Anda di halaman 1dari 4

Panduan Praktik Klinis

SMF : ILMU KULIT DAN KELAMIN


RSUD SIDOARJO, SIDOARJO
2012 - 2014

KUSTA
1. Pengertian (Definisi)

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan Fisik

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan


oleh basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat
intraseluler. Saraf perifer sebagai afinitas utama, lalu kulit,
selanjutnya dapat menyebar ke organ lain, kecuali susunan
saraf pusat.
1. Timbul makula hipopigmentasi atau eritema dengan hipo
atau anestesi.
2. Dapat disertai keluhan kelemahan otot dan berkurangnya
jumlah keringat.
3. Adanya riwayat kontak dengan penderita kusta.
4. Adanya latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di
daerah endemis.
5. Riwayat pengobatan.
Pada kulit dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu,
nyeri, dan rasa raba pada lesi yang dicurigai:
a. Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan
dengan cara tes panas dingin
b. Terhadap rasa nyeri digunakan jarum pentul
c. Terhadap rasa raba digunakan kapas
d. Gangguan autonomik terhadap kelenjar keringat dilakukan
guratan tes (lesi digores dengan tinta) penderita exercise,
bila tinta masih jelas maka tes menunjukkan positif/+
(Gunawan Test)
Pada saraf tepi dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan saraf tepi
yang berjalan di dekat permukaan kulit.
Cara Pemeriksaan:
1. N. aurikularis magnus
Kepala menoleh ke arah yang berlawanan, maka teraba
saraf menyilang muskulus Sternokleidomastoideus bagian
1/3 atas dan tengah
2. N. ulnaris
Posisi tangan dalam keadaan pronasi ringan, sendi siku
fleksi, jabat tangan penderita, raba epikondilus medialis
humerus, di belakang dan atas pada sulkus ulnaris. Urut ke
arah proksimal untuk membedakan dengan tendon.
3. N. peroneus lateralis homunis
Penderita duduk dalam keadaan lutut fleksi 90, raba
kapitulum fibulae, ke arah bagian atas dan belakang
4. N. tibialis posterior
Raba maleolus medialis kaki, raba bagian posterior dan
urutkan ke bawah ke arah tumit. Pemeriksaan harus
dibandingkan kiri dan kanan dalam hal size (besar), shape
(bentuk), texture (seratnya) dan tenderness (lunaknya).
Pada organ lain dapat timbul gejala lanjut akibat banyaknya
kuman, yaitu:
a. Facies leonine (gejala infiltrasi yang difus di muka)
b. Penebalan cuping telinga
c. Madarosis (penipisan alis mata bagian lateral)

d. Anestesi simetris pada kedua tangan-kaki (gloves &


stocking anaestesia)
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis

6. Diagnosis Banding

1. Timbul makula hipopigmentasi atau eritema dengan hipo


atau anestesi.
2. Dapat disertai keluhan kelemahan otot dan berkurangnya
jumlah keringat.
3. Adanya riwayat kontak dengan penderita kusta.
4. Adanya latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di
daerah endemis.
5. Riwayat pengobatan.
6. Periksa seluruh tubuh dengan pencahayaan yang baik,
sebaiknya sinar oblik.
7. Pemeriksaan lesi kulit (lokasi, morfologi)
8. Pemeriksaan uji sensibilitas (raba, nyeri, dan suhu)
9. Pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri
tekan, nyeri spontan)
Berdasarkan WHO pada tahun 1997, diagnosis berdasarkan
adanya tanda utama atau Cardinal Sign berupa:
1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa
dengan anestesi yang jelas
2. Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan
anestesi
3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut.
Lesi kulit
a. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea
versikolor, ptiriasis alba, morfea, dan parut
b. Plak eritem: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus
eritematosus, granuloma anulare, sifilis sekunder,
sarkoides, leukemia kutis, dan mikosis fungoides
c. Ulkus: ulkus diabetic, ulkus kalosum, frambusia, penyakit
Raynaud & Buerger
Gangguan Saraf
Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf,
trauma.

7. Pemeriksaan Penunjang

8. Terapi

Laboratorium:
1. Bakterioskopik: sediaan kerokan jaringan kulit dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen
2. Biopsi / PA
3. Lain-lain: pemeriksaan serologi
Medikamentosa : pengobatan kusta adalah Multi Drug
Treatment (MDT), standar WHO (1997)
a. Tipe PB dengan 2-5 lesi:
1. Rifampisin 600mg setiap bulan
2. DDS 100mg/hr
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 dosis yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan
b. Tipe MB:
1. Rifampisin 600mg/bulan
2. DDS 100mg/hari
3. Klofazimin 300mg setiap bulan, diteruskan 50mg
sehari atau 100mg selang sehari atau 3 kali 100mg
setiap minggu
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan.

c. Tipe PB dengan lesi tunggal:


1. Rifampisin 600 mg
2. Ofloksasin 400 mg
3. Minosiklin 100 mg
Lama pengobatan : diberikan 1 kali sebagai dosis tunggal.
d. MDTL alternatif
1. Bila terjadi toksisitas terhadap rifampisin, dapat
digantikan dengan ofloxacin 400 mg/hari dengan
minosiklin 100 mg/hari selama 6 bulan. Dilanjutkan
dengan ofloxacin 400 mg/hari atau minosiklin 100
mg/hari selama 18 bulan. Sementara DDS dan
klofazimin tetap diteruskan.
2. Bila terjadi toksisitas terhadap DDS, pada pasien
MH tipe PB, diganti klofazimin. Pada pasien MH
tipe MB, MDT tetap berlanjut tanpa DDS.
3. Bila pasien menolak pemberian klofazimin dapat
diganti dengan ofloxacin 400 mg/hari selama 12
bulan.
Atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloxacin 400
mg/bulan DAN minosiklin 100 mg/bulan selama 24
bulan.
Rawat inap
- Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat
- Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus,
gangren)
- Pasien dengan rencana tindakan operatif
Nonmedikamentosa
- Rehabilitasi medik, karya, sosial.
- Penyuluhan kepada pasien, keluarga, dan
masyarakat.
9. Edukasi

10. Prognosis

1. Meyakinkan pasien untuk teratur minum obat dan


memberitahu efek samping dari obat-obat tersebut.
2. Memberitahu pasien kemungkinan cacat yang akan
terjadi dan cara untuk menghindari kecacatan tersebut
sedini mungkin:
- Melindungi dan menjaga tangan yang anestesi
(mungkin pula yang telah cacat)
- Melindungi dan menjaga kaki yang anestesi
(mungkin pula yang telah cacat)
- Melindungi mata dari kerusakan dan menjaga
penglihatan
- Menjaga fungsi saraf
3. Menjaga agar cacat tidak kambuh lagi:
Pencegahan terjadinya transisi dari disability ke
handicap dapat dilakukan antara lain dengan
penyuluhan, adaptasi sosial, dan latihan
Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat Rekomendasi

: dubia ad bonam
(bila ditangani dengan cepat dan tepat)
: dubia ad bonam
(bila ditangani dengan cepat dan tepat)
: dubia ad bonam
(bila ditangani dengan cepat dan tepat)
I/II/III/IV
A/B/C

13. Penelaah Kritis

14. Indikator Medis

15. Kepustakaan

1. dr. Myrna Safrida, SpKK


2. dr. Rudy Wartono, SpKK
3. dr. Dhita Karina, SpKK
a. Gangguan sensibilitas atau rasa raba
b. Makula hipopigmentasi
c. Pemeriksaan BTA
1. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.
2. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin tahun 2005

Sidoarjo, 1 Desember 2012


Ketua Komite Medik

Ketua SMF Kulit & Kelamin

dr. M. Tauhid Rafii, SpM

dr. Myrna Safrida, SpKK

NIP. 19580505 198610 1 005

NIP. 19620405 198901 2 002

Direktur RSUD Sidoarjo

dr. Eddy Koestantono M., MM


NIP. 19551008 198801 1 001

Anda mungkin juga menyukai