Anda di halaman 1dari 70

CLINICAL SCIENCE SESSION

VACCINE PREVENTABLE DISEASE


(DIFTERIA, PERTUSIS, TETANUS, POLIO)

Presentan:
Ridho Anugrah S – 12100116211
Preseptor:
Diana Rahmi, dr., Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RS MUHAMMADIYAH BANDUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018
Imunisasi: cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa, tidak terjadi penyakit.

Jenis Kekebalan
 Kekebalan pasif: kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat
oleh individu itu sendiri. Contoh: kekebalan pada janin yang diperoleh dari
ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan
imunoglobulin.
 Kekebalan aktif: kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan
pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah.
Tujuan imunisasi

 mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang


 menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (contoh: DPT)
 menghilangkan penyakit tertentu dari dunia (contoh:
variola)
Respons imun
Definisi: repons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen (Ag) untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Dikenal dua macam pertahanan tubuh:
 pertahanan nonspesifik: tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen
 pertahanan spesifik: ditujukan khusus untuk satu jenis antigen,
terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada
pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular
dan imunitas humoral.
 Imunitas humoral diperankan oleh limfosit B yang
akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan
struktur yang disebut imunoglobulin (Ig) yang
dapat dipindahkan secara pasif kepada individu
lain dengan cara penyuntikan serum.
 Imunitas selular diperankan oleh limfosit T yang
setelah dirangsang oleh antigen akan teraktivasi
dan menimbulkan serangkaian reaksi yang akan
mengeliminasi antigen.
Respons imun pada imunisasi

 Pada pemberian imunisasi pertama kali akan


terbentuk respons imun primer terhadap antigen
yang dimasukkan ke dalam tubuh berupa eliminasi
antigen sekaligus terbentuknya sel limfosit memori
yang akan mengenali antigen pada pemberian
berikutnya.
 Pada respons imun humoral, antibodi yang
terbentuk kebanyakan adalah IgM dan IgG dengan
titer yang lebih rendah dibandingkan respons imun
sekunder. Pada pemberian imunisasi kedua dan
selanjutnya, sel B memori akan mengenali antigen
dan merangsang pembentukan antibodi yang
terutama adalah IgG dengan titer yang lebih tinggi
hingga mencapai efek protektif yang diinginkan.
Respons imun pada imunisasi
(lanjutan)
 Pada respons imun selular tidak terjadi pembentukan
antibodi, melainkan aktivasi limfosit T yang akan
mengeliminasi antigen sekaligus terbentuknya sel T
memori yang berfungsi mengenali antigen pada pajanan
berikutnya.
Faktor penentu keberhasilan
imunisasi
 Cara pemberian
 Dosis vaksin
 Frekuensi pemberian
 Jenis vaksin
 Ajuvan
 Kualitas vaksin
 Faktor pejamu
Jenis vaksin

 Live attenuated (kuman hidup yang dilemahkan): vaksin


virus/bakteri yang dimodifikasi sehingga masih memiliki
kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan
menimbulkan kekebalan, tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Contoh: BCG, OPV (polio oral), campak, MMR, varicella.
 Inactivated (kuman atau komponennya yang dibuat tidak
aktif): vaksin berupa keseluruhan virus/bakteri yang
dimatikan, komponen (bagian) dari virus/bakteri, toksoid
(toksin bakteri yang dilemahkan). Contoh: DPT, hepatitis B,
IPV (polio inaktif), vaksin IPD (pneumokokus), Hib, typhoid,
influenza, meningokokus.
Vaksin hidup yang dilemahkan
 Dibuat dari virus/bakteri liar penyebab penyakit yang
dilemahkan dengan cara pembiakan berulang-ulang.
 Perlu bereplikasi dalam tubuh pejamu agar dapat
menimbulkan respons imun.
 Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol
(panas/cahaya) atau pengaruh luar thd replikasi organisme
dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan
vaksin tidak efektif.
 Dapat menimbulkan kejadian ikutan imunisasi yang
menyerupai penyakit aslinya dengan gejala yang lebih ringan.
Namun, pada pejamu dengan defisiensi imun dapat
menimbulkan gejala sebagaimana penyakit aslinya.
 Secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik
seperti semula (hanya terjadi pada vaksin polio hidup).
Vaksin inactivated

 Dibuat dengan menginaktivasi kuman/bakteri


dengan penanaman bahan kimia atau hanya
memasukkan komponennya saja dalam vaksin.
 Tidak dapat hidup/tumbuh dalam tubuh
pejamu. Tidak menyebabkan penyakit dan
tidak dapat mengalami mutas menjadi bentuk
patogenik.
 Selalu membutuhkan dosis multipel untuk
dapat menghasilkan titer antibodi yang
diinginkan.
 Vaksin yang mengandung seluruh sel bakteri
bersifat sangat reaktogenik dan paling banyak
memiliki reaksi ikutan/efek samping (contoh
antigen pertusis pada DPT).
DIFTERIA
DEFINISI
Difteria adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, yang disebabkan oleh
corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan/atau mukosa. (Buku Ajar-Infeksi)
EPIDEMIOLOGI
 Awalnya difteria kebanyakan mengenai anak berusia <12 tahun.
 Epidemik terbesar kasus difteri setelah penyebaran vaksin: 157.000 kasus →
5.000 Meninggal (Federasi Rusia, 1990-1995)
 Di Provinsi Jawa Barat tercatat 10 kematian dari 95 kasus yang tercatat per-
November 2017.
ETIOLOGI
Penyebab difteri adalah bakteri corynebacterium diphteriae:

 Bakteri Gram negatif basilus


 Aerob
 Tidak berkapsul
 Tidak membentuk spora
 Non-motil
 Pleomorfik
KLASIFIKASI
Berdasarkan manifestasi tempat terjadinya penyakit, difteri
diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Difteri Respiratori
 Difteri Hidung
 Difteri Faring dan Tonsil
 Difteri Laring
B. Difteri Kutaneus
PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Bakteri c.diphteriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran pernapasan bagian atas, kemudian akan
memproduksi toksin yang menyebabkan kerusakan jaringan setempat dan
terbentuk selaput/membran yang dapat menyumbat jalan napas.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi 1-5 hari. Manifestasi penyakit ini bervariasi tergantung atas
imunitas host, virulensi bakteri dan lokasi penyakit secara anatomis.
 Difteri Hidung
 Gejala awalnya menyerupai common cold
 Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus kemudian menjadi
mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas.
 Pada pemeriksaan fisik tampak membrane putih pada septum nasi.
 Difteria Tonsil dan Faring
 Anoreksia
 Malaise
 Demam ringan
 Nyeri menelan
 Dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat berwarna putih-kelabu
(pseudo-membran) yang dapat menutup tonsil dan faring. Apabila dilepas
akan menimbulkan perdarahan.
 Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis
terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas akan
timbul bullneck.
 Difteria Laring
 Nafas berbunyi
 Stridor yang progresif
 Suara parau
 Batuk kering
 Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
supraklavikular dan interkostal.
 Difteria Kutaneus
 Infeksi non-progresif yang ditandai dengan luka yang sulit sembuh,
superfisial, ecthyma-like, dengan membran berwarna abu-kecoklatan.
 Nyeri
 Kemerahan
 Eksudat
DIAGNOSIS
Anamnesis
 Riwayat kontak dengan penderita difteri
 Suara serak dan disfagia
Pemeriksaan Fisik
 Anak terlihat lemah dan pucat, demam tidak tinggi
 Umumnya menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis disertai
pseudomembran
 Bullneck
 Stridor dan tanda lain obstruksi jalan napas
 Pada difteria nasal: tercium bau busuk, sekret
serosanguinus/purulen, ulkus dangkal pada hidung dan bibir
atas
Pemeriksaan Penunjang
 Sediaan apus langsung dan kultur lesi hidung,
tenggorok, dll. menggunakan pewarnaan Neisser,
Albert, dst., sebaiknya sebelum pemberian
antibiotik
 Hitung leukosit darah tepi: biasanya normal;
sering terjadi anemia hemolitik dan
trombositopenia
 EKG: tanda miokarditis
 Kultur dari apus tenggorok/hidung/kulit
 Uji toksigenik dengan metode enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA)
KOMPLIKASI

 Obstruksi jalan napas


 Miokarditis
 Neuritis
 Penyulit lain (gagal ginjal, trombositopenia, DIC)
TATA LAKSANA

Umum
 Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut
 Tirah baring selama ± 2-3 minggu
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat
Khusus
 Antitoksin (ADS)

 Antibiotik
Penilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari. Bila terdapat riwayat
hipersensitivitas penisilin, berikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari.
 Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala obstruksi
jalan napas bagian atas, dan miokarditis. Berikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 2
minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
PENCEGAHAN
 Imunisasi DPT
Imunisasi DPT dilakukan ketika usia 2 bulan (DPT 1), 3 bulan (DPT 2), 4
bulan (DPT 3), 18 bulan (DPT 4), 5 tahun (DPT 5), 10-12 tahun (DPT 6), yang
kemudian diberikan booster Td setiap 10 tahun.
 Keluarga dekat pasien yang positif menderita difteri diisolasi dan meminum
antibiotik sampai keluar hasil negatif.
 Bagi petugas kesehatan yang menangani kasus difteri, meminum antibiotik
untuk pencegahan.
 Apabila menemukan kasus difteri, laporkan ke Puskesmas setempat.
PERTUSIS (batuk 100 hari)
DEFINISI
Pertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis pada
saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas.(PPM, jilid 2)
EPIDEMIOLOGI
 Diperkirakan pada tahun 2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95%
diantaranya terjadi di negara sedang berkembang.
 Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak.
ETIOLOGI

 Pertusis disebabkan oleh Bordetella pertussis, B. bronchiseptica, B.


parapertussis, dan B.holmesii
 Bordetella pertussis termasuk golongan kokobasilus, Gram negatif, kecil,
ovoid, ukuran panjang 0,5-1 µm, d=0,2-0,3 µm, non-motil, dan tidak
berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar
metakromatik dan mempunyai kapsul.
PATOGENESIS

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan


kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme
pathogenesis infeksi oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakn
lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik
MANIFESTASI KLINIS

 Masa inkubasi: 3–12 hari


 Terbagi atas 3 stadium:
1. Stadium kataral (1–2 minggu)
Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam, rinorea, anoreksia, frekuensi
batuk meningkat.
2. Stadium paroksismal (2-6 minggu)
Karakteristik (paling nyata pada usia 6 bulan–5 tahun): batuk paroksismal
dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk
atau batuk rejan (inspiratory whooping); posttussive vomiting. Dapat pula
dijumpai: muka merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher selama serangan, apatis, BB
turun, perdarahan subkonjungtiva
3. Stadium konvalesens (≥2 minggu)
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampa dengan beberapa
bulan, dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva,
dan terdengar crackles difus
Bayi kurang dari 6 bulan sering dihubungkan dengan timbulnya muntah
sampai timbul dehidrasi.
Hipoksia terlihat lebih berbahaya dibandingkan dengan dugaan gambaran
klinis
Penderita dengan gambaran sianosis dan apneic spell, tanpa whoop.
DIAGNOSIS

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


 Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak
adekuat
 Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium

Laboratorium
 Leukositosis (15.000–100.000/mm3) dengan limfositosis absolut
 Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis)
 Foto Rontgen toraks: infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau
empiema
 Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme pada apus nasofaring (bahan
media Bordet-Gengou)
KOMPLIKASI

Pneumonia Kejang
Atelektasis Tanda perdarahan, berupa:
Ruptur alveoli Epistaksis, melena, perdarahan
Emfisema subkonjungtiva, hematom
epidural, perdarahan intrakranial

Bronkiektasi Meningoensefalitis, ensefalopati,


koma

Pneumotoraks Dehidrasi dan gangguan nutrisi


Ruptur diafragma Hernia umbilikalis/inguinalis,
prolaps rekti
TATA LAKSANA

Indikasi rawat inap:


 Usia <3 bulan
 Usia 3–6 bulan dengan gejala paroksismal berat
 Bayi prematur, dengan kelainan jantung, paru, otot, atau neurologis
 Usia berapa pun dengan penyulit
Umum:
 Suportif umum (oksigenasi, terapi napas, ventilasi mekanik) jika dibutuhkan
 Penderita harus diisolasi dari individu tersangka (terutama bayi) selama 4 mgg,
terutama sampai 5–7 hr pemberian antibiotik selesai
 Penilaian mengenai kondisi penderita: apnea atau sianotik spel atau hipoksia
dan dehidrasi sedang-berat
Khusus:
 Antibiotik
PROGNOSIS

 Mortalitas terutama karena kerusakan otak (ensefalopati), pneumonia, dan


penyulit paru lain
 Pada anak besar → prognosisnya baik
TETANUS
DEFINISI
Tetanus adalah penyakit tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan bakteri secara langsung, tetapi
sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh bakteri pada
sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuromuscular junction dan
saraf autonom. (Buku Ajar-Infeksi)
EPIDEMIOLOGI
 Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko
tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah.
 Angka kejadian laki-laki > perempuan, akibat perbedaan aktivitas fisiknya.
ETIOLOGI

 Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani.


 Clostridium tetani merupakan bakteri Basil Gram-positif dengan spora pada
ujungnya. Obligat anaerob, bergerak menggunakan flagela. Menghasilkan
eksotoksin (tetanospasmin). Mampu membentuk spora yang mampu
bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.
PATOGENESIS

Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob
(rendah oksigen), lalu menghasilkan toksin yang akan menempel pada reseptor di sistem
syaraf  menimbulkan kontraksi dan spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang, dan
gangguan sistem otonom.
DIAGNOSIS
Anamnesis
 Riwayat luka yang terkontaminasi (luka septik): trauma, luka bakar, injeksi i.m.,
pembedahan, pemotongan, dan perawatan tali pusat, serta ditemukan ulser,
gangren, gigitan ular yang nekrotik, dan infeksi telinga tengah
 Riwayat tidak diimunisasi tetanus atau imunisasi tetanus tidak lengkap
Pemeriksaan Fisik
 Trismus adalah kekauan otot maseter sehingga mulut sukar dibuka
 Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekauan otot mimik
 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh
 Otot dinding perut kaku sehingga perut seperti papan
 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat kejang
yang terus menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian.
Laboratorium
 Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis tetanus
tidak ada, oleh karena itu diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis:
trismus, disfagia, rigiditas muskular, dan atau spasme
 Mungkin leukositosis sedang dan LCS dalam batas normal
KOMPLIKASI

 Sepsis
 Bronkopneumonia akibat infeksi sekunder bakteri
 Kekakuan otot laring dan otot jalan napas
 Patah tulang belakang
TATA LAKSANA
PENCEGAHAN
 Perawatan luka
 Pemberian ATS dan Tetanus Toksoid
 Imunisasi DPT
Imunisasi DPT dilakukan ketika usia 2 bulan (DPT 1), 3 bulan (DPT 2), 4 bulan
(DPT 3), 18 bulan (DPT 4), 5 tahun (DPT 5) dan 12 tahun (dT).
PROGNOSIS

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan


berikut ini:
 Skor 0–1: derajat ringan dengan tingkat mortalitas <10%
 Skor 2–3: derajat sedang dengan tingkat mortalitas 10–20%
 Skor 4 : derajat berat dengan tingkat mortalitas 20–40%
 Skor 5–6: derajat sangat berat dengan tingkat mortalitas >50%
 Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat
 Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat
Vaksin DPT

 Isi: toksoid difteri, bakteri pertusis yang dimatikan, toksoid


tetanus
 Cara pemberian dan dosis: 0,5 ml i.m. di paha anterolateral
 Jadwal: imunisasi dasar 3x, yaitu usia 2, 3, dan 4 bulan (interval
tidak kurang dari 4 minggu). Imunisasi lanjutan 1 tahun setelah
dosis ketiga
 KIPI:
 Kemerahan, bengkak, nyeri pada lokasi injeksi
 Demam
 Gelisah dan menangis terus selama beberapa jam setelah
penyuntikan
 Paling berat: ensefalopati akut, reaksi anafilaksis
Vaksin DPT

 Indikasi kontra
 Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya
 Perhatian khusus
 Demam >40,5°C, kolaps dan episode hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DPT sebelumnya yang tidak berhubungan dengan penyebab lain
 Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya
 Menangis terus ≥3 jam dalam 48 jam pasca DPT sebelumnya
Vaksin Difteri Tetanus Pertusis whole
cells (DTPw)
dan Tetanus Toksoid (TT)

Heat Marker /
Vaccine Vial Monitor
(VVM)
Vaksin Difteri Tetanus Pertusis
aselular (DTPa)
POLIO
DEFINISI
Polio/Poliomyelitis adalah penyakit kelumpuhan akut yang menular disebabkan
oleh virus polio. Predileksi virus polio pada sel kornu anterior medulla spinalis, inti
motorik batang otak dan area motorik kortek otak yang menyebabkan kelumpuhan
serta atrofi otot. (Buku Ajar-Infeksi)

EPIDEMIOLOGI
 Mortalitas lebih sering terjadi pada kasus poliomyelitis paralisis
 Virus polio lebih banyak menyerang anak-anak, terutama anak yang
immunocompromised.
 Pada bulan Juni 2017, WHO melaporkan wabah polio terjadi di Republik Kongo
dan Siria
ETIOLOGI
 Poliomyelitis disebabkan oleh virus polio
 Virus polio merupakan virus RNA positive-strained tidak berenvelope, termasuk
genus Enterovirus, dalam famili Picornaviridae dengan ukuran 27µm memiliki 3
tipe strain, yaitu strain 1 (Brunhilde), strain 2 (Lansig) dan strain 3 (Leon)
PATOGENESIS

Virus polio masuk melalui mulut dan bermultiplikasi di faring dan saluran
cerna. Virus dapat terus dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu.
Virus menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke pembuluh darah,
kemudian sistem saraf pusat; bereplikasi di medula spinalis dan batang otak
serta mengakibatkan kerusakan sel.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi 8-12 hari
Gejala ringan (Minor illness):
 Bisa tanpa gejala
 Nyeri tenggorok
 Perasaan tidak nyaman di perut
 Gangguan gsstrointestinal
 Demam ringan
 Lemas
 Nyeri kepala ringan
Gejala Berat (Major illness):
 Gejala klinis dimulai dengan demam
 Kelemahan cepat dalam beberapa jam
 Nyeri kepala
 Muntah
 Terlihat mengantuk, iritabel, dan cemas
 Nyeri otot, kaku otot, memburuk dan menimbulkan kelumpuhan maksimal
dalam 48 jam (tipe spinal)
 Insufisiensi pernapasan, kesulitan menelan, tersedak, kelumpuhan pita suara,
dan kesulitan bicara (tipe bulbar)
PENYAKIT POLIO
DIAGNOSIS
 Pemeriksaan Penunjang:
 Darah: Leukosit normal/sedikit meningkat, peningngkatan titer IgG 4x lipat
atau titer anti-IgM (+) pada stadium akut. PCR
 LCS: 20-300 sel, predominan limfosit (lymphcytic pleocytosis), glukosa normal,
protein normal/sedikit meningkat.
 Kultur: dari feses dan apus tenggorok
KOMPLIKASI

 Paralisis otot vesikaurinaria dan atoni GIT (20%)


 Respiratory insufficiency-- pada pure spinal, bulbar, dan bulbospinal
poliomyelitis
 Aritmia jantung, tekanan darah tidak stabil, dan kelainan vasomotor terjadi
bila pusat vital di medulla terkena
TATA LAKSANA
Medikamentosa
 Tidak ada antivirus untuk terapi infeksi oleh virus polio
Terapi suportif
 Pemberian antipiretik/analgetik bila terdapat keluhan demam, nyeri kepala,
atau nyeri –otot
 Ventilasi mekanik seringkali diperlukan pada pasien paralisis bulbar
 Trakeostomi dilakukan pada pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi
mekanik --jangka panjang
 Rehabilitasi medis diperlukan pada kondisi paralisis untuk mencegah terjadinya
--dekubitus, pneumonia akibat berbaring lama, serta latihan aktif serta pasif
untuk mencegah kontraktur
 Konstipasi diatasi dengan pemberian laksatif dan pemasangan kateter urin
 Terapi hipertensi bila terjadi ensefalopati hipertensif
Indikasi Rawat
 Acute flaccid paralysis - (AFP) untuk memantau kemungkinan timbulnya distress
pernapasan, gangguan berkemih, dan gangguan sentral (misal: hipertensi
ensefalopati)
 Pasien yang mengalami penurunan kesadaran
Pencegahan
 Terdapat 2 macam bentuk vaksin untuk mencegah infeksi oleh virus polio, yaitu
inactivated poliovirus vaccine (IPV) dan oral attenuated poliovirus vaccine (OPV).
 Imunisasi dasar 4xOPV: bulan 1, 2, 3, dan 4
PROGNOSIS

Poliomielitis tipe bulbar memiliki komplikasi tertinggi dan angka kematiannya


mencapai 60%; diikuti oleh poliomielitis tipe spinal. Pasien inapparent illness atau
abortif dapat sembuh tanpa menimbulkan sekuele yang signifikan.
Vaksin Polio

 Isi:
 polio oral: virus hidup yang dilemahkan
 Inactivated polio vaccine (IPV): vaksin yang dimatikan
 Cara pemberian dan dosis: OPV: 2 tetes peroral tiap pemberian
 Jadwal: imunisasi dasar 4x, yaitu saat lahir, usia 2, 3, dan 4
bulan. Imunisasi lanjutan 1 tahun setelah dosis ketiga, interval
tidak kurang dari 4 minggu
 KIPI:
 Dapat terjadi polio yang berkaitan dengan vaksin (risiko 1 : 2,5
juta), risiko makin menurun pada pemberian dosis berikutnya
 Dapat timbul gejala pusing, diare ringan, nyeri otot
Vaksin Polio

 Bila anak muntah/diare: imunisasi ditunda


 Kontraindikasi OPV (vaksin hidup)
 Imunodefisiensi (HIV/AIDS, keganasan, terapi imunosupresan/radiasi)
 Kehamilan
 Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, polimiksin B, streptomisin
 Tinggal serumah dengan pasien imunodefisiensi
 Diberikan IPV (vaksin mati)
Vaksin Polio Oral (OPV)

Heat Marker
Vaccine Vial Monitor (VVM)
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai