PENDAHULUAN
diinginkan
karena
terlalu
senisitifnya
respon
imun
(merusak,
1.2 IMUNOLOGI
Sistem imun dalam tubuh seharusnya dapat melindungi tubuh dari berbagai
ancaman, tetapi kadang-kadang kita dihadapkan adanya suatu kenyataan bahwa
justru ada beberapa penyakit yang melibatkan sistem imun
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh adanya sistem imun disebut
kelompok penyakit imun. Penyakit imun ini dikelompokkan dalam kategori
penyakit imunologik, gangguan proliferatif sistem imun, dan defisiensi imun.
Respons sekunder setelah kegagalan respons primer, mungkin tidak dapat
berhasil melenyapkan antigen, sehingga masih tetap persisten dalam tubuh.
Dalam kondisi ini, respons tubuh masuk dalam tahap tertier, yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Pada tahap ini, terjadilah kerusakan jaringan
yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat bermanifestasi sebagai penyakit
imunologik dalam beberapa bentuk jenis, salah satunya yaitu hipersensitivitas.
Pada kondisi yang sama, kadang-kadang imunitas yang seharusnya
melindungi tubuh dapat menghasilkan dampak yang merusak jaringan, bahkan
dapat berakhir pada kematian. Fenomena ini disebut hipersensitivitas. [2]
imun,
baik
nonspesifikmapun
spesifik
pada
umumnya
bagi
tubuh
berupa
penyakit
yang
disebut
reaksi
antigen
yang
pernah
dipajankan
atua
dikenal
sebelumnya.
Reaksi
penemuan
penemuan
dalm
penelitian
imunologi,
telah
dikembangka beberapa modifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi Tipe I,
II dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya rekasi-reaksi tersebut
masih memerlukan bantuan sel T atau peran seluler. Oleh karena itu pembagian
Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut seperti tabel berikut.
Gambar 1: Reaksi hipersensitivitas Tipe I, II, III, dan IV menurut Gell dan coombs.
[6]
Mekanisme
Gejala
Contoh
Tipe I : IgE
Anafilaksis.
urtikaria,
angioedem, nausea,
muntah, skait
abdomen, diare.
Tipe II : Sitotoksik
Agranulositosis,
Anemia hemolitik,
Metamizol, fenotiazin.
Penisilin, sefalosforin,
beta-laktam, kindin, metildopa.
Trombositopenia
Karbamazepin, fenotiazin,
toiurasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamid, propil
tiourasil, preparat eman.
Panas, urtikaria,
Beta-laktam, sylfonamid,
atralgia,
fenitoin, streptomisin.
limfadenopati.
Serum sickness
Serum
xenogenik, penisilin,
globulin anti-timosit.
Tipe IV :
Eksim (juga
Hipersensitivitas
sistemik), Eritema,
seluler
lepuh, pturitus.
Fotoalergi.
Fixed drug
nalidilik.
eruption
5
Lesi
Barbiturat, kinin.
makulopapular
Tipe V : Reaksi
Granuloma
Tipe VI :
Hidralazin, prokainamid.
Hipersensitivitas
obat?)
granuloma
stimulasi
Resistensi insulin
kompleks
antigen-antibodi
tipe
III
terjadi
jika
kompleks
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HIPERSENSITIVITAS III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di
dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit,
ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Mengaktifkan komplemen
senyawa kompleks imun. Ukuran agregat yang lebih besar akan mengikat
komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit
mononuklear, sedang agregat yang lebih kecil ukurannya karena berkelebihan
antigen, cenderung diendapkan pada dinding pembuluh darah, dan di sisnilah
akan dimulai kerusakan melalui ikatan dengan reseptor Fc dan komponen
komplemen pada permukaan endotel yang pada gilirannya akan menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah.
Reaksi hipersensitivitas III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit
individu yang telah disensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik
terhadap antigen pemicu sensitisasi (respon imun) tersebut. Apabila kemudian
antigen disuntikkan dalam kulit individu tersebut, antibodi IgG yang telah
berdifusi dalam jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun
setempat. Kompleks imun tersebut mengikat reseptor Fc pada permukaan sel
dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu
respons peradangan setempat dengan disertai peningkatan permeabilitas
pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini akan memudahkan
cairan dan sel-sel darah, khususnya sel-sel metrofil, masuk dalam jaringan
pengikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Pada umunya kerusakan jaringan sebagai akibat adanya pengedapan
kompleks imun berlangsung melaui 4 tahap :
1.
2.
3.
Faktor humoral seperti komplemen atau enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di saerah pengendapan.
4.
Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
12
2.
Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap
adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3.
Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana
tempat kompleks yang mengendap adalah paru.
2.4 PATOFISIOLOGI
Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear dan pelepasan enzim lisosom serta faktor permeabilitas yang
menghasilkan respons imun. [3]
Beberapa contoh penyakit yang melibatkan reaksi tipe III akan dibahas
untuk menunjang pemahaman reaksi hipersensitivitas. Penyakit-penyakit
kompleks
imun
sistemik,
dapat
berkembang
sesudah
pemberian
antigen-antigen yang tidak mudah dikatabolisme dalam jumlah besar. Ada dua
jenis reaksi kompleks imun, yang terlibat dalam penyakit kompleks imun, yaitu
reaksi Arthus yang berlangsung setempat dan Serum Sickness yang
berlangsung melalui penyuntikan secara sistemik.
Rheumatic Fever
Penyakit rheumatic fever dapat didahului oleh infeksi streptokokus A pada
tenggorokan, dapat melibatkan radang dan kerusakan jantung, persendin dan
ginjal. Peristiwa ini dijelaskan dengan temuan berbagai jenis antigen pada
dinding dan membran sel streptokokus yang bereaksi silang dnegan antigen
yang ada pada otot jantung manusia, kartilago, dan membrana basalis
glomerulus renalis. Kerusakan tersebut diduga melalui mekanisme yang sama
seperti contoh di atas. Telah diduga bahwa antibodi terhadap antigen
streptokokous mengikat konpomen jaringan normal tersebut dan menginduksi
reaksi peradangan melalui lintasan yang sama dengan penjelasan di atas.
13
Artritis reumatoid
Artritis reumatoid ialah suatu penyakit peradangan kronik kambuhan yang
dianggap dimulai oleh sutu antigen yang tidak diketahui yang merangsang
pembentukan antibodi lokal di dalam sinovia. Kira-kira 70% memilki haplotip
HLA-DR4. Peradangan panus dan hilangnya tulang rawan menjadi ciri khas
kelainan sendi pada penyakit ini.
1.
2.
3.
4.
14
Dalam sejumlah penyakit infeksi (malaria, virus, dan kusta) mungkin pada
saat-saat tertentu selama berlangsungnya infeksi, apabila antigen dan antibodi
berada bersama dalam jumlah banyak akan menyebabkan terbentuknya agregat
imun yang ditimbun pada berbagai lokasi. Makas adanya kumpulan gejala
yang kompleks dalam sembarang penyakit tersebut dapat mencakup sebuah
komponen yang melekat pada reaksi hipersensitivitas III. [2]
Poliarteritis nodosa
Poliarteritis nodosa (PAN) menunjukkan gejala perangsangan terus
menerus dinding arteri oleh penimbunan kompleks ag-ab yang beredar,
menyebabkan terjadinya trombosis dan gangguan aliran darah. Seringkali
disebabkan oleh kompleks antibodi hepatitis B.
Glomerulonefritis
Glomerulonefritis yang menunjukkan adanya kompleks ag-ab terlarut yang
tertimbun pada dan di belakang membrana basalis ginjal, menyebabkan
terjadinya respons peradangan.
1.
2.
Antigen yang terlibat paling sering berupa: DNA, insulin, tiroglobulin, dan
streptokokus nefritogenik grup A.
3.
pengaturan
toleransi
diri.
15
pola
kliniknya
terutama
menyebabkan terjadinya poliartralgia atau artritis. Juga dapat terjadi ruam kulit
yang diiknduksi oleh sinar ultraviolet, "ruam kulit kupu-kupu", pleuritis,
perikarditis, vaskulitis, dan faktor reumatoid.
1.
2.
dengan pola halus yang tampak pada GLN tipe Masugi, yang menunjukkan
antigen ginjal yang tersebar merata. [3]
Penyakit Okupasional
Farmer's lung merupakan bentuk protorype reaksi tipe III yang akan
digolongkan dalam penyakit okupasional. Bagi individu yang peka,
berhubungan dengan jerami yang berkapang akan menjurus ke gangguan
pernapasan yang parah dalam waktu 6-8 jam setelah terpapar sebagai
pneumonitis. Telah diungkapkan bahwa individu yang terkena gangguan
penumonitis akan memproduksi antibodi IgG yang spesifik terhadap spora
aktinomisetestermofilik yang tumbuh dalam jerami yang terlantarkan. Hirupan
udara yang mengandung spora kapang tersebut mendorong ke dalam reaksi
dalam paru-paru yang mirip dengan reaksi Arthus pada kulit yaitu terbentuknya
agregat kompleks imun yang berlanjut dalam proses peradangan.
Banyak jenis reaksi tipe III dala paru-paru yang mengandung nama yang
berkaitan dengan pekerjaan atau profesi seseorang atau agen penyebabnya.
Dapat disebutkn beberapa contoh di sini: pigeon breeder's disease (penyakit
peternak merpati), cheese washer's disease, bagagosis (bagase adalah serat
batang tebu), maple bark strippers disease, paprika worker's dan lain-lainnya.
Pekerjaan dalam lingkungan kotor, melibatkan paparan bahan-bahan berpotensi
16
dalam 2-4
terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal
kering yang dapat menimbulkan pneumonotis atau alveolitis atau Famers lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pa da aktivasi komplemen,
meningkatakan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem.
C3a dsn c5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trmobosit
mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis obstruksi total
aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah keci, sel mast ,otot
polos dan leukosit perifer yang mneimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi
sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imu dan bersama dengan
trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai
nekrosis jaringan setempat.
17
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil
melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a,C5, C6, C7)
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan
tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler
golemurulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata.
Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis
reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk kompleks imun sendi.
18
19
Gambar : penimbunan kompleks imun dalam jaringan dapat memicu Reaksi Arthus.
Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (Tipe III) yang terjadi sesudah
pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanosomiasis
dan bruselosis). Bila mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar juga
melepas sejumlah antigen yang cenderung bereaksi
2.5 DIAGNOSIS
Auto-Antibodi
Pemeriksaan auto-antibodi dengan menggunakan teknik imunologik baik
secara langsung maupun tidak langsung, biasanya ditunjukkan untuk
membuktikan adanya: Antibodi anti-nukleus (ANA), anti-DNA, anti-eritrosit,
anti-trombosit, anti-Ig (RF) dan anti-organela. Penemuan ANA mempunyai
tingkaf spesifisitas dan kepekaan yang tinggi.
Biopsi Jaringan
Biasanya jaringan biopsi yang diambil dari organ ginjal atau kulit diperiksa
dengan menggunakan teknik imunofluoresens atau teknik pelabelan lainnya
22
23
2.6 TATALAKSANA
24
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1.
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2012. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
2.
Prof. Subowo, dr. MSc., PhD. 2013. Imunologi Klinik Edisi Ke-2. Jakarta:
Sagung Seto
3.
4.
5.
6.
27