Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERSENSITIVITAS

Disusun oleh :

Rio Rizki Abdillah Ramadhan

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KHARISMA KARAWANG

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................i
LAPORAN PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1. Defenisi.................................................................................................................................1
2. Etiologi.................................................................................................................................1
3. Klasifikasi.............................................................................................................................1
4. Manifestasi Klinic.................................................................................................................4
5. Patofisiologi..........................................................................................................................5
6. Pemeriksaan Penunjang........................................................................................................6
7. Pengobatan............................................................................................................................6
KONSEP DASAR KEPERAWATAN............................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................ii

i
LAPORAN PENDAHULUAN

PERIOPERATIF

1. Defenisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh


seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen.

2. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan
norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

3. Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

1
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I


adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik
seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G


(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang


berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal),

2
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten
untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang,
kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau
hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-
antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ,
seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan
antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks
dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah
spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat
keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel


atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk
aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag

3
dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori


berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Wakt
Penampakan
Tipe u Histologi Antigen dan situs
klinis
reaksi

Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 Eksim (ekzem organik, jelatang atau poi
Kontak makrofag; edema
jam a) son ivy, logam berat ,
epidermidis
dll.)

Pengerasan
Tuberkuli 48-72 Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,
(indurasi)
n jam makrofag lepromin, dll.)
lokal

Antigen persisten atau


Makrofag, epitheloid d
Granulom 21-28 senyawa asing dalam
Pengerasan an sel raksaksa,
a hari tubuh
fibrosis
(tuberkulosis, kusta, etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tip Mekanisme Imun Gangguan Prototipe


e

1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa

4
Anafilaksis antibody IgE  pelepasan bentuk asma bronchial
amino vasoaktif dan
mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel radang
lain

2 Antibodi IgG atau IgM  berikatan Anemia hemolitik


terhadap dengan antigen pada autoimun,
antigen permukaan sel        fagositosis eritroblastosis fetalis,
jaringan sel target atau lisis sel target penyakit Goodpasture,
tertentu oleh komplemen atau pemfigus vulgaris
sitotosisitas yang diperantarai
oleh sel yang bergantung
antibodi

3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi   Reahsi Arthua, serum


Kompleks mengaktifkan  komplemen  sickness, lupus
Imun menarik perhatian nenutrofil eritematosus sistemik,
menjadikan pelepasan enzim bentuk tertentu
lisosom, radikal bebas glumerulonefritis akut
oksigen, dll                     

4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,


Selular pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,
(Lambat) sitotoksisitas yang penolakan transplant
diperantarai oleh sel T
4. Manifestasi Klinic

1. Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria
(bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan
bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu,
otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi

5
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru
(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

2. Reaksi tipe II
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

3. Reaksi Hipersensivitas tipe III


1) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme
dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis.
2) Demam
3) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4) Limfadenopati
 Kejang perut, mual
 Neuritis optic
 Glomerulonefritis
 Sindrom lupus eritematosus sistemik
 Gejala vaskulitis lain

4. Hipersensitivitas tipe IV
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
 Pada saluran pernafasan : asma
 Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
 Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam,
gatal
 Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

5. Patofisiologi

Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang 
yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika

6
untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah
tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda
itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu
aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk 
mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel
mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya
netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan panas.
2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah.   Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis.
Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik
syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

6. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit :
Sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi:
Bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik:
Harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE
lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,
atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus:

7
Sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

7. Pengobatan

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:


1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan
fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat
maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat
ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator
karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin
paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit
prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang
meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas
vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi

8
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E
ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan
terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan
histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-
olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan
histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Data Demografi
a. Data dasar
 Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis,
sumber biaya, dan sumber informasi).
 Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan
dengan pasien)
b. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien,
meliputi:
 Alasan masuk rumah sakit :

9
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya
bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
 Keluhan utama
- Pasien mengeluh sesak nafas
- Pasien mengeluh bibirnya bengkak
- Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
- Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
- Pasien   mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur
tubuhnya.
- Pasien mengeluh diare
- Pasien mengeluh demam
 Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya
bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang
sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita.
Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami nyeri
perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada
kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di
RS atau pengobatan tertentu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami
penyakit yang sama.
4) Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga,
dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang
mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi
pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat
ini, dan sistem nilai kepercayaan.

Analisa Data
1) Data Subjektif
a. Sesak nafas
b. Mual, muntah
c. Meringis, gelisah
d. Terdapat nyeri pada bagian perut
e. Gatal – gatal

10
f. Batuk
2) Data objektif
a. Penggunaan O2
b. Adanya kemerahan pada kulit
c. Terlihat pucat
d. Pembengkakan pada bibir
e. Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen


2. Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal
sekunder
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (allergen, ex: makanan)

C. Intervensi Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan  terpajan allergen


Tujuan : Setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan
pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan
kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per
menit)
b. Pasien tidak merasa sesak lagi
c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya 


pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional  : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan
kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat
gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan
atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti
krekels, mengi, gesekan pleura.

11
Rasional :  Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil
(atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/
kegagalan pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan
pengisian  udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki
difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau
antikoagulan berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan
Rasional  : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu
pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses  inflamasi


Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu
tubuh pasien menurun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b. Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :

1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )


Rasional  : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai
indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
mendekati normal
3. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal


sekunder

12
Tujuan : Setelah diberikan askep selama  2 x24 jam diharapkan pasien
tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
a. Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema
b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan
angioderma
c. Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :

1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi


Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi
obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit

4. Nyeri akut berhubungan dengan  agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan nyeri pasien teratasi
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
b. Wajah tidak meringis
c. Skala nyeri 0
Intervensi :

1. Ukur TTV
Rasional  : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional  : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri.
6. Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah,
palpitasi, keinginan berkemih.
Rasional  : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami
pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.

13
14
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,
Jakarta:EGC..

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta:


EGC.

Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi


6.Jakarta:EGC.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas

http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/

ii

Anda mungkin juga menyukai