Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfositdan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan.
2.2 TIPE REAKSI ALERGI ( REAKSI HIPERSENSITIVITAS)
1) Tipe I : Reaksi Anafilaksis Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Patofisiologi : Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat. Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit; Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa. Manifestasi Klinis : Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
2) Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk
melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1. Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut: Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri. Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri. Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin). Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis. 2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. 3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.
3) Tipe III : reaksi imun kompleks
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen- antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ). Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Penyakit Komplek Imun Sistemik Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh. Patofisiologi: Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan: Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi. Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan. Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya. Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria. Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya. Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum. Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus ) Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.
4) Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor. Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity) Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat. Patofisiologi : Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut: IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang poten. IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis. IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal. TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
2.3 MACAM-MACAM REAKSI ALERGI
1. Alergi makanan adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang bersifat negatif terhadap protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau alergi terhadap jenis makanan, umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta dapat menimbulkan reaksi yang berbeda pada tiap individunya.Maka tidak semua intolerance atau alergi makanan itu nantinya dapat menyebabkan terganggunya sistem imunitas tubuh manusia.makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi alergi yaitu makanan yang berasal dari laut, seperti udang, lobster, kepiting, ikan dan telur, kacang polong Pada anak-anak, penyebab alergi makanan yang paling sering yaitu telur, susu, kacang dll. 2. Alergi obat-obatan Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi alergi obat merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi ole seseorang. yang diberikan tubuh pun sangat keras. Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal, terdapat bercak- bercak merah pada kulit, mual dan muntah. Obat yang berpotensi menimbulkan alergi antara lain antibiotic alergi (sulfonamid), vaksin , dan obat non alergik ( kontras x-ray, aspirin, antibiotic, dan obat tekanan darah tinggi. 3. Alergi debu Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran debu. Hal ini dapat menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam frekuensi yang sering, flu, rasa gatal, dan hidung tersumbat. 4. Alergi suhu udara (dingin/panas) Alergi ini diakibatkan oleh alergen udara. Ketidakmampuan sistem imun menerima udara dingin misalnya dapat mengakibatkan jaringan dalam hidung menjadi bengkak, sehingga hidung pun menjadi tersumbat. Alergi dingin terjadi karena pelepasan histamine dalam jumlah yang cukup besar yang kemudian menyerang system kekebalan tubuh. Reaksi terjadi ketika seseorang terkena paparan langsung udara dingin atau air dingin atau ketika terjadi suatu perubahan suhu yang drastic. Gejala yang dapat dialami jika seseorang menderita alergi udara adalah seringnya mengalami bersin-bersin, gatal-gata, mata merah dan berair. Dalam kondisi tertentu, mucul alergi yang disebut urtikaria. Gejalanya adalah gatal-gatal dan muncul bentol akibat udara dingin. Jenis alergi ini sering dialami orang-orang yang tinggal di negara tropis. Biasanya, penderita biduran (nama lain alergi ini) memiliki jaringan kulit yang sensitif. Biduran ini muncul karena tubuh mengeluarkan histamin (salah satu zat pelindung tubuh) berlebih untuk mempertahankan tubuh dari suhu rendah. Akibatnya, muncul bercak kemerahan dan bengkak. Jika dibiarkan, produksi histamin berlebih ini dapat menimbulkan sesak napas dan pelebaran pembuluh darah. 5. Alergi musiman & Alergi yang terjadi terus menerus Musiman (hay fever) yang umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah seperti benang sari, debu, polusi udara atau asap. Serta Rinitis Alergi yang terjadi terus menerus (parennial) yang diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, debu parabot, bulu binatang peliharaan serta baubauan yang menyengat 6. Alergi zat kimia tertentu 2.4 PENYAKIT- PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH REAKSI ALERGI penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi : Urtikaria atau biduran, yaitu ruam gatal pada kulit. Rhinitis atau reaksi alergi pada saluran pernapasan yang menyebabkan bersin, hidung tersumbat atau berair, dan gatal. Asma, di mana terjadi penyempitan saluran napas, produksi lendir, dan peradangan saluran pernapasan, sehingga mengakibatkan sesak napas. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berdampak pada seluruh tubuh dan dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis bisa meliputi kesulitan bernapas, tekanan darah menurun drastis (syok), dan tenggorokan serta wajah membengkak sehingga dapat berakibat fatal. Jika terjadi, penderita perlu segera mendapat pertolongan medis. 2.5 GEJALA DAN TANDA REAKSI ALERGI Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak,menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa: 1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis 2. Demam 3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi 4. Limfadenopati a. kejang perut, mual b. neuritis optic c. glomerulonefritis d. sindrom lupus eritematosus sistemik gejala vaskulitis lain Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya : 1. Pada saluran pernafasan : asma 2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut 3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal 4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
2.6 PEMERIKSAAN REAKSI ALERGI
1. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir b. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan c. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan d. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat) 2. Pemeriksaan Penunjang a. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan). b. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan. c. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler. d. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya. e. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif. f. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ). g. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus. h. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti H.
2.7 TERAPI REAKSI ALERGI
1. Menghindari allergen 2. Terapi farmakologis a. Adrenergik Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam. b. Antihistamin Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine. c. Kromolin Sodium Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik. d. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa. 3. Imunoterapi Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah- olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun 4. Profilaksis Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.