Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel,
molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut
sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya
terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup.
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan
jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya.
Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini,
merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak
hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia
juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan
dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat,
dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat
secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung
pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen
yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan
reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam
respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan.
Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme,
fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang
sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang
bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan lain,
respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan
bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker,
tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa
penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal
mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada
aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut
reaksi hipersensitivitas.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut beberapa masalah diantaranya :


1.

Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?

2.

Bagaimana Etiologi penyakit hipersensitivitas?

3.

Bagaimana Patofisiologi dari penyakit hipersensitivitas?

4.

Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?

5.

Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?

6.

Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?

7.

Bagaimana diagnosa hipersensitivitas?

8.

Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

C. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya
bagi penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi
setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama
kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap
alergen tersebut.
B.

Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :


1.

Faktor Internal

a.
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis

(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas


juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b.
Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c.
Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
2.

Fator Eksternal

a.
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b.
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c.
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
C. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika
untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah
tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tandatanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada
sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan
untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak,
kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat
mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus,
angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka
mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi
yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian

D. Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4 tipe
reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III,
dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe
IVa dan IVb.
1.

Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau


anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi langkah-langkah berikut
ini. Antigen menginduksi pembentukan antibody IgE, yang terikat kuat dengan
reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibody tersebut.
Beberapa saat kemudian, kontak yang kedua dengan antigen yang sama
mengakibatkan fiksasi antigen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan mediator
yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit.
Nukleotida siklik dan kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator tersebut.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I
adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit nonatopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2.

Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang


berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a.

Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

b.
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c.
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3.

Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan.
Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah
besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadangkadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan
sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi
pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi
tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks
dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus
adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada
paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.
4.

Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau


tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk

aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

E.

Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1.
Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lainlain. gejala sering disertai pruritis.
2.

Demam.

3.

Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.

4.

Limfadenopati

a.

kejang perut, mual

b.

neuritis optic

c.

glomerulonefritis

d.

sindrom lupus eritematosus sistemik

e.

gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat
merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1.

Pada saluran pernafasan : asma

2.

Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3.

Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal

4.

Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

F.

Pemeriksaan Fisik

1.
Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2.

Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.

3.

Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.

4.
Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena
pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

G. Diagnosa
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien
benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan
untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang
mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan
berikut.
1.
Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya
keterkaitan penyakit dengan alergi.

2.
Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan
perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva,
nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3.
Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit
alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat
berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE
total dan IgE spesifik.
4.
Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes
tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi
penyebab keluhan pasien.
5.
Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika
terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes
lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial
H. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1.

Menghindari allergen

2.

Terapi farmakologis

a.

Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,


isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b.

Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c.

Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini


merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif
unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.

d.

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,
produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3.

Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai


Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan
histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit
individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih
banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang
mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan
tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
4.

Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,


sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.

Saran

DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi
Pertama, Salemba Medika, Jakarta.
Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 2, Edisi
6, EGC, Jakarta.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati, S.,
2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,
berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal
yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan
reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang
heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan
Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi.
REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU SITOLITIK

Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali
oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel
tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat
berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat
menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan menyebabkan
jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap
antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG
dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi
leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur
klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan
menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi
substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya.
Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna
dan dihancurkan oleh fagosit penjamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara
langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat
menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi terhadap reseptor
asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat
mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves disease, dimana antibodi
terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.
Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi antijaringan.
Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuensi jejasnya, dengan obat
seperti kortikosteroid. Pada kasus yang parah, plasmaferesis digunakan untuk mengurangi kadar
antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi
autoantibodi (misal. dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel
B dependen sel Th).
Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila darah
individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B
isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh
hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas
dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria.
Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala
khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah
dan hemoglobinuria.
Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang
dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi
terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG
terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell,
dan Duffy.

Tiga Mekanisme Utama


Hipersensitivitas Tipe II
Hemolytic diseases of the newborn (HDN)
Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang berasal
dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan
eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu
memiliki Rhesus negatif dan mempunyai janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya
terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru
pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus placenta
dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis
fetalis).
Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik
pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa.
Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM
dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B,
yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas
seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi alergi akut yang mengenai beberapa organ tubuh secara simultan (biasanya system
kardiovaskular, respirasi, kulit, dan gastrointestinal) disebut sebagai reaksi anafilaksis
(ana=balik; phylaxis=perlindungan). Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan (Syamsu, 2001). Anafilaksis merupakan manifestasi dari
hipersensitivitas tipe cepat di mana individu yang peka terpajan suatu antigen spesifik atau
hapten yang mengakibatkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa, biasanya diikuti oleh
kolaps vaskular serta syok dan disertai dengan urtikaria, pruritus, dan angioedema (Dorland,
1998). Sedangkan menurut Guyton (1997).
anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali
menurun dengan hebat. Anafilaksis terutama disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen, yang sensitive untuk seseorang, telah masuk ke dalam
sirkulasi.
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan. Diperkirakan
0,4 kasus perjuta penduduk pertahun dan di rumah sakit diperkirakan 0,6 perseribu pasien. Di
Amerika Serikat diperkirakan 1-2 % pasien yang disuntik penisilin mengalami reaksi anafilaksis
dan 400-800 di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaktiod oleh zat kontras 5% dari
pengguna dan 250-1000 orang di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaksis oleh

makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data yang akurat. Diperkirakan 1/5 1/3
penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi makanan. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi
pada mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya.
2

Rumusan masalah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Apa definisi dari anafilaksis?


Bagaimana epidemilogi dari anafilaksis?
Bagaimana etiologi dari anafilaksis?
Apa saja zat-zat yang menimbulkan reaksi anafilaksis?
Bagaimana patogenesis dari anafilaksis?
Bagaimana gambaran klinis pasien pasien dengan anafilaksis?
Bagaimana diagnosa pada pasien dengan anafilaksis?
Bagaimana pengobatan pada pasien dengan anafilaksis?
Bagaimana prognosis dari anafilaksis?
Bagaimana pencegahan anafilaksis?
Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis?
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan anafilaksis?

Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Setelah mengikuti seminar tentang anafilaksis ini peserta diharapkan mampu
untuk mengetahui,melaksanakan dan memahami anafilaksis beserta asuhan keperawatan
nya.
1.3.2 Tujuan Khusus
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l

Mampu menjelaskan definisi dari anafilaksis


Mampu menjelaskan epidemiologi dari anafilaksis
Mampu menjelaskan dan menyebutkan etiologi dari anafilaksis
Mampu menyebutkan zat-zat yang dapat menimbulkan reaksi
Mampu menjelaskan patogenesis dari anafilaksis
Mampu menjelaskan gambaran klinis pasien dengan anafilaksis
Mampu menjelaskan diagnosa pada pasien dengan anafilaksis
Mampu menjelaskan pengobatan pada pasien dengan anafilaksis
Mampu menjelaskan prognosis dari anafilaksis
Mampu menjelaskan pencegahan anafilaksis
Mampu menjelaskan penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan anafilaksis

Manfaat

Mahasiswa

mampu melakukan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan

masalah anafilaksis.

BAB 2
PEMBAHASAN
1

Definisi Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi
berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi
akibat pemaparan terhadap suatu allergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama
dengan allergen. Pada pemaparan kedua atau pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi
alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh.

Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang serius. Muncul dengan cepat dan bisa
berakibat fatal. Jenis reaksi ini merupakan keadaan darurat medis dan perlu pertolongan
segera. Bagi siapa pun mengalami reaksi anafilaksis, epinefrin harus segera diberikan
diikuti dengan perawatan lebih lanjut dan transfer ke rumah sakit
Menurut Brunner & Suddart (2002) anafilaksis merupakan respon klinis terhadap
reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara antigen yang spesifik dan antibody.
Reaksi tersebut terjadi akibat antigen IgE dengan cara berikut:
a

Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel

mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan


Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan
vaskuler; pengaktifan trombosit, eosinofil serta neutrofil; dan pengaktifan rangkaian
peristiwa koagulasi.
Tipe-tipe reaksi anafilaksis:
a Reaksi local Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta
angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi
b

yang berat tetapi jarang fatal.


Reaksi sistemik Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit
sesudah

kontak

dalam

system

organ

berikut

ini:

kardiovaskuler,

respiratorius, gastrointestinal, dan integument.


2

Epidemiologi
Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar
disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang
fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1%
terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis
di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun
(81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anakanak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih
sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya

meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi terjadi
pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada lakilaki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat
kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda,
sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi
pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh
sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan terjadi
terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut.
Dari studi epidemiologi meperlihatkan tiap tahun sebesar 30/100.000
orang dan 21/100.000 rata-rata insidensinya tiap tahun. Gejala dan tanda yang
menyertai, dimana tanda dan gejala kulit (100%), pernapasan (69%), oral dan
gastroentistinal (24%), dan kardiovaskuler (41%). Menurut Neugut et al dari hasil
surveinya, diperkirakan bahwa antara 3.3 dan 43 milyar orang di USA mempunyai
resiko untuk mengalami reaksi anapilaksis. Baru-baru ini diperkirakan antara 1453
sampai 1503 orang meninggal tiap tahunnya akibat anapilaktik atau reaksi anapilaksis
(disebabkan makanan 100, penicillin 400, media radiokontras 900, latex 3, getah 40100). Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa anapilaksis merupakan masalah
serious kesehatan di USA.(6,7,8,9)
3

Etiologi
Berbagai

zat

atau

keadaan

dapat

menyebabkan

reaksi

anafilaksis/anafilaktoid. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormone,


enzim, bisa binatang, makanan, dan sebagainya), atau polisakarida, juga ada yang
berupa hapten yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berikatan dengan protein
(antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat
masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal. Di
samping itu ada juga penyebab yang tidak bersifat antigen. Secara umum penyebab
anafilaksis/anafilaktoid dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Obat
a Molekul besar : hormone insulin, ACTH, estrogen, relaksin, kortison
b Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin,
dll.

c Kemoterapeutik : siklosporin, metotreksat, melfalan, klorambusil, dll.


d Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus, tipoid.
2. Makanan
a Ikan : cakalang, lemuru, salmon, sardine, lele, layang.
b Udang : kepiting, cumi-cumi, kerang, teripang.
c Kacang tanah, kacang kedelai, kacang mete, ercis, coklat.
d Susu, telur, jamur, daging tupai, daging sapi, daging kelinci, daging ayam,
e

daging rusa.
Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan, langsap, durian, strawberi,

salak, jeruk, pisang, jagung,


Bumbu atau rempah : lada, pala, seledri, cengkeh, adas, asam,lombok, jahe,

bawang, ragi, vanili, kayu manis.


3. Bisa/cairan binatang :
a serangga,
b ular, laba-laba,
c ubur-ubur, dan
d beberapa jenis ikan atau hewan air.
4. Getah tumbuhan : lateks, perekat akasia.
5. Bahan kosmetik/industri : cat rambut, parfum, pelurus rambut, pemutih kulit,

pengawet kayu, penyamak, cat.


6. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan.
7. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
Zat Zat yang menimbulkan reaksi Anafilaksis
Zat-zat yang sering menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis dapat dibagi atas :
a Mediator IgE Protein (kelapa,ikan,kerang-kerangan,telur)
Antiserum ( tetanus,dan antitoksin dipteri )
Hormon, enzim ( insulin, vasopressin, paratohormone ,ACTH dan TSH ) Enzim
(Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase)
Bisa binatang atau Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api Ekstrak
allergen Vaksin (Antilimsofitik Gamma Globulin)
Bahan-bahan tumbuhan (Alang-alang, rumput, pohon)
Bahan-bahan bukan tumbuhan (Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba
laboratorium
Makanan (Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada

b
c
d

kapsul)
Polisakarida Dekstran dan ferum dekstran
Mediator komplemen Reaksi transfusi dengan defisiensi IgA dan metrotreksat
Mediator arakidonat Aspirin dan NSAID
Yang dibebaskan sel mast secara langsung Opiad, tubokurarin, radiokontras dan
hidralasin serta olah ragae.

Golongan

protamin

dan

antibiotikaGolongan

Penisilin,

amfotericin

B,

nitrofurantoin, golongan kuinolon


f Anastesi local Prokain, lidokain
g Relaksan otot Suxamethonium, gallamine, pancuronium
h Vitamin Thiamin, asam folat
i Agen untuk diagnostic Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
j Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan Etilen oksida
Patogenesis
Pengetahuan kita tentang metabolisme obat serta metabolitnya masih
terbatas dan banyak yang belum jelas, demikian pula tentang mekanisme imun
terhadap obat. Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik,
tidak tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal.
Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa lama
(masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.
Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak
dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang
mempunyai berat molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini
merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat
membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini
akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit
hingga sifat imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin,
antisera, ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang
sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah
yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas,
tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang
pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat
berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih
singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui
mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan
menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).
Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila
antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated)

maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk
adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi
adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV
merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan
IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui
keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat
tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui
mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik
atau penyakit autoimun.
6

Gambaran Klinis
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi
lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi
lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti
traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.
a Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer
tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan
ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga
disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini
biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung
pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik

Tabel 2.1 Gambaran klinis anafilaksis

Sitem

Gejala dan tanda

Mediator

Umum

Malaise,

lemah,

rasa HistaminHistamin

sakitUrtikaria,
Histamin

eritemaEdema

rodromal)KuliMukosa

hidung SRS-A, histamin, laindan gatal, lain

periorbita,
tersumbat
angioedema,

pucat,

sianosis

Pernapasan

Bersin, pilek, dispnu,

Jalan napas atas

edema

laring,

serak,

edema lidah dan faring,


Jalan napas bawah

stridor

Gastrointestinal

Dispnu, emfisema
Tidakakut,
diketahui
asma,

Susunan saraf pusat

Tidak diketahui

bronkospasme,

bronkorea
Peningkatan peristaltik,
muntah, disfagia, mual,
kejang perut, diare
Gelisah, ke

Reaksi sistemik sedang


Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada
reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas,
dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan
muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah.

Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik
ringan.
c

Reaksi sistemik berat


Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam
beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan
edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti
napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang
perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh
rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan
hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.
Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering
sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya
reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya
terjadi pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema
laring.

Diagnosa dan Diagnose Banding


a

Diagnosa
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan
obat, makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul
keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada
reaksi sistemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding
urtikaria dan angioedema
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis
maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu
kriteria.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir,
lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa
jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri
abdominal, kram, muntah)
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi
dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari
90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
b

Diagnosa Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang
tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan
penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis
mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan
berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator
tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa
kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal,
infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese
restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika

Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien


tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik,
pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak
tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab
lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadangkadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris,
tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada
reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat
dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit
setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa
menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak
berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan
suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika,
penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama
di udara dingin.
8

Pengobatan
Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera.
Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal (pemasangan
selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi
(pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan).

Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk membuka
saluran pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok, diberikan
cairan melalui infus dan obat-obatan untuk menyokong fungsi jantung dan peredaran
darah. Antihistamin (contohnya diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya
prednison) diberikan untuk meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan
penyelamatan dan pemberian epinefrin).
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk
pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya,
diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula
adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan
dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Dan Loratadin, dosis pemberian sesuai
usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1
kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari,
2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala
klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma
Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan
kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit,
tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk
kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven
Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi
hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari,
dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai
kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan
pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl
dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau
kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya.

Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan
memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat
tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid
potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah
tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi
kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan
semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya
steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak
boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya
muka, leher, ketiak dan selangkangan.
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk
pruritus, urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila
kelainan tersebut cukup luas diberikan pula adrenalin. Reaksi anafilaktik akut
membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena, antihistamin dan
kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang,
namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi nonsteroid. Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid
topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab dapat
digunakan pada tahap deskumasasi.
Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik,
sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus
diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan
elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk
mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama
interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).
Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih
dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau
efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam
penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti
antibiotik, harus diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit
memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat
parenteral harus ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.

Prognosis
Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makinmeningkat.
Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang
kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya
terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.
Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan
untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur,
simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian
dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 515%.

10 Pencegahan
a

Anamnesis teliti mengenai alergi obat

Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat

Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin berikanlah p.o.
daripada suntikan

Bacalah label obat dengan telit

Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum manumur

Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva

Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis obat tersebut.

Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat,
kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid,
antihistamin atau epinefrin

11 Penatalaksanaan
Terapi spesifik tergantung dari beratnya reaksi. Pada mulanya diperlukan
pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi respiratorius dan kardiovaskuler. Jika pasien

berada dalam keadaan henti jantung, resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan.
Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang tinggi selama pelaksanaan resusitasi
kardiopulmoner atau kalau pasien tampak mengalami sianosis, dispnea, atau mengi.
Epinefrin dalam bentuk larutan dengan pengenceran 1 : 1000 disuntikkan subkutan pada
ekstremitas atas atau paha dan dapat diikuti dengan pemberian infuse yang kontinu.
Antihistamin dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk mencegah berulangnya reaksi
dan urtikaria serta angioedema. Untuk mempertahankan tekanan darah dan status
hemodinamika yang normal, diberikan preparat volume expander dan vasopresor. Pada
pasien dengan bronkospasme atau riwayat asma bronkiale atau penyakit paru obstruktif
menahun, preparat aminofilin, dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk
memperbaiki kepatenan serta fungsi saluran nafas. Pada kasus-kasus dimana keadan
hipotensi tidak responsive terhadap preparat vasopresor, penyuntikan glukagon intravena
dapat dilakukan untuk memberikan efek kronotropik dan inotropik yang kuat. Pasien
dengan reaksi yang berat harus diamati dengan ketat selama 12 hingga 14 jam. Karena
berpotensi untuk kambuh kembali, pasien dengan reaksi yang ringan sekalipun harus
mendapatkan penjelasan mengenai resiko ini (Brunner & suddart, 2002).
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita
berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal
tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan
secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar
tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok
anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka
tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a

Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

b Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut.

ii

Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas,
baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem
laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

iii

Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup
dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
c

Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa


atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat
diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit.

d Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang
diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
e

Dapat

diberikan

kortikosteroid,

misalnya

hidrokortison

100

mg

atau

deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek


lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
f

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai

tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan


meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila
diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan
koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
g

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.

h Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang
telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN REAKSI ANAFILAKSIS

Pengkajian
1

Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab):


Nama, umur, jenis kelamin, alamat, golongan darah, , hubungan pasien dengan
penanggung jawab, dll.

Riwayat kesehatan

Riwayat kesehatan sekarang : pasien ditanya tentang riwayat alergi, termasuk tipe
allergen (serbuk, debu, tanaman, kosmetika, makanan, obat-obatan, dan vaksin).
Pasien yang mengalami reaksi anafilaksis harus mendapatkan pertolongan sesegera

mungkin, karena reaksi ini akan mempengaruhi kerja dari organ yang lain.
Riwayat kesehatan dahulu : pasien ditanya tentang status imunisasi (yaitu imunisasi
yang sudah pernah diberikan ketika masih kecil) dan penyakit yang lazim diderita
dalam masa kanak-kanak.

Pemeriksaan fisik

Pengkajian fisik pasien dengan gangguan imunologis mencakup palpasi nodus


limfatikus dan pemeriksaan kulit, membrane mukosa, dan system respiratorius,

gastrointestinal, urogenital, kardiovaskuler serta neurogenik.


Pada pemeriksaan jasmani, kondisi kulit dan membran mukosa pasien harus dinilai
untuk menemukan lesi, dermatitis, purpura (perdarahan subkutan), urtikaria,
inflamasi atau pun pengeluaran sekret.Tanda-tanda infeksi perlu diperhatikan.Suhu
tubuh pasien dicatat dan observasi dilakukan untuk mengamati gejala menggigil serta

perspirasi.
Kelenjar limfe servikal anterior serta posterior, aksilaris dan inguinalis harus
dipalpasi untuk menemukan pembesaran; jika kelenjar limfe atau nodus limfatikus
teraba, maka lokasi, ukuran, konsestensi dan keluhan nyeri tekan pada saat palpasi

harus dicatat.
Status respiratorius pasien dievaluasi dengan memantau frekuensi pernapasan dan
menilai adanya gejala batuk (kering atau produktif) serta suara paru yang abnormal
(mengi, krepitasi, ronkhi).Pasien juga dikaji untuk menemukan rinitis, hiperventilasi

danbronkospasme.
Status kardiovaskuler dievaluasi dengan memerikasa kemungkinan hipotensi,

takikardi, aritmia, vaskulitis, dan anemia.


Status gastrointestinal pasien dinilai

hepatospenomegali, kolitis, vomitus serta diare.


Status urogenital dinilai dengan mengamati tanda-tanda infeksi saluran kemih (sering

dengan

mengecek

kemungkinan

kencing atau rasa terbakar saat buang air kecil, hematuri dan pengeluaran secret dari
uretra).
4

Pengkajian neurosensorik

Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai perubahan pada status


neurosensorik (yaitu, gangguan fungsi kognitif, gangguan pendengaran, perubahan
5

visual, sakit kepala, serta migrain, ataksia dan tetani).


Data/pengkajian spiritual
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien
serta ke-Tuhanan yang diyakininya.
Pengkajian psikologis
Status nutrisi pasien, tingkat stress dan kemampuan untuk mengatasi masalah juga
harus dinilai bersama dengan usianya dan setiap keterbatasan fungsional (keadaaan
mudah lelah serta ketahanan tubuh).

7. Pemeriksaan diagnostic
a. Skin test
b. Tes provokasi
c. Tes radioalergosorbent (RAST)
Diagnosa
1

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus .

Gangguan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan


vasodilatasi arteri.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine dan


bradikinin oleh sel mast.

Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan


kapasitas vaskuler.

Perencanaan dan implementasi


Dx

Tujuan

Kriteria Hasil

1 Mempertah Setelah

Tindakan Keperawatan Rasional

dilakukan Mandiri :

ankan pola tindakan keperawatan


nafas

selama...x24jam

efektif

pasienmampu

Mandiri:
Menurunkan resiko

Pastikan tidak terdapat benda aspirasi atau masuknya


zat tertentu atau gigi palsu pada suatu benda asing ke

pasien

mempertahankan pola
mumulut pasien
pernapasan
dengan

faring.

efektif

jalan

Meningkatkan aliran

nafas

sekret,

yang paten.
M mencegah lidah jatuh
Letakkan pasien pada posisi dan menyumbat jalan
miring, permukaan datar dan nafas.
miringkan kepala pasien
Menurunkan

resiko

Lakukan penghisapan sesuai aspirasi atau asfiksia


indikasi

Kolaborasi :
Untuk

menurunkan

hipoksia cerebral.

Kolaborasi :

Berikan tambahan oksigen


atau ventilasi manual sesuai

2 Memperbai Setelah
ki

kebutuhan
dilakukan Mandiri :

perfusi tindakan keperawatan

Mandiri :

selama x 24 jam : Selidiki perubahan tiba Perfusi serebral secara

jaringan
pasien

Kulit pasien hangat.

tiba atau gangguan mental langsung

Tanda vital dalam kontinu


batas normal.

contoh

berhubungan

cemas, dengan curah jantung

bingung letargi, pingsan.

Pasien sadar atau


berorientasi.
Llihat kulit apakah pucat, Penurunan curah jantung
sianosis,

belang,

kulit dibuktikan

oleh

dingin atau lembab, catat penurunan perfusi kulit


kekuatan nadi perifer.

dan penurunan nadi.

Pantau pernapasan, catat Penurunan

curah

kerja pernapasan.

dapat

jantung
mencetuskan

stres

pernapasan.
3 Peningkata

Setelah

dilakukan-

periksa

tanda

vital -

hipotensi dapat terjadi

n toleransi tindakan keperawatan sebelum dan segera setelah karena


aktivitas

selama x 24 jam :
-

aktivitas

Pasien

mencapai

peningktan

toleransi

efek

obat,

perpindahan
cairan,pengruh

fungsi

jantung.

aktivitas yang dapat diukur.

cccatat respon cardiopulmonal


terhadap aktivitas .

Penurunan
mampuan
untuk

ketidak

miokardium
meningkatkan

volume sekuncup selama


aktivitas.
- kaji penyebab kelemahan

-Kelemahan

dapat

disebabkan

oleh

samping

efek

beberapa

obat,nyeri dan stres.


evaluasi

peningkatan - Dapat

intoleran aktivitas.

menunjukan

peningkatan
decompensasi
dari

pada

jantung
kelebihan

aktivitas
B

.
berikan

bantuan

dalam -Pemenuhan

aktivitas perawatan mandiri perawatan


sesuai

indikasi.selingi tanpa

periode

aktivitas

kebutuhan
diri

pasien

mempengaruhi

dengan strees

periode istirahat.

miokard/kebutuhan
oksigen.

4 Mecegah
kerusakan
kulit

Setelah

dilakukan MANDIRI :

tindakan keperawatan-

dan selama x 24 jam :

Kaji

kulit

Catatwarna

MANDIRI :
setiap

hari. -Untuk

kulit,turgor tidaknya

meningkat - Menunjukan kemajuan kulit,sirkulasi dan sensasi.


kan

pada

luka

atau-

kesembuha

penyembuhan

n.

mengetahui

ada

perubahan

kulit.
-

Pperthankan higiene kulit

Memprtahankan

mslnya

kebersihan karena kulit

kemudian

membasuh

dan

mengeringkan

tiap

kering

dng hati2 dan melakukan

menjadi

masase

infeksi.Masase

dengan

menggunakn lotion/cream.

dapat
barier

meningkatkan sirkulasi
kulit dan kenyamanan.

Friksi kulit di sebabkan


oleh kain yang berkerut
dan

basah

yang

menebabkan iritasi dan


potensial terhadap infeksi
-

.
- Menurunkan tekana pada

pertahankan
lingkungan

kebersihan kulit dari istirahat lama

pasien

seprti di temapat tidur.

seprei bersih kering dan


tidak berkerut
- Kuku yang panjg /kasar
- Sarankan

pasien

melakukan

untuk meningkatkan kerusakan


ambulasi dermal.

beberapa jam sekali jika


memungkinkan.
- Gunting kuku secara teratur.
KOLABORASI:
KOLABORASI:

-Digunakn pada perawatan

- Gunakn/berikan obat obatn lesi kulit. Jika digunakn


atau

sistemik

sesuai slep

indikasi.

multi

dosis,perawatn

harus

dilakuakn

untuk

menghindari
5 Memenuhi

Setelah

dilakukan MANDIRI :

kebutuhan

tindakan keperawatan- Catat tanda vital pasien.

cairan

selama x 24 jam :

tubuh

- Diharapkan kebutuhan

kontaminasi silang.
MANDIRI :
-Indikator

dari

volume

cairan sirkulasi.

tubuh pasien terhadap- catat peningkatan suhu dan -Meningkatkan kebutuhan


cairan terpenuhi

durasi demam . berikan metabolisme

dan

kompres

hangat

sesuai diforesis yangberlebihan

indikasi,pertahankan

Dihubungkan dengan

pakaian

tetap demam

kering,pertahankan

dalam

meningkatkan

kenyamanan

suhu kehilangan cairan yang

lingkungan

berlebihan.

.
- Ukur haluan urine dan berat -Peningkatan berat jenis
jenis urine.

urine/penuruna haluaran
urine

menunjukan

perubaha

perfusi

ginjal /volume sirkulasi.


Pantau pemasukan oral dan
memasukan

Memprtahankan

cairan keseimbangan

sediktnya 2500ml/hari

cairan,mengurangi
haus,dan

rasa

melembabkan

membran mukosa.
KOLABORASI :

KOLABORASI:

- Berikan obat obatan sesuai -Untuk


indikasi

misl

antipiretik(aceta minofen)

membantu

; mengurangi demam dan


respon

metabolisme,

menurunkan cairan tak


kasat mata
Evaluasi
a

1.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam:

Pasien mampu mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan nafas yang paten

2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam :

Kulit pasien hangat.

- Tanda vital dalam batas normal.

3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam :

Pasien mencapai peningktan toleransi aktivitas yang dapat di ukur

4. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam :

Pasien sadar atau berorientasi.

Menunjukan kemajuan pada luka atau penyembuhan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam :

Diharapkan kebutuhan tubuh pasien terhadap cairan terpenuhi

BAB 4
KESIMPULAN
Anafilaksis adalah rekasi alergi yang mempengaruhi seluruh tubuh. Reaksi ini dapat
menyebabkan kematian. Anafilasis dapat disebabkan oleh:
-

Aspirin

obat anti inflamatory

kacang-kacangan

buah

telur

chepalosporins

sengatan lebah.

Gejala

Gejala anafilaksis dapat mencakup:


-

tekanan perut

batuk

pusing

mual dan muntah

sesak napas

pembengkakan pada wajah

sesak di dada atau tenggorokan

Pencegahan
Cara Terbaik mencegah reaksi alergi ini adalah dengan menghindari substansi yang
menyebabkan alergi.

DAFTAR PUSTAKA
Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;
Chapter 88, hal 1948-1963.
Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar. 2007.

Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445
Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi

Alergi

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah; 2003, Denpasar.

Imunologi

Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 02 Oktober 2011]. Available from: URL:
www. duniakedokteran.cq.bz.
Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006

Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376
Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai
Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55; 57-58.

Penerbit

Fakultas

Anda mungkin juga menyukai