KEPERAWATAN DEWASA
DISUSUN OLEH:
1. SALIA N
2. WARIANI
3. ENY PRATIWI
4. SITI UMIYATUN
5. IMAM TAUHID
6. SUMIATI B
7. ATANASIA F
8. AGUS SUTIONO
9. RIRIN KUSUMAWATI
10. IDA WENY
11. SLAMET HENY SUSANTO
12. JULIANA
13. DINA ARISTA
14. KRISYULIATI
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas berkah Allah SWT sehingga makalah yang kami susun
bersama kelompok dapat selesai sesuai waktu yang ditentukan.
Semua ini tidak lepas dari Kerjasama antar kelompok dan bimbingan dari dosen
pembimbing matakuliah keperawatan Dewasa.
Harapan dari kami semua semoga apa yang kami susun ini bisa bermanfaat bagi
teman sejawat khususnya dan masyarakat pada umumnya.
PENYUSUN
PENGERTIAN
Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan perlindungan.
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat menyebabkan
kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau pencetus
lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 menurut
klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid yang
memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi degranulasi sel mast atau
basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan merupakan
bagian dari syok distributive yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah
yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok
anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya
hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.
PENYEBAB
Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa
asing.[17] Hal yang sering menjadi pemicu antara lain: bisa dari gigitan atau sengatan
serangga, makanan, dan obat-obatan. Makanan merupakan pemicu tersering pada
anak-anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga
merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua. Penyebab
yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologis (seperti air mani),
lateks, perubahan hormon, aditif makanan (seperti monosodium glutamat dan pewarna
makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit. Faktor fisik seperti olahraga atau
suhu juga dapat memicu anafilaksis dengan efek langsung dari sel mast. Anafilaksis
karena berolahraga biasanya terkait dengan asupan makanan tertentu. Bila anafilaksis
timbul saat seseorang sedang dibius, penyebab tersering adalah obat penghambat saraf
otot, antibiotik, dan lateks. Pada 32–50% kasus, penyebab anafilaksis tidak diketahui.
Enam jenis vaksin (MMR, varicella, influenza, hepatitis B, tetanus, meningokokus) dapat
juga menjadi penyebab anafilaksis.
Makanan
Banyak makanan yang dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut
dikonsumsi untuk pertama kali. Pada budaya Barat, penyebab tersering adalah makan
atau terpapar dengan kacang tanah, gandum, kacang pohon , kerang, ikan, susu, dan
telur. Di Timur Tengah, wijen sering menjadi makanan pemicu. Di Asia, nasi dan kacang
arab sering menyebabkan anafilaksis. Kasus yang berat biasanya disebabkan karena
mengonsumsi makanan tersebut, tetapi beberapa orang mengalami reaksi yang hebat
saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh. Dengan bertambahnya usia,
alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80% anak dengan anafilaksis
terhadap susu atau telur dan 20% anak yang pernah mengalami anafilaksis terhadap
kacang dapat mengonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.
Obat
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Obat yang paling umum adalah antibiotic
beta-laktam (seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid
(OAINS). Apabila seseorang memiliki alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya
masih dapat menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis. Penyebab lain
anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya adalah kemoterapi, , protamin, vaksin dan
obat-obatan herbal. Beberapa obat termasuk vankomisin, morfin, dan agen radiokontras,
menyebabkan anafilaksis karena degranulasi sel mast. Frekuensi reaksi terhadap obat
sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan dan sebagian lagi tergantung
pada cara kerja obat di dalam tubuh. Anafilaksis terhadap penisilin atau sefalosforin
hanya terjadi setelah mereka berikatan dengan protein di dalam tubuh, dan beberapa
obat lebih mudah berikatan dibandingkan dengan yang lainnya. Anafilaksis terhadap
penisilin muncul pada satu di antara 2.000 hingga 10.000 orang yang mendapat
pengobatan. Kematian terjadi pada kurang dari satu setiap 50.000 orang yang mendapat
pengobatan. Anafilaksis terhadap aspirin dan OAINS muncul pada kurang lebih satu di
antara 50.000 orang. Jika seseorang mengalami reaksi terhadap penisilin, risiko
reaksinya terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi masih lebih kecil dari 1: 1.000.
Agen radiokontras generasi lama menyebabkan reaksi pada 1% dari seluruh kasus. Agen
radiokontras berosmolaritas rendah yang lebih baru menimbulkan reaksi pada 0,04%
kasus.
Bisa
Bisa dari sengatan atau gigitan serangga seperti hymenoptera (semut, lebah, tawon) atau
triatominae (kissing bug) dapat menyebabkan anafilaksis. Bila seseorang mengalami
reaksi terhadap bisa sebelumnya, dan reaksinya meluas ke sekitar tempat sengatan,
mereka memiliki risiko anafilaksis lebih besar pada masa yang akan datang. Namun,
separuh dari penderita yang meninggal karena anafilaksis tidak menunjukkan adanya
reaksi meluas sebelumnya.
Faktor risiko
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma,eksem , atau rhinitis alergi memiliki risiko
tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks dan agen radiokontras. Orang-
orang ini tidak memiliki risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan.
Dalam suatu studi yang dilakukan pada anak-anak dengan anafilaksis, ditemukan bahwa
60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% anak yang meninggal
karena anafilaksis menderita asma. Orang dengan mastositosis atau berasal dari status
sosioekonomi yang tinggi, memiliki risiko yang lebih besar. Makin lama waktu sejak
terakhir kali terpapar agen penyebab anafilaksis, maka makin rendah risiko terjadi reaksi
yang baru.
PATOFISIOLOGI
1. Reaksi tipe I
Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi anafilaksis,
dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen atau
antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh fagosit, diproses dan dipresentasikan
pada sel Th2, yang merupakan sel yang akan melepas sitokin dan merangsang sel B
untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel
mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang sama,
alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang berada di permukaan sel mast, dan
nantinya akan menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut melepaskan
berbagai mediator seperti histamin yang akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi
alergi ini. Selain histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang
dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari
reaksi tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala yang
segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan
dermatitis atopik.
2. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG atau IgM
karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri juga dapat terjadi
melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor antibody dependent cell
cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi
transfusi dan juga kasus anemia hemolitik. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme ini.
4. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga disebut juga
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi delayed type
hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4 + dan T cell mediated cytolysis
dengan peran CD8+.
Pada DTH, sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. Sel
tersebut melepas sitokin interferon gamma yang nantinya akan mengaktifkan makrofag
dan menginduksi inflamasi. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh
produk makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi tuberkulin,
dermatitis kontak, dan reaksi granuloma.
Reaksi hipersensitivitas selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh karena itu
reaksi yang muncul pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana kerusakan
yang terjadi merupakan akibat dari CD8 + yang langsung membunuh sel target. Sebagai
contoh pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat sitopatik namun kerusakan
yang ada ditimbulkan oleh respon cytotoxic T lymphocyte terhadap hepatosit yang
terinfeksi.
MANIFESTASI KLINIS
Kulit
Urtikaria
Angioedema
Eritema
Pruritus
Gastrointestinal
Mual
Muntah
Nyeri perut
Diare
Kongesti
Suara serak
Bersin
Batuk
Spasme bronkus
Mengi
Neurologi
Pusing
Bingung
Oral
Gatal
Lainnya
Ansietas
Kardiovaskuler
Hipotensi
Pusing
Sinkop
Takikardia
I. PENGKAJIAN
1. Pengakajian Primer
a) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelanacaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan benda asing. Bengkak pada wajah seperti
hidung atau adanya sekret. Dalam hal ini dapat dilakukan ”Chin Lift” atau ” Jaw Thrust”
selama memeriksa dan memperbaiki jalan napas.
b) Breathing
Jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang terjadi
pada saat bernapas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbodioksida
dari tubuh. Frekuensi napas cepat dan dangkal, suara pernapasan pda paru paru
terdengar ada ronchi, weezing atau dipsnea. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang
baik dari paru paru, dinding dada dan diagfragma.z
Dikaji sirkulasi meliputi : sirkulasi perifer, Nadi ( irama denyut ), tekanan darah
ekstremitas, warna kulit, CRT dan edema. Tanda dan gejala seperti :
takikardia,hipotensi,rejatan,aritmia,palpitasi,bengkak pada wajah,bibir danmata,
akral dingin , pucat, CRT > 2 , pruritus, urtikaria.
c) Disability
Periksa tingkat kesadaran, respon pupil dan fungsi sensori motorik
d) Exposure
Dilakukan pemeriksaan fisik head to toe secara menyeluruh dan EKG
2. Pengkajian Sekunder
a. Identitas : Nama, usia,jenis kelamin,kebangsaan/ suku , berat badan,tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
b. Riwayat kesehatan : Waktu kejadian, penyebab syok, posisi saat
kejadian,status kesadaran, saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
c. Aktivitas/ istirahat : Munculnya gejala lelah, lemah, lunglai
d. Sirkulasi : Munculnya perubahan tekanan darah ( hipotensi), takikardi,
rejatan,aritmia, palpitasi.
e. Makanan/ cairan : Adanya mual muntah, frekuensi, konsistensi, warna
f. Nyeri/ kenyamanan : Munculnya sakit perut, rasa tak enak di dada dan perut, gatal
gatal.
g. Pernapasan : Munculnya tanda pernapasan sulit,suara serak, sesak napas, Sulit
berbicara, Apnea, Mengi, Batuk terus.
Obyektif :
Daftar pustaka :
1. Stephen FK, 2011, Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com
3. Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498
4. Gylys, Barbara. 2012. Medical Terminology Systems : A Body System Approach. F.A
Davis hlm 269. ISBN 9780803639133.
7. Klotz, JH (2010 Jun 15). ""Kissing bugs": potential disease vectors and cause of
anaphylaxis". Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious
Diseases Society of America. 50 (12): 1629–34. PMID 20462351.
8. Brown, Simon G. A.; Wu, Qi-Xuan; Kelsall, G. Robert H.; Heddle, Robert J. &
Baldo, Brian A. (2001). "Fatal anaphylaxis following jack jumper ant sting in
southern Tasmania". Medical Journal of Australia. 175 (11): 644–647. PMID
11837875. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-14. Diakses tanggal 2017-
04-25.
9. Bilò, MB (2011 Jul). "Anaphylaxis caused by Hymenoptera stings: from
epidemiology to treatment". Allergy. 66 Suppl 95: 35–7. PMID 21668850.
10. Cox, L (2010 Mar). "Speaking the same language: The World Allergy
Organization Subcutaneous Immunotherapy Systemic Reaction Grading
System". The Journal of allergy and clinical immunology. 125 (3): 569–74,
574.e1–574.e7. PMID 20144472.
11. Bilò, BM (2008 Aug). "Epidemiology of insect-venom anaphylaxis". Current
opinion in allergy and clinical immunology. 8 (4): 330–7. PMID 18596590.
12.Australia Society of Clinical Immunology and Allergy ( ASCIA) ( 2015) diunduh dari
www.allergy.org.au