Anda di halaman 1dari 13

LEARNING OBJECTIVE TERMIN ALERGI BLOK 20 SKENARIO 1

1. Reaksi-reaksi hipersensitivitas!
2. Patomekanisme pada skenario!
3. Tata laksana pada skenario !
4. Hubungan riwayat keluarga!
5. Patomekanisme alergi ( Susu Sapi)
JAWABAN LO

1. Reaksi-Reaksi Hipersensitivitas
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat nonspesifik.
Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan
IgE. Sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T bila mana bertemu
dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi bilamana jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang terjadi pada
individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen
tertentu. Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell & Coombs
membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yaitu : Pertama, Tipe I (reaksi
anafilatik). Reaksi anafilatik merupakan hipersensitivitas tipe cepat klasik. Anafilaksis
dipengaruhi oleh regain misalnya anafilaksis, atropi dan lain-lain. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe I turut berperan serta IgG, IgE, dan Histamin. Kedua, Tipe II
(reaksi sitotoksik). Reaksi ini pada umumnya terjadi akibat adanya aktifasi dari sistem
komplemen setelah mendapat rangsangan dari adanya komleks antigen antibody. IgG,
IgM, dan komplemen berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe II. Ketiga, Tipe III
(reaksi kompleks imun). Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terjadi kerusakan yang
disebabkan oleh kompleks antigen antibody. Pada reaksi ini berperan IgG, IgM, dan
komplemen. Keempat, Tipe IV (reaksi tipe lambat). Hipersensitivitas tipe lambat atau
yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi oleh
sel.
Alergi makanan

Alergi makanan adalah respons abnormal terhadap makanan yang diperantarai oleh
reaksi alergi imunologis.Sebagian besar keluhan mengenai makanan adalah intoleransi
makanan bukan suatu alergi makanan. Alergi makanan dapat bermanisfestasi seperti alergi
yang lain pada satun organ atau berbagai organ target pada kulit seperti urtikaria,angioedema
,dermatitis kontak,pada saluran napas rinitis;asma saluran cerna nyeri abdomen ,muntah pada
kardiovaskuler syok anafilaktik.Alergi makanan pada orang dewasa dapat merupakan alergi
yang sudah terjadi saat anak-anak atau reaksi yang memang baru terjadi pada usia
dewasa.Secara umum patofisiologi alergi makanan dapat diperantarai IgE maupun tidak
diperantarai oleh IgE.

Kata 'alergi' umumnya digunakan untuk menggambarkan reaksi imunitas segera diperantarai
oleh IgE Ab. Interaksi antara alergen dan antibodi IgE menyebabkan pelepasan cepat
mediator dari sel efektor (yaitu, sel mast dan basofil), mengakibatkan gejala kulit, saluran
napas dan GI akut. 8 Frekuensi yang mengalami reaksi makanan yang diperantarai non IgE
dilaporkan meningkat dengan frekuensi. reaksi dapat bervariasi dari dermatitis atopik sampai
makanan protein-induced enterocolitis syndrome (FPIES). Mekanisme yang tepat tidak
diketahui, tetapi kebanyakan studi menunjukkan patofisiologi diperantarai sel T yang dapat
diidentifikasi pada FPIES dan pada pasien dermatitis atopik. Salah satu masalah yang paling
sulit dalam mengidentifikasi dan mengobati reaksi non-IgE-mediated adalah kurangnya
standar pengujian protokol dan kesulitan atau memperoleh riwayat klinis yang akurat.
Diperlukan penelitian lebih lanjut di bidang ini untuk pengetahuan di bidang reaksi makanan
non IgE.

Referensi :

Riwayati. 2015. Reaksi hipersensitivitas atau alergi. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera Vol. 13
(26) Des. 2015 ISSN : 1693 – 1157

Zuhrial Zubir, Herlina M.Sitorus Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Fakultas
Kedokteran Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS.H.Adam Malik Medan

2. Patomekanisme pada skenario !


Rhinitis alergi adalah Kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore,
gatal, tersumbat setelah mukosa terpapar alergen yang diperantarai IgE (WHO-
ARIA 2001)
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan
organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirupan,
untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung
akan dibersihkan oleh sistem mukosilia. Pada permukaan mukosa hidung dan lamina
propria terdapat sel mast dan basofil, yang merupakan unsur terpenting pada
patofisiologi rinitis alergi. Orang yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau
debu rumah, kecoa, kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan diselaputi
oleh IgE terhadap alergen spesifik tersebut. Paparan ulang terhadap alergen tersebut
memicu suatu rangkaian kejadian yang meliputi 1865 respons fase cepat dan fase
lambat yang menimbulkan gejala rinitis alergi. Respons fase cepat timbul dalam
beberapa menit setelah paparan. Paparan terhadap alergen menyebabkan migrasi sel
mast dan basofil yang sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina propria ke permukaan
epitel. Bagian Fc dari molekul IgE berikatan dengan permukaan sel sementara bagian
Fab bebas untuk menerima molekul alergen. Jika alergen berikatan dengan dua
molekul IgE yang terikat pada permukaan sel, maka preformed mediator seperti
histamin dilepaskan dari sel. Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolism
fosfolipid membran menjadi asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu
rangkaian newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin,
dan tromboksan. Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan timbulnya
secara mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan rinore. Histamin
merupakan mediator utama dan telah diteliti dengan baik pada rinitis alergi. Histamin
menimbulkan gejala melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Efek langsung
meliputi peningkatan permeabilitas epitel, sehingga memudahkan kontak antigen
dengan basofil dan sel mast pada lamina propria, dan meningkatkan dilatasi dan
permeabilitas vaskular. Hal ini memerlukan interaksi histamin dengan reseptor H1
dan H2 pada pembuluh darah. Secara tidak langsung, histamin merangsang reseptor
H1 pada saraf sensorik, mengawali jalur refleks parasimpatetik yang menyebabkan
bersin, gatal dan hipersekresi kelenjar. Terdapat bukti yang menduga bahwa penderita
rinitis alergi hiperaktif terhadap faktor lingkungan nonspesifik meliputi perubahan
temperature dan kelembaban serta polutan. Peningkatan sensitivitas ini dapat
disebabkan akibat ketidakseimbangan primer di samping perubahan sekunder yang
disebabkan oleh mediator yang dilepaskan oleh reaksi alergi. Respons fase lambat
terjadi dalam waktu 4-8 jam setelah paparan alergen dan merupakan suatu proses
cellular-driven dengan adanya infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit T dan
makrofag, yang melepaskan mediator inflamasi dan sitokin tambahan dan
memperpanjang respons proinflamasi. Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai
penyebab gejala kronis dan persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan hidung,
anosmia, hipersekresi mukus dan hiperresponsif nasal terhadap alergen yang sama
atau alergen lainnya dan iritan. Paparan alergen yang terus-menerus seringkali
menyebabkan keadaan inflamasi kronis.
Referensi :
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair). Rhinitis alergi pada anak.
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI02_Rintis-Alergi.pdf

3. Tatalaksana Pada skenario!


Strategi pengobatan untuk rhinitis alergi berdasarkan beratnya rhinitis.
Pendekatan ini disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ARIA (Allergic Rhinitis
and Its Effect on Asthma) laporan. Farmakoterapi dan menghindari alergen adalah
pendekatan awal untuk rhinitis alergi, dengan tingkat keparahan dari rhinitis biasanya
memodifikasi farmakoterapi tersebut. Terapi antihistamin oral digunakan untuk
penyakit ringan; nasal terapi kortikosteroid topikal, dengan atau tanpa terapi
antihistamin oral di moderat untuk penyakit yang parah. azelastine topikal,
montelukast lisan atau dekongestan oral dianggap baik sebagai add-on pengobatan
atau kadang-kadang sebagai monoterapi dalam kasus azelastine. Specific
immunotherapy umumnya dicadangkan untuk, penyakit persisten lebih parah.
Tata laksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1
generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel mast.
Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori berat. Tindakan
bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan airfluid level
atau deviasi septum nasi
Referensi: Mahmoudi, M, 2008, Allergy and Asthma: Practical Diagnosis and
Management, New York: McGraw Hill.
Lecture dr.Christine Rony Nayoan Sp.THT-KL
4. Hubungan riwayat keluarga

Alergi adalah respons sistem imunitas tubuh yang bekerja secara berlebihan untuk
melawan alergen atau zat pemicu alergi yang masuk ke dalam tubuh. Jumlah kasus alergi
pada anak terus meningkat dua dekade terakhir. Majalah Parents terbitan Amerika Serikat
menyebut, satu dari 13 anak sekarang terindikasi alergi makanan. Ini berarti terjadi
peningkatan 100 persen dibanding 15 tahun lalu.
Reaksi alergi pada anak beragam, mulai yang ringan, seperti gatal-gatal di mulut, di
badan, atau sakit perut. Namun 40 persen mengalami gejala alergi berat, seperti ruam di
kulit, gatal yang teramat sangat, batuk pilek, muntah, detak jantung tidak normal, hingga
sesak napas.
Alergi bisa disebabkan oleh faktor keturunan. Bila ditemukan riwayat alergi pada
ibu dan ayah, anak berpeluang 80 persen mengalami alergi. Risiko alergi menurun hingga
40 persen jika hanya salah satu orang tua yang membawa riwayat alergi. Namun alergi
tetap bisa terjadi pada anak dengan orang tua yang bahkan tidak memiliki riwayat alergi.

Referensi

Kuliah Pakar dr. Benyamin Sp.THT-KL. 2017. Kelainan Hidung dan Sinus paranasal.
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
5. Alergi susu sapi
Alergi susu sapi adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai
secara imunologi terhadap protein susu sapi. Dikaitkan dnegan rekasi hipersensitivitas
tipe 1. Diperantarai oleh antibodi igE dan non IgE. Insiden 2-7,5 persen dan 0,5
persen pada bayi dengan ASI ekslusif. Gejala : Sebagaian besar ringan-sedang.
Alergi susu sapi terjadi karena mekanisme pertahanan spesifik dan non-
spesifik saluran cerna bayi belum sempurna. Susu sapi adalah protein asing utama
yang diberikan kepada seorang bayi, Harus dibedakan antara alergi susu sapi suatu
reaksi imunologis dan reaksi intoleransi yang bukan berdasarkan kelainan imunologis
seperti efek toksik dari bakteri stafilokok, defek metabolik akibat kekurangan enzim
laktase, reaksi idiosinkrasi atau reaksi simpang dari bahan-bahan lain yang
terkandung dalam susu formula.
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 40 komponen protein
yang dapat mengganggu respon imun yang menyimpang pada seseorang. Protein susu
sapi terbagi menjadi kasein and whey. Kasein yang berupa bagian susu berbentuk
kental biasanya didapatkan pada terdiri dari 76-86% dari protein susu
sapi. Kasein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6. Whey terdiri dari 20%
total protein susu, yang terdiri dari β -lactoglobulin (9% total protein susu), α -
lactalbumin (4%), bovine immunoglobulin (2%), bovine serum albumin (1%), dan
sebagian kecil beberapa proteins seperti lactoferrin, transferrin, lipases (4%). Dengan
pasteurisasi rutin tidak cukup untuk menghilangkan protein ini tetapi sebaliknya
meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu seperti b-laktoglobulin.
Banyak penelitian mengenai alergenitas protein susu sapi. Terdapat lebih dari 40 jenis
protein yang berbeda dalam susu sapi yang berpotensi untuk menyebabkan sensitivitas.
Kandungan pada susu sapi yang paling sering menimbulkan alergi adalah lactoglobulin,
selanjutnya casein, lactalbumin bovine serum albumin (BSA). Analisa
Immunoelectrophoretic menunjukkan bahwa casein berkurang alergenisitasnya setelah
pemanasan sekitar 120 C selama 15 menit, sedangkan lactoglobulin, lactalbumin berkurang
terhadap pemanasan lebih dari 100C. BSA and gammaglobulin kehilangan antigenisitasnya
pada suhu antara 70C – 80C.

Pemanasan penuh akan terjadi denaturasi dari beberapa protein whey. β –


lactoglobulin merupakan penyebab alergen paling kuat. Penelitian lain menyebutkan antibodi
IgE antibodi terhadap α -lactalbumin, β -lactoglobulin, bovine serum albumin, and bovine
gamma globulin adalah penyebab alergi paling sering pada manusia, sedangkan caseins
adalah penyebab alergi terbanyak. Penelitian terakhir menyebutkan casein-specific IgE
didapatkan 100% pada kelompok penderita alergi, IgE dari β –lactoglobulin sekitar 13%, α -
lactalbumin sekitar 6%.

Referensi :

Rekomendasi IDAI : Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi, 2009

Jurnal Pediatri. 2012. Alergi susu sapi, permasalahan dan penanganannya.


https://jurnalpediatri.com/2012/03/08/alergi-susu-sapi-permasalahan-dan-penanganannya/
DAFTAR PUSTAKA

Rekomendasi IDAI : Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi, 2009

Jurnal Pediatri. 2012. Alergi susu sapi, permasalahan dan penanganannya.


https://jurnalpediatri.com/2012/03/08/alergi-susu-sapi-permasalahan-dan-penanganannya/

Kuliah Pakar dr. Benyamin Sp.THT-KL. 2017. Kelainan Hidung dan Sinus paranasal.
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Mahmoudi, M, 2012, Allergy and Asthma: Practical Diagnosis and Management, New
York: McGraw Hill. (Lecture dr.Christine Rony Nayoan Sp.THT-KL)

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair). Rhinitis alergi pada anak.


http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI02_Rintis-Alergi.pdf

Riwayati. 2015. Reaksi hipersensitivitas atau alergi. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera Vol. 13
(26) Des. 2015 ISSN : 1693 – 1157

Zuhrial Zubir, Herlina M.Sitorus Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Fakultas
Kedokteran Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS.H.Adam Malik Medan

Anda mungkin juga menyukai