Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KERACUNAN MAKANAN DAN


ALERGI MAKANAN

KELOMPOK V
PROGRAM ALIH JENIS 2/ B19
Yhunika Nur Mastiyas 131611123077
Antonia Andasari 131611123078
Shyntia Paula Soriton 131611123079
Akhmad Ismail 131611123080
Simpliana Rosa 131611123081
Liana Oktaviana Rompis 131611123082
Alfret Bonifacius Ulu B. 131611123083
Evodia Lusia Meo T. 131611123084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
A. ALERGI MAKANAN

1. Definisi Alergi Makanan


Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang
dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula.
Beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap
makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas
terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
2. Epidemiologi
Alergi makanan bisa menyerang siapa saja dengan kadar yang berbeda-beda.
Seseorang yang menyantap makanan kemudian timbul perasaan tidak enak pada tubuh,
maka mereka akan beranggapan bahwa mereka alergi terhadap makanan tersebut.
Faktanya, tidak semua anggapan itu benar. Hanya 1% pada orang dewasa dan 3% pada
anak yang terbukti jika mereka memang benar-benar alergi terhadap makanan tertentu.
Alergi makanan umumnya terjadi pada anak-anak, sekitar 1-2% bayi alergi
terhadap susu sapi, 8% anak menunjukkan reaksi yang tidak diinginkan terhadap
makanan dan 2% orang dewasa menderita alergi makanan.
3. Etiologi
Penyebab alergi makanan dapat dikelompokkan menjadi :
1) Faktor internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzim usus, glycocalyx) maupun fungsi imunologis (misalnya IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan
usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitifitas alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
2) Faktor eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stres)
atau beban latihan (lari, olahraga).
b. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
4. Patofisiologi
Alergen yang pertama kali masuk ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi belum pernah terkena alergi, tidak muncul gejala-gejala. Ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama, barulah tampak gejala
alergi. Setelah muncul tanda alergi, antigen akan mengenali alergen yang masuk yang
akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (IgE). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel
mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua
kalinya oleh alergen yang sama, maka akan terjadi 2 hal yaitu :
1) Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T, sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2) Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi (IgE) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mencapai kulit, alergen
akan menyebabkan terjadinya gatal, pruritus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada
kulit dan dermatitis. Ketika mencapai paru-paru, akan mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakuti dikenal dengan nama syok anafilaktik, ditandai
dengan tekanan darah turun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian.
5. Klasifikasi
1) Hipersensitivitas anafilaktik (tipe 1)
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi
yang dimulai dalam waktu beberapa menit setelah kontak dengan antigen. Ini
merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE. Pada reaksi tipe I,
antigen terikat ke antibodi IgE. Kompleks IgE-antigen menyebabkan degranulasi sel
mast dan pelepasan histamin, serta mediator peradangan lainnya. Mediator ini
menyebabkan vasodilatasi perifer dan pembengkakan ruang interstisium. Gejala-
gejala bersifat spesifik bergantung pada dimana respon alergi tersebut berlangsung.
Pengikatan antigen di saluran hidung menyebabkan rinitis alergi disertai kongesti
hidung dan peradangan jaringan, sementara pengikatan antigen disaluran cerna
mungkin menimbulkan diare atau muntah.
Suatu reaksi hipersnsitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik.
Anafilaktik melibatkan respon cepat IgE. Sel mast setelah perjalanan ke suatu
antigen dimana individu sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh
sistem pembuluh akibat histamin sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat
tekanan darah selama reaksi anafilaktik disebut syok anafilaktik. Karena histamin
adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus, maka anafilaksisjuga merupakan
penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon terhadap obat misalnya
penisilin atau sebagi respon terhadap sengatan lebah dan bersifat fatal pada orang
yang sangat peka.
2) Hipersensitivitas sitotoksik (tipe 2)
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen-antigen
jaringan. Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suatu
reaksi autoimun, sel-sel sasaran biasanya dihancurkan. Pada reaksi tipe II,
pengikatan antibodi-antigen menyebabkan pengaktifan komplemen, degranulasi sel
mast, oedema, kerusakan jaringan, dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan
fagositosis sel – sel penjamu oleh makrofag.
3) Hipersensitivitas kompleks imun (tipe 3)
Terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam
sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Terjadi sewaktu komplek antigen-antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap di pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.
Antibodi disini biasanya jenis IgG. Antibodi tidak ditunjukan kepada jaringan
tersebut tetapi terperangkap di dalam jaringan kapilernya. Reaksi tipe III
mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan macrophage chemotaktik
factor. Macrophage yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan
sekitar tempat tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi)
atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun) infeksi tersebut disertai dengan
antigen dalam jumlah yang berlebihan tetapi tidak disertai dengan respon antibodi
yang efektif.
Pembentukan kompleks imun dalam pembuluh darah menjadikan antigen (Ag)
dan antibodi (Ab) bersatu membentuk komplek imun mengaktifkan komplemen (C)
dan melepas C3a dan C5a yang merangsang leukosit basofil dan trombosit untuk
melepas berbagai mediator antara lain histamin yang menimbulkan pengerutan sel
endotil sehingga permeabilitas vaskuler meninggi.
Dalam keadaan normal komplek imun dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama dalam hati, limpa, paru tanpa bantuan komplemen. Dalam
proses tersebut ukuran kompleks merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks
yang besar, mudah dan cepat dimusnahkan dalam hati, kompleks kecil sulit untuk
dimusnahkan, oleh karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Diduga bahwa
gangguan fungsi fagosit merupakan sebab mengapa komleks sulit dimusnahkan.
Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun mengendap
di jaringan.
4) Hipersensitivitas tipe lambat (tipe 4)
Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitifitas lambat, timbul lebih
dari 24 jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T
yang sudah disensitasi bereaksi spesifik dengan suatu antigen tertentu sehingga
menimbulkan reaksi makrofag. Serta membentuk indurasi jaringan pada daerah
tempat antigen tersebut. Reaksi ini sama sekali tidak memerlukan antibodi seperti
pada ketiga tipe terdahulu, bahkan tidak memerlukan aktivasi komplemen. Oleh
karena itu, reaksi ini timbulnya agak lambat sekitar 24–48 jam, maka secara klinis
reaksi dikenal dengan istilah hipersensitifitas tipe lambat. Ada dua macam mekanisme
yang turut berperan di dalam terbentuknya hipersensitifitas tipe lambat lambat ini,
yakni mekanisme aferen dan eferen. Mekanisme aferen merupakan mekanisme
spesifik dan timbul pada waktu sensitized lymphocyte cells dengan resptor yang
spesifik ; bereaksi dengan antigen tertentu sehingga sel tersebut mengeluarkan
mediator limfokin. Kemudian zat tersebut akan bekerja secara non spesifik pada
mekanisme aferen dan mempengaruhi limfosit, makrofag, monosit.
6. Gejala Klinis
Reaksi alergi terhadap alergen makanan pada saluran cerna bisa menimbulkan
gejala kram perut, mual, muntah atau diare. Gejala pada saluran nafas adalah munculnya
asma; pada kulit menimbulkan gejala urtikaria, angioderma, dermatitis, pruritus, gatal,
demam dan gatal; pada mulut muncul rasa gatal dan pembengkakan bibir.
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan pada kasus alergi yaitu :
1) Inspeksi : lihat adanya kemerahan, terdapat bentol-bentol, gejala urtikaria,
angioderma, pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2) Palpasi : ada nyeri pada kemerahan
3) Perkusi : untuk mengetahui apakah di perut terdapat udara atau cairan.
4) Auskultasi : mendengarkan suara nafas, bunyi jantung, bunyi usus (pada orang
alergi, bunyi usus cenderung meningkat).
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Uji kulit, sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
2) Pemeriksaan darah tepi, bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3) IgE total dan spesifik, harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4) Tes IgE spesifik dengan RAST (Radio Immunosorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Assay).
5) Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
6) Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
7) Biopsi usus, sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food challenge
didapatkan inflamasi/ atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan
IgM IgE (dengan mikroskop imunofluoresen).
8) Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
9) Diit coba buta ganda (Double blind food challenge) untuk diagnosa pasti.
Pemeriksaan secara klinis bisa dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka “Open
Challenge”. Pertama dilakukan eliminasi dengan makanan yang dikemukakan
sendiri oleh penderita atau orang tuanya atau dari hasil uji kulit. Kalau tidak ada
perbaikan, maka dipakai regimen diet tertentu.
9. Penatalaksanaan
Ada beberapa regimen diet yang bisa digunakan, antara lain :
1) Elimination diet, beberapa makanan harus dihindari yaitu buah, susu, telur, ikan dan
kacang.
2) Minimal diet 1 (Modidied Rowe’s diet 1) : terdiri dari beberapa makanan dengan
indeks alergenisitas yang rendah.regimen ini terdiri dari beberapa bahan makanan
yang diperbolehkan yaitu, air, beras, daging sapi, kelapa, kedelai, bayam, wortel,
bawang, gula, garam dan susu formula kedelai. Bahan makanan lain tidak
diperbolehkan.
3) Minimal diet 2 (Modified Rowe’s diet 2) : terdiri dari makanan-makanan dengan
indeks alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misal air, kentang, daging
kambing, kacang merah, buncis, kol, bawang, formula hidrolisat kasein, bahan
makanan yang lain tidak diperbolehkan.
4) Egg and Fish free Diet, diet ini menyingkirkan telur termasuk makanan yang dibuat
dari telur dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita dengan keluhan utama
urtikaria, angionerotik oedema dan eksema.
5) His Own’s Diet, menyingkirkan makanan yang dikemukakan sendiri oleh
penderitanya, sebagai penyebab gejala alergi.
Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1
bahan makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada
provokasi ini dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan
gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen
diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan
regimen yang lain. Sebelum memulai regimen yang baru, penderita diberi
”carnaval” selama seminggu, artinya selama 1 minggu itu semua makanan boleh
dimakan (pesta). Maksudnya adalah memberi hadiah setelah 3 minggu diet dengan
baik, dengan demikian ada semangat untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya
diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi.
Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan
obat-obatan seperti yang tersebut di bawah ini :
1) Kromolin, Nedokromil
Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis alergika.
Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala Dermatitis
Atopi yang disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma
berupa larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk nebulisasi atau
berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800 µg/inhalasi) 2-4
kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4 kali/hari yang
mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk konjungtivitis diberikan tetes
mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari.Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada
berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5
mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata
nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari.
2) Glukokortikoid
Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut
digunakan pada yang gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF
yang kurang dari 60%, gangguan asma malam dan menetap pada pagi hari, lebih
dari 4 kali perhari, dan memerlukan nebulizer serta bronkodilator parenteral
darurat. menggunaan bronkodilator. Steroid oral yang dipakai adalah : metil
prednisolon, prednisolon dan prednison. Prednison diberikan sebagai dosis
awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-
kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari
dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan untuk penderita alergi makanan
dengan gejala status asmatikus, preparat yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam
sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Steroid hirupan
digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika.
3) Beta adrenergic agonist
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa
diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
4) Metil xantin
Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalah
aminofilin dan teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5
mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
5) Simpatomimetika
Simpatomimetika terdiri atas :
Efedrin : 0,5 – 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam
Orciprenalin : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Salbutamol : 0,1 – 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
10. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi alergi yaitu :
a. Polip hidung
b. Otitis media
c. Sinusitis paranasal
d. Anafilaksis
e. Pruritus
f. Mengi
g. Edema
11. Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun
biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut
gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan
saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan
berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan
berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia
inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai
membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan
menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.
12. Asuhan Keperawatan Alergi Makanan
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
 Kaji identitas pasien
 Kaji keluhan utama pasien
 Pasien mengeluh sesak nafas
 Pasien mengeluh bibirnya bengkak
 Pasien mengungkapkan tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
 Pasien mengeluh nyeri dibawah perut
 Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur
tubuhnya
 Pasien mengeluh nyeri
 Pasien mengeluh demam
 Riwayat Psikososial :
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien,
mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya,
tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan
 Kaji riwayat kesehatan masa lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama
atau berhubungan dengan sakit yang saat ini diderita.Misalnya,
sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut, sesak nafas, demam,
bibir bengkak, timbul kemerahan pada kulit, mual muntah dan gatal
 Kaji riwayat alergi keluarga
Mengkaji dalam keluarga pasien ada atau tidak mengalami penyakit yang
sama
b. Data Objektif
 Kaji status neurology, perubahan kesadaran, meningkatnya fatique,dan
perubahan tingkah laku
 Kaji kulit kemerahan
 Kaji adanya bentol-bentol
 Pasien muntah-muntah, terlihat susah bernafas dan pucat
2. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum
Tingkat kesadaran (GCS)
 Tanda-tanda vital
 Keadaan fisik : Kepala dan leher, dada, payudara dan ketiak, abdomen,
genetalia, integumen, ekstremirtas, pemeriksaan neurologis.
 Lakukan Primary survey (ABCDE)
3. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
b. Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
c. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20
tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita
adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
d. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
e. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
f. Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan
IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
g. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
h. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

4. Analisa Data

 Data Subjektif

Sesak nafas, mual muntah, meringis, gelisah, terdapat nyeri pada bagian perut,
gatal-gatal, dan batuk.

 Data Objektif

Adanya kemerahan pada kulit, terlihat pucat, pembengkakan pada bibir,


demam (suhu tubuh diatas 37,5◦C

5. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan cedera mekanik ( luka
akibat garukan)
c. Hipetermi berhubungan dengan proses inflamasi
6. Rencana Keperawatanan
Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi
Kekurangan volume NIC : Fluid Management
cairan berhubungan NOC Label : Fluid Balance 1. Pertahankan catatan intake
dengan kehilangan dan output yang akurat
Kriteria hasil:
cairan berlebihan 2. Monitoring position hidrasi
 Urine output normal (kelembaban, membran
sesuai dengan BB mukosa, nadi adekuat,
 Vital sign dalam rentang takanan darah ortostatik)
normal jika diperlukan
 Tidak adanya tanda- 3. Monitoring vital sign
tanda dehidrasi 4. Monitoring masukan
(elastisitas turgor kulit baik, makanan/ cairan dan hitung
membran mukosa lembab, tidak intake kalori harian
ada rasa haus yang berlebihan) 5. Lakukan terapi IV
6. Monitoring position nutrisi
7. Berikan cairan
8. Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
9. Dorong intake cairan oral
10. Berikan pengganti
nasogastrik sesuai output
11. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
12. Tawarkan snack (jus buah,
buah segar)
13. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebihan
muncul memburuk
Kerusakan Integritas NOC : Tissue Integrity: Skin and NIC : Pressure Ulcer prevention
kulit berhubungan Mucos Wound care
dengan lesi dan Kriteria Hasil  Anjurkan pasien untuk
cedera mekanik  Tidak ada tanda-tanda menggunakan pakaian
(luka akibat infeksi yang longgar
garukan)  Ketebalan dan tekstur  Jaga kulit agar tetap
jaringan normal bersih dan kering
 Menunjukan pemahaman  Monitoring kulit akan
dan proses perbaiukan adanya kemerahan
kulit  Oleskan lotion atau
 Menunjukan terjadinya minyak/baby oil pada
proses penyembuhan daerah yang tertekan
luka  Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
 Ajarkan pada keluarga
tentang luka dan
perawatan luka
 Monitoring status nutrisi
pasien
Hipetermi NOC: Themoregulation NIC : Fever Treatment dan
berhubungan dengan Kriteria Hasil Temperature regulation
proses inflamasi  Suhu tubuh dalam rentan  Monitoring suhu sesering
normal mungkin
 Tidak ada perubahan  Monitoring warna dan
warna kulit suhu kulit
 Nadi dan RR dalam  Monitoring TD,Nadi dan
rentang normal RR
 Berikan antipiretik
 Selimuti pasien
 Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
 Monitoring suhu tiap 2
jam

B. KERACUNAN MAKANAN
1. PENGERTIAN

Keracunan makanan merupakan satu penyakit Gastroenteritis Akut, yang terjadi


karena kontaminasi bakteri hidup atau toksin yang dihasilkan pada makanan atau
kontaminasi zat-zat organic dan racun yang berasal dari tanaman dan binatang (Budiman,
2012)
Keracunan makanan adalah penyakit yang disebbakan oleh karena mengkonsumsi
makanan yang mengandung bahan berbahaya, toksik atau yang terkontaminasi.
Kontaminasi bisa oleh bakteri, virus, parasite, jamur dan toksin (Sartono, 2001)
2. ETIOLOGI.
Menurut Budiman (2012) penyebab keracunan makanan ada beberapa macam yang
bisa dimulai dari ringan sampai berat. Secara umum yang banyak terjadi sebagai penyabab
keracunan makanan adalah:
1. Mikroba
Mikroba yang menyebabkan keracunan diantaranya:
a. Escherichia coli pathogen
b. Staphilococus aureus
c. Salmonella
d. Bacillis Parahemolyticus
e. Clostridium Botulisme
f. Streptococus
2. Bahan Kimia
Pada bahan kimia ini penyebabnya adalah:
a. Peptisida golongan organofosfat
b. Organo sulfat dan karbonat
3. Toksin.
Penyebab keracunanan makanan pada toksin, antara lain:
a. Jamur
b. Keracunan singkong
c. Tempe Bongkrek
d. Bayam beracun
e. Kerang
3. PATOFISIOLOGI
Keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroba, bahan kimia dan toksin dapat
mempengaruhi vaskuler sistemik sehingga terjadi penurunan fungsi organ-organ dalam
tubuh. Biasanya akibat dari keracunan menimbulkan mual, muntah diare, perut kembung,
gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi darah dan kerusakan hati. Terjadi mual muntah
karena iritasi pada lambung sehingga HCL dalam lambung meningkat. Makanan yang
mengandung kimia beracun (IFO) dapat menghambat enzim arstikolinesterase tubuh
(KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arachnoid (AkH)
dengan jalan mengikat AkH-KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi
dengan ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi, akibatnya akan terjadi penumpukan AkH di
tempat-tempat tertentu, sehungga timbul gejala-gejala rangsangan AkH yang berlebihan
yang akan menimbulkan muscarinic, nikotinik dan rangsangan yang kemudian menjadi
depresi sistem saraf pusat.
4. MANIFESTASI
Gejala yang paling menonjol adalah:
1. Kelainan visus
2. Hiperakivitas kelenjar ludah dan keringat
3. Gangguan saluran pencernaan
4. Kesukaran bernafas.
Manifestasi keracunan makanan juga bisa dilihat dari tahapan keracunan makanan ringan,
sedang dan berat.
1. Keracunan ringan , penderita merasakan anoreksia, nyeri kepala, lemah, rasa takut,
tremor pada lidah dan kelopak mata dan pupil miosis.
2. Keracunan sedang, penderita mengalami mual muntah, kejang dank ram perut,
hipersalifa, hiperdrosis, fasikulasi otot dan bradikardi.
3. Keracunan berat, penderita mengalami diare, reaksi cahaya negative, sesak nafas,
sianosis, edema paru, inkontinensia urine dan feses, kovulsi, koma dan blockade
jantung yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
5. KOMPLIKASI
Komplikasi pada keracunanan makanan biasanya didapatkan:
1. Kejang
2. Koma
3. Henti jantung
4. Henti nafas (apnoe)
5. Syok
6. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan emergensi
– Airway : Bebaskan jalan nafas, bila perlu dilakukan intubasi
– Breathing :Berikan nafas buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau
pernafasan tidak ade kuat
– Cirkulasi : Pasang infus bila keadaan penderita gawat darurat dan perbaiki perfusi
jaringan.
2. Resusitasi
Setelah jalan nafas dibebaskan periksa pernafasan dan nadi. Infus Dextrose 5%, nafas
buatan, O2, hisap lender dalam saluran pernafasan, hindari obat-obat depresan saluran
nafas, kalau perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari nafas buatan dari mulu
ke mulut, sebab racun orga fhosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernafasan
buatan hanya dilakukan dengan menggunakan alat bag-valve-mask
3. Identifikasi penyebab
Bila memungkinkan lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi identifikasi ini
jangan sampai menunda usaha penyelamatan penderita yang segera mendapatkan
pertolongan.
4. Mengurangi absorbs.
Menguras absorbsi dilakukan dengan merangsang muntah, menguras lambung, dan
membersihkan usus.
5. Meningkatkan eliminasi
Meningkatkan eliminasi racun dapat dengan diuresis basa atau asam, dosis multiple
karbon aktif, dan dialysis dan hemoperfus.
7. PENCEGAHAN KERACUNAN MAKANAN
Beberapa hal sederhana dapat dilakukan untuk meminimalkan potensi terjadinya
keracunan makanan. Ikutilah petunjuk WHO mengenai 5 langkah menuju keamanan
pangan dengan seksama, seperti berikut ini :
1. Jagalah kebersihan
2. Pisahkan bahan pangan mentah dan matang
3. Masaklah hingga matang
4. Simpanlah makanan pada suhu yang aman
5. Gunakan air bersih dan bahan pangan yang masih segar (WHO, 2015)
8. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI KERACUNAN MAKANAN
A. PENGKAJIAN
Pemeriksaan fisik:
a. Keadaan umum
Kesadaran menurun
b. Pernafasan
Nafas tidak teratur
c. Kardiovaskuler
Hipertensi, nadi aritmia
d. Persarafan
Kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran, kelemahan, paralise
e. Gastrointestinal
Muntah, diare
f. Integumen
Berkeringat
g. Muskuloskeletal
Kelelahan, kelemahan
h. Integritas ego
Gelisah, pucat
i. Eliminasi
Diare
j. Selaput lendir
Hipersaliva
k. Sensori
Mata mengecil/membesar, pupil miosis
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas infektif b.d obstruksi trakheobronkeal
2. Devisit volume cairan b.d muntah, diare
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
4. Gangguan perfusi jaringan b.d kekurangan O2
C. INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Pola nafas infektif b.d obstruksi trakheobronkeal
Tujuan : menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam
rentang normal dan paru bersih
Kriteria hasil : suara nafas normal
Intervensi :
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
Rasional : untuk mengetahui pola nafas dan keadaan dada saat bernafas
b. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
Rasional : untuk memberikan kenyamanan dan memberikan posisi yang baik
untuk melancarkan respirasi
c. Dorong atau bantu klien dalam mengambil nafas dalam
Rasional : untuk membantu melancarkan pernafasan klien
2. Devisit volume cairan b.d muntah, diare
Tujuan : mempertahankan volume cairan adekuat
Intervensi :
a. Awasi intake dan output, karakter serta jumlah feses
Rasional : untuk mengetahui pemasukan dan pengeluaran kebutuhan cairan
klien
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor
kulit
Rasional : untuk mengetahui apakah klien kekurangan cairan dengan
mengamati sistem integumen
c. Kolaborasi pemberian cairan paranteral sesuai indikasi
Rasional : untuk membantu menormalkan kembali cairan tubuh klien
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anorexia (muntah)
Tujuan : nutrisi adekuat
Intervensi :
a. Catat adanya muntah
Rasional : untuk mengetahui frekuensi cairan yang keluar pada saat klien
muntah
b. Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
Rasional : untuk membantu klien agar tidak kekurangan nutrisi
c. Berikan makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi
Rasional : untuk membantu klien agar dapat mencerna makanan dengan lancar
serta tidak lagi mengalami mual, muntah
d. Kolaborasi pemberian antisida sesuai indikasi
Rasional : untuk mengurangi nyeri pada abdomen
4. Gangguan perfusi jaringan b.d kekurangan O2
Tujuan : terjadi peningkatan perfusi jaringan
Intervensi :
a. Observasi warna dan suhu kulit atau membran mukosa
Rasional : untuk mengetahui apakah klien mempunyai alergi kulit
b. Evaluasi ekstremitas ada atau tidaknya kualitas nadi
Rasional : untuk mengetahui apakah klien mengalami takikardi/bradikardi dan
kekuatan pada ekstremitas
c. Kolaborasi pemberian cairan (IV/peroral) sesuai indikasi
Rasional : untuk menetralkan intake kedalam tubuh
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,
Jakarta:EGC
Dochterman, Joanne Mccloskey. 2000. Nursing Intervention Classification. America :
Mosby.
Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta: Digna Pustaka.
Swanson, Elizabeth. 2004. Nursing Outcome Classification. America: Mosby
Williams, Lipincott & Wilkins.2011.Nursing: Memahami Berbagai Macam
Penyakit.Jakarta:Indeks
Budiman, C. (2012). Pengantar Kesehatan dan Lingkungan. Jakarta: Kedokteran EGC.

Sartono. (2001). Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika.

Nurse Unija Sumenep. (2014). Asuhan Keperawatan Keracunan Makanan

WHO. (2015). Penyakit Akibat Keracunan Makanan. Regional Office For South-East Asia :
WHO. Retrieved from
http://www.searo.who.int/indonesia/publications/foodborne_illnesses-id_03272015.pdf

Anda mungkin juga menyukai