Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

ALERGI PADA ANAK

Disusun oleh:
dr. Ridho Anugrah Saputra

RSUD KOTA CILEGON


PROVINSI BANTEN
2019

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap

antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas

berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.

Klasifikasi

Menurut gell dan Coombs:

1. Tipe I, Immediate Hypersensitivity ( IgE Mediated Reaction)

2. Tipe II, Antibody Dependent Cytotoxic Hypersensitivity (tissue spesific)

3. Tipe III, Immune Complex Mediated Hypersensitivity

4. Tipe IV, Delayed Type Hypersensitivity (DTH)

1. Hipersensitivitas Tipe I ( IgE-Mediated Hypersensitivity Reactions)

Hipersensitivitas tipe I yaitu hipersensitivitas yang dimulai oleh interaksi antara

antibodi IgE dengan multivalent antigen.


Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya

dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk

lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran pencernaan yang ditangkap oleh

makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T yang

akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi limfosit B berfloriferasi

menjadi sel plasma (plasmosit). Plasmosit akan memproduksi IgE spesifik untuk
antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit)

dan Basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang denagn antigen yang

spesifik dan sel mast/ basophil melepas isinya yang berisikan granul yang

menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator-mediator yang dilepas sel mas/basophil dengan aktivasi farmakologik.

Sensitisasi yang diikuti oleh reaksi dapat merupakan reaksi sendiri atau kombinasi dengan

hapten, sintesis IgE atau dapat pula terikat pada permukaan sel mast atau basofil. Pada re-

exposure antigen terikat IgE, dipermukaan sel dapat terjadi degranulasi sel mast sehingga
dibebaskan histamin, slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A), eosinophilic

chemotactic factor anaphylaxis (ECF-A).

2. Tipe II, Antibody Dependent Cytotoxic Hypersensitivity (tissue spesific)

Hipersensitivitas tipe 2 disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik. melibatkan proses

pengrusakan sel yang dimediasi oleh antibody (IgM / IgG). Secara umum terjadi 2 mekanisme

,yaitu :

1. Antibodi mengaktifkan system komplemen dan membentuk pore di membran sel asing

sehingga menyebabkan lisis.

2. Mengaktifkan Antibody cell mediated cytotoxicity (ADCC).

Contoh Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

a. Reaksi Transfusi

Ada lebih dari 20 antigen permukaan pada eritrosit beserta antibodi spesifik. Apabila

seseorang mendapatkan kelompok darah yang inkompatibel dengan antibodi yang dimiliki ,

maka antibodi akan berikatan dengan darah transfusi yang kemudian akan mengaktifkan jalur

komplemen klasik yang berujung pada lisisnya sel darah.

b. Hemolisis pada bayi baru lahir

Perbedaan antigen rhesus antara ibu dan bayi maka akan terbentuk suatu respon berupa IgG

terhadap antigen rhesus bayi . IgG akan menyebabkan opsonisasi serta fagositosis sel darah

merah bayi .

c. Hipersensitivitas karena obat-obatan

Obat-obatan/metabolitnya (tertentu) dapat berikatan dengan self protein (pada permukaan

sel) dan membentuk antigen baru yang akan menstimulasi produksi antibody baru. Antibodi

ini akan melisisikan kompleks antigen asing tersebut bersama selnya .


3. Tipe III, Immune Complex Mediated Hypersensitivity

Disebabkan oleh antigen-antibodi kompleks yang dibentuk dalam sirkulasi dan

terdeposit kemudian dalam dinding pembuluh darah atau extravascular tissue. Normalnya

antigen antibodi kompleks dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit atau beberapa sel

dalam RES, tetapi ketika kompleks yang dibentuk berlebihan dalam sirkulasi tidak dapat

dibersihkan, deposisi kompleks dalam jaringan atau vaskular endotel megakibatkan aktivasi

komplemen, anaphylatoxin (C3a,C5a) generation, chemotaxis PMN, fagositosis dan immune

complex mediated tissue injury.


4. Tipe IV, Delayed Type Hypersensitivity (DTH)

Imunitas selular merupakan mekanisme utama respon terhadap berbagai macam

mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen

ektrasel seperti fungi, protozoa dan parasit, namun proses ini dapat pula menyebabkan

kematian sel dan injury jaringan. Reaksi hipersensitivitas tanpa melibatkan antibodi, dan

langsung beraksi dengan sel limfosit.

Hipersensitivitas dibagi menjadi 2 :

1. Delayed type hypersensitivity (DTH) melalui sel CD4+

Respon imun yang merusak tubuh dalam usaha mengucilkan mikroba


Reaksi khas DTH memiliki 2 fase yakni fase sensitisasi dan fase efektor (7-10 hari).
2. T-cell mediated cytolysis melalui sel CD8+

Kerusakan terjadi melalui aktivasi sel CD8+/CTL/Tc.

Penyakit yang ditimbulkan cenderung mengenai beberapa organ saja, biasanya tidak sistemik

(con: hepatitis). Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen/sel autologus dapat membunuh sel

secara langsung.

ANAFILAKSIS ALERGI

Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas akut, berat, dan

menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibody spesifik

(IgE) yang terikat pada sel mast.


Pencetus :

- Debu
- Tungau debu rumah (terdapat pada karpet, kasur,sofa,tirai,boneka berbulu)
- Hewan peliharaan
- Faktor fisik : dingin, panas, dsb
- Tumbuhan
- Sengatan binatang
- Faktor makanan (zat warna, pengawet perasa
- Obat-obatan (aspirin atau NSAID)

Gambaran Klinis

Secara klinis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sitemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria

dan angioedema daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi sitemik terjadi pada organ target.

Reaksi sistemik
 Reaksi sistemik ringan

Gejala awal rasa gatal dan panas dibagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh

dalam mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan pembengkakan periorbita. Rasa gatal

pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala biasanya timbul dalam 2 jam

sesudah kontak dengan antigen.

 Reaksi sistemik sedang

Semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan

bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispneu, batuk, dan mengi dapat terjadi

angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah.

 Reaksi sistemik berat

Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi

sistemik ringan dan sistemik sedang kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang

tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring, serak, stridor, dispneu

berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan

hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum

dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan SSP atau karena hipoksia. Kolaps

kardiovaskular menyababkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma. Pada anak penyebab

kematian paling sering adalah edema laring.


Diagnosis
I. Anamnesis
 Waktu terjadinya onset (biasanya interval waktu beberapa detik hingga 1-2 jam paska

paparan)
 Lama terjadinya serangan
 Terapi yang sudah diberikan
 Obat-obatan dalam 6 jam terakhir
 Riwayat sengatan binatang
 Awitan dan riwayat penyakit serupa (untuk identifikasi pencetus yang sama serta

membedakan akut/kronik. Riwayat atopi penderita

II. Pemeriksaan Fisik

Organ Tanda dan Gejala Klinis


Kulit dan Mukosa Pruritus, kemerahan, urtikaria, parastesia, dan angioedema
Sistem Respirasi Bagian atas (rhinitis, bersin, stridor, suara serak) dan bagian
bawah (batuk, wheezing, sesak) dapat terjadi juga sianosis,
asfiksia, dan henti nafas
Sistem Vasodilatasi, palpitasi, takikardia, bradikardia (relatif/ absolut),
Kardiovaskular aritmia, hipotensi, syok, infark miokardium, dan henti jantung
Sistem Bengkak, gatal pada lidah dan bibir, mual, muntah, diare, nyeri
Gastrointestinal perut
Sistem Reproduksi Nyeri pelvis (seperti kontraksi uterus)
Neurologis Gelisah, nyeri kepala, inkotinesia, kejang, tidak sadar

Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap, foto toraks, pemeriksaan urea dan elektrolit darah, analisis gas darah, atau

pemeriksaan lainnya sesuai gejala yang timbul.

Terapi

a. Umum

Hindari kontak dari pencetus

b. Khusus

 Prinsip ABC
 Adrenalin (epinefrin) sebanyak 0.01 mg/kgBB, maksimum 0,3 mg (larutan 1:1.000),

diberikan secara intramuscular atau subktan pada lengan atau tau paha. Bila anafilaksis

terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1.000)

secara subkutan pada derah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis
adrenalin pertama dapat diulang dengan jarak waktu 5 menit bila diperlukan. Kalau

terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuscular,

dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05 mg/kgBB (larutan 1:1.000) secara intravena dengan

kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.
 Intubasi dan trakeostomi jika terdapat sumbatan jalan napas bagian atas oleh edema.
 Turniket, jika anafilaksis terjadi karena suntikan pada esktremitas atau sengatan/gigitan

hewan berbisa maka pasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan

tersebut, setiap 10 menit dilonggarkan 1-2 menit.


 Difenhidramin, dapat diberikan secara IV (kec. 5-10 menit), Im atau oral (1-2

mg/kgBB), smapai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung berat reaksi.

Bukan merupakan substituis adrenalin. Difenhidramin dapat diberikan secara oral setiap

6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang terutama pada urtikaria dan

angioedema.
 Cairan intravena, untuk mengatasi syok anak dapat diberikan cairan NaCL fisiologis

atau ringer sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi. Cairan dapat

dilanjutkan sesuai dosis BB dan umur anak jika syok sudah teratasi.
 Aminofilin, apabila bronkospasme menetap, aminofilin secara iv 4-7 mg/kgBB yang

dilarutkan dalma cairan iv (D 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Diberikan secara

lambat (15-20 menit) tergantung reaksi. Dapat dilanjutkan melalui infus dengan

kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5mg/kgBB iv selama 20-30 menit setiap 6 jam.
 Kostikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula

diberikan hidrokortison iv 7-10 mg/kgbB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6

jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dihentikan sesudah 2-3 hari.
Edukasi
Pasien diminta untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan berusaha menghindari kedepannya
Prognosis
Baik apabila penanganan tepat. Kematian dapat terjadi pada kasus berat.

Algoritme Tatalaksana Reaksi Anafilaksis Akut


Keterangan

* Kondisi yang mengancam jiwa:

Airway : bengkak, suara sesak, stridor

Breathing : takipnea, wheezing, fatigue, sianosis, SpO2 < 92%, confusion

Circulation : pucat, telapak tangan lembab, tekanan darah rendah, pingsan, koma

** Adrenalin dengan pengenceran 1:1.000 (dapat diulangi setiap 5-15 menit bila tidak ada

perbaikan). Tempat penyuntikan : daerah anterolateral paha 1/3 tengah. Dosis : 0,01 mg/kg

BB i.m. (1 mg/mL), maks 0,3 mg. Umumnya penderita berespon pada 1 atau 2 dosis

pemberian.

*** Cairan infus diberikankristaloid 20 mL/kg BB. Koloid tidak boleh diberikan karena dapat

menjadi penyebab reaksi anafilaksis.

**** Klorfeniramin i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 1-2 mg/kgBB/kali maks. 50 mg
***** Hidrokortison i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 4 mg/kgBB/kali maks. 100 mg atau

prednisone 1 mg/kgBB maks. 60-80 mg atau metilprednisolon dengan dosis 1 mg/kgBB

dengan dosis maks. 60-80 mg.


URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA
Urtikaria (kaligata, gidu, nettle-rash, hives) adalah erupsi kulit yang menimbul

(wheal), berbatas tegas, umumnya berbentuk bulat, gatal, eritematus dan berwarna putih

dibagian tengah bila ditekan. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik, atau berulang.

Angioedema lesi yang sama dengan urtikaria tetapi meliputi jaringan subkutan yang

lebih dalam, pembengkakan asimetris, non pitting, dan umumnya tidak gatal, tetapi disertai

rasa nyeri dan terbakar.

Klasifikasi:

A. Durasi

1. Urtikaria akut : berlangsung < 6 minggu


2. Urtikaria kronik : berlangsung > 6 minggu (baik secara terus menerus maupun

berulang), umumnya ditemukan pada orang dewasa.


B. Etiologi dan Mekanisme patofisiologi
1. Mekanisme imun
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, II, dan III.
2. Mekanisme nonimun (anafilaktoid)
a. Angioedema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamine, yaitu zat yang menyebabkan pelepasan histamine seperti opiate,

pelemas otot, obat vasoaktif, dan makanan (putih telur, tomat, lobster).
3. Fisik:
a. Dermatografia (writing on the skin)
b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria panas
e. Urtikaria solar
f. Urtikaria dan angioedema tekanan
g. Angioedema getar
h. Urtikaria akuagenik
4. Miscellaneous
a. Urtikaria papular
Etiologi: gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)
Pruritus bifasik: popular menjadi wheal
Reaksi hipsen tipe I dan IV.
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosis sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya:
- Penyakit vaskular kolagen
- Keganasan
- Ketidakseimbangan system endokrin
f Faktor psikogenik
g Urtikaria dan angioedema idiopatik

Patofisiologi
Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Reaksi Hipersensitivitas tipe II
Reaksi Hipersensitivitas tipe III
Reaksi Hipersensitivitas tipe IV

Diagnosis

I. Anamnesia

- Adanya bentol kemerahan pada kulit yang umumnya mudah dikenali bahkan oleh orang

tua pasien
- Awitan dan riwayat penyakit serupa sebelumnya untuk membedakan akut atau kronik dan

mengidentifikasi faktor pencetus yang mungkin sama dengan cetusan sebelumnya seperti :

1. Alergi: obat-obatan, makanan, gigitan ular, kontak dengan alergen, serum thickness

reaction

2. Toksisitas: serangga, tumbuhan, hewan laut

3. Pseudo-alergi: NSAID (ex:asam asetilsalisilat), antibiotik, opiat, pengawet makanan)

4. Reaksi fokal : Parasit, bakteri, fungi, virus, hormonal, neoplasma

5. Stimulus fisik : Mekanik, suhu, kolinergik, solar, x-ray dll

6. Defisiensi enzim : Inaktivasi C1 , ACE-inhibitor

7. Gangguan autoimun : Urtikaria vaskulitis, SLE, krioglobulinemia

8. Mastositosis : kutaneus, sistemik

9. Autoimun Idiopatik : Antibodi IgE, antibodi IgE reseptor

II. Pemeriksaan fisik

- Lesi kulit berupa bentol kemerahan yang memutih bagian tengah bila ditekan. Lesi disertai

rasa gatal, distribusi lesi pada daerah kontak dengan pencetus, pada badan saja, jauh dari

ekstremitas atau seluruh tubuh.


- Waspadai jika ada angioedema, adanya distress nafas, adanya kolik abdomen, suhu tubuh

meningkat bila lesi luas.

- Pada urtikaria kronik : mastositosis, < 2 tahun pertama dengan predileksi seluruh tubuh

kecuali extremitas, lesi hilang jika dieliminasi diet tertentu, seperti pada penyakit seliak,

yaitu urtikaria menghilang setelah diberi diet bebas gluten.

Pemeriksan Penunjang

I. Reaksi hipersensitivitas tipe I

Untuk reaksi hipersensitivitas alergi dan non alergi ini dapat dilakukan:

- Hitung eosinophil darah perifer/nasal.

- Pemeriksaan konsentrasi tryptase serum, apabila konsentrasinya >10mg/ml

menunjukkan adanya aktivasi dari sel mast.

Untuk alergi yang diperantarai IgE dilakukan pemeriksaan:

- IgE total serum

Untuk alergen protein (inhalan/makanan) perlu dilakukan :

- uji tusuk kulit

- Radio Allergo Sorbent Test (RAST): IgE spesifik serum

Untuk allergen obat perlu dilakukan:

- Uji tusuk kulit

- Satu tetes larutan obat 1:100 dalam larutan garam fisiologis tanpa pengawet, harus

disertai control positif dan negative.

Uji Intradermal

0.02 ml larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologis, harus disertai control positif dan

negative.

II. Urtikaria Fisik

Kulit yang akan diuji:


 Dermatografisme (menulis pada kulit)

Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan alat tumpul. Reaksi wheal dan

kemerahan berbentuk garis akan timbul dalam 2-3 menit setelah digores. Intensitas puncak

terjadi pada 6-7 menit dan hilang spontan dalam 20 menit. Tipe lambat terjadi dalam 6-9 jam

pada sisi yang sama dan menetap selama 24-48 jam.

 Urtikaria dingin

Tempelkan benda dingin pada kulit atau pegang kubus es datau lebih baik benda

dingin yang kering.

 Urtikaria Panas

Temple air panas yang dimasukan dalam tabung pada kulit. Wheal yang gatal akan

timbul dalam beberapa menit.

 Urtikaria Solar

Banyak terjadi pada anka memiliki protoporfiria eritropoetik. Kulit diberi papran

pancaran sinar berbagai panjang gelombang di laboratorium. Wheal aray eritem yang pruritus

akan timbul pada kulit yang terpajan pancaran sinar, biasnaya hilang dalam 24 jam.

 Urtikaria tekanan

Beri tekanan dengan beban 7-14 kg, gantung suatu beban disekeliling lengan bawah

atau bahu selama 10 menit.

 Angioedema vibrator

Tempelkan vibrator atau mixer pada lengan bawah selama 4 menit.

 Urtikaria akuagenik

Tempelakna kompres air atau lakukan tap water challenge dengan berbagai suhu pada

kulit yang diuji. Papul multiple gatal seperti urtikaria kolinergik akan timbul dalam beberapa

menit hingga 30 menit.

 Urtikaria kolinergik
Mandi dalam air hangat atau beraktivitas hingga berkeringat. Wheal/papul yang gatal

dnegan diameter 1-2 mm, dikelilingi eritem yang luas timbul dalam 2-10 menit. Episode ini

akan menetap dalam 15-30 menit.

Tata laksana

Menghindari pencetus merupaka tatalaksana definitive untuk mencegah terjadinya urtikaria.

Medikamentosa

Medikamentosa utama adalah antihistamin karena mediator utama pada urtikaria adalah

histamin. Preparat yang bisa digunakan:

 Antihistamin H1 generasi I, missal klorfeniramin maleat dengan dosis; 0,25

mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau antihistamin H1 generasi II yang kurang

sedative contoh : setirizin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/kali (usia <2 tahun : 2 kali

perhari, >2 tahun: 1 kali perhari).

 Penambahan antihistamin H2, misalnya simetidin 5 mg/kgBB/har, 3 kali sehari dapat

membantu efektifitas antohistamin I.

 Adrenalin 1:1000 dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum 0,3ml)

diberikan bila urtikaria/angioedema luas atau meluas dengan cepat atau terdapat

distress pernapasan, asma atau edema laring.

 Kortikosteroid jangka pendek ditambahkan bila urtikaria disertai angioedema, atau

bila urtikaria diduga berlangsung akibat reaksi alergi fase lambat. Atau bila tidak

memberikan respon yang baik dengan obat-obat lain, dengan mewaspadai efek

samping yang dapat terjadi.

 Penanganan topical untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamine.

Suportif
- lingkungan yang bersih dan nyaman (suhu ruangan tidak terlalu panas atau pengap,

dan ruangan tidak penuh sesak), pakaian, handuk, sprei dibilas bersih dari sisa

detergen dan diganti lebih sering.

- Pasien dan keluarga di edukasi untuk kecukupan hidrasi, dan menghindari garukan

untuk mencegah infeksi sekunder.

Indikasi Rawat

Urtikaria yang meluas cepat (menit-jam) disertai angioedema hebat, distress pernapasan, dna

nyeri perut hebat.

Faktor risiko terjadi anafilaksis

Urtikaria yang dicetuskan makanan disertai riwayat asma, angioedema melibatkan bibir dan

palpebral yang harus meningkatkan kewaspadaan akan edema mukosa pada jalan napas.

Urtikaria akibat sengatan serangga berisiko anafilaksis pada 10% kasus.

Prognosis

Pada umumnya Baik (self limitting disease), tetapi karena urtikaria merupan kutan anafilaksis

sistemik yang dapat mengancam jiwa.


DERMATITIS ATOPI

Definisi
Penyakit kulit yang ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari faktor

herediter serta lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula,

vesikel, krusta, skuama, dan pruritus yang hebat.


Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya

memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk

menderita asma, rhinitis, atau keduanya dikemudian hari yang dikenal sebagai allergic march.
Faktor Pencetus
- makanan
- Alergen hidup
- Infeksi kulit, umumnya staphylococcus aureus, virus, dan jamur.
Manifestasi Klinis
Umumnya timbul sebelum bayi berumur 6 bulan, dan jarang dibawah usia 8 minggu. Terdapat

tiga bentuk klinis dermatitis atopik:


1. Bentuk Infantil
Secara klinis berbentuk akut eksudatif dengan predileksi daerah muka, terutama pipi dan

daerah ekstensor ekstremitas, kecuali sekitar mulut. Bentuk ini berlangsung sampai usia 2

tahun. Lesi berupa vesikel dan papul, serta garukan menyebabkan krusta dan terkadang

infeksi sekunder dan gatal.


2. Bentuk Anak
Merupakan lanjutan dari bentuk infantile, gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis)

yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah periorbita, fleksura antekubiti, popliteal,

tangan, kaki.

3. Bentuk Dewasa
Pada usia sekitar 20 tahunan, umumnya berlokasi daerah fleksura tangan dan leher,

lipatan, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk likenifikasi dan skuamasi.
Stigmata pada Dermatitis Atopik :
1. White dermatographism: goresan pada kulit penderita DA yang akan menyebabkan

kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan

garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit kemudian.


2. Reaksi vaskular paradoksal: merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita

DA. Apabila ekstremitas mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan

pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.


3. Lipatan telapak tangan: terdapat penambahan mencolok lipatan pada telapak tangan

meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khusus untuk DA.


4. Garis morgana atau Dennie terdapat lipatan ekstra dikulit bawah mata
5. Sindrom “buffed-nail”: kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa

gatal.
6. Allergic shiner: karena gsokan dan garukan berulang dijaringan bawah mata dnegan

akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.


7. Hiperpgmentasi
8. Kulit kering, karena jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan

pementukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
9. Delayed blanch: penyuntian asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya

keringa dan eritema. Pada DA akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch.
10. Keringat berlebih, sehingga pruritus bertambah
11. Gatal dan garukan berlebih, pada orang normal penyuntikan pemacu gatal (tripsin)

menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada DA gatal bertahan selama 45

menit.

Patogenesis
Reaksi hipersensitivitas tipe I

Kriteria Diagnosis
Diagnosis Banding :

- Skabies
- Dermatitis seboroik infantile
- Dermatitis kontak
- Imunodefisiensi : Sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma DiGeorge, Sindorma Hiper-

IgE, defisiensi imun kombinasi berat


- Penyakit metabolik : Fenilketonuria, tirosinemia, histidinemia, defisiensi karboksilase

multiple, defisiensi asam lemak esensial


- Neoplasma : Limfoma sel-T kutaneus, Histiositosis X.

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan darah
Darah rutin
Hitung jenis
IgE total serum
IgE spesifik (RAST)
 Pemeriksaan kulit
Tes tusuk kulit
Patch test
Terapi
a. Topikal
Tujuan untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Dapat dengan mandi sabun

lunak tanpa pewangi, tidak menggunakan sabun bersifat alkali sebaliknya pakailah sabun

dengan PH 7,0. Pemberian pelembab kulit antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam

minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim

kortikosteroid, namun tidak digunakan daerah muka.Untuk daerah muka digunakan krim

hidrokortison 1%. Bila dengan kortikosteroid topical tidak adekuat untuk menghilangkan rasa

gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat.
Bila dengan pengobatan topical tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian

pengobatan sistemik.
b. Sistemik

- Berikan antihistamin reseptor H1 seperti difenhidramin atau terfenadin. Kombinasi H1

dengan H2 dapat menolong pada kasus tertentu.

- pengguankan kortikosteroid oral pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat,

misalnya prednisone 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.

- Antibiotic diberikan jika pasien terindikasi mengalami infeksi sekunder. Antibiotic yang

dianjurkan adalah eritromisin, sefalosforin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin.

- Penderita dapat diberikan sitostatik (azatioprin, siklosporin, ,etotreksat) jika tidak

mengalami perbaikan berdasarkan pertimbangan dokter spesialis anak alergi imunologi.

Prognosis

Prognosis baik pada kebanyakan anak, dan dermatitis atopi menghilang di usia >4 tahun pada

mayoritas anak.

Indikator Medis
Jika pasien gejala ringan diberikan terapi dan tidak membaik, lakukan penatalaksanaan untuk

gejala sedang-berat. jika masih tidak membaik, pertimbangkan adanya infeksi sekunder atau

dermatitis kontak, pertimbangkan pemberian inhibitor leukotriene, pemberian antihistamin

rutin, dan naikan potensi kortikosteroid topical. Bila setelah penatalaksanaan tersebut keadaan

pasien membaik, turunkan potensi kortikosteroid topical dan diberikan antihistamin hanya

jika diperlukan. Jika tidak membaik, rujuk ke ahli imunologi atau dermatologi.

Penyulit
DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri

(impetigo, folikulitis, abses, vaksinia, molluscum contangiosum, dan herpes).


RHINITIS ALERGI

Definisi

Gangguan simptomatis pada hidung dicetuskan oleh papan alergen melalui reaksi

hipersensitivitas yang diperantarai IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I), ditandai dengan 4

gejala utama yaitu hidung berair, tersumbat, gatal, serta bersin.


Klasifikasi

Faktor Risiko dan Pencetus

Faktor Risiko:

- Riwayat atopi pada keluarga

- Kadar IgE serum meningkat ( >100 IU/mL sebelum usia 6 tahun)

- Kelompok sosioekonomi atas

- Tes tusuk kulit (+)

Faktor pencetus:

Tungau : tungau debu rumah, allergen pada kotoran tungau.

Serbuk: pohon, rumpuk semak-semak, genggang.

Hewan: kucing, anjing, kuda, tikus.

Jamur: Alternaria, Cladosporium, Aspergillus.

Dicetuskan oleh pekerjaan: tepung, lateks, debu kayu.

Diperburuk oleh pekerjaan: Asap. Udara dingin, formalin, sulfur dioksida, ammonia.

Diagnosis

I. Anamnesis
Konsesus WHO-ARIA 2008 menyatakan bahwa bila ditemukan > 2 gejala yang terdiri atas

hidung berair, tersumbat, dan gatal. Serta bersin yang menetap selama > 1 jam dapat dicurigai

RA.

II. Pemeriksaan Fisik

1. Adenoid face
2. Allergic salute : anak sering menggosok hidung dengan telapak tangan
3. Allergic crease : garis transversal pada sepertiga distal punggung hidung
4. Allergic shiner : warna gelap (dark circle) serta bengkak di bawah mata
5. Dennies-lines : lipatan pada kelopak mata bagian bawah
6. Hidung : pembesaran konka disertai sekret hidung
7. Telinga : efusi kronik
8. Mulut : maloklusi, palatum tinggi
9. Kulit : dermatitis atopi terutama di regio malar pada wajah dan regio fleksor pada lengan

dan tungkai.

III. Pemeriksaan Penunjang

1. Skin prick test (SPT) / Tes tusuk kulit


2. IgE spesifik serum
3. Pencitraan sinus : untuknya melihat ada tidaknya komplikasi sinusitis
4. Uji fungsi paru : untuk melihat ada tidaknya komplikasi asma.

Diagnosis Banding

1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis medikamentosa
3. Rinitis atropi
4. Rinitis idiopatik
5. Rinitis infeksi (bakteri, virus, dll)
6. Rinitis karena iritan
Terapi
1. Terapi Lingkungan : Menghindari alergen pencetus
2. Terapi Farmakoterapi :
a. Kortikosteroid intranasal/oral
b. Antihistamin intranasal/ oral

c. Dekongestan oral dan topikal

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefedrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat

simpatomimetik yang dapat mengurangi kongesti hidung. Efek samping pada anak dapat

menyebabkan insomnia, iritabilitas, penurunan prestasi belajar anak, dapat menginduksi

gangguan jantung pada anak.

Topikal : oxymetazoline hydrochloride memiliki onset kerja yang cepat

d. Antikolinergik :
Onset kerjanya 15-30 menit dan efektif dan mengendalikan gejala hidung berair tetapi tidak

efektif untuk gejala rinitis lainnya.


e. Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien)
Montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok CystLT, dan merupakan obat yang

menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral.
3. Imunoterapi alergen
a. Imunoterapi (subcutaneus immunotherapy/SCIT)
b. Imunoterapi ( sublingual immunotherapy/SLIT)
Prognosis

Rinitis alergi dapat semakin memberat dengan bertambahnya usia dan menjadi masalah di

saat dewasa. Menghindari alergen penyebab dikombinasi dengan medikamentosa profilaksis

dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala.


Algoritma Tatalaksana Rinitis Alergi
ALERGI SUSU SAPI (ASS)

Pada usia tahun pertama kehidupan, sistem imun seorang anak relative masih imatur

dan sangat rentan. Bila ia mempunya bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan berkembang

menjadi penyakit alergi terhadap allergen tertentu.

Definisi
ASS adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai

akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi dan reaksi ini dapat

segera atau lambat.

Barier saluran cerna

Fungsi utama saluran cerna ialah memproses makanan yang dicerna menjadi bentuk

yang dapat diserap dan digunakan untuk energi dan pertumbuhan sel. Mekanisme imunologik

dan nonimunologik berperan dalam pencegahan masuknya antigen asing ke dalam tubuh.

Pada bayi baru lahir kadar S-IgA dalam usus masih rendah sehingga antigen mudah

menembus mukosa usus dan kemudian dibawa ke aliran darah sistemik.

Manifestasi Klinis

a. Kulit: urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik.

b. Saluran napas: hidung tersumbat, rhinitis, batuk berulang dan asma

c. Saluran cerna : muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar berdarah.

Diagnosis

1. Anamnesis
 Awitan gejala ASS, waktu antar pemberian susu sapid an timbulnya gejala, serta

jumlah susu yang diminum sampai menimbulkan gejala.


 Riwayat atopic pada keluarga dan saudara kandung
 Riwayat atau gejala alergi sebelumnya.

Gejala pada saluran cerna

- edema dan gatal pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika makanan yang

mesensitisasi kontak dengan mukosa.


- Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi. Bisa ringan, melanjut, atau intactable dan

dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah. Alergi susu sapi dapat

menyebabkan kolik infantile. Jika hipersensitivitas berat, dapat terjadi kerusakan

mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbanagn elektrolit, dan penurunan BB.


- Konstipasi kronik yang tidak responsive terhadap laksatif.

Gejala pada kulit

- dermatitis atopi adanya erupsi kemerahan pada umumnya setelah sensitisasi 1-2

minggu dan sering mengalami eksaserbasi.


- Urtikria dan angioedema.

Gejala pada saluran napas

- manifestasi yang cukup sering rhinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk krois,

dan mengi.

Gejala hematologi

Pucat akibat anemia defisiensi karena perdarahan mikro pada saluran cerna.

2. Pemeriksaan fisik

 kondisi umum : status gizi, status hidrasi, kadang tampak pucat.


 Kulit : dermatitis atopi, urtikaria, angioedema.
 Saluran napas : tanda rhinitis alergi (konka edema dan pucat) atau asma (mengi), otitis

media efusi.
 Saluran cerna : meteorismus, skibala, fisura ani.

3. Pemeriksaan penunjang
- baku emas pemeriksaan dengan Double blind, placebo-contolled food challenge

(DBPCFC), dilakukan pemberian makanan yang mengandung allergen dan placebo

dengan metode crossover secara tersamar baik terhadap pasien maupun evaluator disertai

pemantauan reaksi alergi. Metode ini lebih banyak dilakukan untuk keperluan riset.

Metode yang dapat dilakukan pada praktik klinis adalah melakukan eliminasi dan uji

provokasi terbuka.

- Pemeriksaan alternative dengan efikasi yang sama ; skin prick test, pengukuran Ab IgE

serum spesifik terhadap protein susu sapi, dan patch test.

- Skin prick test dan kadar IgE spesifik tidak berguna dalam diagnosis ASS yang tidak

diperntarai IgE, sebagai alternative dapat dilakukan skin prick test, atau uji eliminasi dan

provokasi.

- Pemeriksaan laboratorium tidak memberikan nilai diagnostic, tetapi dapat menunjang

diagnosis klinis. Penurunan kadar albumin sugestif untuk enteropati; hipoproteinemia

sering terjaid bersma-sama degan anemia defisiensi besi akibat alergi susu sapi.

Peningkatan tromosit, LED, CRP, leukosit tinja bukti adanya inflamasi tetapi tidak

spesifik.

Tatalaksana

Prinsip utama adalah mengindari susu sapi dan makanan yang mengandung susu sapi

sambil mempertahankan diet bergizi dan seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada

bayi yang dberikan ASI ekslusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang

mengandung protein susu sapi yang perlu dihindari.

Penghindaran harus dilakukan denga pemberian susu sapi hipoalergik yaitu susu sapi yang

dihidrolisis parsial untuk merangsang timbulnya toleransi susu sapi dikemudian hari. Bila
sudah terjadi sensitisasi terhadap protein susu sapi atau sudah terjadi manifestasi alergi, maka

harus diberikan susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau penggangti susu sapi misalnya susu

kacang kedelai.

Pencegahan

Tindakan pencegahan ASS dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:

1. Pencegahan primer

Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Dilakukan sejak prenatal pada janin yang dari

keluarga memiliki riwayat atopic. Penghindaran susu sapi berupa pemberian susu sapi

hipoalergik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya dapat merangsang

timbulnya toleransi susu sapi dikemudian hari. Tindakan ini juga dilaukan terhadap makanan

hiperalergik lain serta penghindaran asap rokok.

2. Pencegahan sekunder

Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit alergi.

Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau darah

talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun.

Penghindaran susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non alergik, yaitu susu sapi yang

dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi seperti susu kedelai.

3. Pencegahan tersier
Anak yang sudah menunjukkan manifestasi penyakit alergi yang masih dini tetapi belum

menunjukkan gejala alergi berat. Saat tindakan yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai

4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi dihidrolisis sempurna atau pengganti

susu sapi, serta tindakan lain pemberian obat pencegahan misalnya setirizin, imunoterapi,

imunomodulator serta penghindaran asap rokok.

Indikasi Rawat inap

 Dehidrasi berat

 Gizi buruk

 Anafilaksis

 Anemia yang memerlukan transfuse darah.

Prognosis

Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita akan menjadi

toleran sesuai dengan bertambahnya usia.umumnya akan membaik pada usia 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Akib, Arwin AP, dkk. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak, Edisi 2. Jakarta: IDAI; 2007
Bratawidjaya K G. Imunologi Dasar Edisi ke 10. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
Garna H. Pedoman Diagosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 5. Bandung: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNPAD; 2014.
Kuby, J. Immunology. Edisi 2. New York: W.H Freeman and company; 1994.
Kathryn L. McCance Pathophysiology The Biologic Basis for Disease in Adults and Children,
ed 6. Mosby, Inc; 2010.

Anda mungkin juga menyukai