Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan,
tidak

diinginkan

karena

terlalu

senisitifnya

respon

imun

(merusak,

menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan


oleh sistem kekebalan normal. Hipersensitivitas merupakan reaksi imun tipe I,
namun berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi,
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe
IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi
hipersensitivitas.

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal


ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di
dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit,
ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

1.2 IMUNOLOGI
Sistem imun dalam tubuh seharusnya dapat melindungi tubuh dari berbagai
ancaman, tetapi kadang-kadang kita dihadapkan adanya suatu kenyataan bahwa
justru ada beberapa penyakit yang melibatkan sistem imun
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh adanya sistem imun disebut
kelompok penyakit imun. Penyakit imun ini dikelompokkan dalam kategori
penyakit imunologik, gangguan proliferatif sistem imun, dan defisiensi imun.
Respons sekunder setelah kegagalan respons primer, mungkin tidak dapat
berhasil melenyapkan antigen, sehingga masih tetap persisten dalam tubuh.
Dalam kondisi ini, respons tubuh masuk dalam tahap tertier, yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Pada tahap ini, terjadilah kerusakan jaringan
yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat bermanifestasi sebagai penyakit
imunologik dalam beberapa bentuk jenis, salah satunya yaitu hipersensitivitas.
Pada kondisi yang sama, kadang-kadang imunitas yang seharusnya
melindungi tubuh dapat menghasilkan dampak yang merusak jaringan, bahkan
dapat berakhir pada kematian. Fenomena ini disebut hipersensitivitas. [2]

1.3 IMUNOLOGI DAN HUBUNGAN DENGAN HIPERSENSITIVITAS


Pada beberapa kondisi, salah satu efek samping imunitas yang penting adalah
timbulnya alergi atau jenis hipersensitivitas imun lainnya. Ada beberapa tipe
alergi dan hipersensitivitas lainnya, beberapa di antaranya hanya terjadi pada
orang-orang yang mempunyai kecenderungan alergi yang spesifik. [1]
Respons

imun,

baik

nonspesifikmapun

spesifik

pada

umumnya

menguntungkan bagi tubuh, berungsi protektif terhadap infeksi atau


pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntjngkan

bagi

tubuh

berupa

penyakit

yang

disebut

reaksi

hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada


proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau senstivitas terhadap
2

antigen

yang

pernah

dipajankan

atua

dikenal

sebelumnya.

Reaksi

hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat


dibagi menurut berbagai cara.[6]
Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Waktu Timbulnya Reaksi
Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan deti, menghilang dala 2 jam. Ikatan
silang antar alergen dan IgE pada permuukaan sel mast menginduksi
pengelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis
sistemi atau anafilaksis lokal.
Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet trejadi setelah bebrapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi ini melibatkan [embentukkan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen dab atau sel NK/ADCC. Manifestasi
reaksi intermediet dapat berupa:
1. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun
2. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sitemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, atritis reumatoid dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
Reaksi Lambat
Reaksi kambat terlihat sampai sekitar 48 jam stelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH , sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatits kontak, reaksi M, tuberkulosis dan
reaksi penolakan tandur.[6]

1.4 KLASIFIKASI HIPERSENSITIVITAS


Pembagian Reaksi hipersensitivitas menurut Cell dan Coombs
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs an Philip HH Cell (1963)
dibagi dalma 4 tipe reaksi. Pembagian Gell dan Coombs dibuat sebelum
analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui.
Berdasarkan

penemuan

penemuan

dalm

penelitian

imunologi,

telah

dikembangka beberapa modifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi Tipe I,
II dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya rekasi-reaksi tersebut
masih memerlukan bantuan sel T atau peran seluler. Oleh karena itu pembagian
Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut seperti tabel berikut.

Gambar 1: Reaksi hipersensitivitas Tipe I, II, III, dan IV menurut Gell dan coombs.

Tabel Klasifikais Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-IV).

[6]

Mekanisme

Gejala

Contoh

Tipe I : IgE

Anafilaksis.

Peisilin dan beta-laktam lain,

urtikaria,

enzim, antiserum, protamin,

angioedem, nausea,

heparin antibodi monoklonal,

muntah, skait

ekstrak alergen, insulin.

abdomen, diare.
Tipe II : Sitotoksik

Agranulositosis,

(IgG dan IgM)

Anemia hemolitik,

Metamizol, fenotiazin.
Penisilin, sefalosforin,
beta-laktam, kindin, metildopa.

Trombositopenia

Karbamazepin, fenotiazin,
toiurasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamid, propil
tiourasil, preparat eman.

Tipe III : Kompleks

Panas, urtikaria,

Beta-laktam, sylfonamid,

imun (IgG dan IgM)

atralgia,

fenitoin, streptomisin.

limfadenopati.
Serum sickness

Serum

xenogenik, penisilin,

globulin anti-timosit.
Tipe IV :

Eksim (juga

Penisilin, anestetik lokal,

Hipersensitivitas

sistemik), Eritema,

antihistamin topikal, neomisin,

seluler

lepuh, pturitus.

pengawet, eksipien (lanolin,


paraben), desinfektan.

Fotoalergi.

Salisilanilid (halogeneted), sam

Fixed drug

nalidilik.

eruption
5

Lesi

Barbiturat, kinin.

makulopapular

Penisilin, emas, barbiturat,


beta-blocker.

Tipe V : Reaksi

Granuloma

Ekstrak alergen, kolagen larut.

Tipe VI :

(LE yang diinduksi

Hidralazin, prokainamid.

Hipersensitivitas

obat?)

granuloma

stimulasi

Resistensi insulin

Antibodi terhadap insulin (IgG).

Hipersenstivitas Tipe I (Reaksi Anafilaksis)


Terjadi pada individu secara genetik peka yang memberikan respons cepat
dan berlebihan pada pengeluaran mediator setelah penggabungan suatu aleegen
terhadap IgE yang terikat pada mast-cell. Selama fase sensitisasi awal, terbentuk
igE berlebihan dan terikat erat melalui ranah Fc-nya kepada reseptornya (FcRe,
CD23) pada permukaan mast-cell dan basofil. Ranah F (ab')2 mengandung
tempat pengikat antigen yang tetap bebas untuk mengikat alergen. jika suatu
alergen dipajankan kembali, alergen ini akan menggumpulkan beberapa
molekul IgE yang terikat pada sel, mengakibatkan gangguan pada membran dan
degranulasi mast-cell dan basofil, mengeluarkan zat yang aktif secara
farmakologik secara sistemik atau lokal (atopi). [5]

Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)


Keruskan jaringan melalui mekanisme efektor pada hipersensitivitas
sitotoksik diperantarai oleh anibodi IgG dan IgM yang ditunjukkan kepada
antigen yang melekat pada sel/jaringan termasuk dalam reaksi hipersensitivitas
tipe II. Antigen tersebut timbul karena perubahan struktur molekul pada
permukaan sel-sel atau adanya konfigurasi baru asing yang menempel pada
sel-sel tersebut (misalnya obat-obatan). [2]

Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Antigen Antibodi)


Reaksi

kompleks

antigen-antibodi

tipe

III

terjadi

jika

kompleks

antigen-antibodi sirkulasi berukuran kecil bersama dengan sedikit kelebihan


antigen, dapat menghindari fahositosis dan tertimbun did alamjaringan atau pada
permukaan pembuluh darah. Kompleks ini menyebabkan kerusakan dengan
mengaktifkan komplemen dan mengeluarkan faktor kemotaktik C5a,
anafilatoksin, dan faktor pembekuan. Neurotrofil ditarik ke daerah penimbunan,
mengeluarkan enzim lisosom yang merusak jaringan.

Reaksi Hipipersensitivitas Tipe Lambat (tipe IV)


Dilaksanakan oleh sel-se T tersensitisasi, makrofagm dans el NK dengan
kontak langsung pada sel sasaran. antibodi tidak terlibat. Dasar terjadinya lesi
ialah suatu respons peradangan yang diiknduksi oleh makrofag teraktivasi,
limfosit T sitotoksik, dan sel-sel NK terhadap mikroorganisme yang tinggal di
dalam sek maupun reaktivitas terhadap iritan kimiawi dengan molekul kecil. [5]

Gambar 2: Klasifikasi hipersensitivitas

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HIPERSENSITIVITAS III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di
dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit,
ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

2.2 MEKANISME REAKSI HIPERSENSITIVITAS


Reaksi hipersensitivitas tipe III terjadi karena pengendapan kompleks imun
(antigen-antibodi) yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen
dan mengakumulasi leukosit polimorfonuklear di jaringan. Reaksi ini juga dapat
disebut reaksi yang diperantarai kompleks imun. Reaksi ini terdiri dari 2 bentuk
reaksi, yaitu:
1. Reaksi kompleks imun sistemik (Serum Sickness)
2. Reaksi sistem imun lokal (Arthus)
Mekanisme reaksi ini sebagai berikut:

Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit

Mengaktifkan komplemen

Menarik perhatian Neutrofil

Pelepasan enzim lisosom

Pengeluaran mediator kimiawi


8

Timbul reaksi hipersensitivitas

Reaksi Tipe III atau Kompleks Imun


Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut
eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkan oelh sel fagosit monokulear,
terutama di hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya
kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh
makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan,
karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan
fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengpaa kompleks tersebut sulit
dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk
jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menmbulkan alveolitis alergik
ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai
antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi
yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan
komppleks imun sehingga makrofag dirangsang terus untuk melepas berbagai
bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau
IgG3 (dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran
basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang
terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan
permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan pengelepasan mediator
inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofik. Bahan toksisk yang
dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat

Gambar 3: Reaksi hipersensitivitas tipe III

Endapan kompleks imun dalam vaskular bed menimbulkan agregasi


trombosit, aktivasi komplemen yang disusul oleh infiltrasi PMN. Faktor yang
dilepas oleh PMN yang diaktifkan menimbulkan kerusakan pada jaringan serta
gambaran patologi kerusakan akibat komplemen (MAC) atau melalui lisis oleh
pengelepasan granul sitotoksik.
2. Kompleks imun mengendap di jaringan
Hal yang nmemungkinkan terjadi pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang
meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.
3. Bentuk reaksi
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi local (Arthus) dan sistemik
(Serum sickness).[6]
Reaksi hiersensitivitas tipe III timbul jika antigennya berbentuk larutan.
Penyakit akan bermanifestasi jika terjadi pengendapan (presipitasi) agregat
kompleks imin dalam jaringan tertentu, Seperti kita ketahui, terbentuknya
kompleks imun berlamgsung pada setiap respons imun humoral (antibodi).
Potensi patogenik kompleks imun tersebut ditentukan sebagian oleh ukuran
10

senyawa kompleks imun. Ukuran agregat yang lebih besar akan mengikat
komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit
mononuklear, sedang agregat yang lebih kecil ukurannya karena berkelebihan
antigen, cenderung diendapkan pada dinding pembuluh darah, dan di sisnilah
akan dimulai kerusakan melalui ikatan dengan reseptor Fc dan komponen
komplemen pada permukaan endotel yang pada gilirannya akan menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah.
Reaksi hipersensitivitas III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit
individu yang telah disensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik
terhadap antigen pemicu sensitisasi (respon imun) tersebut. Apabila kemudian
antigen disuntikkan dalam kulit individu tersebut, antibodi IgG yang telah
berdifusi dalam jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun
setempat. Kompleks imun tersebut mengikat reseptor Fc pada permukaan sel
dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu
respons peradangan setempat dengan disertai peningkatan permeabilitas
pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini akan memudahkan
cairan dan sel-sel darah, khususnya sel-sel metrofil, masuk dalam jaringan
pengikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Pada umunya kerusakan jaringan sebagai akibat adanya pengedapan
kompleks imun berlangsung melaui 4 tahap :
1.

Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun

2.

Dalam kondisi tertentu, kompleks imun akan mengendap pada jaringan


tertentu sperti endotel, kulit, ginial dan persendian.

3.

Faktor humoral seperti komplemen atau enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di saerah pengendapan.

4.

Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular. [2]


Reaksi kompleks antigen-antibodi tipe III terjadi jika kompleks

antigen-antibodi sirkulasi berukuran kecil bersama dengan sedikit kelebihan


antigen, dapat menghindari fahositosis dan tertimbun di dalam jaringan atau
pada permukaan pembuluh darah. Kompleks ini menyebabkan kerusakan
11

dengan mengaktifkan komplemen dan mengeluarkan faktor kemotaktik C5a,


anafilatoksin, dan faktor pembekuan. Neurotrofil ditarik ke daerah penimbunan,
mengeluarkan enzim lisosom yang merusak jaringan. [5]
Kompleks antigen-antibodi (kompleks imun) yang beredar dalam darah
akan menumpuk dan mengendap dalam jaringan. Jaringan tubuh yang paling
sering terlibat meliputi jaringan ginjal, persendian, kulit, dan pembuluh darah.
Normalnya, jaringan tersebut membersihkan kompleks imun yang berlebihan
dari peredaran darah. Namun, kompleks imun yang mengendap dalam jaringan
akan mengaktifkan rangkaian komplemen sengan menimbulkan inflamasi lokal
serta memicu trombosit untuk melepaskan amina vasoaktif yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan dengan demikian akan terdapat lebih banyak
kompleks imun yang mengendap dalam dinding pembuluh darah.
Kemungkinan edek paling berbahaya terjadi karena pembentukan fragmen
yang menarik sel-sel neutrofil. Sel-sel neutrofil tersebut berupaya menelan
kompleks imun. Umumnya upaya ini tidak membaw hasil tetapi dalam upay
tersebut, sel-sel neutrofil melepaskan enzim lisosom yang menyebabkan
eksaserbasi kerusakan jaringan.
Pembentukan kompleks imun bersifat dinamis dan selalu berubah.
Kompleks yang terbentuk pada usia kanak-kanak dapat berbeda sama sekali
dengan kompleks yang terbentuk setelah beberapa tahun kemudian. Demikian
pula, pada satu waktu bisa terdapat lebih dari satu tipe kompleks imun. [3]
2.3 ETIOLOGI
Reaksi hipersensitivitas tipe III ini disebabkan adanya reaksi antara antigen
dan antibodi, tetapi antigennya tidak menempel pada sel/jaringan seperti pada
reaksi Tipe II, melainkan antibodi dengan antigen tersebut mengendap dalam
jaringan, yang selanjutnya akan diikuti beberapa peristiwa yang akan menjurus
kepada kerusakan jaringan.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1.

Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
12

2.

Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap
adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

3.

Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana
tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

2.4 PATOFISIOLOGI
Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear dan pelepasan enzim lisosom serta faktor permeabilitas yang
menghasilkan respons imun. [3]
Beberapa contoh penyakit yang melibatkan reaksi tipe III akan dibahas
untuk menunjang pemahaman reaksi hipersensitivitas. Penyakit-penyakit
kompleks

imun

sistemik,

dapat

berkembang

sesudah

pemberian

antigen-antigen yang tidak mudah dikatabolisme dalam jumlah besar. Ada dua
jenis reaksi kompleks imun, yang terlibat dalam penyakit kompleks imun, yaitu
reaksi Arthus yang berlangsung setempat dan Serum Sickness yang
berlangsung melalui penyuntikan secara sistemik.
Rheumatic Fever
Penyakit rheumatic fever dapat didahului oleh infeksi streptokokus A pada
tenggorokan, dapat melibatkan radang dan kerusakan jantung, persendin dan
ginjal. Peristiwa ini dijelaskan dengan temuan berbagai jenis antigen pada
dinding dan membran sel streptokokus yang bereaksi silang dnegan antigen
yang ada pada otot jantung manusia, kartilago, dan membrana basalis
glomerulus renalis. Kerusakan tersebut diduga melalui mekanisme yang sama
seperti contoh di atas. Telah diduga bahwa antibodi terhadap antigen
streptokokous mengikat konpomen jaringan normal tersebut dan menginduksi
reaksi peradangan melalui lintasan yang sama dengan penjelasan di atas.

13

Artritis reumatoid
Artritis reumatoid ialah suatu penyakit peradangan kronik kambuhan yang
dianggap dimulai oleh sutu antigen yang tidak diketahui yang merangsang
pembentukan antibodi lokal di dalam sinovia. Kira-kira 70% memilki haplotip
HLA-DR4. Peradangan panus dan hilangnya tulang rawan menjadi ciri khas
kelainan sendi pada penyakit ini.
1.

Penggabungan antigen dengan antibodi lokal mengubah struktur tersier


antibodi, sehingga mengungkapkan serangkaian asam amino yang
"terkubur" dan sekarang dapat dikenal sebagai benda asing oleh sistem
imun.

2.

Epitop yang baru muncul ini merangsang produksi suatu antibodi,


biasanya IgM, yang disebut faktor reumatoid, yang bereaksi dengan ranah
Fc molekul IgG (suatu antibodi terhadap antibodi yang sekarang menjadi
"asing"). Sebagai konsekuensinya, terbentuk kompleks IgM-IgG di dalam
cairan sinovial, mengaktifkan komplemen, dan mengeluarkan kemokin.
PMN tertarik, yang ketika berusaha memfagosit kompleks tersebut,
mengeluarkan enzim lisosom yang merusak tulang rawan sendi.

3.

Sel-sel TDHT mendominasi dan berkontribusi pada kerusakan, demikian


pula makrofag yang mengeluarkan IL-1, IL-6, dan TNF. Muncul osteoklas
yang merusak tulang.

4.

Faktor reumatoid sebagai salah satu tanda diagnostik, dapat dideteksi


dengan tes aglutinasi lateks yang memepergunakan partikel IgG
terbungkus lateks yang dicampurkan pada serum pasien.
Dalam rheumatoid arthritis (RA) telah terbykti adanya produksi

rheumatoid factor (RF) yang merupakan autoantibody dari kelas IgM. RF


tersebut mengikat bagian Fc dari IgG normal penderita. Kompleks imun yang
terbentuk tersebut oleh beberapa peneliti diduga bertanggung jawab dalam
peradangan dan kerusakan persendian, yang merupakan ciri khas dari penyakit
ini.

14

Dalam sejumlah penyakit infeksi (malaria, virus, dan kusta) mungkin pada
saat-saat tertentu selama berlangsungnya infeksi, apabila antigen dan antibodi
berada bersama dalam jumlah banyak akan menyebabkan terbentuknya agregat
imun yang ditimbun pada berbagai lokasi. Makas adanya kumpulan gejala
yang kompleks dalam sembarang penyakit tersebut dapat mencakup sebuah
komponen yang melekat pada reaksi hipersensitivitas III. [2]
Poliarteritis nodosa
Poliarteritis nodosa (PAN) menunjukkan gejala perangsangan terus
menerus dinding arteri oleh penimbunan kompleks ag-ab yang beredar,
menyebabkan terjadinya trombosis dan gangguan aliran darah. Seringkali
disebabkan oleh kompleks antibodi hepatitis B.
Glomerulonefritis
Glomerulonefritis yang menunjukkan adanya kompleks ag-ab terlarut yang
tertimbun pada dan di belakang membrana basalis ginjal, menyebabkan
terjadinya respons peradangan.
1.

Kompleks ini dapat dideteksi dengan antibodi fluoresensi terhadap antigen,


antibodi, atau komplemen sebagai pola gumpalan tersebar tidak merata
fluoresensi karena penimbunan kompleks tersebut terjadi secara acak.

2.

Antigen yang terlibat paling sering berupa: DNA, insulin, tiroglobulin, dan
streptokokus nefritogenik grup A.

3.

Kerusakan disebabkan oleh pengeluaran enzim lisosom oleh PMN yang


tertarik oleh zat kemotaktik yang merusak glomerulus, mengakibatkan
hilangnya daya filtrasi.

Lupus eritematosus sistemik


Lupus eritematosus sitemik (SLE) ialah penyakit peradangan kambuhan
kronik yang biasanya terjadi pada wanita berusia 20 sampai 45 tahun.
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, tetapi mungkin dimulai sebagai respons
antibodi terhadap DNA bakteri atau virus diikuti dengan hilangnya
pengendalian

pengaturan

toleransi

diri.
15

pola

kliniknya

terutama

menyebabkan terjadinya poliartralgia atau artritis. Juga dapat terjadi ruam kulit
yang diiknduksi oleh sinar ultraviolet, "ruam kulit kupu-kupu", pleuritis,
perikarditis, vaskulitis, dan faktor reumatoid.
1.

SLE menimbulkan pembentukkan antibodi terhadap banyak antigen


endogen: RBC, leukosit, trombosit, dsRNA, dan berbagai antigen inti
(antibodi antinuklear), dengan predominan pada anti-dsDNA.

2.

dsDNA, anti-dsRNA, dan kompleks yang beredar lainnya yang antigen


sedikit berlebih yang melekat secara acak pada ginjal, meningkatkan
kemungkinan untuk menjadi kelainan utama GLN.
Pola gumpalan fluoresensi tidak merata ini membedakan antara GLN lupus

dengan pola halus yang tampak pada GLN tipe Masugi, yang menunjukkan
antigen ginjal yang tersebar merata. [3]
Penyakit Okupasional
Farmer's lung merupakan bentuk protorype reaksi tipe III yang akan
digolongkan dalam penyakit okupasional. Bagi individu yang peka,
berhubungan dengan jerami yang berkapang akan menjurus ke gangguan
pernapasan yang parah dalam waktu 6-8 jam setelah terpapar sebagai
pneumonitis. Telah diungkapkan bahwa individu yang terkena gangguan
penumonitis akan memproduksi antibodi IgG yang spesifik terhadap spora
aktinomisetestermofilik yang tumbuh dalam jerami yang terlantarkan. Hirupan
udara yang mengandung spora kapang tersebut mendorong ke dalam reaksi
dalam paru-paru yang mirip dengan reaksi Arthus pada kulit yaitu terbentuknya
agregat kompleks imun yang berlanjut dalam proses peradangan.
Banyak jenis reaksi tipe III dala paru-paru yang mengandung nama yang
berkaitan dengan pekerjaan atau profesi seseorang atau agen penyebabnya.
Dapat disebutkn beberapa contoh di sini: pigeon breeder's disease (penyakit
peternak merpati), cheese washer's disease, bagagosis (bagase adalah serat
batang tebu), maple bark strippers disease, paprika worker's dan lain-lainnya.
Pekerjaan dalam lingkungan kotor, melibatkan paparan bahan-bahan berpotensi

16

antigenik rupanya memberikan risiko berkembangnya penyakit okupasional


melalui mekanisme reaksi hipersensitivitas Tipe III. [2]

2.4 MANIFESTASI KLINIS


(1) Reaksi lokal atau Reaksi Arthus
Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dlam kelinci intradermal
berulang kali ditempat yang sama menmukan reaksi yang makin menghebat di
tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan edem

dalam 2-4

jam sesudah suntikkan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya.


Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke
5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut
disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah jenis presiptin.
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel
vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi
yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskular akiba akumulasi
cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis. Reaksi

Tipe Arthus dapat

terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal
kering yang dapat menimbulkan pneumonotis atau alveolitis atau Famers lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pa da aktivasi komplemen,
meningkatakan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem.
C3a dsn c5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trmobosit
mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis obstruksi total
aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah keci, sel mast ,otot
polos dan leukosit perifer yang mneimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi
sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imu dan bersama dengan
trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai
nekrosis jaringan setempat.
17

Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil
melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a,C5, C6, C7)
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan
tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler
golemurulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata.
Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis
reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk kompleks imun sendi.

Gambar 4: Reaksi Arthus

Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk


mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel
mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vaskular dan inflamasi.

18

Gambar 5: Skema interaksi, selular dan jaringan pada reaksi Arthus.

Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang


terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks, tetapi
akan melepas granular (angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak
kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas
berbagai mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan.
Dalam beberapa hari-minggu setelah pemerian serum asing, mulai terlihat
manifestai panas dan gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh, sendi dan KGB yang dapat berupa vaskulitis sistemik
arteritis), glomerulonefritis, dan artritis. Reaksi itu disebut reaksi Pirquet dan
Schick. [6]
Reksi Arthus yaitu suatu respons peradangan yang jarang ditemukan
terhadap presipitat ag-ab intravaskular berukuran sedang yang berlebihan,
terjadi jika manusia atau binatang yang sangat peka disuntik antigen. Faktor
kemotaktik, infiltrasi PMN, dan trombosit yang diaktifkan oleh komplemen
mengakibatkan timbulnya trombus dan kelainan hemoragik, nekrotik. [5]

19

Gambar : penimbunan kompleks imun dalam jaringan dapat memicu Reaksi Arthus.

(2) Reaksi sistemik serum sickness


Antigen daalm jumlah besra yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat
membentuk kompleks imun. Bila antigen jau berlebihan dibanding antibodi,
kompleks yang dibentuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk
dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan Tipe III di
beragai tempat. Dahulu reaksi Tpe III sistemik demikian sering terlihat pada
pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau
antidiferti asal kuda.

Gambar 6: Hubungan antara pembentukan kompleks imun dan


timbulnya gejala pada serum sickness
20

Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (Tipe III) yang terjadi sesudah
pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanosomiasis
dan bruselosis). Bila mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar juga
melepas sejumlah antigen yang cenderung bereaksi

dengan antibodi yang

sudah ada dalam sirkulasi.


Antigen dalam jumlah besar disuntikkan ke dalam kelinci pada hari 0. Bila
antibodi yang diproduksi membentuk kompleks dengan antigen yang
diendapkan di ginjal, sendi dan kapiler. Gejala serum sickness (daerah biru
muda) berhubungan dengan puncak pembentukkan kompleks imun. Bila
kompleks imun dibersihkan, antibodi bebas ditemukan dalam sirkulasi (garis
putus-putus) dan gejala serum sickness berkurang. Gejala serum sickness
berupa demam, lemah, vaskulitis, sistemik (ruam) dengan edema dan eritema,
limfadenopat, artritis dan kadang glomerulonefritis. [6]
Serum Sickness merupakan fenomena jenis ke-dua pada reaksi kompleks
imun. Istilah tersebut muncul sekitar seabad yang lalu ketika von Pirquet dan
Schick menyuntikkan serum imundari kuda dalam rangka mengibati penderita
beberapa penyakit menular, seperti diferti dan tetanus. Secara umum telah
sikethui bahw penyakit diferti dan tetanus yang masing-masing disebabkan
oleh Corynebacterium dan Clostridium menghasilkan toksin yang sangat
merusak jaringan dari penderita yang terinfeksi, sedangkan bakterinya sendiri
tidak terlalu invasif dan hanya sedikit menyebabkan kerugian. Maka strategi
para dokter pada waktu itu, dengan segera menghilangkan dampak yang
merugikan dari toksin sebelum berdampak merusak jaringan penderita, dengan
cara menetralisasi dengan antibodi yang dibuat dalan serum kuda. Karena
imunisasi aktif pada manusia memerlukn waktu beberapa minggu agar cukup
antibodi dalam menetralkan toksin, maka dilakukan "imunisasi pasif" dengan
menyuntikkan serum dalam jumlah banyak yang mengandung anti-toksin
segera setelah penyakitnya dapat didiagnosis. Kuda-kuda yang mudah
diperoleh dan mudah diimunisasi dan mampu memberikan antisera dalam
jumlah yang sangat banyak, merupakana pilihan hewan sebagai penghasil
antibodi anti-toksin. Tetapi kini kita telah mengetahui bahwadegan
menyuntikkan serum dari hewa (heterologus) dalam jumlah banyak akan
21

mengakibatkan respon imun terhadap keasingannya berupa suatu penyakit


serum sickness pada beberapa orang.
Dengan menggunakan antiserum kuda untuk imunisasi pasif, dapat
berkembang reaksi yang tidak diinginkan. Kira-kira 1 minggu setelah
menerima serum kuda, mereka mengalami demam dan rasa gatal-gatal,
bengkak-bengkak di sebagian tubuh, rasa sakit pada persendian yang bengkak,s
erta adanya pembesaran kelenjar limfe. kadang-kadang dalam urine mereka
ditemukan eritrosit dan albumin. temuan ini menandakan adanya tanda-tanda
peradangan glomeruud dalam ginjal. Pada saatnya, semua gejala tersebut
mereda dengan sedikit sisa-sisa kerusakan, tetapi menyuntikkan berulang
serum kuda dapat menginduksi gejala yang lebih parah dan bahkan dapat
berakhir dalam kematian. Walaupun urutan peristiwa tersebut dapat diinduksi
oleh banyak jenis antigen lain (dalam hal ini antiserum kuda dipandang sebagai
antigen), penyakit yang timbul tetap dinamakan "serum sickness". Bentuk
hipersensitivitas tersebut, lagi-lagi menjadi pertimbangan penting pada
penderita yang mendapatkan pengobatan antibodi monoklonal yang dibuat dari
mencit atau tikus, terhadap penyakit keganasan, penolakan jaringan cangkok,
dan penyakit autoimun. [2]

2.5 DIAGNOSIS
Auto-Antibodi
Pemeriksaan auto-antibodi dengan menggunakan teknik imunologik baik
secara langsung maupun tidak langsung, biasanya ditunjukkan untuk
membuktikan adanya: Antibodi anti-nukleus (ANA), anti-DNA, anti-eritrosit,
anti-trombosit, anti-Ig (RF) dan anti-organela. Penemuan ANA mempunyai
tingkaf spesifisitas dan kepekaan yang tinggi.
Biopsi Jaringan
Biasanya jaringan biopsi yang diambil dari organ ginjal atau kulit diperiksa
dengan menggunakan teknik imunofluoresens atau teknik pelabelan lainnya
22

untuk membuktikan adanya penimbunan kompleks imun yang biasanya


antibodinya dari kelas IgG dan IgM, dan komplemen
Pemeriksaan fisik
Ada beberapa macam pemeriksaan, yaitu :
1. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes
ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu,
akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
(a) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
(b) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep..

2. Skin Test (Tes kulit).


Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di
tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila
positif akan timbul bentol, merah, gatal.
3. Tes Aglutinasi
Tes aglutinasi lateks yang memepergunakan partikel IgG terbungkus lateks
yang dicampurkan pada serum pasien.
4. Pemeriksaan Imunofluoresen
Dengan pemeriksaan imunofluoresen antigen, antibodi dan bernbagai
komponen komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinidng
pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun (pada
hewan, kadar komplemen diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas
dari Arthus tidak terjadi. Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis.

23

2.6 TATALAKSANA

24

25

BAB III
KESIMPULAN

26

DAFTAR PUSTAKA

1.

Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2012. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

2.

Prof. Subowo, dr. MSc., PhD. 2013. Imunologi Klinik Edisi Ke-2. Jakarta:
Sagung Seto

3.

Kowalk, Welsh, dan Mayer. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC

4.

Elizabeth, J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC

5.

G. Johnson,dkk. 2010. Mikrobiologi dan Imunologi Edisi 5. Jakarta:


Penerbit Buku Bina Rupa Aksara.

6.

Karnen Garna Baratawidjaja dan iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar


Edisi ke- 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

27

Anda mungkin juga menyukai