkatan inflamasi dengan waktu yang lebih

lama.

2. Reaksi sitotoksik yang diperantarai sel limfosit T CD8+

Molekul MHC kelas I akan berikatan dengan peptida antigen intraseluler

dan menyajikannya kepada sel limfosit CD8+. Kejadian ini menstimulasi

diferensiasi sel limfosit CD8+ menjadi sel efektor yang disebut sel limfosit

sitotoksik (CTLs).1

Sel limfosit sitotoksik berperan penting terhadap resistansi infeksi virus

dan beberapa tumor. Prinsip mekanisme sitotoksik dari sel limfosit jenis ini

tergantung dari sistem perforin–granzim. Perforin dan granzim disimpan di dalam

granula sel sitotoksik dan dengan cepat akan dilepaskan ketika sel ini menemukan

18
19

sel targetnya melalui ikatan dengan molekul MHC kelas I tadi.

Perforin berikatan dengan membran plasma sel target dan menstimulasi

masuknya granzim ke dalam sel target. Granzim sebagai enzim protease akan

mengaktifkan caspase (cysteine-aspartic protease atau cysteine-dependent

aspartate) seluler sehingga menstimulasi kematian atau apoptosis dari sel target.

19
20

BAB III

KESIMPULAN

Reaksi hipersensitivitas terjadi jika tubuh kita melakukan suatu reaksi

alami guna mempertahankan diri, jika keadaan tertentu reaksi imunologik

berlangsung berlebihan atau tidak wajar dapat menimbulkan kerusakan

jaringan. Reaksi alergi disebabkan allergen yang mempunyai manifestasi

bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe I), tipe II, tipe III, dan tipe

IV.

20
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar, V., Abbas, A. . & Fausto, N. Robbins and Cotran Pathologic Basis Of

Disease. (Elsevier, 2005).

2. Actor, J. Elsevier’s Integrated Review Immunology and Microbiology.

(Elsevier, 2012).

3. Owen, J. & et, al. Kuby Immunology. (W.H Freeman, 2013).

4. Warrington, R. & et, al. An introduction to immunology and

immunopathology. Allergy Asthma Clin. Immunol. 7, 1–8 (2011).

21

Anda mungkin juga menyukai