FARMASI SORE
EFEK PENGULANGAN OBAT MELIPUTI REAKSI
HIPERSENSITIVITAS, REAKSI KUMULASI, TOLERANSI,
TAKHIFILAKSIS, HABITUASI DAN ADIKSI
Dosen :
Apt. Dewi Yuliana, M.Kes
NAMA KELOMPOK 6 :
1. CHRIST NATHALIA S.R.T.S (0432950721005)
2. LILIS WIDIAWATI (0432950721015)
3. PUTRI LISTIYANI (0432950721027)
4. RIZKA ANDRIANI (0432950721022)
Efek yang mungkin timbul dari pengulangan perpanjangan obat terbagi menjadi
6 macam efek yaitu sebagai berikut:
1. Reaksi Hipersensitif/Hipersensitivitas
Pengertian
Reaksi hipersensitif ialah suatu reaksi alergik yang merupakan respons
abnormal terhadap obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat
tersebut hingga berkembang timbul antibodi. Perlu diingatkan jangan sering
menggunakan salep antibiotik maupun penggunaan per oral.
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi
akibat respon imun yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
host adalah konsekuensi dari hipersensitivitas dari reaksi imun. Terminologi
sensitivitas, alergi dan hipersensitivitas adalah pengertian yang sama. Pada
individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang
kedua dengan antigen spesifik (allergen).
Pembagian
Hipersensitivitas terbagi menjadi 4 kelas (tipe I – IV) berdasarkan
mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif antara lain sebagai
berikut:
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Cepat/Anafilaksis/Anafilaktik)
Reaksi Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini
dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemetik (misalnya setelah pemberian
protein heterolog) atau sebagai reaksi local (misalnya alergi atopik seperti
demam hay). Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe cepat dimulai ketika
antigen menginduksi pembentukan IgE (Imunoglobulin E), yang terikat kuat
dengan reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibodi
tersebut. Beberapa saat kemudian kontak yang kedua dengan allergen yang
sama mengakibatkan fiksasi anti gen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan
mediator yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu
beberapa menit.
B. Fase Aktivasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pajanan (menampakkan) ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mastosit melepaskan isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi. Dalam fase aktivasi terjadi perubahan
dalam membran sel akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti influks.
C. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mastosit dengan aktivitas farmakologik.
Respons yang terjadi menyerupai alergi Hay Fever atau yang dapat
mengancam jiwa seperti anafilatik shock terhadap penicillin.
Rhinitis
Adalah radang selaput hidung yang ditandai dengan gejala bersin, hidung
tersumbat, gatal hidung, dan hidung berair. Ada 2 tipe rhinitis yaitu
musiman dan menahun. Rhinitis musiman (hay fever) terjadi secara
musiman dan disebabkan oleh allergen di luar ruangan seperti serbuk sari
dari pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan rhinitis menahun yang
dapat terjadi sepanjang tahun, biasanya dipicu oleh allergen di dalam
ruangan seperti bulu binatang, tungau debu, debu, jamur di kelembaban
dan kadang-kadang alergi makanan.
Dermatitis atopi
Adalah peradangan pada kulit yang lebih
sering muncul pada bayi dan anak kurang
dari 12 tahun, dimana tanda dan gejalanya
sangat khas yaitu kemerahan pada kulit yang disertai gatal dan nyeri
kadang-kadang bengkak, sifatnya kronis/menahun. Penyakit ini dialami
oleh sekitar 10-20% anak.
d. Reaksi Granuloma
Reaksi yang menyusul respon akut dimana terjadi influks monosit, neutrofil
dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan terkontrol neutrofil dikerahkan lagi
dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuclear yaitu sel
monosit, sel makrofag, sel limfosit dan sel plasma yang menyebabkan
gambaran patologik dari inflamasi kronik, monosit dan makrofag yang
berperan:
þ Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang
berdegenerasi;
þ Modulasi respons imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan
sekresi sitokin;
þ Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel yang berperan dalam
informasi melalui sekresi sitokin.
Alergi obat yang terbanyak adalah melalui tipe I dan tipe IV. Penyebab
alergi terbanyak adalah golongan penisilin, sulfat, salisilat, dan pirazolon,
asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion, dll.
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik. Satu macam
obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dan berbeda dengan
orang lain, dari ringan sampai berat. Demam, Penyakit Jaringan Ikat Sistemik
Lupus Eritematosus (SLE) dan Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang
paling sering, dapat berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, reaksi
fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, dan Sindroma Steven Johnson.
Urtikaria Dermatitis
medikamentosa
Mekanisme imun terlibat dalam sejumlah efek negatif yang disebabkan oleh
obat. Terjadinya alergi menunjukkan paparan sebelumnya terhadap obat atau zat
yang berhubungan erat. Sebagian besar obat memiliki bobot molekul kurang dari
1.000 sehingga tidak antigenik. Namun, kombinasi antara obat-obat ini dan zat-
zat yang bertindak sebagai hapten dengan bobot molekul tinggi (biasanya protein)
dapat membuat obat bersifat antigenik.
Banyak obat yang saat ini digunakan dalam praktik sehari-hari . Namun, obat-
obatan yang terlibat dalam reaksi alergi adalah sejumlah kecil kelompok obat.
Suatu zat harus memiliki bobot molekul yang cukup (11.000 dalton). agar
menjadi imunogenik atau allergen lengkap. Dengan demikian, sebagian besar
obat bertindak sebagai hapten dan harus mengikat dengan protein pengangkut
agar bisa menginduksi respons imun spesifik. b-Laktam pada dasarnya bersifat
reaktif (mendukung konsep hapten tentang patofisiologi alergi obat). Obat-
obatan lain, seperti sulfametoksazol, memerlukan konversi menjadi suatu
intermediate reaktif (konsep prohapten). Sitotoksisitas terkait obat mungkin
juga sangat penting dalam meningkatkan respons imun (konsep bahaya).
Meskipun tidak reaktif, sebagian obat lain masih bisa bersifat imunogenik
dengan pengikatan langsung ke reseptor imun, terutama reseptor sel T (konsep
interaksi farmakologi). Ibia dkk. menjelaskan bahwa jenis obat (bahkan di
antara kelompok terapi yang sama) merupakan suatu faktor risiko penting
terjadinya alergi obat. Melalui sebuah review yang dilakukan pada kelompok
pasien yang mendapat terapi antibiotik, Ibia dkk. mendapatkan bahwa
frekuensi reaksi yang terjadi antara lain 12,3% untuk sefaklor, 8,5% untuk
sulfonamide, 7,4% untuk penisilin, dan 2,6% untuk sefalosporin lainnya.
2. Regimen terapi.
Dosis obat dan cara pemberian memengaruhi frekuensi reaksi. Sepertinya,
pemberian secara intermitten atau berulang membuat pasien lebih peka
daripada pemberian secara terus-menerus. Dalam kaitannya dengan rute
pemberian, rute parenteral dianggap paling imunogenik daripada rute oral
meskipun data akurat yang menunjukkan hal ini masih belum memadai.
Pemberian obat secara topical ke kulit (bukan mukosa) adalah salah satu jalur
sensitisasi yang penting.
Pengertian
Reaksi kumulasi adalah suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan
akibat pengulangan penggunaan obat, dimana obat diekskresi lebih lambat
dibanding kecepatan absorpsinya dan dapat menimbulkan efek toksik.
Kumulasi dalam lemak terjadi dengan beberapa obat lipofil, misalnya
DDT, barbital kerja-pendek
(thiopental), anestetika halogen
(kloroform, halothan) dan zat-zat
estrogen tertentu. Sebagaimana
PP (pengikatan protein plasma),
terjadinya kumulasi obat di organ
atau jaringan tertentu merupakan
suatu cara penimbunan, dari
mana obat berangsur-angsur dilepaskan kembali dalam peredaran bila
konsentrasinya dilokasi tersebut menurun. Dengan demikian daya kerja obat
diperpanjang pula. Pada penilaian aktivitas obat-obat yang bersifat kumulasi
perlu diperhatikan bahwa antara konsentrasi plasma dan efek terapeutisnya
tidak ada hubungan langsung.
3. Toleransi (Tolerence)
Pengertian
Toleransi adalah suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis
obat yang sama, sehingga untuk memperoleh respon yang sama, dosis harus
diperbesar. Toleransi obat adalah sebuah kondisi yang ditandai oleh
penurunan efek obat pada pemberian berulang.
Dalam beberapa kasus, toleransi obat menyebabkan kebutuhan untuk
meningkatkan dosis obat agar mencapai efek yang sama. Toleransi biasanya
berkembang dalam hitungan hari sampai minggu, dan dibedakan dari
takifilaksis (tachyphylaxis), penurunan yang lebih cepat dalam pengaruh
obat. Toleransi dapat merupakan hasil dari beberapa mekanisme, termasuk
perubahan dalam metabolisme obat dan perubahan dalam jumlah atau respon
dari reseptor.
Efek yang mungkin timbul pada pengulangan penggunaan obat atau
perpanjangan penggunaan obat salah satunya adalah toleransi terhadap obat.
Toleransi timbil ketika diperlukan dosis yang lebih tinggi dari waktu ke
waktu untuk mencapai efek yang diinginkan. Terutama disebabkan karena
meningkatnya metabolisme obat oleh enzim-enzim hati. Barbiturat adalah
suatu kelompok obat yang dapat menyebabkan toleransi setelah pemakaian
dalam jangka waktu yang lama. Toleransi bersifat reversibel apabila obat
dihentikan. Toleransi obat ini juga bisa dipakai untuk menentukan tingkat
adiksi seseorang.
Menurut peneliti dari Tempo Group, Agus Wiyanto, ada tiga jenis
toleransi obat, yakni toleransi farmakokinetik, farmakodinamik, dan
toleransi yang dipelajari. Tiga jenis toleransi inilah yang menentukan
tingkat adiksi seseorang, sebab adiksi dipicu oleh toleransi.
1. Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme
suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang
diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang
dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian pertama kali.
Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan metabolisme
obat tersebut. Contohnya yaitu penggunaan stimultan untuk menambah efek
dari obat yaitu obat golongan barbiturat. Ia menstimulasi produksi enzim
sitokrom P450 yang memetabolisir obat, sehingga metabolisme/degradasinya
sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan membutuhkan dosis obat
yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang sama dalam
darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,
penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan
metabolisme obat lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan
dosis yang meningkat pula.
Efek Takifilaksis
Fenomena berkurangnya efek obat ini dapat dijelaskan dengan beberapa
mekanisme, antara lain:
5. Habituasi (Habituation)
Pengertian
Habituasi adalah kejadian pemakaian obat secara menahun yang
menyebabkan gangguan emosi bila pemberian obat itu dihentikan. Dua faktor
yang mempengaruhi habituasi adalah stimulus internal dan pembangkit
subjektif yang bervariasi. Dari kedua faktor tersebut yang paling dominan
adalah variasi internal.
Habituasi atau kebiasaan merupakan suatu gejala ketergantungan
psikologis terhadap suatu obat (psychological dependence). Habituasi dapat
terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat,
terbentuknya reseptor-reseptor sekunder dan terjadinya penghambatan
resorpsi.
Habituas atau pembiasaan adalah suatu kondisi dimana seseorang sudah
terbiasa terhadap suatu stimulus sehingga secara bertahap seseorang menjadi
mengabaikan stimulus tersebut. Habituasi menekankan gagasan bahwa
receptors/penerima stimulus yang ada dalam tubuh manusia “fire less” secara
bertahap jika dihadapkan dengan stimulus yang sama secara berulang. Artinya
reseptor tersebut semakin lama akan semakin tidak peka terhadap rangsangan
yang diberikan habituasi terjadi secara otomatis dan memerlukan kontrol dari
alam-sadar, namun seseorang masih bisa mengontrol terjadinya habituasi.
Kontrol tersebut tidak berlangsung di dalam otak melainkan pada alat indera
seseorang. Proses seperti ini dikenal dengan adaptasi indera. Adaptasi indera
merupakan proses berkurangnya atensi terhadap sebuah stimulus tetapi bukan
karena keinginan otak atau kontrol alam-sadar, namun terjadi secara langsung
di dalam indera.
WHO memberi ciri-ciri habituasi sebagai berikut:
a. Keinginan untuk selalu menggunakan suatu obat;
b. Tanpa atau sedikit kecendrungan untuk menaikkan dosis;
c. Timbul beberapa ketergantungan psikis;
d. Memberi efek yang merugikan pada suatu individu.
6. Adiksi
Pengertian
Adiksi adalah kejadian pemberian obat yang menyebabkan toleransi
dan penghentiannya menyebabkan timbulnya sindrom gejala putus obat (
withdrawal syndrome). Adiksi merupakan suatu gejala ketergantungan
psikologik dan fisik terhadap obat.
Adiksi atau ketagihan merupakan ketergantungan rohaniah dan
jasmaniah terhadap obat-obatan, bila pengobatan dihentikan dapat
menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental dengan karakteristik sebagai
berikut:
(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.
(b) Kecenderungan untuk menaikkan dosis (besar).
(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.
(d) Merugikan masyarakat maupun individu.
(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.
Narkotika dapat menimbulkan adiksi atau ketagihan yang lebih berat.
Di sisi lain, adiksi atau ketagihan obat ditandai dengan adanya
dorongan, keinginan untuk menggunakan obat walaupun tahu konsekuensi
negatifnya. Obat-obat yang bersifat adiktif umumnya menghasilkan
perasaan euphoria yang kuat dan reward, yang membuat orang ingin
menggunakan dan menggunakan obat lagi. Adiksi obat lama kelamaan akan
membawa orang pada ketergantungan fisik juga.
Contoh dari adiksi dalam bahaya penggunaan obat yaitu morfin adalah
alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang
ditemukan pada opium. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat
untuk menghilangkan rasa sakit. Efek samping morfin antara lain adalah
penurunan kesadaran, euphoria (kesenangan yang berlebihan), rasa kantuk,
lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang
batuk, dan menyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan
tinggi dibandingkan zat-zat lainnya.
Pasien ketergantungan morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan
mimpi buruk. Peradangan
penyalahgunaan morfin pada hati
dapat menyebabkan hepatititis C atau
peradangan hati. Hepatitis C virus
umumnya dapat ditemukan
dipenyalahgunaan obat intravena.
Morfin merumitkan hepatitis C
dengan kekebalan menekan dan juga
meningkatkan replikasi virus hepatitis
C. Penyalahgunaan morfin akhirnya mengarah pada perkembangan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://pdfslide.net/documents/5-bab-ii-pembahasan-56793c93b66cc.html?page=21