Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI REAKSI ALERGI (REAKSI HIPERSENSITIVITAS)


Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem
kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka.
Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana
reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga
melibatkan antibodi, limfositdan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam
system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan.

2.2 TIPE REAKSI ALERGI ( REAKSI HIPERSENSITIVITAS)


1) Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin.
Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T
CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas
tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan
diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel
mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada
reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast
dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama
mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer
untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme
otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan
oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel
peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai
dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara
sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik
merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).

2) Tipe II : reaksi sitotoksik

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk


melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon
hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga
mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1. Respon yang bergantung komplemen


Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme:
lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen,
antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen
pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan
membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b
(teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang
paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada
jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas.
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai
berikut:
 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai
dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk
melawan antigen darah donor.
 Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus;
antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang
telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan
kerusakan sel darah merahnya sendiri.
 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia
yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu
yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel
(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian
penisilin).
 Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein
desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel
yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi
dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh
berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK.
Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu
(misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan
adalah IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan
sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi.
Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm
motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai
kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit
Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang
epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.

3) Tipe III : reaksi imun kompleks


Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-
antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri
dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk
dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah
ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada
organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk
dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi,
mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan
kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga
tahapan: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2)
pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3) reaksi
radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen
yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (tahap
pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan
apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan
jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel
fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen
yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan
secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar
kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan
bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan
pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan
kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen
terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan
hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun yang
disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah darah
kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi
glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum
ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat
predileksi lainnya.
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau
di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang
melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau
sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam
jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari
setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria,
artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas
komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan
fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit
polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi
menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan,
termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim
lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago.
Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh
neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan
mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui
iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi
pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika
terjadi di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen
melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi
jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung
oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara
eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi
pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar
serum.
Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang
disebabkan oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara
eksperimental dengan menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan
yang sebelumnya telah diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang
telah ada di dalam sirkulasi). Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody,
kompleks imun terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh
darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang
sama serta gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks
imun sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai
puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat
injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.

4) Tipe IV : Reaksi tipe lambat


Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama
respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti
Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi,
dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas
jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons
terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV
diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih
lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T
CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada
hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga
menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel
efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi
efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah
injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan
mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga
72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu
akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan
penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam
jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini
disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan
edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam
respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring
individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T
memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T
CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif,
bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen
kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen
mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang
tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa
antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1,
meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai.
Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori
memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan
diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan
sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk
mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling
bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
 IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah
interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH
karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1;
selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah.
IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang
poten.
 IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang
paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang
meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan
lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan
kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas
fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan
kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi
beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang
berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi
fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ
meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan;
jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
 IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat
DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang
antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak
spesifik untuk agen penyerang asal.
 TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada
sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang
membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor
kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

2.3 MACAM-MACAM REAKSI ALERGI


1. Alergi makanan
adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang bersifat negatif terhadap
protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau alergi terhadap jenis
makanan, umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta dapat menimbulkan
reaksi yang berbeda pada tiap individunya.Maka tidak semua intolerance atau alergi
makanan itu nantinya dapat menyebabkan terganggunya sistem imunitas tubuh
manusia.makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi alergi yaitu makanan
yang berasal dari laut, seperti udang, lobster, kepiting, ikan dan telur, kacang polong
Pada anak-anak, penyebab alergi makanan yang paling sering yaitu telur, susu,
kacang dll.
2. Alergi obat-obatan
Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi alergi
obat merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi ole seseorang. yang
diberikan tubuh pun sangat keras. Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal,
terdapat bercak- bercak merah pada kulit, mual dan muntah. Obat yang berpotensi
menimbulkan alergi antara lain antibiotic alergi (sulfonamid), vaksin , dan
obat non alergik ( kontras x-ray, aspirin, antibiotic, dan obat tekanan darah tinggi.
3. Alergi debu
Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran debu.
Hal ini dapat menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam frekuensi
yang sering, flu, rasa gatal, dan hidung tersumbat.
4. Alergi suhu udara (dingin/panas)
Alergi ini diakibatkan oleh alergen udara. Ketidakmampuan sistem imun
menerima udara dingin misalnya dapat mengakibatkan jaringan dalam hidung
menjadi bengkak, sehingga hidung pun menjadi tersumbat. Alergi dingin terjadi
karena pelepasan histamine dalam jumlah yang cukup besar yang kemudian
menyerang system kekebalan tubuh. Reaksi terjadi ketika seseorang terkena paparan
langsung udara dingin atau air dingin atau ketika terjadi suatu perubahan suhu yang
drastic. Gejala yang dapat dialami jika seseorang menderita alergi udara adalah
seringnya mengalami bersin-bersin, gatal-gata, mata merah dan berair. Dalam kondisi
tertentu, mucul alergi yang disebut urtikaria. Gejalanya adalah gatal-gatal dan muncul
bentol akibat udara dingin. Jenis alergi ini sering dialami orang-orang yang tinggal di
negara tropis. Biasanya, penderita biduran (nama lain alergi ini) memiliki jaringan
kulit yang sensitif. Biduran ini muncul karena tubuh mengeluarkan histamin (salah
satu zat pelindung tubuh) berlebih untuk mempertahankan tubuh dari suhu rendah.
Akibatnya, muncul bercak kemerahan dan bengkak. Jika dibiarkan, produksi histamin
berlebih ini dapat menimbulkan sesak napas dan pelebaran pembuluh darah.
5. Alergi musiman & Alergi yang terjadi terus menerus Musiman (hay fever)
yang umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah seperti benang
sari, debu, polusi udara atau asap. Serta Rinitis Alergi yang terjadi terus menerus
(parennial) yang diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di
rumah misalnya kutu debu rumah, debu parabot, bulu binatang peliharaan serta
baubauan yang menyengat
6. Alergi zat kimia tertentu
2.4 PENYAKIT- PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH REAKSI ALERGI
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi :
 Urtikaria atau biduran, yaitu ruam gatal pada kulit.
 Rhinitis atau reaksi alergi pada saluran pernapasan yang menyebabkan bersin,
hidung tersumbat atau berair, dan gatal.
 Asma, di mana terjadi penyempitan saluran napas, produksi lendir, dan
peradangan saluran pernapasan, sehingga mengakibatkan sesak napas.
 Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berdampak pada seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis bisa meliputi kesulitan bernapas,
tekanan darah menurun drastis (syok), dan tenggorokan serta wajah
membengkak sehingga dapat berakibat fatal. Jika terjadi, penderita perlu
segera mendapat pertolongan medis.
2.5 GEJALA DAN TANDA REAKSI ALERGI
 Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria
(bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas
berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua
saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut,
dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya
terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit
(kontak,menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan
diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
 Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. Manifestasi klinik
hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan
lain-lain. gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonefritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
 gejala vaskulitis lain Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa
reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,
ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

2.6 PEMERIKSAAN REAKSI ALERGI


1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
b. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan
c. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
d. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena
pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup
seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau
alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
b. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi
makanan.
c. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20
tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa
penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi
imun seluler.
d. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
e. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
f. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial
dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
g. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
h. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti H.

2.7 TERAPI REAKSI ALERGI


1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol
dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat
maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan.
Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat
bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma
akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta
limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus,
permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E
ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan
terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan
histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-
olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan
histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

Anda mungkin juga menyukai