PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel,
molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut
sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya
terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup.
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan
jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya.
Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini,
merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak
hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia
juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan
dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat,
dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat
secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung
pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen
yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan
reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam
respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan.
Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme,
fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang
sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang
bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan lain,
respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan
bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker,
tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa
penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal
mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada
aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut
reaksi hipersensitivitas.
B.
Rumusan Masalah
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya
bagi penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi
setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama
kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap
alergen tersebut.
B.
Etiologi
Faktor Internal
a.
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
Fator Eksternal
a.
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b.
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c.
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
C. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika
untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah
tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tandatanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada
sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan
untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak,
kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat
mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus,
angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka
mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi
yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian
D. Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4 tipe
reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III,
dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe
IVa dan IVb.
1.
Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas Tipe II
b.
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c.
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3.
Hipersensitivitas Tipe IV
aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
E.
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1.
Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lainlain. gejala sering disertai pruritis.
2.
Demam.
3.
4.
Limfadenopati
a.
b.
neuritis optic
c.
glomerulonefritis
d.
e.
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat
merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1.
2.
3.
4.
F.
Pemeriksaan Fisik
1.
Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2.
3.
4.
Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena
pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
G. Diagnosa
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien
benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan
untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang
mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan
berikut.
1.
Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya
keterkaitan penyakit dengan alergi.
2.
Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan
perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva,
nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3.
Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit
alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat
berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE
total dan IgE spesifik.
4.
Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes
tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi
penyebab keluhan pasien.
5.
Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika
terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes
lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial
H. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1.
Menghindari allergen
2.
Terapi farmakologis
a.
Adrenergik
Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c.
Kromolin Sodium
d.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,
produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3.
Imunoterapi
Profilaksis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi
Pertama, Salemba Medika, Jakarta.
Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 2, Edisi
6, EGC, Jakarta.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati, S.,
2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,
berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal
yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan
reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang
heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan
Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi.
REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU SITOLITIK
Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali
oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel
tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat
berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat
menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan menyebabkan
jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap
antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG
dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi
leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur
klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan
menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi
substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya.
Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna
dan dihancurkan oleh fagosit penjamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara
langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat
menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi terhadap reseptor
asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat
mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves disease, dimana antibodi
terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.
Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi antijaringan.
Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuensi jejasnya, dengan obat
seperti kortikosteroid. Pada kasus yang parah, plasmaferesis digunakan untuk mengurangi kadar
antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi
autoantibodi (misal. dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel
B dependen sel Th).
Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila darah
individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B
isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh
hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas
dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria.
Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala
khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah
dan hemoglobinuria.
Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang
dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi
terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG
terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell,
dan Duffy.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B,
yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas
seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi alergi akut yang mengenai beberapa organ tubuh secara simultan (biasanya system
kardiovaskular, respirasi, kulit, dan gastrointestinal) disebut sebagai reaksi anafilaksis
(ana=balik; phylaxis=perlindungan). Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan (Syamsu, 2001). Anafilaksis merupakan manifestasi dari
hipersensitivitas tipe cepat di mana individu yang peka terpajan suatu antigen spesifik atau
hapten yang mengakibatkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa, biasanya diikuti oleh
kolaps vaskular serta syok dan disertai dengan urtikaria, pruritus, dan angioedema (Dorland,
1998). Sedangkan menurut Guyton (1997).
anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali
menurun dengan hebat. Anafilaksis terutama disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen, yang sensitive untuk seseorang, telah masuk ke dalam
sirkulasi.
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan. Diperkirakan
0,4 kasus perjuta penduduk pertahun dan di rumah sakit diperkirakan 0,6 perseribu pasien. Di
Amerika Serikat diperkirakan 1-2 % pasien yang disuntik penisilin mengalami reaksi anafilaksis
dan 400-800 di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaktiod oleh zat kontras 5% dari
pengguna dan 250-1000 orang di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaksis oleh
makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data yang akurat. Diperkirakan 1/5 1/3
penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi makanan. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi
pada mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya.
2
Rumusan masalah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Tujuan
Manfaat
Mahasiswa
masalah anafilaksis.
BAB 2
PEMBAHASAN
1
Definisi Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi
berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi
akibat pemaparan terhadap suatu allergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama
dengan allergen. Pada pemaparan kedua atau pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi
alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh.
Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang serius. Muncul dengan cepat dan bisa
berakibat fatal. Jenis reaksi ini merupakan keadaan darurat medis dan perlu pertolongan
segera. Bagi siapa pun mengalami reaksi anafilaksis, epinefrin harus segera diberikan
diikuti dengan perawatan lebih lanjut dan transfer ke rumah sakit
Menurut Brunner & Suddart (2002) anafilaksis merupakan respon klinis terhadap
reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara antigen yang spesifik dan antibody.
Reaksi tersebut terjadi akibat antigen IgE dengan cara berikut:
a
Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel
kontak
dalam
system
organ
berikut
ini:
kardiovaskuler,
Epidemiologi
Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar
disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang
fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1%
terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis
di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun
(81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anakanak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih
sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya
meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi terjadi
pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada lakilaki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat
kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda,
sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi
pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh
sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan terjadi
terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut.
Dari studi epidemiologi meperlihatkan tiap tahun sebesar 30/100.000
orang dan 21/100.000 rata-rata insidensinya tiap tahun. Gejala dan tanda yang
menyertai, dimana tanda dan gejala kulit (100%), pernapasan (69%), oral dan
gastroentistinal (24%), dan kardiovaskuler (41%). Menurut Neugut et al dari hasil
surveinya, diperkirakan bahwa antara 3.3 dan 43 milyar orang di USA mempunyai
resiko untuk mengalami reaksi anapilaksis. Baru-baru ini diperkirakan antara 1453
sampai 1503 orang meninggal tiap tahunnya akibat anapilaktik atau reaksi anapilaksis
(disebabkan makanan 100, penicillin 400, media radiokontras 900, latex 3, getah 40100). Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa anapilaksis merupakan masalah
serious kesehatan di USA.(6,7,8,9)
3
Etiologi
Berbagai
zat
atau
keadaan
dapat
menyebabkan
reaksi
daging rusa.
Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan, langsap, durian, strawberi,
b
c
d
kapsul)
Polisakarida Dekstran dan ferum dekstran
Mediator komplemen Reaksi transfusi dengan defisiensi IgA dan metrotreksat
Mediator arakidonat Aspirin dan NSAID
Yang dibebaskan sel mast secara langsung Opiad, tubokurarin, radiokontras dan
hidralasin serta olah ragae.
Golongan
protamin
dan
antibiotikaGolongan
Penisilin,
amfotericin
B,
maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk
adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi
adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV
merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan
IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui
keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat
tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui
mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik
atau penyakit autoimun.
6
Gambaran Klinis
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi
lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi
lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti
traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.
a Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer
tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan
ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga
disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini
biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung
pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik
Sitem
Mediator
Umum
Malaise,
lemah,
rasa HistaminHistamin
sakitUrtikaria,
Histamin
eritemaEdema
rodromal)KuliMukosa
periorbita,
tersumbat
angioedema,
pucat,
sianosis
Pernapasan
edema
laring,
serak,
stridor
Gastrointestinal
Dispnu, emfisema
Tidakakut,
diketahui
asma,
Tidak diketahui
bronkospasme,
bronkorea
Peningkatan peristaltik,
muntah, disfagia, mual,
kejang perut, diare
Gelisah, ke
Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik
ringan.
c
Diagnosa
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan
obat, makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul
keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada
reaksi sistemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding
urtikaria dan angioedema
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis
maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu
kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir,
lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa
jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri
abdominal, kram, muntah)
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi
dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari
90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
b
Diagnosa Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang
tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan
penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis
mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan
berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator
tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa
kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal,
infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese
restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika
Pengobatan
Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera.
Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal (pemasangan
selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi
(pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan).
Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk membuka
saluran pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok, diberikan
cairan melalui infus dan obat-obatan untuk menyokong fungsi jantung dan peredaran
darah. Antihistamin (contohnya diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya
prednison) diberikan untuk meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan
penyelamatan dan pemberian epinefrin).
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk
pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya,
diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula
adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan
dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Dan Loratadin, dosis pemberian sesuai
usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1
kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari,
2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala
klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma
Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan
kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit,
tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk
kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven
Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi
hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari,
dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai
kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan
pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl
dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau
kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya.
Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan
memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat
tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid
potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah
tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi
kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan
semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya
steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak
boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya
muka, leher, ketiak dan selangkangan.
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk
pruritus, urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila
kelainan tersebut cukup luas diberikan pula adrenalin. Reaksi anafilaktik akut
membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena, antihistamin dan
kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang,
namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi nonsteroid. Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid
topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab dapat
digunakan pada tahap deskumasasi.
Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik,
sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus
diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan
elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk
mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama
interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).
Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih
dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau
efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam
penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti
antibiotik, harus diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit
memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat
parenteral harus ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.
Prognosis
Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makinmeningkat.
Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang
kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya
terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.
Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan
untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur,
simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian
dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 515%.
10 Pencegahan
a
Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin berikanlah p.o.
daripada suntikan
Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis obat tersebut.
Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat,
kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid,
antihistamin atau epinefrin
11 Penatalaksanaan
Terapi spesifik tergantung dari beratnya reaksi. Pada mulanya diperlukan
pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi respiratorius dan kardiovaskuler. Jika pasien
berada dalam keadaan henti jantung, resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan.
Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang tinggi selama pelaksanaan resusitasi
kardiopulmoner atau kalau pasien tampak mengalami sianosis, dispnea, atau mengi.
Epinefrin dalam bentuk larutan dengan pengenceran 1 : 1000 disuntikkan subkutan pada
ekstremitas atas atau paha dan dapat diikuti dengan pemberian infuse yang kontinu.
Antihistamin dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk mencegah berulangnya reaksi
dan urtikaria serta angioedema. Untuk mempertahankan tekanan darah dan status
hemodinamika yang normal, diberikan preparat volume expander dan vasopresor. Pada
pasien dengan bronkospasme atau riwayat asma bronkiale atau penyakit paru obstruktif
menahun, preparat aminofilin, dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk
memperbaiki kepatenan serta fungsi saluran nafas. Pada kasus-kasus dimana keadan
hipotensi tidak responsive terhadap preparat vasopresor, penyuntikan glukagon intravena
dapat dilakukan untuk memberikan efek kronotropik dan inotropik yang kuat. Pasien
dengan reaksi yang berat harus diamati dengan ketat selama 12 hingga 14 jam. Karena
berpotensi untuk kambuh kembali, pasien dengan reaksi yang ringan sekalipun harus
mendapatkan penjelasan mengenai resiko ini (Brunner & suddart, 2002).
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita
berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal
tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan
secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar
tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok
anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka
tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut.
ii
Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas,
baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem
laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
iii
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup
dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
c
d Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang
diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
e
Dapat
diberikan
kortikosteroid,
misalnya
hidrokortison
100
mg
atau
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
h Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang
telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN REAKSI ANAFILAKSIS
Pengkajian
1
Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : pasien ditanya tentang riwayat alergi, termasuk tipe
allergen (serbuk, debu, tanaman, kosmetika, makanan, obat-obatan, dan vaksin).
Pasien yang mengalami reaksi anafilaksis harus mendapatkan pertolongan sesegera
mungkin, karena reaksi ini akan mempengaruhi kerja dari organ yang lain.
Riwayat kesehatan dahulu : pasien ditanya tentang status imunisasi (yaitu imunisasi
yang sudah pernah diberikan ketika masih kecil) dan penyakit yang lazim diderita
dalam masa kanak-kanak.
Pemeriksaan fisik
perspirasi.
Kelenjar limfe servikal anterior serta posterior, aksilaris dan inguinalis harus
dipalpasi untuk menemukan pembesaran; jika kelenjar limfe atau nodus limfatikus
teraba, maka lokasi, ukuran, konsestensi dan keluhan nyeri tekan pada saat palpasi
harus dicatat.
Status respiratorius pasien dievaluasi dengan memantau frekuensi pernapasan dan
menilai adanya gejala batuk (kering atau produktif) serta suara paru yang abnormal
(mengi, krepitasi, ronkhi).Pasien juga dikaji untuk menemukan rinitis, hiperventilasi
danbronkospasme.
Status kardiovaskuler dievaluasi dengan memerikasa kemungkinan hipotensi,
dengan
mengecek
kemungkinan
kencing atau rasa terbakar saat buang air kecil, hematuri dan pengeluaran secret dari
uretra).
4
Pengkajian neurosensorik
7. Pemeriksaan diagnostic
a. Skin test
b. Tes provokasi
c. Tes radioalergosorbent (RAST)
Diagnosa
1
Tujuan
Kriteria Hasil
1 Mempertah Setelah
dilakukan Mandiri :
selama...x24jam
efektif
pasienmampu
Mandiri:
Menurunkan resiko
pasien
mempertahankan pola
mumulut pasien
pernapasan
dengan
faring.
efektif
jalan
Meningkatkan aliran
nafas
sekret,
yang paten.
M mencegah lidah jatuh
Letakkan pasien pada posisi dan menyumbat jalan
miring, permukaan datar dan nafas.
miringkan kepala pasien
Menurunkan
resiko
Kolaborasi :
Untuk
menurunkan
hipoksia cerebral.
Kolaborasi :
2 Memperbai Setelah
ki
kebutuhan
dilakukan Mandiri :
Mandiri :
jaringan
pasien
contoh
berhubungan
belang,
kulit dibuktikan
oleh
curah
kerja pernapasan.
dapat
jantung
mencetuskan
stres
pernapasan.
3 Peningkata
Setelah
dilakukan-
periksa
tanda
vital -
selama x 24 jam :
-
aktivitas
Pasien
mencapai
peningktan
toleransi
efek
obat,
perpindahan
cairan,pengruh
fungsi
jantung.
Penurunan
mampuan
untuk
ketidak
miokardium
meningkatkan
-Kelemahan
dapat
disebabkan
oleh
samping
efek
beberapa
peningkatan - Dapat
intoleran aktivitas.
menunjukan
peningkatan
decompensasi
dari
pada
jantung
kelebihan
aktivitas
B
.
berikan
bantuan
dalam -Pemenuhan
indikasi.selingi tanpa
periode
aktivitas
kebutuhan
diri
pasien
mempengaruhi
dengan strees
periode istirahat.
miokard/kebutuhan
oksigen.
4 Mecegah
kerusakan
kulit
Setelah
dilakukan MANDIRI :
tindakan keperawatan-
Kaji
kulit
Catatwarna
MANDIRI :
setiap
hari. -Untuk
kulit,turgor tidaknya
pada
luka
atau-
kesembuha
penyembuhan
n.
mengetahui
ada
perubahan
kulit.
-
Memprtahankan
mslnya
kemudian
membasuh
dan
mengeringkan
tiap
kering
menjadi
masase
infeksi.Masase
dengan
menggunakn lotion/cream.
dapat
barier
meningkatkan sirkulasi
kulit dan kenyamanan.
basah
yang
.
- Menurunkan tekana pada
pertahankan
lingkungan
pasien
pasien
melakukan
sistemik
sesuai slep
indikasi.
multi
dosis,perawatn
harus
dilakuakn
untuk
menghindari
5 Memenuhi
Setelah
dilakukan MANDIRI :
kebutuhan
cairan
selama x 24 jam :
tubuh
- Diharapkan kebutuhan
kontaminasi silang.
MANDIRI :
-Indikator
dari
volume
cairan sirkulasi.
dan
kompres
hangat
indikasi,pertahankan
Dihubungkan dengan
pakaian
tetap demam
kering,pertahankan
dalam
meningkatkan
kenyamanan
lingkungan
berlebihan.
.
- Ukur haluan urine dan berat -Peningkatan berat jenis
jenis urine.
urine/penuruna haluaran
urine
menunjukan
perubaha
perfusi
Memprtahankan
cairan keseimbangan
sediktnya 2500ml/hari
cairan,mengurangi
haus,dan
rasa
melembabkan
membran mukosa.
KOLABORASI :
KOLABORASI:
misl
antipiretik(aceta minofen)
membantu
metabolisme,
Pasien mampu mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan nafas yang paten
BAB 4
KESIMPULAN
Anafilaksis adalah rekasi alergi yang mempengaruhi seluruh tubuh. Reaksi ini dapat
menyebabkan kematian. Anafilasis dapat disebabkan oleh:
-
Aspirin
kacang-kacangan
buah
telur
chepalosporins
sengatan lebah.
Gejala
tekanan perut
batuk
pusing
sesak napas
Pencegahan
Cara Terbaik mencegah reaksi alergi ini adalah dengan menghindari substansi yang
menyebabkan alergi.
DAFTAR PUSTAKA
Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;
Chapter 88, hal 1948-1963.
Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar. 2007.
Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445
Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi
Alergi
Imunologi
Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 02 Oktober 2011]. Available from: URL:
www. duniakedokteran.cq.bz.
Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006
Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376
Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai
Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55; 57-58.
Penerbit
Fakultas