Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

SKIN PRICK TEST


Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik
di bagian ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Indera Istiadi, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Chamim Faizin
20164011154

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Reaksi Alergi
1. Definisi Alergi
The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah
menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara
global. Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh
mekanisme imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan
tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel
T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang
secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis toleransi oleh individu normal.
2. Etiologi Alergi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada
umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan,
disebut alergen. Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis
misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin,
streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat
menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain
serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus
Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat
menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan
untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat
radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara
(kotoran tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah
seperti gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat merangsang mediator
alergi sehingga timbul manifestasi alergi.
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan
dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga
makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika
diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan manifestasi penyakit
alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap asing
oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga
makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian
menimbulkan hipersensitivitas.
3. Epidemiologi Alergi
Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di
dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang, terlebih selama
dua dekade terakhir. Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh
dunia mengalami manifestasi alergi seperti asma, rinokonjungtivitis,
dermatitis atopi atau eksema dan anafilaksis. WHO memperkirakan alergi
terjadi pada 5-15% populasi anak di seluruh dunia. Pada fase 3 dari studi
yang dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in
Childhood (ISAAC) pada tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa prevalensi
asma bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis atopik cenderung meningkat
di sebagian besar lembaga dibandingkan data 5 tahun sebelumnya.
Pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kadar IgE <0,1 IU/ml,
manifestasi alergi yang sering dijumpai adalah atopi simptom (40%),
dermatitis atopi (35,3%), rhinitis alergi/hipersekresi nasal (15,4%),
asma/”wheezy infant” (7,7%), gangguan gastrointestinal (7,7%), dan
konjungtivitis alergi (1,5%).18 Dermatitis atopi merupakan manifestasi
awal penyakit atopi dengan insiden tertinggi pada 3 bulan pertama
kehidupan dan mencapai prevalensi tertinggi selama 3 tahun pertama
kehidupan.19 The Copenhagen Prospective Study on Asthma in
Childhood (COPSAC) melaporkan dermatitis atopi pertama kali dijumpai
pada usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada usia
2,5 tahun.
4. Klasifikasi Reaksi Alergi
Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat
kelas. Alergi sering disamakan dengan hipersensitif tipe I.
5. Patofisiologi Alergi
a. Mediator alergi
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi.
Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit.
Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk
reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin,
newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik
terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu
sel mast.Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE
yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini
meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang
meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke
dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah
yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos.
Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-
flare (triple respons dari Lewis) dan bila terjadi sistemik dapat
menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung dan
bila penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos
usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien,
prostaglandin dan tromboksan. Leukotrien dapat menimbulkan efek
kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas dan sekresi mukus.
Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga
meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan
E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.
Eosinophyl chemotacting factor-anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan
segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat
reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan
menghalangi aksi newly synthesized mediator dan histamin. Plateletes
Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan
meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan
faktor XII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin
dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara
lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast
manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi
trombosit yang juga akan menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi
hanya sebentar.

Gambar 1. Jalur reaksi alergi


b. Fase sensitisasi
Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute
diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika
masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting
Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian APC akan
mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II
kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0
akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel
Th menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B)
untuk memproduksi Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi,
Th1 tidak cukup kuat menghasilkan interferon gamma (IFN-ɤ) untuk
mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif
memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi
antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor IgE
berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.
c. Fase reaksi
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan
mengalami degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke
lingkungan ekstrasel yang berupa histamin, prostaglandin, serta
sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala klinis.
d. Fase reaksi lambat
Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan
puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi sel
imun seperti basofil, eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat
kontak dengan paparan alergen. Sel-sel tersebut akan mengeluarkan
substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun
berkepanjangan serta kerusakan jaringan.
6. Faktor risiko Alergi
Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene.
Beberapa faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka
kejadian alergi pada bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol
pada masa kehamilan, pola diet atau komponen makanan ibu ketika masa
kehamilan dan menyusui, penggunaan antibiotik, metode persalinan
seksio sesarea, bayi lahir prematur, bayi berat lahir rendah, nutrisi yang
diperoleh bayi serta ada atau tidaknya hewan peliharaan.

Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi angka kejadian alergi


7. Manifestasi klinis Alergi
Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ
target yang terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling
sering dijumpai pada bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit.
Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah
muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling
menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang
menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan
gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang
terganggu.
Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai
dengan nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai
dengan bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis.
Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi
makanan dengan gejala nyeri perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi
terjadi sistemik dapat terjadi syok anafilaksis.
Penyakit alergi pada mata juga dapat dijumpai pada bayi namun
dengan presentase kecil. Secara klinis ditandai dengan mata berair,
hiperemia konjungtiva, gatal mata, bayi menunjukkan gerakan menggosok
mata. Gejala muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada hubungannya
dengan infeksi.
8. Inhalasi alergen berasosiasi dengan rinitis
Pernafasan merupakan jalan utama sebagai masuknya bahanbahan
alergen. Kebanyakan orang hanya terpengaruh sedikit oleh adanya alergen
yang masuk, misalnya menimbulkan bersin maupun keluarnya ingus.
Kondisi demikian ini disebut alergi rhinitis yang disebabkan oleh aktivasi
sel mast mukosa yang berada di bawah sel epitelium mukosa. Bahan
alergen misalnya serbuk sari mempunyai protein yang dapat dilepaskan
dan protein tersebut dapat berdifusi menembus membran mukosa pada
hidung. Alergi rinitis mempunyai ciri-ciri rasa gatal dan bersin-bersin
berkepanjangan, terjadi pembengkakan lokal pada hidung yang
menyebabkan tersumbatnya pernafasan. Dalam kondisi ini terjadi
peningkatan eosinofil dan juga terjadi iritasi hidung akibat pelepasan
histamin. Reaksi yang serupa dengan alergen udara dapat terjadi pada
konjungtiva ketika alergen tersebut terdeposit pada konjungtiva mata,
yang disebut alergi konjungtivitis. Alergi rinitis dan konjungtivitis
umumnya ditimbulkan oleh allergen lingkungan yang kejadiannya pada
musim tertentu. Sebagai contoh, alergi serbuk sari disebabkan berbagai
macam alergen, termasuk serbuk sari dari rumput maupun serbuk sari dari
pohon. Alergi yang dipengaruhi musim ini dalam istilah medis disebut
rhinokonjungtivitis musiman. Pada musim panas dan musim gugur gejala
alergi dapat ditimbulkan oleh serbuk sari golongan rerumputan atau dari
spora jamur sperti Alternaria. Alergen tahunan seperti bulu kucing dan
debu rumah dapat menjadi penyebab penderitaan sepanjang tahun.
B. Alergi pada Penyakit THT (Rinitis Alergi)
1. Pengertian
Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang dapat
terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita
dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi rinitis alergi pada dekade
terakhir ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk
dunia dan lebih dari 500 juta orang menderita penyakit ini yang
merupakan salah satu penyebab terbanyak seseorang mengunjungi dokter
umum maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok-bedah kepala
leher.
Rinitis alergi muncul ketika membran mukosa terpapar oleh alergen
sehingga memberikan respon yang diperantarai oleh immunoglobulin E
(IgE), respon ini memacu pelepasan mediator inflamasi. Rinitis alergi
ditandai dengan gejala karakteristik seperti bersin-bersin, hidung
tersumbat, rinore, rasa gatal, mata merah dan berair. Rinitis alergi ini
banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga, antara lain asma,
urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema dan penyakit atopi lainnya.
2. Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO,
menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001,
berdasarkan sifat berlangsungnya reaksi alergi dibagi menjadi:
a). Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu,
b). Persisten (menetap), bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari
4 minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
a). Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu,
b). Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas
3. Patofisiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell / APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk kompleks peptide MHC kelas II (Mayor Histocompatibility
Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0),
kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan
IL 13. IL4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators)
terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain Prostaglandin D2 (PG D2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), Bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf vidianus juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Intercellular Adhesion
Molecule 1(ICAM - 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil
di jaringan target. Respon ini akan berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM-1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hipereaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Mayor Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
4. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa
alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perennial (sepanjang tahun)
di antaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan dan binatang pengerat. Faktor makanan juga
merupakan penyebab terjadinya rinitis alergi, dikarenakan adanya
beberapa makanan bersifat aeroalergen, yaitu asap masakan yang
menimbulkan gejala-gejala rinitis alergi.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
seprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
5. Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal
ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih
dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring
atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung
ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak,
disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema
kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam di bawah mata
(allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani
atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba Eustachius.
Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita
suara. Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post
nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah
marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

C. Tes Alergi
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan
melakukan anamnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan sensitivitas IgE, tes pada kulit atau allergen specific serum IgE
measurements (RAST).
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain ialah keluar sekret (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala
seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal,
ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta
berair maka dinyatakan positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah.
Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang
encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat
pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan
lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
a.) In vitro
Hitung eosinophil total
Hitung eosinophil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis
dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Hitung eosinofil dalam
darah tepi dapat normal atau meningkat. Eosinofilia apabila dijumpai
jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/μL.Hitung eosinofil
total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung
jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total.
Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi
parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan
eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva.
Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat
dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah
dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid secara
sistemik.
Hitung eosinofil dalam sekret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan
indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan
dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain.
Meskipun demikian tidak dapat menentukan alergen penyebab yang
spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila ditemukan eosinofil lebih
dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada remaja dan
dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga dapat
memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung topikal.
Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus
dan konjungtiva.
Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit
alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan
pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis
alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih
tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih
kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai
diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total didapatkan normal pada
50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi
(infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).
Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan
metode RAST (Radio Allergosorbent Test ), ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent Assay ), atau RAST enzim.Kelebihan metode RAST
dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi
oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik
dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas RAST lebih
rendah.
b.) In vivo
Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan
reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak
sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen
akan menimbulkan hubungan silang antara alergen dengan sel mast
permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast dan
melepaskan berbagai preformed dan newly generated mediator.
Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal,
gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif ). Reaksi
kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20
menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan
edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar
kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji
tusuk (skin prick test /SPT), dan uji gores (scratch test).
Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke
dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm.
Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu
ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga
berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif
dibanding skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk
alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
Uji gores (scratch test ): sudah banyak ditinggalkan karena kurang
akurat.
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen
hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik
adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari
lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam
gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit
ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.
Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,
efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi
reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit
paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas
SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen hirup.
Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah
namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang lebih
baik dengan gejala yang timbul.
2. Uji provokasi
Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan
alergen dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran
cerna, paru), maka dapat dilakukan uji provokasi.
• Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang
makin tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi jalan
napas. Atkins dalam penelitian menunjukkan bahwa uji provokasi
bronkial berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji alergi in vitro
.
• Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan
yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap makanan
tersebut. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka, single-blind,
double-blind, atau double-blind placebo-controlled Jika uji kulit
negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji
provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan diet
eliminasi selama tiga minggu. Pada uji provokasi susu sapi dilakukan
dengan memberikan susu sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30
ml/15 menit, dan bila telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi,
maka pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk
alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).
Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan
pada kulit. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE
spesifik (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker diagnosis
alergi, tetapi memiliki kelemahan. IgE meningkat pada penyakit alergi dan
juga non alergi seperti infestasi parasit, sehingga kurang spesifik. Sedangkan
pemeriksaan IgE spesifik untuk mengukur IgE spesifik alergen dalam serum
pasien.
Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit
alergi adalah skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan
Cellular antigen stimulation test (CAST).
Tes Alergi pada Kulit
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :
- Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi
oleh karena alergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
- Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga
- Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada
dermatitis kontak
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Skin Prick Test


Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang
banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE
spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit
ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut

B. Manfaat dan Tujuan Skin Prick Test


Tujuan Tes Kulit pada alergi:
Tes kulit pada alergi ini untuk menentukan macam alergen sehingga di
kemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.
Tes Cukit (Skin Prick Test) dapat mendiagnosis rhinitis alergi akibat
allergen inhalan dari derajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita
dengan sensitifitas rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun
terdapat korelasi dengan gejala klinis.

C. Kelebihan Skin Prick Test


Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain :
a. Karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika
dibandingkan dengan zat pembawa berupa air.
b. Mudah dialaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
c. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal
d. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang
masuk ke kulit sangat kecil.
e. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini
mampu dilaksanakan kurang dari 1 jam.
D. Indikasi Skin Prick Test
Indikasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) :

o Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan


medikamentosa sehingga diperlukan kepastian untuk mengetahui
jenis alergen maka di kemudian hari alergen tsb bisa dihindari.
o Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang terpapar
alergen (perenial).
o Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui makanan
yang menimbulkan reaksi alergi sehingga bisa dihindari.
o Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga.

E. Faktor yang mempengaruhi Skin Prick Test


Faktor-faktor yang mempengaruhi skin test
1. Area tubuh tempat dilakukannya tes
2. Umur
3. Sex
4. Ras
5. Irama sirkardian
6. Musim
7. Penyakit yang diderita
8. Obat-obatan yang dikonsumsi

F. Tatacara Skin Prick Test


a. Persiapan Tes Cukit ( Skin Prick Test)
Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat
perjalanan penyakit pasien, gejala dan tanda yang ada yang membuat
pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini terkait
secara genetik dan bisa membedakan apakah justru merupakan
penyakit non alergi, misalnya infeksi atau kelainan anatomis atau
penyakit lain yang gambarannya menyerupai alergi.
Persiapan Tes Cukit :
1. Persiapan bahan/material ekstrak alergen.
o gunakan material yang belum kedaluwarsa
o gunakan ekstrak alergen yang terstandarisasi
2. Pesiapan Penderita :
o Menghentikan pengobatan antihistamin 5-7 hari sebelum tes.
o Menghentikan pengobatan jenis antihistamin generasi baru
paling tidak 2-6 minggu sebelum tes.
o Usia : pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan
reaksi.
o Jangan melakukan tes cukit pada penderita dengan penyakit
kulit misalnya urtikaria, SLE dan adanya lesi yang luas pada
kulit.
o Pada penderita dengan keganasan,limfoma, sarkoidosis, diabetes
neuropati juga terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap
tes kulit ini.
Daftar Obat-obatan yang dapat mempengaruhi tes kulit sehingga
harus dibebaskan beberapa hari sebelumnya :
Anti histamin generasi I dibebaskan
klorfeniramin 1-3 hari
Klemastin 1-10 hari
Ebastin 3-10 hari
Hidroksisin 1-10 hari
Ketotifen 3-10 hari
Mequisatin 3-10 hari
Antihistamin generasi II Setirisin
Loratadin
feksofenadin 3-10 hari
Desloratadin
Astemizole 6 minggu
Antidepresan Imipramin
Fenotiazine 10 hari
Kortikosteroid jangka pendek
< 1 minggu
Cimetidin juga
Ranitidin mempengaruhi
tes kulit
Kromolin tidak
B 2 adrenergik agonis mempengaruhi
Teofilin tes kulit.

3. Persiapan pemeriksa :
o Teknik dan ketrampilan pemeriksa perlu dipersiapan agar
tidak terjadi interpretasi yang salah akibat teknik dan
pengertian yang kurang difahami oleh pemeriksa.
o Ketrampilan teknik melakukan cukit
o Teknik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat2
yang reaktifitasnya tinggi dan ada yang rendah. Berurutan
dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai rendah :
bagian bawah punggung > lengan atas > siku > lengan
bawah sisi ulnar > sisi radial > pergelangan tangan.
b. Prosedur Tes Cukit :
Tes Cukit ( Skin Prick Test ) seringkali dilakukan pada
bagian volar lengan bawah. Pertama-tama dilakuakn desinfeksi
dengan alkohol pada area volar, dan tandai area yang akan kita tetesi
dengan ekstrak alergen. Ekstrak alergen diteteskan satu tetes larutan
alergen ( Histamin/ Kontrol positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/
Kontrol negatif)menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau
blood lancet.
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 450
menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas
tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan
sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit
dengan menilai bentol yang timbul.
c. Mekanisme Reaksi pada Skin Test
Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast, pada sel mast
didapatkan granula-granula yang berisi histamin. Sel mast ini juga
memiliki reseptor yang berikatan dengan IgE. Ketika lengan IgE ini
mengenali alergen (misalnya house dust mite) maka sel mast terpicu
untuk melepaskan granul-granulnya ke jaringan setempat, maka
timbulah reaksi alergi karena histamin berupa bentol (wheal) dan
kemerahan (flare).

A
B

C
Gambar 1. A. Cara menandai ekstrak alergen yang diteteskan pada lengan

B. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet

C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit

G. Interpretasi Skin Prick Test


1. Mengukur diameter bentol yang terjadi dengan menggunakan planimeter.
Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya bentol yang
mempunyai ukuran diameter > 9 mm diatas control negative.
2. Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee
of Northern (Scandinavian) Society of Allergology dengan
membandingkan bentol yang timbul akibat alergen dengan bentol positif
histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai
berikut :
o Negative (-): apabila sama dengan control negative
o +1 (ringan) : apabila bentol lebih besar dari control negative dan
atau terdapat eritema
o +2 (sedang): apabila bentol lebih kecil dari kontrol positif tetapi
lebih besar dari kontrol negatif
o +3 (kuat): apabila bentol sama besar dengan kontrol positif
o +4 (sangat kuat): apabila bentol lebih besar dari kontrol positif
3. Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti
dikutip Rusmono sebagai berikut :1,3
-0 : reaksi (-)
- 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+ : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
- 3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)
- 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.
Tes kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu karena
tehnik yang salah atau faktor material/bahan ekstrak alergennya yang kurang
baik.
Jika Histamin ( kontrol positif ) tidak menunjukkan gambaran wheal/
bentol atau flare/hiperemis maka interpretasi harus dipertanyakan, Apakah
karena sedang mengkonsumsi obat-obat anti alergi berupa anti histamin atau
steroid. Obat seperti tricyclic antidepresan, phenothiazines adalah sejenis anti
histamin juga.
Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan potensi
alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi,
penyakit-penyakit tertentu, penurunan reaktivitas kulit pada bayi dan orang
tua, teknik cukitan yang salah (tidak ada cukitan atau cukitan yang lemah ).1
Ritme harian juga mempengaruhi reaktifitas tes kulit. Bentol terhadap
histamin atau alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada
pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat minimal.
Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan,
reaksi penyangatan (enhancement) non spesifik dari reaksi kuat alergen yang
berdekatan, atau perdarahan akibat cukitan yang terlalu dalam.
Dermografisme terjadi pada seseorang yang apabila hanya dengan
penekanan saja bisa menimbulkan wheal/bentol dan flare/kemerahan. Dalam
rangka mengetahui ada tidaknya dermografisme ini maka kita menggunakan
larutan garam sebagai kontrol negatif. Jika Larutan garam memberikan reaksi
positif maka dermografisme.
Semakin besar bentol maka semakin besar sensitifitas terhadap
alergen tersebut, namun tidak selalu menggambarkan semakin beratnya gejala
klinis yang ditimbulkan. Pada reaksi positif biasanya rasa gatal masih
berlanjut 30-60 menit setelah tes.
Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan
kesahihannya dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen.
Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif palsu.
Kesalahan yang Sering terjadi pada Skin Prick Test
4. Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )
5. terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false positive.
6. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit
kurang, memungkinkan terjadinya false-negative.
7. Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.
Hasil tes kulit negatif, tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes
2. Periksa adakah penyebab hasil negatif palsu
3. Observasi penderita selama adanya paparan allergen yang tinggi

BAB III
KESIMPULAN

1. Tes kulit merupakan alat diagnosis yang paling banyak digunakan untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit dan
memiliki sensitivitas yang tinggi, mudah murah dan cepat.
2. Skin Prick Test (SPT) merupakan suatu pemeriksaan yang dapat bertindak
sebagai suatu gold standard dalam mendiagnosis sensititasi IgE untuk
pasien alergi.
3. Efek samping dan resiko skin prick test amat jarang, dapat berupa reaksi
alergi yang memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera hilang.
Pemberian oral antihistamain dan kortikosteroid bisa dilberikan apabila
terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut.
4. Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya
dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test
untuk alergen makanan seringkali negatif palsu.
5. Pentingnya pemahaman test alergi mengenai indikasi, teknik dan
interpretasinya dapat meningkatkan kemampuan kita dalam menerangkan
pasien dan melakukan terapi selanjutnya.
Daftar Pustaka

1. Pawarti DR. Tes Kulit dalam Diagnosis Rinitis Alergi, Media Perhati.
Volume 10 2004; Vol 10 no 3 :18-23
2. Krouse JH, Marbry RL. Skin testing for Inhalant Allergy 2003 : current
strategies. Otolaryngolo Head and Neck Surgary 2003 ; 129 No 4 : 34-9.
3. Rusmono N. Diagnosis Rinitis Alergi secra invivo dan invitro. Dalam :
Kursus dan Pelatihan Alergi dan Imunologi. Konas XIII Perhati – KL.
Bali. 2003 ; 56-60
4. Mayo Clinic staff. Allergy skin tests: Identify the sources of your
sneezing, Mayo Foundation for medical education and research, April
2005 ; 1-5
5. Lie P. An Approach to Allergic Rhinitis, Respirology & Allergy Rounds.
April 2004; 39-45
6. Nelson HS, Lah J, Buchmeier A, McCormick D. Evaluation of Devices for
Skin prick Testing. J Allergy and Clin Immunol 1998; 101 : 153-6

Anda mungkin juga menyukai