Anda di halaman 1dari 15

1

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan kasih sayang yang begitu besar sehingga dapat terselesaikan
referat dengan judul Terapi Kortikosteroid Pada Pasien Alergi. Penulisan referat ini
dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan bagian Ilmu
Kesehatan Anak di RSUP Fatmawati.

Penulis menyadari dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sehingga referat ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang telah
membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah referat ini.


















Jakarta, 9 Juni 2014


Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa laporan ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri menunjukan
bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir.
Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukan penyakit alergi
adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering mengapa pasien berobat ke dokter
keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke
dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukan gangguan berulang yang
menjurus pada kelainan alergi. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20
tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia
sekolah lebih dari 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai asma, dan 6
juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit).

Di Indonesia sendiri, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh dr. Heru
Sundaru di RSCM/FKUI menunjukan bahwa angka penderita asma di Indonesia
mencapai 8,2%, alergi hidung 17,5% dan dermatitis 2,5-4%. Semua ini disebabkan
oleh alergi yang penyebabnya terjadi dapat bermacam-macam seperti faktor
genetik, pola hidup, dan lingkungan.















3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alergi dan Dasar Imunologi

Alergi adalah perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas hospes yang
diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respon fisiologis
yang tidak menguntungkan. Istilah antigen dan alergen sering digunakan secara
bergantian, tapi tidak semua antigen adalah alergen dan sebaliknya. Misalnya,
toksoid tetanus dan difteri sangat antigenik tetapi hanya jarang menimbulkan
reaksi alergi. Sebaliknya, protein tepungsari semacam rumput-rumputan adalah
salah satu alergen paling kuat, dan tidak merupakan antigen yang kuat menurut
kriteria imunologis.

Penggunaan istilah atopi atau atopik dalam menandai reaksi alergi, secara
tidak langsung menyatakan suatu faktor herediter yang diungkapkan sebagai
kerentanan terhadap hay fever, asma dan dermatiti eksematous pada keluarga
individu yang terkena. Penderita atopik memiliki kecenderungan untuk
membentuk antibodi IgE secara selektif terhadap lingkungan antigen yang lazim.
Produksi IgE ada dibawah kendali genetik dan diketahui juga ada hubungannya
dengan histokompatibilitas antigen leukosit manusia (HLA) dengan respon
hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Respon antibodi IgE diatur oleh sel T
helper dan supresor antigen spesifik yang mensekresikan faktor pengikat IgE
yang memperkuat atau menekan reaksi. Sifat atopi seringkali familial dan dapat
terlokalisasi pada kromosom 11q13.

Pembentukan antibodi IgE ditunjukan pada orang dengan reaksi wheal and
flare pada uji kulit dengan ekstrak alergen. Pada pemaparan terhadap alergen
yang kuat, seperti pada pekerjaan tertentu, atau pada respons terhadap alergen
tertentu, seperti ascaris, individu non-atopik dapat membentuk sejumlah besar
antibodi IgE spesifik-alergen. Namun, orang-orang atopik membentuk antibodi
IgE pada pemaparan terhadap bahan-bahan lingkungan yang lazim seperti
tepung sari dan tungau pada debu rumah, ini membedakan dari nonatopik.

4
Jejas jaringan yang diperantarai secara imunologis dapat terjadi
sebagai akibat interaksi antibodi humoral dengan antigen atau interaksi antigen
dengan limfosit (hipersensitivitas seluler atau tipe lambat). Dari dua reaksi yang
terjadi pada permukaan sel, hipersensitivitas tipe I, diperantarai oleh IgE (tipe
cepat atau hipersensitivitas anafilaksis). Pada keadaan ini, basofil dalam sirkulasi
dan sel mast jaringan, yang secara strategis terletak di sekeliling pembuluh
darah menjadi tersensitisasi melalui pengikatan antibodi IgE pada reseptor
permukaannya. Ini merupakan kejadian awal dalam produksi jejas imun jaringan
pasca interaksi alergen dengan molekul antibodi IgE yang terikat sel; hasil akhir
reaksi tergantung pada lebar spektrum kejadian sekunder yang melibatkan
berbagai jenis sel limfoid , sel radang, sel penghasil mediator, dan produk-
produk yang larut, yang berasal tidak hanya dari semua sel ini tetapi juga dari
jaringan lain (trombosit, sel endotel) pada tempat reaksi. Misalnya pada reaksi
akibat alergen kuat tertentu pada kulit, bilur dan merah awalnya tidak seluruhnya
menghilang melainkan digantikan oleh lesi radang yang mencapai ukuran
maksimal pada 6-12 jam dan menghilang dalam 24-72 jam. Respons kulit yang
lambat ini tergantung pada penarikan sel radang (leukosit prolimfonuklear,
eosinofil dan sel mononuklear) melalui faktor kemotaksis yang dilepas pada
awal respons. Reaksi fase lambat juga terjadi pada paru-paru dan hidung.

Pada interaksi hipersensitifitas tipe II (sitotoksik) antara antigen dan antibodi
pada permukaan sel, imunoglobulin IgG atau IgM dengan penentu antigenik
yang juga merupakan bagian integral membran sel atau telah menjadi terserap ke
atau menyatu menjadi membran. Berbeda dengan reaksi IgE atau tipe
anafilaksis, macam reaksi kedua ini mengaktifkan sistem komplemen pada
kebanyakan keadaan dan sel yang terlibat dihancurkan. Contoh jenis jejas
imunologis ini terjadi pasca transfusi sel darah merah yang tidak cocok.
Isohemaglutinin resipien (antibodi yang diarahkan melawan penentu pada
permukaan sel darah merah) bereaksi dengan sel yang tidak cocok, sistem
komplemen diaktifkan, dan sederetan aksi protein komplemen menyebabkan
lisis sel tersebut. Jejas imun analog dapat melibatkan trombosit atau leukosit.
Pada kasus anemia hemolitik imun akibat-obat, berbagai mekanisme lain juga
dilibatkan.

5
Mekanisme imunopatologi tipe III (kompleks imun) jejas jaringan melibatkan
antibodi humoral dan antigen terjadi pada ruang ekstraseluler. Pada rasio tertentu
antigen terhadap antibodi, dibentuk kompleks antigen-antibodi yang bersifat
toksik terhadap jaringan di tempat mereka diendapkan. Misalnya kompleks
dapat menetap dalam organ penyaring tubuh (seperti ginjal dan paru-paru) atau
menginfiltrasi dinding pembuluh darah kecil, mengaktifkan kaskade
komplemen. Ada pelepasan bahan aktif secara biologis, termasuk faktor-faktor
yang kemotaksis pada leukosit polimorfonuklear (PMN) yang ditarik ke tempat
tersebut. Dengan memfagositosis kompleks tersebut, PMN dilisis, dan protein
dasar serta enzim proteolitik dilepaskan sehingga mencederai jaringan. Penyakit
kompleks imun menyebabkan sampai 90% glomerulonefritis imunologi pada
manusia.

Pada hipersensitivitas tipe IV, seluler atau tipe-lambat, perubahan patologis
pasca-interaksi antigen dan limfosit T yang berasal dari-timus, tersensitisasi
secara spesifik. Dasar terjadinya jejas jaringan pada reaksi imun seluler klasik
belum seluruhnya dimengerti, tetapi jelas bahwa makrofag dan sel-sel sitotoksik
memainkan peran utama. Alergi kontak merupakan prototip penyakit alergi yang
diperantari hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi obat yang melibatkan hati, paru
dan ginjal dapat merupakan contoh lebih lanjut penyakit yang diperantarai sel T.
Imunitas seluler terlibat pada penyakit paru hipersensitivitas infiltratif tertentu
dengan pembentukan, granuloma sebagai tanda patologis. Reaktifitas tuberkulin,
penyakit cangkok-lawan-hospes, dan reaksi transplan jaringan merupakan reaksi
tipe IV tambahan.










6

















Etiology Alergi
Ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu:
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE
2. Kelainan pada mekanisme mediator
3. Faktor genetik
4. Faktir lingkungan :debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai
jenis makanan dan zat lain

Patofisiologi Alergi
Gejala alergi timbul apabila IgE yang melekat pada sel mast atau
basofil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan
IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor mengakibatkan
degranulasi sel dan pelepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin,
vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat
terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan
sel dengan anti-IgE.
Gambar 2.1 Tipe-tipe Reaksi Hipersensitivitas
7
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta
merangsang kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas,
histamin merangsang kontraksi otot polos sehingga menyebabkan
penyempitan saluran nafas dan menyebabkan membran saluran nafas
membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara berlebihan. Hal
ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga menyebabkan adanya
mengi pada asma, sedangkan pada kulit histamin menimbulkan benjolan
(urtikaria) yang berwaran eritem dan gatal karena peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal,
histamin menimbulkan efek muntah dan diare.
























8


































Alergen
Reaksi imunitas (IgE)
Sel mast, makrofag, limfosit
Pengeluaran mediator kimia
Histamin, bradikinin, anafilaksin
Respiratorik Gastro-
intestinal
Kulit
Kontraksi
otot polos
Permeabilitas
kapiler
Sekresi
mukus
Bronkospas
me
Edema
saluran
nafas
Produksi
mukus
Edema
mukosa
bronkial
Muntah dan
diare
Eritem
a
Urtikaria
Gatal
Pelebaran
pembuluh
darah
Permeabilit
as
pembuluh
darah
Asma
9
2.2 Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat yang paling kuat, yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Setelah pemberian tablet prednison yang diserap dengan baik, kadar
puncak plasma dicapai pada 1-2 jam. Obat ini didapati secara sistemik lebih dari
80% dosis oralnya. Beberapa pengaruh prednisolon nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian per oral atau intravena (penurunan eosinofil serta limfosit perifer);
pengaruh lainnya dapat tertunda 6-8 jam atau lebih lama (yaitu: hiperglikemia
dan perbaikan fungsi paru-paru penderita asma). Respons yang tertunda ini
menggambarkan mekanisme kerja glukokortikoid yang tidak langsung.
Langkah-langkah yang menimbulkan aktivitas adalah (1) difusi sederhana
membran sel, (2) pengikatan pada reseptor sitosol glukokortikoid (terdapat pada
kebanyakan sel mamalia), (3) translokasi kompleks steroid-reseptor ke nukleus,
(4) pengikatan kompleks pada kromatin , yang mengenai ungkapan gen nukleus,
dan (5) sinstesis asam ribonukleat enzim. Ini adalah enzim yang baru disintesis,
yang memerantarai beberapa pengaruh glukokortikoid. Waktu paruh plasma
steroid yang biasa digunakan bervariasi dari 1,5-5 jam, sementara waktu paruh
biologisnya bervariasi dari 8-54 jam.

Daya antiradang glukokortikoid dihasilkan dari (1) perubahan jumlah dan
aktivitas leukosit (redistribusi, penekanan migrasi ke tempat radang, penurunan
respons terhadap mitogen penurunan sitotoksisitas dan penekanan
hipersensitivitas tipe lambat pada kulit); (2) penekanan pelepasan mediator
(penurunan sintesis dan pelepasan histamin, penurunan sintesis prostaglandin
dan produk-produk metabolisme asam arakhidonat lain) (3) respons terhadap
agen yang menaikan cAMP dan (4) respons terhadap katekolamin diperkuat
(menaikan sintesis reseptor beta-adrenergik, menaikan persediaaan epinefrin,
sebagai akibat dari turunnya pengambilan katekolamin ekstra neural). Sintesis
antobodi humoral sedikit terpengaruh oleh glukokortikoid pada dosis yang biasa
diberikan untuk pengobatan gangguan alergi. Pemberian kortikosteroid yang
lama dapat menurunkan kadar imunoglobulin total.

Kortikosteroid mempunyai beberapa efek terhadap manusia, seperti efek
metabolik, katabolik, anabolik, dan salah satunya adalah efek anti inflamasi dan
10
imunosupresif. Kortikosteroid dapat dengan cepat mengurangi manifestasi dari
inflamasi. Hal tersebut terjadi karena efek terhadap konsentrasi, distribusi dan
fungsi dari leukosit perifer dan efek supresi terhadap sitokin inflamasi dan
chemokin dan pada mediator inflamasi lainnya. Inflamasi, diluar dari
penyebabnya, ditandai dengan adanya ekstravasasi dan infiltrasi leukosit ke
jaringan yang terkena. Kejadian ini dimediasi oleh interaksi yang kompleks dari
molekul adesi sel darah putih dengan sel endotelial dan dihambat oleh
kortikosteroid. Setelah pemberian dosis tunggal kortikosteroid kerja cepat,
konsestrasi neutrofil di sirkulasi akan meningkat sedangkat limfosit (T dan B),
monosit, eosinofil, dan basofil menurun. Perubahan terjadi selama maksimal 6
jam dan efeknya akan menghilang dalam 24 jam. Meningkatnya neutrofil
dikarenakan adanya peningkatan influks menuju sirkulasi dari sum sum tulang
dan berkurangnya migrasi dari pembuluh darah, menyebabkan pengurangan
jumlah sel pada letak inflamasi. Berkurangnya limfosit, monosit, eusinofil, dan
basofil pada sirkulasi dihasilkan karena perpindahan sel-sel tersebut dari
sirkulasi ke jaringan limfoid.
Kortikosteroid juga dapat menghambat fungsi makrofag jaringan dan fungsi
antigen-presenting cells. Kemampuan sel-sel ini untuk merespon antigen dan
mitogen berkurang. Efek makrofag sendiri adalah memfagosit dan membunuh
mikroorganisme dan menghasilkan TNF-a, IL-1, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen. Makrofag dan limfosit keduanya menghasilkan IL-12 dan
interferon-y, dapat menginduksi aktivitas sel TH1 dan imunitas selular.
Efek lain terhadap fungsi leukosit, kortikosteroid mempengaurhi respon
inflamasi dengan mengurangi prostaglandin, leukotrien dan platelet-activating
factor yang dihasilkan oleh aktivasi phospholipase A
2
. Hasilnya, kortikosteroid
mengurangi ekspresi siklooksigenase-2, dan akan mengurangi kadar enzim yang
menghasilkan prostaglandin.
Kortikosteroid akan menyebabkan vasokonstriksi jika digunakan langsung
pada kulit, kemungkinan akibat efek supresi degranulasi sel mast. Efek lainnya
adalah menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan kadar histamin
yang dilepaskan oleh basofil dan sel mast.
Efek antiinflamasi dan imunosupresi kortikosteroid secara umum akibat yang
sudah dijelaskan diatas. Pada manusia, aktivasi komplemen tidak berubah,
namun efeknya terhambat. Produksi antibodi dapat diturunkan dengan steroid
11
dosis besar, walaupun tidak terpengaruh dengan dosis sedang. Dan efek
antiinflamasi dan imunosupresi akibat kortikosteroid harus dipertimbangkan
efek samping seriusnya.


Kortikosteroid Sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik dalam jangka pendek pada keadaan-
keadaan alergi yang sembuh sendiri, seperti dermatitis kontak karena
keracunan tanaman merambat atau kadang-kadang kejadian asma berat, tidak
disertai pengaruh merugikan yang berarti. Sebaliknya penggunaan jangka
lama, terutama jika diperlukan pemberian harian, dapat mempunyai efek
samping berat yang tidak diinginkan. Pada anak, pengaruh yang paling sering
terjadi adalah penekanan terhadap pertumbuhan anak. Katarak subkapsuler
posterior kadang-kadang terjadi pada anak-anak yang mendapat terapi steroid
jangka lama. Efek lain yang berbahaya dari steroid adalah osteoporosis,
hipertensi, diabetes melitus, habitus cushingoid, infeksi oportunistik
(terutama varisela atau Pneumocystis carinii yang tersebar), pankreatitis,
gastritis dan miopati.














Gambar 2.2 Penggunaan Kortikosteroid pada penyakit Alergi

12
Beberapa pertimbangan penggunaan kortikosteroid secara sistemik
memerlukan perhatian khusus. (1) bila diberikan dosis setara anti radang, obat
yang tersedia tidak berbeda secara kualitatif pada pengaruh antiradang. Pengaruh
yang merugikan berhubungan dengan dosis, interval dosis, dan lama
pengobatan. Prednison atau prednisolon merupakan obat yang lebih disukai
untuk pemberian oral dan metilprednisolon atau hidrokortison untuk penggunaan
intravena. Steroid lainnya untuk masa aktivitas biologis yang lebih lama,
mempunyai kecenderungan terhadap pengaruh merugikan tertentu, tidak sesuai
dengan terapi selang sehari. (2) Bila terapi kortikosteroid dimulai, jumlah yang
cukup diberikan setiap hari, dalam tiga atau empat dosis terbagi agar penyakit
terkendali. Kemudian harus dilakukan upaya untuk menyesuaikan dosis dan
interval pemberian dosis, untuk menekan aktivitas penyakit tanpa pengaruh yang
merugikan. Kapan saja memungkinkan, penggunaan regimen prednison atau
prednisolon selang-sehari harus dicoba. Pada regimen selang-sehari, obat
diberikan sebagai dosis tunggal, juga steroid setiap hari setiap 48 jam antara jam
06.00 sampai 08.00. Jika diperlukan pengobatan steroid setiap hari, biasanya
diberikan regimen dosis tunggal, juga antara jam 06.00 sampai 08.00, regimen
ini meniru sekresi kortisol endogen dan menyebabkan sedikit penekanan pada
hipotalamus-hipofisis-adrenal aksis dan lebih sedikit efek samping merugikan
lainnya daripada dosis obat harian yang sama yang diberikan dalam dosis
terbagi. (3) Terapi steroid jangka pendek untuk asma yang memburuk hanya
sebentar menekan hipofisis-adrenal aksis, dapat dihentikan mendadak tanpa
mengurangi dosis sedikit demi sedikit (tapering).


Steroid Topikal
Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi: pengurangan
radang, edema, produksi mukusm permeabilitas vaskuler, dan kadar IgE
mukosa. Juga terdapat pengurangan pengelompokan neutrofil, eosinofil, basofil,
dan sel mast lokal serta pelemahan hiper-responsivitas jalan napas. Steroid
topikal dapat mengurangi reaksi fase awal dan lambat, sedangkan steroid
sistemik terutama menghambat respons fase lambat terhadap antigen.
Kemungkinan komplikasi pada steroid yang dihirup adalah kandidiasis
orofaring, disfonia, dan pada dosis tinggi penekanan hipotalamus-hipofisis-
13
adrenal aksis. Dosis total harian yang tidak lebih daripada 400 ug mungkin
jarang menekan pertumbuhan linier pada sebagian besar asma; dosis yang lebih
besar dapat mempengaruhi pertumbuhan, tetapi asma yang tidak terkendali dapat
juga mempengaruhi pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan karena steroid yang
dihirup pada dosis total harian setinggi 800 ug mungkin jauh lebih sedikit
daripada karena prednison oral, 2,5 mg per hari. Pengaruh penekanan steroid
pada pertumbuhan tergantung pada dosis dan lamanya pengobatan; pencapaian
tinggi normal kemungkinan sesudah penghentian steroid, tetapi pemberian dosis
besar steroid sistemik yang lama dapat menyebabkan kependekan tubuh yang
permanen.

Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi adalah obat yang efektif dalam penatalaksanaan asma
dan satu-satunya obat yang menekan keadaan inflamasi pada saluran
pernapasan. Namun, kortikosteroid inhalasi terbukti tidak efektif dalam
penatalaksanaan inflamasi paru pada PPOK. Efek kortikosteroid terhadap
saluran pernapasan yaitu mengurangi sel-sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit
T, sel mas dan sel dendritik. Efek-efek kortikosteroid ini terjadi karena hambatan
dari sel inflamasi di jalan nafas dengan supresi produksi mediator-mediator
kemotaktis.










Gambar 2.3 Efek lokal kortikosteroid inhalasi pada saluran nafas



14
Farmakokinetik dari kortikosteroid inhalasi memiliki hubungan dengan efek
sistemik dari obat ini. Fraksi dari steroid yang dihirup ke paru bekerja lokal di
mukosa saluran nafas, namun diserap juga oleh mukosa saluran nafas dan
permukan alveolar. Fraksi yang terserap ini akan memasuki sirkulasi sistemik.
Fraksi dari kortikosteroid inhalasi yang tersimpan di orofaring akan tertelan dan
diserap oleh usus, dan akan memasuki first pass metabolism di hepar sebelum
memasuki sirkulasi sistemik. Budesonide dan fluticasone memiliki
bioavalabilitas sistemik lebih tinggi dibandingkan dengan beclomethason
dipropionate dan akan menghasilkan efek sistemik lebih tinggi juga.

























15
Daftar Pustaka

1. Arwin AP Akib. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi Kedua. Jakarta :
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007
2. Robert M Kliegman. Nelson Textbook of Pediatrics. 18
th
Edition. Vol 1.
Elsevier Science Health Division. 2007
3. Bertram G Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. 10
th
Edition. USA :
McGraw Hill. 2007
4. Laurence L Brunton. Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics. Eleventh edition. USA. 2006
5. Watson and Kapur Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011, 7(Suppl
1):S4 http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S4
6. J Sastre. Local and Systemic Safety of Intranasal Corticosteroids. J
Investig Allergol Clin Immunol 2012; Vol. 22(1): 1-12
7. Peter J. Barnes. Inhaled Corticosteroids. Pharmaceuticals 2010, 3, 514-
540; doi:10.3390/ph3030514.

Anda mungkin juga menyukai