Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KELOMPOK

KEPERAWATAN DEWASA

DISUSUN OLEH:
1. SALIA N
2. WARIANI
3. ENY PRATIWI
4. SITI UMIYATUN
5. IMAM TAUHID
6. SUMIATI B
7. ATANASIA F
8. AGUS SUTIONO
9. RIRIN KUSUMAWATI
10. IDA WENY
11. SLAMET HENY SUSANTO
12. JULIANA
13. DINA ARISTA
14. KRISYULIATI

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas berkah Allah SWT sehingga makalah yang kami susun
bersama kelompok dapat selesai sesuai waktu yang ditentukan.
Semua ini tidak lepas dari Kerjasama antar kelompok dan bimbingan dari dosen
pembimbing matakuliah keperawatan Dewasa.
Harapan dari kami semua semoga apa yang kami susun ini bisa bermanfaat bagi
teman sejawat khususnya dan masyarakat pada umumnya.

PENYUSUN

PENGERTIAN
Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan perlindungan.
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat menyebabkan
kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau pencetus
lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 menurut
klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid
yang memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi degranulasi sel mast
atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan
merupakan bagian dari syok distributive yang ditandai oleh adanya hipotensi yang
nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada
sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa
pasien. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat
terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala
utamanya.

PENYEBAB
Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa
asing.[17] Hal yang sering menjadi pemicu antara lain: bisa dari gigitan atau sengatan
serangga, makanan, dan obat-obatan. Makanan merupakan pemicu tersering pada
anak-anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga
merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua.
Penyebab yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologis (seperti
air mani), lateks, perubahan hormon, aditif makanan (seperti monosodium glutamat
dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit. Faktor fisik seperti
olahraga atau suhu juga dapat memicu anafilaksis dengan efek langsung dari sel mast.
Anafilaksis karena berolahraga biasanya terkait dengan asupan makanan tertentu. Bila
anafilaksis timbul saat seseorang sedang dibius, penyebab tersering adalah obat
penghambat saraf otot, antibiotik, dan lateks. Pada 32–50% kasus, penyebab
anafilaksis tidak diketahui. Enam jenis vaksin (MMR, varicella, influenza, hepatitis B,
tetanus, meningokokus) dapat juga menjadi penyebab anafilaksis.

 Makanan
Banyak makanan yang dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut
dikonsumsi untuk pertama kali. Pada budaya Barat, penyebab tersering adalah makan
atau terpapar dengan kacang tanah, gandum, kacang pohon , kerang, ikan, susu, dan
telur. Di Timur Tengah, wijen sering menjadi makanan pemicu. Di Asia, nasi dan
kacang arab sering menyebabkan anafilaksis. Kasus yang berat biasanya disebabkan
karena mengonsumsi makanan tersebut, tetapi beberapa orang mengalami reaksi yang
hebat saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh. Dengan bertambahnya
usia, alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80% anak dengan
anafilaksis terhadap susu atau telur dan 20% anak yang pernah mengalami anafilaksis
terhadap kacang dapat mengonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.
 Obat
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Obat yang paling umum adalah antibiotic
beta-laktam (seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid
(OAINS). Apabila seseorang memiliki alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya
masih dapat menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis. Penyebab lain
anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya adalah kemoterapi, , protamin, vaksin
dan obat-obatan herbal. Beberapa obat termasuk vankomisin, morfin, dan agen
radiokontras, menyebabkan anafilaksis karena degranulasi sel mast. Frekuensi reaksi
terhadap obat sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan dan sebagian
lagi tergantung pada cara kerja obat di dalam tubuh. Anafilaksis terhadap penisilin atau
sefalosforin hanya terjadi setelah mereka berikatan dengan protein di dalam tubuh, dan
beberapa obat lebih mudah berikatan dibandingkan dengan yang lainnya. Anafilaksis
terhadap penisilin muncul pada satu di antara 2.000 hingga 10.000 orang yang
mendapat pengobatan. Kematian terjadi pada kurang dari satu setiap 50.000 orang
yang mendapat pengobatan. Anafilaksis terhadap aspirin dan OAINS muncul pada
kurang lebih satu di antara 50.000 orang. Jika seseorang mengalami reaksi terhadap
penisilin, risiko reaksinya terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi masih lebih
kecil dari 1: 1.000. Agen radiokontras generasi lama menyebabkan reaksi pada 1% dari
seluruh kasus. Agen radiokontras berosmolaritas rendah yang lebih baru menimbulkan
reaksi pada 0,04% kasus.
 Bisa
Bisa dari sengatan atau gigitan serangga seperti hymenoptera (semut, lebah, tawon)
atau triatominae (kissing bug) dapat menyebabkan anafilaksis. Bila seseorang
mengalami reaksi terhadap bisa sebelumnya, dan reaksinya meluas ke sekitar tempat
sengatan, mereka memiliki risiko anafilaksis lebih besar pada masa yang akan datang.
Namun, separuh dari penderita yang meninggal karena anafilaksis tidak menunjukkan
adanya reaksi meluas sebelumnya.

 Faktor risiko
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma,eksem , atau rhinitis alergi memiliki
risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks dan agen radiokontras.
Orang-orang ini tidak memiliki risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun
sengatan. Dalam suatu studi yang dilakukan pada anak-anak dengan anafilaksis,
ditemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90%
anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma. Orang dengan mastositosis
atau berasal dari status sosioekonomi yang tinggi, memiliki risiko yang lebih besar.
Makin lama waktu sejak terakhir kali terpapar agen penyebab anafilaksis, maka makin
rendah risiko terjadi reaksi yang baru.
PATOFISIOLOGI
1. Reaksi tipe I
Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi anafilaksis,
dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen atau
antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh fagosit, diproses dan
dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel yang akan melepas sitokin dan
merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan diikat oleh sel yang memiliki
reseptor seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar ulang dengan
alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang berada di
permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel mast.
Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang akan
menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin, mediator lain seperti
prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat juga
berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam
setelah paparan. Beberapa gejala yang segera muncul setelah paparan alergen antara
lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.
2. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG atau IgM
karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri juga dapat terjadi
melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor antibody dependent cell
cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi
transfusi dan juga kasus anemia hemolitik. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme ini.
3. Reaksi tipe III
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya endapan
kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi yang
berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM. Kompleks tersebut akan mengaktifkan
komplemen yang kemudian melepaskan berbagai mediator terutama macrophage
chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut nantinya akan
merusak jaringan sekitar. Antigen sendiri dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten seperti malaria, bahan yang terhirup seperti spora jamur, atau bahkan
dari jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun. 13
4. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga disebut juga
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi delayed type
hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4 + dan T cell mediated cytolysis
dengan peran CD8+.
Pada DTH, sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. Sel
tersebut melepas sitokin interferon gamma yang nantinya akan mengaktifkan makrofag
dan menginduksi inflamasi. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh
produk makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi tuberkulin,
dermatitis kontak, dan reaksi granuloma.
Reaksi hipersensitivitas selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh karena itu
reaksi yang muncul pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana kerusakan
yang terjadi merupakan akibat dari CD8 + yang langsung membunuh sel target. Sebagai
contoh pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat sitopatik namun
kerusakan yang ada ditimbulkan oleh respon cytotoxic T lymphocyte terhadap hepatosit
yang terinfeksi.

MANIFESTASI KLINIS

Kulit
Urtikaria
Angioedema
Eritema
Pruritus
Gastrointestinal
Mual
Muntah
Nyeri perut
Diare
Saluran Napas Bagian Atas
Kongesti
Suara serak
Bersin
Batuk
Orofaringeal atau laringeal edema
Saluran Napas Bagian Bawah
Spasme bronkus
Mengi
Dada terasa terikat
Neurologi
Kepala terasa ringan
Pusing
Bingung
Oral
Gatal
Gatal atau bengkak pada bibir, lidah, atau palatum
Lainnya
Ansietas
Kardiovaskuler
Hipotensi
Pusing
Sinkop
Takikardia
A. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan dalam penegakan diagnosis anafilaksis.
Pemeriksaan penunjang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi alergen pencetus.
1. Kadar Triptase Serum
Dewasa ini, triptase serum direkomendasikan untuk diperiksa dalam 30 menit hingga 2 jam
setelah muncul reaksi awal, kemudian pemeriksaan ulang dalam 24 jam setelah pemulihan total
gejala anafilaksis. Peningkatan kadar triptase serum mengindikasikan adanya anafilaksis. Meski
demikian, pemeriksaan ini tidak boleh menunda terapi. Keterbatasan dari triptase serum adalah
tidak semua pasien menunjukkan elevasi, terutama pada anak dan pasien dengan pencetus
makanan.
2. Pemeriksaan Alergi
Skin test dan pemeriksaan IgE in vitro bisa digunakan untuk menentukan penyebab dari reaksi
anafilaksis. Pemeriksaan ini dilakukan sesuai penggalian riwayat pasien dari anamnesis yang
mengarahkan pada kecurigaan etiologi spesifik. Hasil pemeriksaan bisa menunjukkan alergi zat
makanan tunggal atau multipel, alergi obat, atau hipersensirivitas non-IgE.
B. Terapi Medis
Anafilaksis adalah kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan segera. Tindakan pertama
yang dilakukan adalah manajemen jalan napas. Klinisi harus mengidentifikasi obstruksi jalan
napas, misalnya edema perioral atau adanya suara napas tambahan. Intubasi mungkin dibutuhkan
untuk memastikan patensi jalan napas.
1. Epinefrin
Epinefrin harus diberikan sedini mungkin sebelum memberikan terapi lain. Epinefrin diberikan
secara intramuskular pada posisi otot vastus lateralis paha. Satu ampul epinefrin berisi 1 mg per
1 mL dalam konsentrasi 1:1000. Dosis epinefrin adalah 0,15 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 25-30 kg dan 0,3 mg untuk anak lebih dari 30 kg dan dewasa. Apabila tidak ada
perubahan dalam 5 menit, maka ulangi injeksi epinefrin intramuskular dan berikan cairan
intravena. Epinefrin dapat diberikan hingga gejala membaik.
a. Epinefrin Autoinjector
Epinefrin bisa diberikan dengan autoinjector. Dosisnya adalah:
1) 0,15 mg untuk anak 7,5 hingga 20 kg
2) 0,3 mg untuk anak 20 hingga 50 kg
3) 0,3 mg atau 0,5 mg untuk anak dengan berat di atas 50 kg dan pasien dewasa.
Apabila dibutuhkan dosis kedua, sebaiknya epinefrin diberikan dengan injeksi untuk
mengantisipasi kegagalan autoinjector. Tingkatkan dosis menjadi 0,5 mg pada remaja dan
dewasa.
b. Pemberian Epinefrin Infus Kontinu
Pada pasien yang membutuhkan injeksi berulang, klinisi bisa mempertimbangkan pemberian
intravena kontinu. Pemberian dimulai dari 0,1 mg (konsentrasi 1:10.000) dalam 5-10 menit.
Apabila dibutuhkan dosis tambahan, infus epinefrin dimulai dalam dosis 1 mcg/menit dan titrasi
bertahap sampai ada respon yang diinginkan. Hentikan apabila pasien mengalami aritmia atau
nyeri dada.
2. Pemantauan Pasien
Kondisi anafilaksis berisiko mengalami gejala yang memanjang dan reaksi bifasik (terjadi
serangan anafilaksis berulang). Umumnya pasien diobservasi selama 4 jam setelah memberikan
dosis epinefrin terakhir. Pasien dengan gangguan pernapasan harus dipantau selama 6-8 jam, dan
pasien dengan hipotensi dipantau selama 12-24 jam.

Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Syok Anafilaksis

I. PENGKAJIAN

1. Pengakajian Primer
a) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelanacaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan benda asing. Bengkak pada wajah seperti
hidung atau adanya sekret. Dalam hal ini dapat dilakukan ”Chin Lift” atau ” Jaw Thrust”
selama memeriksa dan memperbaiki jalan napas.
b) Breathing
Jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang terjadi
pada saat bernapas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbodioksida
dari tubuh. Frekuensi napas cepat dan dangkal, suara pernapasan pda paru paru
terdengar ada ronchi, weezing atau dipsnea. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang
baik dari paru paru, dinding dada dan diagfragma.z
Dikaji sirkulasi meliputi : sirkulasi perifer, Nadi ( irama denyut ), tekanan darah
ekstremitas, warna kulit, CRT dan edema. Tanda dan gejala seperti :
takikardia,hipotensi,rejatan,aritmia,palpitasi,bengkak pada wajah,bibir danmata,
akral dingin , pucat, CRT > 2 , pruritus, urtikaria.
c) Disability
Periksa tingkat kesadaran, respon pupil dan fungsi sensori motorik
d) Exposure
Dilakukan pemeriksaan fisik head to toe secara menyeluruh dan EKG
2. Pengkajian Sekunder
a. Identitas : Nama, usia,jenis kelamin,kebangsaan/ suku , berat badan,tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
b. Riwayat kesehatan : Waktu kejadian, penyebab syok, posisi saat
kejadian,status kesadaran, saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
c. Aktivitas/ istirahat : Munculnya gejala lelah, lemah, lunglai
d. Sirkulasi : Munculnya perubahan tekanan darah ( hipotensi), takikardi,
rejatan,aritmia, palpitasi.
e. Makanan/ cairan : Adanya mual muntah, frekuensi, konsistensi, warna
f. Nyeri/ kenyamanan : Munculnya sakit perut, rasa tak enak di dada dan perut,
gatal gatal.
g. Pernapasan : Munculnya tanda pernapasan sulit,suara serak, sesak napas,
Sulit berbicara, Apnea, Mengi, Batuk terus.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Gangguan pertukaran gas ( D. 0003)
 Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigen dan atau eliminasi karbondioksida
pada membran alveolus- kapiler
 Penyebab : Ketidakseimbangan ventilasi – perfusi, Perubahan membaran
aalveoli – kapiler
 Batasan karakteristik :
 Tanda dan gejala mayor :
a. Subyektif : dispnea
b. Obyekif :
- PCO2 meningkat/ menurun
- PO2 menurun
- Takikardi
- pH arteri meningkat/menurun
- Bunyi napas tambahan
 Tanda dan gejala minor
a. Subyektif : pusing, penglihatan kabur
b. obyektif ; sianosis, diaporesis, gelisah, napas cuping hidung, pola napas abnormal,
warna kulit abnormal, kesadraan menurun
 Kondisi terkait : asma
b. Bersihan jalan napas tidak efektif ( D.0001)
 Definisi : Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.
 Penyebab :
 Spasme jalan napas
 Hipersekresi jalan napas
 Benda asing dalam jalan napas
 Sekresi yang tertahan
 Hiperplasia dinding jalan napas
 Proses infeksi
 Respon alergi
 Batasan karakteristik
 Gejala dan tanda mayor
 Subyektif : -
 Obyektif :
1. Batuk tidak efektif
2. Tidak mampu batuk
3. Sputum berlebih
4. Mengi, Wheezing dan atau ronkhi kering
 Gejala dan tanda minor
 Subyektif :
1. dispnoe
2. Sulit bicara
3. Orthopnoe
 Obyektif :
1. Gelisah
2. sianosis
3. bunyi napas menurun
4. frekuensi napas berubah
5. Pola napas berubah
c. Pola napas tidak efektif ( D.0005)
 Definisi : Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat
 Penyebab :
 Depresi pusat pernapasan
 Hambatan upaya bernapas misal adanya edema dan spasme otot pernapasan
 Batasan karakteristik
 Tanda dan gejala mayor
 Subyektif : Dispnea
 Obyektif :
1. Penggunaan otot bantu pernapasan
2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal ( takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne
stokes)

 Tanda dan gejala minor


 Subyektif : orthopnoe
 Obyektif :
1. Pernapasan pursed- lip
2. Pernapasan cuping hidung
3. Diameter thoraks anterior – posterior meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah
d. Penurunan curah jantung ( D.0008)

 Definisi : Ketidakmampuan jantung memompa darah untuk memenuhi


kebutuhan metabolisme tubuh .
 Penyebab :
 perubahan curah jantung
 perubahan frekuensi jantung
 perubahan kontraktilitas
 perubahan preload
 perubahan afterload
 Batasan karakteristik
 Gejala dan tanda mayor
1. Perubahan irama jantung
 Subyektif : palpitasi
 Obyektif : perubahan irama jantung
1. bradikardia/ takikardia
2. gambaran EKG aritmia atau gangguan konduksi
2. Perubahan preload
 Subyektif : lelah
 Obyektif :
1. Edema
2. distensi vena jungularis
3. Central venous Pessure ( CVP) meningkat/ menurun
4. Hepatomegali
3. Perubahan afterload
 Subyektif : Dispnea

 Obyektif :

1. Tekanan darah meningkat / menurun


2. Nadi perifer teraba lemah
3. capilarry refill time > 3 detik
4. oligouria
5. warna kulit pucat dan atau sianosis
4. Perubahan kontraktilitas
 Subyektif :
 Obyektif :
1. Cardiac indeks ( CI ) menurun
2. Left ventricular stroke work index ( LVSWI) menurun
3. Stroke volume index ( SVI) menurun
5. Perilaku/ emosional
 Subyektif :
1. cemas
2. gelisah
 Obyektif :-
e. Gangguan Integritas kulit / jaringan ( D.0129)
 Definisi : Kerusakan kulit ( dermis da atau epidermis ) atau jaringan
( membran mukosa, kornea, fasia,otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi/
atau ligamen.
 Penyebab :
 Perubahan sirkulasi
 Kekurangan / kelebihan volume cairan
 Bahan kimia iritatif
 Suhu lingkungan ekstrem
 Efek samping terapi
 Faktor mekanis dan faktor elektris
 Perubahan hormonal
 Batasan karakteristik
 Gejala dan tanda mayor
 Subyektif :-
 Obyektif : kerusakan jaringan atau lapisan kulit

 Gejala dan tanda minor


 Subyektif :
 Obyektif :
1. nyeri
2. perdarahan
3. kemerahan
4. hematoma

f. Risiko Syok ( D.0039)


 Definisi : Berisiko mengalami ketidakcukupan aliran darah ke jaringan tubuh,
yang dapat mengakibatkan disfungsui seluler yang mengancam jiwa.
 Faktor risiko :
 Hipoksemia
 Hipoksia
 Hipotensi
 Kekurangan volume cairan
 Sepsis
 Syndroma respon inflamasi sistemik ( systemic inflamtory response syndrome
( SIRS)
 Kondisi terkait :
 Perdarahan
 Trauma multiple
 Pneumothorak
 Kardiomiopati
 Cedera medula spinalis
 Anafilaksis
 Sepsis
 Koagulasi intravaskuler diseminata
 Sindrom respon inflamasi sistemik ( systemic inflamatory response syndrome
( SIRS))

III. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Keperawatan SLKI SIKI
SDKI
1 Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi (I.01014)
pertukaran gas ( tindakan Tindakan :
D. 0003) keperawatan...x24 jam Observasi :
diharapkan pertukaran
1) Monitor
gas (L.01003) meningkat
frekuensi,irama,kedalaman
dengan kriteria hasil :
dan upaya napas
1. dispnea menurun (5)
2) Monitor pola napas
2. bunyi napas tambahan
3) Monitor kemapuan batuk
menurun (5)
efektif
3. pusing menurun (5)
4) Monitor adanya produksi
4. penglihatan kabur
sputum
menurun (5)
5) Monitor adanya sumbatan
5. diaforesis menurun (5)
jalan napas
6. gelisah menurun (5)
6) Palapasi kesimetrisan
7. napas cuping hidung
ekspansi paru
menurun (5)
7) Auskultasi bunyi napas
8. PCO2 membaik (5)
8) Monitor saturasi oksigen
9. P02 membaik (5)
9) Monitor nilai AGD
10. takikardi membaik (5)
10) Monitor hasil x ray thorak
11. pH arteri membaik
(5) Terapeutik :
12. Sianosis membaik (5) 11) Atur interval dan prosedur
13. Pola napas membaik pemantauan.
(5) 12) informasikan hasil pemantauan
14. warna kulit membaik jika perlu
(5)

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan hasil SIKI
SDKI SLKI
2 Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen jalan napas (I.01011)
napas tidak efektif tindakan tindakan :
(D.0001) keperawatan ....x 24 Observasi :
jam, diharapkan 1) Monitor pola napas (frekuensi,
Bersihan jalan napas kedalaman, usaha napas)
( L.01001) meningkat 2) Monitor bunyi napas tambahan
dengan kriteria hasil : (gurgiling,mengi,whezzing,
1. Batuk efektif ronchi kering)
meningkat ( 5) 3) Monitor sputum
2. Produksi sputum (jumlah,warna,aroma)
menurun (5) Terapeutik :
3. Mengi menurun (5) 4) Pertahankan kepatenan jalan
4. Wheezing menurun napas dengan head- tift dan
( 5) chin -lift ( jaw- thrust jika curiga
6. dipsnea menurun trauma servikal)
(5) 5) Posisikan semi fowler atau
7. ortopnoe menururn fowler
(5) 6) berikan minuman hangat
8. sulit bicara 7) lakukan fisioterapi dada jika
menurun ( 5) perlu
9. sianosis menurun 8) lakukan pengisapan lendir
(5) kurang dari 15 detik
10. gelisah menururn 9) lakukan hiperoksigenasi
(5) sebelum pengisapan
11. frekuensi napas 10) keluarkan sumbatan benda
membaik (5) padat dengan proses Mcgill
12. Pola napas 11) berikan oksigen jika perlu
membaik (5) Edukasi :
12) Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari jika tidak ada
kontraindikasi
13) Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
14) Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran ,
mukolitik jika perlu

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan


keperawatan SDKI SLKI SIKI
3. Pola napas tidak Setelah dilakukan Pemantauan respitasi ( I.01014)
efektif (D.0005) tindakan tindakan :
keperawatan ....x 24 jam Observasi :
diharapkan pola napas 1) Monitor frekuesi, irama,
(L.01004) membaik kedalaman dan upaya
dengan kriteria Hasil : napas
1. Ventilasi semenit 2) Monitor pola napas
meningkat (5) 3) Monitor adanya produksi
2. Kapasitas vital sputum
meningkat (5) 4) Monitor adanya sumbatan
3. Diameter thorak jalan napas
anterior posterior 5) Auskultasi bunyi napas
meningkat (5) 6) Monitor saturasi oksigen
4. Tekanan ekspirasi 7) Monitor nilai AGD
meningkat (5) 8) Monitor hasil x-ray thorak
5. Tekanan inspirasi Terapeutik
meningkat (5) 9) Atur interval pemantauan
6. Dispnea menurun (5) respirasi sesuai kondisi
7. Penggunaan otot pasien
bantu napas menurun 10) Dokumentasikan hasil
(5) pemantauan
8. pemanjang fase Edukasi :
ekspirasi menurun (5) 11) Jelaskan tujuan dan
9. orthopnea menurun prosedur pemantauan
(5) 12) Informasikan hasil
10. Pernapasan pursed pemantauan jika perlu
lip menurun (5)
11. pernapasan cuping
hidung menurun (5)
13. frekuensi napas
membaik (5)
14. kedalaman napas
membaik (5)
15. ekskursi dada
membaik (5)

No Diagnosa Tujuan dan intervensi Intervensi keperawatan


keperawatan SLKI SIKI
SDKI
4. Penurunan curah Setelah dilakukan Manajemen syok anafilaktif ( I.
jantung ( D. 0008) tindakan 02049) tindakan :
keperawatan ....x 24 jam Observasi :
diharapkan Curah 1) Monitor status
jantung ( L. 02008) kardiopulmonal ( frekuensi,
meningkat dengan dan kekuatan
kriteria hasil : nadi,frekuensi napas,TD<
1. Kekuatan nadi perifer MAP)
meningkat (5) 2) Monitor status
2. Ejektion Fraction (EF) oksigenasi( oksimetri, nadi,
meningkat (5) AGD)
3. Cardiac index 3) Monitor status cairan
meningkat ( 5) ( masukan dan haluaran

4. Left ventricular stroke turgor kulit, CRT)

work Indeks (LVSWI) 4) Monitor tingkat kesadaran

meningkat (5) dan respon pupil


Terapeutik
5. Stroke Volume
5) Pertahankan jalan napas
Index(SVI) meningkat
paten
(5)
6) Berikan oksigen untuk
6. Palpitasi menurun (5)
mempertahankan saturasi
7. Bradikardia menurun
oksigen >94%
(5)
7) Persiapkan intubasi dan
8. Takikardia menurun
ventilasi mekanis jika perlu
(5)
8) Berikan posisi syok
9. Gambaran EKG ( modifield trendelenberg)
aritmia menurun (5) 9) Pasang jalur IV

10. Lelah menurun (5) 10) Pasang kateter urine untuk


menilai produksi urine
11. edema menurun (5)
11) Pasang selang nasogastrik
12. Distensi vena
untuk dekompresi lambung
jugularis menurun (5)
jika perlu
13. Dispnea menurun
Kolaborasi :
(5)
12) Kolaborasi pemberian
14. oligouria menurun
epineprin
(5)
13) Kolaborasi pemberian
15. Paroxymal nocturnal dipenhidramin, jika perlu
dyspnea menurun (5) 14) Kolaborasi pemberian
16. Ortopnea menurun bronkodilator, jika perlu
(5) 15) Kolaborasi krikotiroidotomi ,
17. Batuk menurun (5) jika perlu
16) Kolaborasi intubasi
endotrakeal jika perlu
17) Kolaborasi pemberian
resuistasi cairan jika perlu

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan intervensi


SDKI SLKI
5. Gangguan Integritas kulit / jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ....x Manajem
( D.0129) 24 jam diharapkan Respon alergi lokal ( L. tindakan :
14131) menurun dengan kriteria hasil: Observas
1. nyeri menurun ( 5) 1) Ide
2. Gatal lokal menurun (5) ale
3. sekresi Mukus menurun (5). uda
4. Bersin menurun (5) 2) Mo
5. Eritema lokal menurun (5) ale
6. Konjungtivitis menurun (5) me
7. Lakrimasi menurun (5) par
8. Rhinitis menurun (5) gel
9. edema lokal menurun (5) ata
3) Mo
pem
(m
Terapeut
4) Pa
tan
5) He
6) Ba
syo
7) Lak
Edukasi :
8) Info
dia
9) Aja
me
ling
10) Aja
ana
Kolabora
11) Ko
ale

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Keperawatan


Keperawatan SLKI SIKI
SDKI
6. Risiko Syok Setelah dilakukan Pencegahan alergi ( I. 14535)
( D.0039) tindakan tindakan :
keperawatan ....x24 jam Observasi :
diharapkan Respon 1) Identifikasi riwayat alergi
Alergi sistemik ( L. ( obat, makanan,debu,udara)
14132) menurun 2) Monitor terhadap reaksi obat,
dengan kriteria Hasil : makanan,lateks,transfusi
1. Edema laring darah atau produk darah atau
menurun (5) alergen lainnya
2. dispnea menurun (5) Terapeutik :
3. wheezing menurun 3) Berikan tanda alergi pada
(5) rekam medis
4. Stridor menurun (5) 4) Pasang gelang tanda alergi
5. Bunyi napas pada lengan
tambahan menurun (5) 5) Hentikan paparan alergen
6. takikardia menurun 6) Lakukan tes alergen sebelum
(5) pemberian obat
7. penurunan tekanan Edukasi :
darah menurun (5) 7) ajarkan meghindari dan
mencegah paparan alergen
8. Disritmia menurun Kolaborasi :
(5) 8) kolaborasi dangan tenaga
9. Penurunan kesehatan lain dalam
kesadaran menurun (5) pencegahan alergi ( dokter,
10. Edema pau ahli gizi)
menurun (5)
11. sekresi mukus
menurun (5)
12. gatal seluruh tubuh
menurun (5)
13. Bintik bintik merah
menurun (5)
14. petekie menurun (5)
15. eritema menurun
(5)
16. peningkatan suhu
kulit menurun (5)
17. Demam menurun
(5)
18. mual menurun (5)
19. Muntah menurun
(5)
20. Diare menurun (5)
21. kram abdomen
menurun (5)
22. Hemolisis sel darah
merah Menurun (5)
23 kadar bilirubin
menurun (5)
24. nyeri sendi
menurun (5)
25. Nyeri otot menurun
(5)
26.syok anakfilatik
menurun (5)

IV. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN


Implemantasi merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang teklah disusun pada tahap perencanaan ( Setiadi , 2012).
V. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien,
Tahap tahapan Evaluasi terdiri dari :
a Mengidentifikasi kriteria dan strandar evaluasi
b Mengumpulkan data untuk menentukan apakah kriteria dan standar terpenuhi
c Menginterprestasikan da menringkas data
d Mendokumentasikan temuan dan setiap pertimbangan klinis
e Menghentikan, meneruskan, atau merevisi rencana perawatan.

Daftar pustaka :
1. Stephen FK, 2011, Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com
2. Anonym, 2011, Anaphylaxis. Available from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis
3. Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498
4. Gylys, Barbara. 2012. Medical Terminology Systems : A Body System Approach. F.A
Davis hlm 269. ISBN 9780803639133.
5. Boden, SR (2011 Jul). "Anaphylaxis: a history with emphasis on food allergy".
Immunological reviews. 242 (1): 247–57. PMID 21682750.
6. Worm, M (2010). "Epidemiology of anaphylaxis". Chemical immunology and allergy.
95: 12–21. PMID 205198Drain, KL (2001). "Preventing and managing drug-induced
anaphylaxis". Drug safety : an international journal of medical toxicology and drug
experience. 24 (11): 843–53. PMID 11665871.
1. Klotz, JH (2010 Jun 15). ""Kissing bugs": potential disease vectors and cause of
anaphylaxis". Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious
Diseases Society of America. 50 (12): 1629–34. PMID 20462351.
2. Brown, Simon G. A.; Wu, Qi-Xuan; Kelsall, G. Robert H.; Heddle, Robert J. &
Baldo, Brian A. (2001). "Fatal anaphylaxis following jack jumper ant sting in
southern Tasmania". Medical Journal of Australia. 175 (11): 644–647. PMID
11837875. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-14. Diakses tanggal 2017-
04-25.
3. Bilò, MB (2011 Jul). "Anaphylaxis caused by Hymenoptera stings: from
epidemiology to treatment". Allergy. 66 Suppl 95: 35–7. PMID 21668850.
4. Cox, L (2010 Mar). "Speaking the same language: The World Allergy
Organization Subcutaneous Immunotherapy Systemic Reaction Grading
System". The Journal of allergy and clinical immunology. 125 (3): 569–74,
574.e1–574.e7. PMID 20144472.
5. Bilò, BM (2008 Aug). "Epidemiology of insect-venom anaphylaxis". Current
opinion in allergy and clinical immunology. 8 (4): 330–7. PMID 18596590.

12.Australia Society of Clinical Immunology and Allergy ( ASCIA) ( 2015) diunduh dari
www.allergy.org.au

13.Bailey, J. J Sabbagh, M Loiselle, C. G Boileau. J &Mc Vey . L ( 2010) Intensive and


Critical Care Nursing 2010, Vol. 26 Hal 986.

14.Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017 Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia (SDKI) jakarta selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI
15.Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI ) 2019 Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI)Jakarta selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI

16.Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) 2018 Standar Intervensi Indonesia


( SIKI) Jakarta selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI.

17.McLendon K, Britni T S. Anaphylaxis. StatPearls. 2021.


18.Mustafa S. Anaphylaxis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. Medscape.2018.
19.Reber LL, Hernandez JD, Galli SJ. The pathophysiology of anaphylaxis. J Allergy Clin
Immunol. 2017;140(2):335–48.
20. Muraro A, Worm M, Alviani C, Cardona V, DunnGalvin A, Garvey LH, et al. EAACI
guidelines: Anaphylaxis (2021 update). Allergy Eur J Allergy Clin Immunol. 2022;77(2):357–
77.
21.Henry Li H. Angioedema: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. 22.Medscape;
2018. https://emedicine.medscape.com/article/135208-overview
23.Northumbria H. Quick guide to anaphylaxis. Springer, editor. Online. Springer; 2020.
24.Yates AWR, Editor C, Bienenfeld D. Anxiety Disorders: Background , Anatomy
Pathophysiology.Medscape, 2014. http://emedicine.medscape.com/article/286227-overview

Anda mungkin juga menyukai