Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FARMAKOLOGI

FARMASI SORE
EFEK PENGULANGAN OBAT MELIPUTI REAKSI
HIPERSENSITIVITAS, REAKSI KUMULASI, TOLERANSI,
TAKHIFILAKSIS, HABITUASI DAN ADIKSI

Dosen :
Apt. Dewi Yuliana, M.Kes

NAMA KELOMPOK 6 :
1. CHRIST NATHALIA S.R.T.S (0432950721005)
2. LILIS WIDIAWATI (0432950721015)
3. PUTRI LISTIYANI (0432950721027)
4. RIZKA ANDRIANI (0432950721022)

SEKOLAH ILMU TINGGI KESEHATAN BANI SALEH


BEKASI PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
JL. R.A KARTINI NO.66 BEKASI 17113
PEMBAHASAN

Efek yang mungkin timbul dari pengulangan perpanjangan obat terbagi menjadi
6 macam efek yaitu sebagai berikut:

1. Reaksi Hipersensitif/Hipersensitivitas

 Pengertian
Reaksi hipersensitif ialah suatu reaksi alergik yang merupakan respons
abnormal terhadap obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat
tersebut hingga berkembang timbul antibodi. Perlu diingatkan jangan sering
menggunakan salep antibiotik maupun penggunaan per oral.
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi
akibat respon imun yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
host adalah konsekuensi dari hipersensitivitas dari reaksi imun. Terminologi
sensitivitas, alergi dan hipersensitivitas adalah pengertian yang sama. Pada
individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang
kedua dengan antigen spesifik (allergen).

 Pembagian
Hipersensitivitas terbagi menjadi 4 kelas (tipe I – IV) berdasarkan
mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif antara lain sebagai
berikut:
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Cepat/Anafilaksis/Anafilaktik)
Reaksi Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini
dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemetik (misalnya setelah pemberian
protein heterolog) atau sebagai reaksi local (misalnya alergi atopik seperti
demam hay). Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe cepat dimulai ketika
antigen menginduksi pembentukan IgE (Imunoglobulin E), yang terikat kuat
dengan reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibodi
tersebut. Beberapa saat kemudian kontak yang kedua dengan allergen yang
sama mengakibatkan fiksasi anti gen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan
mediator yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu
beberapa menit.

Reaksi ini meliputi 3 fase yaitu:


A. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit atau basofil. IgE yang
dibentuk biasanya dalam jumlah yang sedikit, yang diikat oleh sel mastosit
atau basofil untuk beberapa minggu.

B. Fase Aktivasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pajanan (menampakkan) ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mastosit melepaskan isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi. Dalam fase aktivasi terjadi perubahan
dalam membran sel akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti influks.

C. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mastosit dengan aktivitas farmakologik.
Respons yang terjadi menyerupai alergi Hay Fever atau yang dapat
mengancam jiwa seperti anafilatik shock terhadap penicillin.

Reaksi yang terjadi pada tipe ini yaitu:


- Eritem : Kemerahan karena dilatasi vascular.
- Edem : Pembengkakan yang disebabkan masuknya serum ke dalam jaringan
tubuh.
- Pada fase aktivasi, terjadi perubahan membran sel akibat dari metilasi
fosfolipid yang diikuti influks Ca2+.

Contoh-contoh penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan oleh


allergen:
 Asma bronchial
Disebut juga bengek
adalah suatu penyakit
kronis yang ditandai
dengan adanya
peningkatan kepekaan
saluran napas terhadap
berbagai rangsang dari luar (debu, serbuk bunga, udara dingin, makanan
dll) yang menyebabkan penyempitan saluran napas yang meluas dan dapat
sembuh spontan atau dengan pengobatan.

 Rhinitis

Adalah radang selaput hidung yang ditandai dengan gejala bersin, hidung
tersumbat, gatal hidung, dan hidung berair. Ada 2 tipe rhinitis yaitu
musiman dan menahun. Rhinitis musiman (hay fever) terjadi secara
musiman dan disebabkan oleh allergen di luar ruangan seperti serbuk sari
dari pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan rhinitis menahun yang
dapat terjadi sepanjang tahun, biasanya dipicu oleh allergen di dalam
ruangan seperti bulu binatang, tungau debu, debu, jamur di kelembaban
dan kadang-kadang alergi makanan.

 Dermatitis atopi
Adalah peradangan pada kulit yang lebih
sering muncul pada bayi dan anak kurang
dari 12 tahun, dimana tanda dan gejalanya
sangat khas yaitu kemerahan pada kulit yang disertai gatal dan nyeri
kadang-kadang bengkak, sifatnya kronis/menahun. Penyakit ini dialami
oleh sekitar 10-20% anak.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)


Hipersensitivitas tipe ini melibatkan pengikatan antibodi (IgG dan IgM)
ke antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraseluler. Antibodi ini akan
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ R sebagai efektor Antibody
Dependen Cellular Cytotoxicity (ADCC). Ikatan antigen-antibodi akan
mengaktifkan komplemen (melalui reseptor C3B), memudahkan fagositosis
dan menimbulkan lisis.
Hasil akhir reaksi ini sama dengan Tipe I yaitu: terjadi pelepasan
histamine dan bahan-bahan vasoaktif lain. Perbedaannya di sini antigen
merupakan bagian dari atau melekat pada sel yang mengandung bahan
vasoaktif. Antibodi (biasanya IgG atau IgM) akan bereaksi dengan antigen
permukaan tersebut yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan
pelepasan bahan-bahan vasoaktif, tetapi tidak didapatkan laporan tentang
reaksi yang disebabkan oleh melekatnya produk korosi atau degradasi
biomaterial pada permukaan sel.
Contoh reaksi tipe II:
1) Destruksi SDM akibat reaksi transfuse
Reaksi ini merupakan bentuk paling sederhana dari reaksi sitotoksik akibat
dari ketidakcocokan transfusi darah sistem ABO yang akan menghancurkan
eritrosit dalam vaskuler.
2) Anemia Hemolitik
Terjadi akibat suatu infeksi sehingga terbentuk Ig terhadap SDM sendiri.
3) Reaksi Obat
Terjadi akibat hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik.
4) Sindrom Goodpasture
Penyakit autoimun yang membentuk antibodi terhadap membran basal
glomerulus dan paru. Sering ditemukan setelah infeksi Streptococcus Sp.
5) Myasthenia Gravis
Yaitu penyakit lemah otot karena gangguan transmisi neuromuscular,
sebagian disebabkan oleh auto antibodi terhadap reseptor asetilkolin.
6) Pempigus
Terbentuk antibodi terhadap desmosom di antara keratinosit sehingga
terjadi pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe 3 (Reaksi Kompleks Imun)

Ketika antibodi bergabung dengan antigennya yang spesifik, terbentuk


kompleks imun. Secara normal, kompleks tersebut akan dibuang oleh sistem
retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks tersebut masih ada dan
dideposisi di jaringan-jaringan, dan mengakibatkan terjadinya beberapa
gangguan. Terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi
atau dinding pembuluh darah atau jaringan yang mengaktifkan komplemen C3a
dan C5a. Antibodi yang berperan yaitu IgM dan IgG. Antigen dapat berasal
dari:
 Kuman pathogen yang persisten (malaria);

 Bahan yang terhirup (spora jamur);

 Jaringan sendiri (penyakit autoimun).

Reaksi ini merupakan hasil presipitasi (pengendapan) kompleks antigen


antibodi. Dengan paparan yang lama, organ-organ seperti ginjal, paru-paru,
jantung dan persendian secara permanen dapat dipengaruhinya. Presipitat
(pengendap) dapat menyumbat pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan
aktivasi sistem komplemen dan respon inflamasi (adanya gangguan fungsi)
nonspesifik yang menyebabkan kerusakan pada bagian tersebut.
Hipersensitivitas tipe I,II dan III diperantarai oleh antibodi dan dapat timbul
dalam waktu beberapa menit atau jam dari reaksi tersebut. Tipe-tipe tersebut
diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitivitas humoral atau immediate.

Reaksi Tipe 3 mempunyai dua bentuk yaitu:


1) Reaksi Arthus
Reaksi ini secara lokal dan khas terjadi di kulit ketika dosis rendah
antigen disuntikkan dan terbentuk kompleks imun secara local. Antibodi
IgG terlibat dalam proses tersebut dan aktivasi komplemen yang terjadi
menyebabkan pelepasan mediator dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler. Ini secara khas terjadi dalam 4-10 jam.
2) Reaksi Serum Sickness
Reaksi ini menyebabkan penyakit serum. Setelah injeksi serum asing
(obat tertentu), antigen dibersihkan dan disirkulasi secara perlahan-lahan
dan produksi antibodi pun dimulai. Adanya antigen dan antibodi secara
simultan, mengakibatkan produksi kompleks imun yang dapat bersirkulasi
atau dideposisi di berbagai tempat. Penyakit serum yang khas menyebabkan
demam, urtikaria, artralgia limfadenopati dan splenomegali, beberapa hari
sampai 2 minggu setelah injeksi serum asing.

Contoh reaksi yang disertai kompleks imun adalah:


 Demam reumatik
Adalah penyakit inflamasi
yang dapat berkembang
selama dua sampai tiga
minggu setelah infeksi
Streptococcus Grup A (seperti
radang tenggorokan atau
demam berdarah). Demam
reumatik akut biasanya muncul pada anak-anak usia 5 dan 15 tahun,
dengan hanya 20% dari serangan pertama kali terjadi pada orang
dewasa.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV ( Reaksi Hipersensitivitas Lambat)


Hipersensitivitas tipe lambat merupakan fungsi dari limfosit T
tersensitisasi secara spesifik, bukan merupakan fungsi antibodi. Reaksi imun
ini lambat, yakni respon ini dimulai beberapa jam (beberapa hari) setelah
kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama berhari-hari.
Jenis antigen pada reaksi ini :
 Jaringan asing;
 Mikroorganisme intraseluler (virus, mycobakteri);
 Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung
dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Ini merupakan Cell Immediate
Sensitivity. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II, dan III yang berperan adalah
antibodi (imunitas humoral) sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah
Limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T
Lynphocyte) bereaksi dengan antigen dan menyebabkan terlepasnya mediator
(Limfokin) yang berakibat terjadinya peradangan lokal subkutan atau musculus
yang menyebabkan peningkatan masa jaringan yang dapat kita palpasi (teraba).
Reaksi ini sering memerlukan waktu berhari-hari, dikenal sebagai delayed
hypersensitivity. Pada beberapa individu, terjadi sensitivitas kontak terhadap
komponen biomaterial.

Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu:


a. Reaksi Jones Mote (JM)
Reaksi ini ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi
ini timbul oleh karena terdapat antigen yang larut dan oleh limfosit yang
peka terhadap siklofosfamide. Reaksi ini terjadi sesudah 24 jam.

b. Dermatitis kontak dan Hipersensitivitas kontak


Hipersensitivitas kontak terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia
sederhana (misalnya nikel, formaldehid), bahan-bahan kimia, bahan-bahan
tumbuhan (racun pohon oak), obat yang digunakan secara topikal (misalnya
sulfonamide, neosin). Molekul-molekul kecil masuk ke dalam kulit dan
kemudian bereaksi sebagai hapten, melekat pada protein tubuh dan
bertindak sebagai antigen komplit. Hipersensitivitas yang diperantarai oleh
sel terinduksi, khususnya di kulit. Ketika kulit kembali kontak dengan agen
penyebab hipersensitivitas tersebut, orang yang sensitif mengalami erotema,
gatal, vesikulasi, eksema, atau nekrosis kulit dalam waktu 14-28 jam.
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak
dengan allergen.
c. Reaksi Tuberkulin
Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada
banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis.
Seperti yang terjadi pada reaksi tuberculin. Reaksi ini terjadi 20 jam setelah
terpajan dengan antigen. Kemudian setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit
dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah sehingga menyebabkan
hubungan serat-serat kolagen kulit rusak.

d. Reaksi Granuloma
Reaksi yang menyusul respon akut dimana terjadi influks monosit, neutrofil
dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan terkontrol neutrofil dikerahkan lagi
dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuclear yaitu sel
monosit, sel makrofag, sel limfosit dan sel plasma yang menyebabkan
gambaran patologik dari inflamasi kronik, monosit dan makrofag yang
berperan:
þ Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang
berdegenerasi;
þ Modulasi respons imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan
sekresi sitokin;
þ Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel yang berperan dalam
informasi melalui sekresi sitokin.
Alergi obat yang terbanyak adalah melalui tipe I dan tipe IV. Penyebab
alergi terbanyak adalah golongan penisilin, sulfat, salisilat, dan pirazolon,
asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion, dll.

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik. Satu macam
obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dan berbeda dengan
orang lain, dari ringan sampai berat. Demam, Penyakit Jaringan Ikat Sistemik
Lupus Eritematosus (SLE) dan Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang
paling sering, dapat berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, reaksi
fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, dan Sindroma Steven Johnson.

Urtikaria Dermatitis
medikamentosa

Sindroma Steven Johnson

 Contoh kasus efek reaksi hipersensitif:


1. Asma Broncial:
Pasien seorang perempuan usia 58 tahun datang dengan keluhan sesak nafas
sejak ± 2 hari SMRS. Sebelumnya pasien sering sesak nafas jika suasana
dingin atau kelelahan. Awalnya sesak napas hanya timbul satu bulan sekali tapi
lama-lama frekuensi sesak semakin sering terutama dua tahun terakhir ini. Dan
sejak tiga bulan terakhir, sesak napas datang setiap hari. Sesak napas dirasakan
memberat pada malam hari atau saat suasana dingin atau jika pasien kelelahan.
Dan hampir setiap malam sesak napas datang. Pasien juga mengeluh batuk
berdahak bersamaan dengan sesaknya. Selama tiga bulan terakhir ini pasien
rutin meminum obat dari hasil kontrol ke Poliklinik Penyakit Dalam RSAY.
Pasien mendapat 4 jenis obat, namun pasien tidak tahu nama obatnya.
2. Penyakit Rinitis:
Pasien perempuan 36 tahun, dengan keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang
lebih 10 tahun, memberat 1 bulan ini. Pasien juga sering bersin-bersin terutama
apabila menghirup serbuk bunga salak. Hidung dirasakan tersumbat dan keluar
ingus cair. Tenggorokan terasa gatal. Bila pagi hari dan udara dingin pilek
dirasakan bertambah, bersin-bersin juga dikeluhkan bertambah. Pasien tidak
demam saat datang ke poliklinik,. Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas,
tetapi tidak mereda. Pasien belum pernah melakukan tes alergi, menyangkal
mempunyai penyakit asma dan tidak ada keluarga yang menderita penyakit
serupa dengan pasien. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis menderita rhinitis alergi.

3. Sindroma Steven Johnson:


Seorang anak perempuan usia 8
tahun beralamat di Tepas, Brang Rea
kabupaten KSB dikirim RSUD
Sumbawa Barat ke UGD RSUP NTB
pada tanggal 27 Februari 2012, dengan
keluhan utama kulit kering dan
terkelupas disertai rasa gatal pada
hampir seluruh tubuh. Kulit kering dan
terkelupas tersebut sejak ± 3 hari yang
lalu, sebelumnya ± 1 minggu yang lalu kulit pada hampir seluruh tubuh
melepuh seperti luka bakar dan nyeri.
Pasien sebelumnya ± 13 hari yang lalu, pernah tertusuk paku kemudian
berobat ke Puskesmas dan diberi obat amoksisilin. Setelah 4 hari minum
amoksisilin saudara pasien (kakak) mengaku bahwa timbul bintik-bintik merah
di kaki pasien, kemudian setelah ± 3 hari bintik-bintik tersebut berisi cairan
dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk sekitar mulut namun pada mata
pasien tetap normal. Kemudian pada hari ke-6  bintik-bintik tersebut pecah,
menghitam dan melepuh seperti luka bakar, kemudian dirawat di RSUD
Sumbawa Barat. Saudara pasien (kakak) mengaku bahwa pasien belum pernah
mengalami hal yang sama sebelumnya dan tidak mengetahui riwayat alergi
pasien sebelumnya. Saudara pasien (kakak) juga mengaku bahwa tidak ada
keluarga yang mengalami hal yang sama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien kompos mentis. Wujud
kelainan kulit didapatkan pada hampir seluruh tubuh terdapat patch eritem
kehitaman, generalisata dengan erosi yang membasah, krusta coklat dan
deskuamasi.

Tabel Perbandingan Tipe Hipersensitivitas

Tipe III Tipe IV


Tipe I Tipe II
Karakteristik Kompleks Tertunda
Anafilaktik Sitotoksik
imun (delayed)
Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada
Antigen Eksogen Permukaan Larut Jaringan
s dan organ
e
l
Waktu 15-30 Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam
respons menit
Penampilan Weal and Lisis dan Eritema Eritema
flare nekrosis edema, dan
nekrosis indurasi
Histologi Basofil dan Antibodi Komplem Monosit
eosinofil dan en dan dan
kompleme neutrofil limfosit
n
Transfer Antibodi Antibodi Antibodi Sel T
dengan
Contoh Alergi Eritroblast SLE, Tes
asma osis penyakit tuberkulin
fetalis, paru , racun
goodpastu Farmer ivy,
re’s granulom
nephritis. a

 Efek Samping Akibat Hipersensitif Obat


Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek negatif obat jika digunakan
dengan dosis yang bisa ditolerir oleh subjek normal. Efek ini mungkin terlihat
sama dengan alergi secara klinis. Sejumlah gejala yang hampir sama dengan
sering kali disalahartikan sebagai alergi obat yang sebenarnya. Menurut
pengkajian nomenklatur Committee of the World Allergen Organization, alergi
obat mengacu kepada reaksi hipersensitivitas obat yang menunjukkan suatu
mekanisme imunologi yang pasti (IgE atau mekanisme yang dimediasi sel T).

Mekanisme imun terlibat dalam sejumlah efek negatif yang disebabkan oleh
obat. Terjadinya alergi menunjukkan paparan sebelumnya terhadap obat atau zat
yang berhubungan erat. Sebagian besar obat memiliki bobot molekul kurang dari
1.000 sehingga tidak antigenik. Namun, kombinasi antara obat-obat ini dan zat-
zat yang bertindak sebagai hapten dengan bobot molekul tinggi (biasanya protein)
dapat membuat obat bersifat antigenik.

Faktor-faktor risiko munculnya alergi obat belum dipahami secara penuh.


Sebagian obat (missal penisilin) berpeluang lebih besar menimbulkan reaksi
alergi dibandingkan obat lain. Reaksi tipe I lebih lazim terjadi pada pasien dengan
riwayat atopik. Ada hubungan antara reaksi alergi yang melibatkan
Imunoglobulin E (IgE).

Manifestasi klinis dari hipersensitivitas obat tergantung kepada sejumlah


faktor, termasuk karakteristik kimia atau structural suatu obat, latar belakang
genetik pasien, spesifikasi, dan fungsi respons imun yang diinduksi oleh obat.
Ada beberapa tipe mekanisme efektor imun yang bisa menghasilkan reaksi
hipersensitivitas dengan pola klinis yang berbeda-beda. Misalnya, penisilin
sebagai obat-obatan klasik yang bertindak sebagai hapten, dilaporkan bisa
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi IgE tipe I (tipe immediate)
serta reaksi-reaksi yang dimediasi non-IgE, termasuk erupsi morbiliformis,
eritema multiformis dan sindrom Stevens-Johnson.

 Faktor Risiko Reaksi Hipersensitivitas Obat


Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan obat, regimen obat, dan
pasien (seperti usia, jenis kelamin, penyakit yang terjadi bersamaan, dan reaksi
sebelumnya terhadap obat) ditemukan memililiki peran penting dalam
hipersensitivitas obat.

1. Aspek yang berhubungan dengan obat.

Banyak obat yang saat ini digunakan dalam praktik sehari-hari . Namun, obat-
obatan yang terlibat dalam reaksi alergi adalah sejumlah kecil kelompok obat.
Suatu zat harus memiliki bobot molekul yang cukup (11.000 dalton). agar
menjadi imunogenik atau allergen lengkap. Dengan demikian, sebagian besar
obat bertindak sebagai hapten dan harus mengikat dengan protein pengangkut
agar bisa menginduksi respons imun spesifik. b-Laktam pada dasarnya bersifat
reaktif (mendukung konsep hapten tentang patofisiologi alergi obat). Obat-
obatan lain, seperti sulfametoksazol, memerlukan konversi menjadi suatu
intermediate reaktif (konsep prohapten). Sitotoksisitas terkait obat mungkin
juga sangat penting dalam meningkatkan respons imun (konsep bahaya).
Meskipun tidak reaktif, sebagian obat lain masih bisa bersifat imunogenik
dengan pengikatan langsung ke reseptor imun, terutama reseptor sel T (konsep
interaksi farmakologi). Ibia dkk. menjelaskan bahwa jenis obat (bahkan di
antara kelompok terapi yang sama) merupakan suatu faktor risiko penting
terjadinya alergi obat. Melalui sebuah review yang dilakukan pada kelompok
pasien yang mendapat terapi antibiotik, Ibia dkk. mendapatkan bahwa
frekuensi reaksi yang terjadi antara lain 12,3% untuk sefaklor, 8,5% untuk
sulfonamide, 7,4% untuk penisilin, dan 2,6% untuk sefalosporin lainnya.

2. Regimen terapi.
Dosis obat dan cara pemberian memengaruhi frekuensi reaksi. Sepertinya,
pemberian secara intermitten atau berulang membuat pasien lebih peka
daripada pemberian secara terus-menerus. Dalam kaitannya dengan rute
pemberian, rute parenteral dianggap paling imunogenik daripada rute oral
meskipun data akurat yang menunjukkan hal ini masih belum memadai.
Pemberian obat secara topical ke kulit (bukan mukosa) adalah salah satu jalur
sensitisasi yang penting.

3. Faktor yang berhubungan dengan inang (host).


Faktor-faktor terkait inang bisa memicu pasien terhadap alergi obat, terutama
karena faktor-faktor ini bertindak di jalur proses obat. Sebagian besar studi
menunjukkan bahwa wanita lebih sering terserang daripada pria (65-70%
dibandingkan 30-35%). Namun, perbedaan ini tergantung kepada kelompok
usia serta jenis reaksi (tingkat reaksi kutan adalah 35% lebih tinggi pada
wanita daripada pria).

2. Reaksi Kumulasi (Cummulation)

 Pengertian
Reaksi kumulasi adalah suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan
akibat pengulangan penggunaan obat, dimana obat diekskresi lebih lambat
dibanding kecepatan absorpsinya dan dapat menimbulkan efek toksik.
Kumulasi dalam lemak terjadi dengan beberapa obat lipofil, misalnya
DDT, barbital kerja-pendek
(thiopental), anestetika halogen
(kloroform, halothan) dan zat-zat
estrogen tertentu. Sebagaimana
PP (pengikatan protein plasma),
terjadinya kumulasi obat di organ
atau jaringan tertentu merupakan
suatu cara penimbunan, dari
mana obat berangsur-angsur dilepaskan kembali dalam peredaran bila
konsentrasinya dilokasi tersebut menurun. Dengan demikian daya kerja obat
diperpanjang pula. Pada penilaian aktivitas obat-obat yang bersifat kumulasi
perlu diperhatikan bahwa antara konsentrasi plasma dan efek terapeutisnya
tidak ada hubungan langsung.

 Contoh kasus efek reaksi kumulasi:


Pada penggunaan obat fenitoin atau obat
anti epilepsy yaitu salah satu obat yang
diabsorpsi lebih cepat, daripada ekskresinya
dan apabila di konsumsi dalam dosis yang
berlebih dapat memicu efek toksik atau
keracunan, walaupun hanya gejala keracunan
ringan yang salah satunya menyerang susunan saraf pusat (SSP) yaitu
diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai
gejala lain, misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang
sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Efek samping susunan saraf
pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 gram sehari.

3. Toleransi (Tolerence)

 Pengertian
Toleransi adalah suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis
obat yang sama, sehingga untuk memperoleh respon yang sama, dosis harus
diperbesar. Toleransi obat adalah sebuah kondisi yang ditandai oleh
penurunan efek obat pada pemberian berulang.
Dalam beberapa kasus, toleransi obat menyebabkan kebutuhan untuk
meningkatkan dosis obat agar mencapai efek yang sama. Toleransi biasanya
berkembang dalam hitungan hari sampai minggu, dan dibedakan dari
takifilaksis (tachyphylaxis), penurunan yang lebih cepat dalam pengaruh
obat. Toleransi dapat merupakan hasil dari beberapa mekanisme, termasuk
perubahan dalam metabolisme obat dan perubahan dalam jumlah atau respon
dari reseptor.
Efek yang mungkin timbul pada pengulangan penggunaan obat atau
perpanjangan penggunaan obat salah satunya adalah toleransi terhadap obat.
Toleransi timbil ketika diperlukan dosis yang lebih tinggi dari waktu ke
waktu untuk mencapai efek yang diinginkan. Terutama disebabkan karena
meningkatnya metabolisme obat oleh enzim-enzim hati. Barbiturat adalah
suatu kelompok obat yang dapat menyebabkan toleransi setelah pemakaian
dalam jangka waktu yang lama. Toleransi bersifat reversibel apabila obat
dihentikan. Toleransi obat ini juga bisa dipakai untuk menentukan tingkat
adiksi seseorang.

 Bagaimana terjadinya toleransi obat?


Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada
gangguan medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk
obat-obat psikotropika, dapat berangkat dari terjadinya toleransi, dan
akhirnya ketergantungan. Menurut konsep neurobiologi, istilah
ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada ketergantungan fisik,
sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah
ketagihan (addiction). 
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan
ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat,
dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom) jika
penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat tidak selalu berkaitan
dengan obat-obat psikotropika, namun dapat juga terjadi pada obat-obat non-
psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan golongan vasodilator
nitrat.
 Pembagian
Ada tiga macam toleransi, yaitu:
(1) Toleransi bawaan (primer)
(2) Toleransi dapatan (sekunder)
(3) Toleransi silang. Timbul karena obat-obat memiliki struktur kimia yang
serupa atau merupakan derivatnya. Misalnya, fenobarbital dan butobarbital.

Menurut peneliti dari Tempo Group, Agus Wiyanto, ada tiga jenis
toleransi obat, yakni toleransi farmakokinetik, farmakodinamik, dan
toleransi yang dipelajari. Tiga jenis toleransi inilah yang menentukan
tingkat adiksi seseorang, sebab adiksi dipicu oleh toleransi.
1. Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme
suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang
diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang
dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian pertama kali.
Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan metabolisme
obat tersebut. Contohnya yaitu penggunaan stimultan untuk menambah efek
dari obat yaitu obat golongan barbiturat. Ia menstimulasi produksi enzim
sitokrom P450 yang memetabolisir obat, sehingga metabolisme/degradasinya
sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan membutuhkan dosis obat
yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang sama dalam
darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,
penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan
metabolisme obat lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan
dosis yang meningkat pula.

2. Toleransi farmakodinamik merupakan perubahan adaptif yang terjadi di


dalam sistem tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh
terhadap obat berkurang pada pemberian berulang. Hal ini misalnya terjadi
pada penggunaan antibiotik. Dalam penggunaan jangka panjang, tubuh akan
menjadi resisten terhadap antibiotik sehingga membutuhkan penambahan
dosis.

3. Toleransi yang dipelajari yaitu pengurangan efek obat dengan


mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman terakhir. Misalnya
orang yang sudah mempelajari efek alkohol terhadap tubuhnya masih dapat
mengendalikan tubuh untuk tidak mabuk. Sehingga ketika dites berjalan
lurus, ia masih sanggup. Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat
menyebabkan ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan
adanya obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom)
jika penggunaan obat dihentikan. Di samping toleransi, ada pula variabel lain
yang dapat memicu adiksi. Antara lain obat yang terdiri dari ketersediaan
obat dan kemurnian obat, dan lingkungan.

 Obat-obat yang sering disalahgunakan


Ada tiga golongan obat yang paling sering disalah-gunakan, yaitu:
 golongan analgesik opiat/narkotik,
contohnya adalah codein, oxycodon,
morfin;
 golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi kecemasan
dan gangguan tidur, contohnya barbiturat (luminal) dan golongan
benzodiazepin (diazepam/valium, klordiazepoksid, klonazepam,
alprazolam, dll);
 golongan stimulan sistem saraf pusat, contohnya dekstroamfetamin,
amfetamin, dll. Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya
menyebabkan ketergantungan atau kecanduan.

 Contoh kasus efek toleransi:


Seorang bapak-bapak yang telah berusia 43 tahun pernah mengalami
kecelakaan lalu lintas 7 tahun lalu saat dia akan berangkat ke kantor dengan
menggunakan sepeda motor miliknya, dan setelah kecelakaan tersebut, bapak
ini selalu gelisah, takut dan cemas setiap
malam hari karena teringat akan bayang-
bayang kecelakaan yang pernah
dialaminya, yang akhirnya berdampak
pada pola tidurnya yang kacau
berantakan. Akhirnya bapak itu
berkonsultasi dengan dokter dan dokter
memberikan resep obat Alganax tablet
0,5 mg. Pada awalnya bapak ini hanya
perlu satu tablet alganax untuk membuat
dia tidur dan terbebas dari rasa cemas, gelisah dan takut. Namun seiring
dengan berjalannya waktu satu tablet alganax tidak mampu membuatnya
tenang dan tertidur sehingga bapak ini menambah dosisnya hingga 5 tablet
sekali minum. Dan keadaan ini sudah berlangsung selama 6 tahun tanpa
dapat ia kendalikan dan apabila tidak mengkonsumsi alganax ini bapak ini
mulai berhalusinasi dan rasa takut, cemas serta gelisah nya muncul kembali.
Kasus yang dialami oleh Bapak tersebut menunjukkan satu efek
toleransi, dimana obat yang dikonsumsi mengalami peningkatan dosis
dengan efek yang sama. Artinya dulu hanya dengan satu biji sudah dapat
memberikan efek tidur, sekarang perlu 5 biji Alganax tablet 0,5 mg baru
dapat memberikan efek tidur.
4. Takhifilaksis (Tachyphylaxis)
 Pengertian
Takhifilaksis merupakan suatu fenomena berkurangnya kecepatan
respons terhadap aksi obat pada pengulangan penggunaan dosis yang sama
(kurang sensitif). Respons semula tidak terulang meskipun dengan dosis yang
lebih besar.
Takhifilaksis adalah menurunnya respons dari tubuh terhadap obat
obatan yang terlalu sering dikonsumsi, takifilaksis ini hanya berlangsung
dalam hitungan detik dan menit saja.
Di dalam praktik sering ditemukan bahwa efek suatu obat secara
perlahan-lahan berkurang bila diberikan secara terus-menerus ataupun secara
berulang-ulang. Untuk menyatakan fenomena ini di pakai istilah desensitisasi
atau takifilaksis apabila berkurangnya efek terjadi secara cepat dalam waktu
beberapa menit saja. Sementara itu, toleransi di pakai untuk menerangkan
penurunan respons yang terjadi secara lebih lambat dalam waktu beberapa hari
atau beberapa minggu, tetapi perbedaan waktu ini tidaklah begitu tegas. Istlah
refractoriness dipakai untuk menyatakan berkurangnya atau hilangnya efficacy
terapi. Sementara itu, hilangnya efektivitas obat antimikroba disebut resistensi
obat.

 Contoh kasus efek takhifilaksis:

Penggunaan obat kortikosteroid sebagai antiinflamasi pada umunya


dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit sembuh. Namun
apabila penggunaan obat terus dilakukan melebihi ketentuan yang dianjurkan
maka dapat menyebabkan takifilaksis. Takhifilaksis ialah menurunnya respons
kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang,
berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang,
setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali
dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.

 Efek Takifilaksis
Fenomena berkurangnya efek obat ini dapat dijelaskan dengan beberapa
mekanisme, antara lain:

1. Perubahan pada reseptor;


2. Hilangnya reseptor;
3. Berkurangnya mediator;
4. Degradasi metabolik yang meningkat dan;
5. Adaptasi Fisiologik.

Desentisisasi yang terjadi pada beta-adrenoseptor disebabkan reseptor


tersebut tidak mampu mengaktifkan enzim adenilat siklase, walaupun masih
mampu berikatan dengan molekul agonis pada beta adrenoseptor tersebut.
Di dalam kasus desentisisasi lain, ditemukan juga adanya pengurangan
jumlah reseptor yang terjadi setelah pemajanan jangka panjang dengan agonis.
Di dalam penelitian laboratorium dapat di buktikan bahwa jumlah
betaadrenoseptor berkurang (down-regulated) menjadi kira-kira 10% dari
normalnya setelah ditambahkan isoprenain konsentrasi rendah selama 8 jam.
Jumlah beta-adrenoseptor ini akan kembali normal kembali setelah beberapa
hari kemudian. Proses ini dapat pula terjadi pada reseptor lain terutama untuk
hormon bila diberikan untuk jangka waktu yang lama.
Contoh desentisisasi yang disebabkan oleh berkurangnya/pengosongan
mediator terjadi, pada takifilaksis terhadap amfetamin. Amfetamin bekerja
dengan cara melepaskan noradrenalin dan monoamin lainnya dari ujung-ujung
saraf simpatis. Takifilaksis terjadi karena pengosongan simpanan noradrenalin.

5. Habituasi (Habituation)
 Pengertian
Habituasi adalah kejadian pemakaian obat secara menahun yang
menyebabkan gangguan emosi bila pemberian obat itu dihentikan. Dua faktor
yang mempengaruhi habituasi adalah stimulus internal dan pembangkit
subjektif yang bervariasi. Dari kedua faktor tersebut yang paling dominan
adalah variasi internal.
Habituasi atau kebiasaan merupakan suatu gejala ketergantungan
psikologis terhadap suatu obat (psychological dependence). Habituasi dapat
terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat,
terbentuknya reseptor-reseptor sekunder dan terjadinya penghambatan
resorpsi.
Habituas atau pembiasaan adalah suatu kondisi dimana seseorang sudah
terbiasa terhadap suatu stimulus sehingga secara bertahap seseorang menjadi
mengabaikan stimulus tersebut. Habituasi menekankan gagasan bahwa
receptors/penerima stimulus yang ada dalam tubuh manusia “fire less” secara
bertahap jika dihadapkan dengan stimulus yang sama secara berulang. Artinya
reseptor tersebut semakin lama akan semakin tidak peka terhadap rangsangan
yang diberikan habituasi terjadi secara otomatis dan memerlukan kontrol dari
alam-sadar, namun seseorang masih bisa mengontrol terjadinya habituasi.
Kontrol tersebut tidak berlangsung di dalam otak melainkan pada alat indera
seseorang. Proses seperti ini dikenal dengan adaptasi indera. Adaptasi indera
merupakan proses berkurangnya atensi terhadap sebuah stimulus tetapi  bukan
karena keinginan otak atau kontrol alam-sadar, namun terjadi secara langsung
di dalam indera.
WHO memberi ciri-ciri habituasi sebagai berikut:
a.      Keinginan untuk selalu menggunakan suatu obat;
b.      Tanpa atau sedikit kecendrungan untuk menaikkan dosis;
c.      Timbul beberapa ketergantungan psikis;
d.      Memberi efek yang merugikan pada suatu individu.

Contoh zat yang mengandung efek habituasi: nikotin dan kafein.


a.  Tembakau mengandung 0,2-5% nikotin. Pada
rokok tembakau, nikotin terkandung dalam
partikel kecil tar. Nikotin sangat cepat diserap
melalui bronkus dan alveolus paru-paru, dan
sudah dapat dideteksi dari otak hanya dalam 8
detik setelah hirupan pertama. Nikotin juga
berefek menstimulasi ganglion saraf.
b. Kafein adalah diuretik, dapat
memperburuk masalah ginjal atau
kandung kemih. Untuk itu minum
air putih sebanyak mungkin bagi
pecandu kopi. Jika tidak, berhati-
hatilah, ganti cairan yang hilang
dengan air murni. Mungkin efek
sakit terburuk dari minum kopi berlebihan adalah masalah kelenjar adrenal.
Ketika kita minum kopi, kelenjar adrenal dirangsang untuk menghasilkan
adrenalin. Ini merupakan bagian dari perlawanan sindrom yang
menyebabkan iritabilitas, terutama karena juga menghambat serotonin
penenangan. Jika kopi dikonsumsi secara berlebihan, terlalu sering dan
terlalu lama, seseorang bisa mengalami kelelahan adrenal, penyakit yang
tampaknya diakui oleh pengobatan holistik saja. Kelelahan adrenal
menurunkan produksi kortisol, sehingga sangat sulit untuk mengatasi stress.

 Contoh kasus efek habituasi:


 Pengaruh Nikotin pada Tubuh
Pada awalnya, nikotin
menyebabkan tubuh melepaskan
adrenalin. Adrenalin menyebabkan
denyut jantung dan tekanan darah
meningkat serta merangsang tubuh
melepaskan insulin. Pelepasan
insulin membuat tubuh mengira
terdapat kelebihan glukosa dalam darah. Itu sebab, perokok sering
melaporkan terjadinya penurunan nafsu makan. Asap rokok yang dihirup
juga memiliki efek negatif pada tubuh: Karbon monoksida pada asap
rokok berpotensi merusak paru-paru dan dinding arteri, sehingga
meningkatkan potensi serangan jantung, stroke, dan pembekuan darah.

 Pengaruh Nikotin pada Otak


Selain tubuh, nikotin juga mengakibatkan kerusakan pada otak. Otak
terdiri atas jutaan neuron atau sel yang mentransfer informasi ke seluruh
sistem saraf. Antara dua neuron terdapat sinapsis, dimana informasi
ditransmisikan. Neuron melepaskan zat kimia yang disebut
neurotransmitter yang mengikat sel neuron lain sehingga membentuk
jalinan. Di otak, nikotin mengikatkan dirinya ke subset neuron yang
biasanya mengikat asetilkolin neurotransmitter. Hal tersebut akhirnya
menghalangi neuron mentransmisikan pesan-pesan yang berkaitan dengan
gerakan otot dan tingkat energi. Ketika nikotin memblok reseptor tersebut,
tubuh akan melepaskan lebih banyak asetilkolin dalam upaya untuk
menemukan sinapsis antar neuron. Asetilkolin yang berlebih lantas
membuat otak melepaskan neurotransmitter lain yang disebut dopamin
yang mengontrol pusat kesenangan/kenyamanan pada otak. Peningkatan
kadar asetilkolin membuat orang merasa lebih waspada, sedang
peningkatan dopamin membuat seseorang merasa rileks. Tingginya
tingkat asetilkolin dan dopamin menjadi sinyal bagi otak untuk
melepaskan endorfin dan glutamat. Endorfin menghasilkan perasaan
senang atau rileks sedangkan glutamat merekam sensasi rileks ini
sehingga mendorong penggunaan lebih lanjut yang ujungnya
menyebabkan kecanduan nikotin.

6. Adiksi
 Pengertian
Adiksi adalah kejadian pemberian obat yang menyebabkan toleransi
dan penghentiannya menyebabkan timbulnya sindrom gejala putus obat (
withdrawal syndrome). Adiksi merupakan suatu gejala ketergantungan
psikologik dan fisik terhadap obat.
Adiksi atau ketagihan merupakan ketergantungan rohaniah dan
jasmaniah terhadap obat-obatan, bila pengobatan dihentikan dapat
menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental dengan karakteristik sebagai
berikut:
(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.
(b) Kecenderungan untuk menaikkan dosis (besar).
(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.
(d) Merugikan masyarakat maupun individu.
(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.
Narkotika dapat menimbulkan adiksi atau ketagihan yang lebih berat.
Di sisi lain, adiksi atau ketagihan obat ditandai dengan adanya
dorongan, keinginan untuk menggunakan obat walaupun tahu konsekuensi
negatifnya. Obat-obat yang bersifat adiktif umumnya menghasilkan
perasaan euphoria yang kuat dan reward, yang membuat orang ingin
menggunakan dan menggunakan obat lagi. Adiksi obat lama kelamaan akan
membawa orang pada ketergantungan fisik juga.

 Bagaimana mekanisme terjadinya adiksi ?


Untuk menjelaskan tentang adiksi,
perlu dipahami dulu istilah
system reward pada manusia.
Manusia, umumnya akan suka
mengulangi perilaku yang menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu
yang menyebabkan rasa menyenangkan
tadi dikatakan memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal
secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang, yang membuat orang
merasakan senang ketika makan, minum, disayang, dll. Bisa juga berasal dari
obat-obatan. Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di
otak, yang disebut reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh
reward alami ini dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk survived
(mempertahankan kehidupan).
Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang
disebut: ventral tegmental area (VTA),nucleus accumbens, danprefrontal
cortex. VTA terhubung dengan nucleus accumbens dan prefrontal
cortex melalui jalur reward ini yang akan mengirim informasi melalui saraf.
Saraf di VTA mengandung neurotransmitter dopamin,yang akan dilepaskan
menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward ini akan
teraktivasi jika ada stimulus yang memicu pelepasan dopamin, yang
kemudian akan bekerja pada system reward.
Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti kokain,
misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin,
sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan dopamin dari saraf
dan menghambat re-uptake-nya, sehingga menyebabkan kadar dopamin
meningkat.
 
 Bagaimana mekanisme adiksi obat-obat golongan opiat?
Reseptor opiat terdapat sekitar reward pathway (VTA, nucleus
accumbens dan cortex), dan juga pada pain pathway (jalur nyeri) yang
meliputi thalamus, brainstem, dan spinal cord. Ketika seseorang
menggunakan obat-obat golongan opiat seperti morfin, heroin, kodein, dll,
maka obat akan mengikat reseptornya di jalur reward, dan juga jalur nyeri.
Pada jalur nyeri, obat-obat opiat akan memberikan efek analgesia,
sedangkan pada jalur reward akan memberikan reinforcement positif (rasa
senang, euphoria), yang menyebabkan orang ingin menggunakan lagi. Hal
ini karena ikatan obat opiat dengan reseptornya di nucleus accumbens akan
menyebabkan pelepasan dopamin yang terlibat dalam system reward.
Sebagai tambahan informasi, di bawah ini disajikan beberapa jenis
obat golongan benzodiazepin/barbiturat beserta dosis dan dosis
ketergantungannya.  Berikut adalah tabel mengenai obat-obat psikotropika
beserta dosis sedatif dan dosis yang menyebabkan ketergantungan.

  Dosis ketergantungan dan


  Dosis waktu
Nama
  sedatif (mg) untuk menimbulkan
  ketergantungan
  Diazepa 5 – 10
40 – 100 mg x 42 – 120 hari
  m
  Klordiaz 10 – 25 75 – 600 mg x 42 – 120 hari
  epoksid
Alprazol 0,25 – 8 8 – 16 mg x 42 hari
am
Flunitraz 1–2 8 – 10 mg x 42 hari
epam
Pentobar 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
bital
Amobar 65 – 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
bital
Meproba 400 1,6 – 3,2 g x 270 hari
mat
 Bagaimana farmakoterapinya?
Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang
terintegrasi, yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan
medis. Pada tulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai farmakoterapi
(terapi menggunakan obat) bagi keadaan yang terkait dengan ketergantungan
obat.
Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan
ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian
munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan demikian, sasaran
terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis: tujuannya untuk mengeliminasi obat
dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh.
2. Terapi gejala putus obat: tujuannya untuk mencegah perkembangan
gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam
menjalani program penghentian obat.
Tentunya masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan
yang berbeda, sesuai dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini disajikan
tabel ringkasan terapi intoksikasi pada berbagai jenis obat yang sering
disalahgunakan.

Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi


Kelas Terapi obat Tera Komentar
obat pi non-obat
Benzo Flumazenil Supp Kontraindikasi
diazepin 0,2 mg/min IV, ort fungsi jika ada penggunaan
ulangi sampai max 3 vital TCA resiko kejang
mg
Alkoh Tidak ada Supp
ol, barbiturat, ort fungsi
sedatif vital
hipnotik non-
benzodiazepin
Opiat Naloxone Supp Jika pasien
0,4-2,0 mg IV setiap ort fungsi tidak responsif sampai
3 min vital dosis 10
mg  mungkin ada OD
selain opiat
Kokain  - Lorazepam 2-4 mg - - digunakan jika pasien
dan stimulan IM setiap 30 min Support agitasi
CNS lain sampai 6 jam jika fungsi vital - digunakan jika pasien
perlu - psikotik
- Haloperidol 2-5 mg Monitor - komplikasi
(atau antipsikotik fungsi kardiovaskuler
lain) setiap 30 jantung diatasi secara
min sampai 6 jam simptomatis
Halusi Sama dengan Supp
nogen, di atas ort fungsi
marijuana vital,
“talk-
down
therapy“

Selanjutnya, di bawah ini adalah ringkasan untuk terapi mengatasi gejala


putus obat.

Tabel 2. Ringkasan tentang terapi untuk mengatasi withdrawal


syndrome (DiPiro, 2008)

Obat Terapi obat Komentar


Benzod Klordiazepoksid 50 mg 3 x
iazepin sehari atau lorazepam 2 mg 3 x
(short sehari, jaga dosis utk 5 hari,
acting) kmdtappering
Long Sama, tapi tambah 5-7 hari Alprazolam
acting BZD utktappering paling sulit dan butuh
wkt lebih lama
Opiat Methadon 20-80 mg - jika metadon
p.o, taperdengan 5-10 mg sehari, gagal metadon
atau klonidin 2 g/kg tid x 7 maintanance program
hari, taperuntuk 3 hari berikutnya - Klonidin
menyebabkan
hipotensi  pantau
BP
Barbitu Test toleransi pentobarbital,
rat gunakan dosis pada batas atas test,
turunkan dosis 100 mg setiap 2-3
hari
Mixed- Lakukan spt pada long
substance acting BZD
Stimula Terapi supportif saja, bisa
n CNS gunakan bromokriptin 2,5 mg jika
pasien benar-benar kecanduan,
terutama pada kokain
 Contoh kasus efek adiksi:

Contoh dari adiksi dalam bahaya penggunaan obat yaitu morfin adalah
alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang
ditemukan pada opium. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat
untuk menghilangkan rasa sakit. Efek samping morfin antara lain adalah
penurunan kesadaran, euphoria (kesenangan yang berlebihan), rasa kantuk,
lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang
batuk, dan menyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan
tinggi dibandingkan zat-zat lainnya.
Pasien ketergantungan morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan
mimpi buruk. Peradangan
penyalahgunaan morfin pada hati
dapat menyebabkan hepatititis C atau
peradangan hati. Hepatitis C virus
umumnya dapat ditemukan
dipenyalahgunaan obat intravena.
Morfin merumitkan hepatitis C
dengan kekebalan menekan dan juga
meningkatkan replikasi virus hepatitis
C. Penyalahgunaan morfin akhirnya mengarah pada perkembangan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://pdfslide.net/documents/5-bab-ii-pembahasan-56793c93b66cc.html?page=21

Anda mungkin juga menyukai