Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Respon imun adaptif adalah komponen penting dari pertahanan inang

melawan infeksi dan sangat penting untuk kesehatan. Antigen yang tidak terkait

dengan agen infeksi kadang-kadang menimbulkan respons imun adaptif, dan dapat

menyebabkan penyakit. Salah satu keadaan di mana ini terjadi adalah ketika

timbulnya reaksi imunologi berbahaya yang disebabkan oleh reaksi

hipersensitivitas yang dikenal secara umum dengan reaksi alergi. Reaksi ini terjadi

sebagai respons terhadap 'lingkungan' yang pada dasarnya merupakan antigen yang

tidak berbahaya, seperti serbuk sari, makanan, dan obat-obatan.1

Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang

terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka.2 Reaksi

Hipersensitivitas juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang

merupakan komponen dalam sistem imun yang berfungsi sebagai pelindung yang

normal pada sistem kekebalan.2 Secara historis, reaksi hipersensitivitas akibat

respons imunologis diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi empat tipe

besar, berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.
1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang

terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka.2 Terminologi

reaksi hipersensitivitas berasal dari suatu gagasan bahwa respons imun seseorang

yang “sensitif” terhadap antigen yang tidak berbahaya, seperti serbuk sari, makanan

serta obat-obatan.3 Reaksi ini diklasifikasikan menurut jenis respon imun dan

efektor mekanisme yang bertanggungjawab atas kerusakan sel dan jaringan.2

2.1 Etiologi Reaksi Hipersensitivitas

Respon imun memungkinkan tubuh untuk melawan antigen yang berbeda

jenis, dan merupakan hasil dari abnormalitas beberapa penyebab, antara lain:2

1. Autoimunitas : reaksi melawan antigen sendiri

Kegagalan mekanisme normal dalam toleransi menghasilkan reaksi

sel T dan B yang bereaksi terhadap sel sendiri, yang disebut autoimunitas.

Penyakit yang disebabkan oleh autoimunitas disebut sebagai penyakit

autoimun. Penyakit ini diperkirakan mempengaruhi 2-5% dari populasi

pada negara maju, dengan kelompok usia lebih sering pada rentang 20-40

tahun, dan pada wanita.

2. Reaksi melawan mikroba.

Respon imun terhadap antigen mikroba dapat menyebabkan

timbulnya penyakit jika reaksi yang timbul berlebihan atau mikroba tersebut

2
persisten. Respon sel T terhadap mikroba persisten dapat menyebabkan

timbulnya inflamasi yang parah, kadang-kadang terjadi pembentukan

granuloma. Hal ini menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan pada

tuberkolosis dan infeksi nekrosis lainnya. Jika antibodi diproduksi untuk

melawan antigen mikroba, antibodi akan berikatan dengan antigen untuk

memproduksi kompleks imun, yang akan terdeposit pada jaringan dan

memicu inflamasi.

3. Reaksi melawan antigen lingkungan non mikroba.

Sebagian besar individu yang sehat tidak bereaksi terhadap substansi

lingkungan yang tidak berbahaya, namun hampir 20% individu mengalami

respon yang abnormal terhadap 1 atau lebih substansi tersebut. Individu ini

memproduksi IgE, yaitu suatu antibody yang dapat menyebabkan penyakit

alergi. Beberapa individu menjadi peka terhadap antigen lingkungan dan

bahan kimia yang berkontak dengan kulit, dan menyebabkan timbulnya

reaksi sel T yang mengarah pada inflamasi yang diperantarai oleh sitokin,

menyebabkan timbulnya sensitivitas terhadap kontak.

2.2 Klasifikasi Gell dan Coombs

Beberapa bentuk reaksi hipersensitif dapat dibedakan melalui perbedaan

dalam molekul efektor yang dihasilkan dalam proses reaksi. Pada hipersensitif

immediate reaksi, isotipe antibodi yang berbeda menginduksi molekul efektor imun

berbeda. Antibodi IgE, misalnya, menginduksi degranulasi sel mast dengan

pelepasan histamin dan molekul aktif biologis lainnya. Antibodi IgG dan IgM, di

3
sisi lain, memicu reaksi hipersensitif dengan mengaktifkan komplemen. Molekul

efektor dalam reaksi komplemen adalah membrane-attack complex dan produk

complement split seperti C3a, C4a, dan C5a. Pada reaksi delayed-type

hypersensitivity, efektor molekul adalah berbagai sitokin yang disekresikan oleh

activated TH atau Sel TC.4

Beberapa mekanisme kekebalan tubuh berbeda menimbulkan reaksi

hipersensitif, oleh karena itu P. G. H. Gell dan R. R. A. Coombs (1963)

mengusulkan skema klasifikasi di mana reaksi hipersensitif dibagi menjadi empat

jenis. X Tipe I-III antibody-mediated yang membedakan dengan jenis yang lain

dalam mengenali antigen dan kelas yang berbeda dari antibodi yang dilibatkan.5

Tipe-I dimediasi oleh antibody lgE, yang mempengaruhi aktivitas mast-cell,

Tipe-II dan III dengan media IgG, yang melibatkan mekanisme effector phagocytic

dan complement-mediated untuk berbagai tingkat, tergantung pada subklas lgG dan

sifat alami antigen yang dilibatkan.5

Tipe-II respon perlawanan diarahkan pada permukaan sel atau matrik

antigen, sedangkan Tipe-III diarahkan melawan pelarut antigen, dan melibatkan

kerusakan jaringan yang disebabkan oleh faktor pencetus dari kompleks immun.

Suatu kategori khusus Tipe-II melibatkan respon antibodi lgG melawan permukaan

sel reseptor yang mengganggu fungsi normal reseptor, yang menyebabkan

pengaktifan tak terkontrol atau pemblokiran oleh reseptor.5

Tipe-IV reaksi hipersensitivas diperantarai sel T dan dapat dibagi lagi

dalam tiga kelompok. Kelompok yang pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh

4
pengaktifan makrofag oleh sel TH 1, yang menyebabkan respon inflamasi.

Kelompok kedua, kerusakan disebabkan oleh pengaktifan eosinophilic inflamatory

respons oleh sel TH2, dan kelompok ketiga adalah kerusakan disebabkan secara

langsung oleh cytotoxic T sel (CTL) di dalam reaksi hipersensitivas.5

2.2.1 Hipersensitivitas Mediasi IgE (Tipe I)

3 Gambar 2.1 Keempat tipe hipersensitivitas4


Diperantarai IgE Antibodi Penimbunan Sel Th melepaskan
yang berlawanan dengan kompleks sitokin yang
mengaktifkan permukaan sel antigen-antibodi menstimulasi
mediator seperti antigen sehingga sehingga makrofag atau sel T
histamin menyebabkan mengaktifkan sitotoksik sehingga
sehingga terjadi Antibody- komplemen dan menyebabkan
degranulasi sel dependentcell- memicu lekosit kerusakan seluler
mast lalu mediated melepaskan secara langsung
memicu cytotoxicity enzim dan
inflamasi (ADCC) molekul toksik

Anafilaksis Reaksi Transfusi Reaksi Arthus dermatitis


sistemik dan darah, lokal dan reaksi kontak,tubercular
anafilaksis local, eritroblastosis umum seperti lessions penolakan
seperti hay fever, fetalis dan anemia serum sickness, transplantasi,
asma, hives, hemolitik necrotizing
alergi makanan autoimun. vaskulitis,
dan eczema. glomerulnephriti
s,
rheumatoid
arthritis, dan
SLE

Gambar 2.1 Keempat tipe hipersensitivitas4

5
Reaksi hipersensitif tipe I diinduksi oleh tipe tertentu antigen, yang disebut

sebagai alergen, dan memiliki semua ciri khas respon humoral yang normal.

Alergen menginduksi respon antibodi humoral dengan mekanisme yang sama untuk

soluble antigen lainnya, yang dihasilkan dalam generasi sel plasma yang

mensekresi antibodi dan sel memori. Perbedaan respon tipe I hipersensitif dari

respon humoral normal, yaitu sel-sel plasma mensekresikan IgE. Kelas antibodi ini

mengikat dengan afinitas tinggi ke reseptor Fc pada permukaan sel mast jaringan

dan basofil darah. Sel mast dan basofil yang ditutupi IgE menjadi lebih peka.4

Paparan selanjutnya terhadap alergen yang sama cross-link IgE terikat

membran pada sel mast peka dan basofil, menyebabkan degranulasi sel-sel ini

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Mekanisme umum yang mendasari reaksi hipersensitif tipe I. Paparan
alergen mengaktifkan sel B untuk membentuk IgE yang mensekresi sel plasma.
Molekul IgE yang disekresikan berikatan dengan IgE spesifik Reseptor Fc pada sel
mast dan basofil darah. Paparan kedua terhadap alergen menyebabkan cross linking

6
IgE terikat, memicu pelepasan mediator yang aktif secara farmakologis, Amina
vasoaktif, dari sel mast dan basofil. Mediator menyebabkan kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan vasodilatasi.4

Mediator yang aktif secara farmakologis dilepaskan dari granula bekerja pada

jaringan di sekitarnya. Efek utama yaitu vasodilatasi dan kontraksi otot polos —

mungkin menjadi sistemik atau terlokalisasi, tergantung pada luasnya mediator

release.4 Kejadian ini biasanya berlangsung dalam jangka waktu 2-8 jam setelah

terpapar alergen dan bertahan hingga beberapa hari.3,5

Gambar 2.3 Dua tahap reaksi hipersensitivitas tipe I. A. Kinetik dari tahap respons
cepat dan respons terlambat. B–C, Morfologi: respons cepat (B) bercirikan
vasodilatasi, kongesti dan edema. Respons terlambat (C) bercirikan infiltrasi sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, netrofil dan sel T.3

Manifestasi klinis dari reaksi tipe I meliputi anafilaksis sistemik yang

berpotensi mengancam jiwa dan respons lokal seperti demam dan asma.

7
Gambar 2.4 Respon inflamasi cepat dan lambat pada asma. Sel-sel imun yang

terlibat dalam respon cepat dan lambat diilustrasikan di atas. Efek dari berbagai

mediator pada jalan napas, diilustrikan di bagian melintang di tengah.4

8
Tabel 2.1 Alergi yang sering terjadi terkait hipersensitivitas tipe I4

Protein Makanan Produk Obat Spora

Serangga

Serum Asing Kacang Racun lebah, Penicillin Jamur

Vaksin Seafood tawon, dan Sulfonamides Rambut

Telur semut Anastesi dan bulu

Kacang Debu tungau. Lokal hewan

polong Salisilat

Buncis

Susu

3.1.1 Hipersensitivitas Tipe II (Antibody-mediated)

Hipersensitivitas tipe II terjadi akibat respons antibodi terhadap antigen di

membran sel atau jaringan yang menyebabkan pengaktifan komplemen sehingga

terjadi sitolisis atau sitotoksik. Mekanisme pertama reaksi ini melibatkan ikatan

IgG atau IgM dengan antigen yang mengaktifkan komplemen melalui jalur

independen (antibodi sitotoksik) atau limfosit sebagai sel efektor sehingga

terbentuk membrane attack complex yang menyebabkan sitolisis (Gambar 2.5).

Contoh reaksi ini adalah transfusi darah.5

Mekanisme kedua reaksi ini melibatkan antibody-dependent cell-mediated

cytotoxicity (ADCC) (Gambar 2.5) yang distimulasi sel natural killer (NK), melalui

reseptor Fc, saat mengenali IgG yang berikatan dengan antigen. Kejadian ini

9
menyebabkan pelepasan perforin dan sitolisis.5

Netrofil, eosinofil dan makrofag juga bisa berpartisipasi pada ADCC ini.

Ketika sel-sel yang bersirkulasi, seperti eritrosit atau platelet, diopsonisasi oleh

autoantibodi, dengan atau tanpa komplemen, sel-sel tersebut menjadi target

fagositosis oleh netrofil dan makrofag. Proses fagosit ini diekspresikan melalui

reseptor Fc pada IgG untuk berikatan dan memakan partikel yang telah diopsonisasi

tadi.3

Gambar 2.5 Reaksi hipersensitivitas tipe II dapat terjadi melalui pengenalan


antibodi pada permukaan sel antigen sehingga terjadi penimbunan komplemen;
Sitolisisi diperantarai terbentuknya complement membrane attack complex (kiri).
Mekanisme lain, Antibodi, melalui reseptor Fc, berikatan dengan sel
polimorfonuklear (PMN) lekosit atau sel natural killer (NK), sehingga
menyebabkan terjadinya granula sitotoksik (kanan) 5

3.1.2 Hipersensitifitas Tipe III

10
Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat kompleks imun antigen-antibodi

yang mengaktifkan komplemen. Produk dari aktivasi komplemen (C3a, C5a)

berupa kemotaksin sebagai sel inflamasi akut akan menyebabkan inflitrasi sel PMN

dan pelepasan enzim lisozim sehingga terjadi cedera jaringan. Reaksi

hipersensitivitas tipe III ini bisa terlihat pada penyakit rheumatoid arthritis,

systemic lupus erythematosus (SLE).5

Pada berbagai situasi, reaksi antara antigen dan antibodi membentuk

kompleks imun. Pada keadaan normal, kompleks imun ini dihilangkan oleh

fagositosis sel PMN yang bekerja sama dengan sel darah merah. Kemampuan

sistem imun dalam menghilangkan kompleks imun ini dapat melebihi toleransi

ambang batas ketika terjadi infeksi persisten, penyakit autoimun serta terus-

menerus terpapar antigen atau alergen.6

Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga

fase: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2)

pengendapan kompleks imun dalam berbagai jaringan, sehingga memulai (3)

peradangan Reaksi di berbagai tempat di seluruh tubuh.3

Pada berbagai situasi, reaksi antara antigen dan antibodi membentuk

kompleks imun. Pada keadaan normal, kompleks imun ini dihilangkan oleh

fagositosis sel PMN yang bekerja sama dengan sel darah merah. Kemampuan

sistem imun dalam menghilangkan kompleks imun ini dapat melebihi toleransi

ambang batas ketika terjadi infeksi persisten, penyakit autoimun serta terus-

menerus terpapar antigen atau alergen.6

11
Gambar 2.6 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe III. Penimbunan kompleks imun di
dasar pembuluh darah menyebabkan agregasi platelet, fiksasi komplemen dan
inflitrasi sel PMN. Mediator inflamasi yang dilepaskan sel PMN menyebabkan
kerusakan jaringan, yang diperantarai pembentukan complement cascade
membrane attack complex (MAC) atau sitolisis melalui granula sitotoksik.
Keterangan: NK, natural killer; Ig, immunoglobulin5

Ketidakmampuan sistem imun dalam menoleransi kompleks imun

tersebutlah yang menyebabkan penimbunan kompleks imun di dalam pembuluh

darah, membran sinovial sendi, dasar membran glomerulus ginjal dan pleksus

koroid otak.6

Penimbunan kompleks imun ini terkadang terbentuk di tempat peradangan

itu sendiri, tetapi pada beberapa kasus seperti yang telah disebutkan sebelumya,

12
fagositosis tidak dapat mencapai tempat-tempat tersebut sehingga menyebabkan

terjadinya penyakit.6

Gambar 2.7 Tipe III hipersensitif. Imunokompleks terbentuk ketika antigen


berikatan dengan antibodi. Mereka biasanya dikeluarkan dari proses dengan
fagositosis. Namun, pengendapan imunokompleks ini di jaringan atau di endotel
pembuluh darah dapat menghasilkan agresi jaringan yang dimediasi oleh
imunokompleks

Gambar 2.8 Mekanisme Reaksi Alergi tipe III

13
Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya

komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease

histamine, leukotrines dan menyebabkan inflamasi.7

Gambar 2.9 Reaksi Alergi tipe III

Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil (yang berada

dalam darah) dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen.

Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan.7

Gambar 2.10 Fungsi dari Komplemen

14
Gambar 2.11 Kerusakan Jaringan akibat Deposit Immun Complex

Kompleks imun patogen dapat terbentuk dalam sirkulasi dan selanjutnya

tersimpan dalam pembuluh darah, atau kompleks tersebut dapat terbentuk di lokasi

di mana antigen telah ditanam (kompleks imun in situ). Cedera yang dimediasi

kompleks imun bersifat sistemik ketika kompleks terbentuk dalam sirkulasi dan

disimpan di beberapa organ, atau dapat dilokalisasi ke organ tertentu (misalnya,

ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan disimpan di lokasi

tertentu.3

Lokasi pengendapan imun patogen yang disukai adalah ginjal, sendi, dan

pembuluh darah kecil di banyak jaringan. Pelokalan di ginjal dan persendian

sebagian disebabkan oleh tekanan hemodinamik yang tinggi terkait dengan fungsi

filtrasi glomerulus dan sinovium. Agar deposit imun kompleks meninggalkan

sirkulasi dan deposit di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, peningkatan

permeabilitas pembuluh darah juga harus terjadi. Hal ini mungkin dipicu ketika

kompleks imun berikatan dengan leukosit dan sel mast melalui reseptor Fc dan C3b

15
dan merangsang pelepasan mediator yang meningkatkan permeabilitas pembuluh

darah. Setelah kompleks disimpan dalam jaringan, fase ketiga, reaksi peradangan,

terjadi. Selama fase ini (sekitar 10 hari setelah pemberian antigen), gambaran klinis

seperti demam, urtikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan

proteinuria muncul.

Dimanapun kompleks imun terbentuk, kerusakan jaringan yang khas terjadi.

Kompleks imun mengaktifkan sistem komplemen, yang mengarah pada pelepasan

fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat chemotactic untuk

neutrofil dan monosit. Imun kompleks juga mengikat reseptor Fc pada neutrofil dan

monosit, mengaktifkan sel-sel ini. Upaya fagositosis imun kompleks oleh leukosit

menghasilkan sekresi berbagai zat proinflamasi tambahan, termasuk prostaglandin,

peptida vasodilator, dan zat kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu

mencerna membran dasar, kolagen, elastin, dan tulang rawan, dan spesies oksigen

reaktif yang merusak jaringan. Imun kompleks juga dapat menyebabkan agregasi

trombosit dan mengaktifkan faktor Hageman. kedua reaksi ini menambah proses

inflamasi dan memulai pembentukan mikrotrombi, yang berkontribusi terhadap

cedera jaringan dengan menghasilkan iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan

disebut vaskulitis jika terjadi di pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada

glomeruli ginjal, radang sendi jika terjadi pada persendian, dan sebagainya. Dapat

diprediksi, kelas antibodi yang menginduksi lesi tersebut adalah antibodi pelengkap

(mis., IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc fagosit (IgG).

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:8

16
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-

lain. gejala sering disertai pruritis

2. Demam

3. Kelainan sendi, atralgia dan efusi sendi

4. Limfadenopati

5. Kejang perut, mual

6. Neuritis optik

7. Glomerulonefritis

8. Sindrom lupus eritematosus sistemik

9. Gejala vaskulitis lain

Berat dan ringannya kerusakan jaringan yang ditimbulkan tergantung pada:

a. Jenis kompleks imun yang terbentuk apakah larut atau mengendap

b. Lokalisasi kompleks imun didalam berbagai organ tubuh.

c. Terdapatnya reaksi lanjutan bersama dengan berbagai sel imunokompeten yang

lain.

d. Luasnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan.

Deposito imunokompleks yang terbentuk sebelumnya di berbagai tempat di

vaskular dan menyebabkan cedera di beberapa lokasi. Lapisan vaskular di mana

imunokompleks disimpan sebagian ditentukan oleh sifat fisik kompleks (ukuran

agregat, muatan, hidrofobik, dll.), lokasi cedera yang umum adalah ginjal, kulit, dan

selaput lendir. Hipersensitivitas tipe III sering terjadi pada systemic lupus

erythematosus (SLE) dan mendasari sebagian besar patofisiologi penyakit

autoimun kronis ini. Beberapa reaksi inflamasi dapat memadukan fitur

17
hipersensitivitas tipe II dan III dengan pembentukan immunocomplexes in situ.3

Tabel 2.2 Contoh Penyakit dari Immun Complex

Tabel 2.3 Contoh Penyakit dari Immun Complex

Berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas dibentuk Ig yang memberikan

reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal, yaitu:8

a. Demam reuma, infeksi streptococcus golongan A dapat menimbulkan inflamasi

dan kerusakan jantung, sendi ginjal. Berbagai antigen dalam membran

streptococus bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung tulang rawan dan

membran glomelurus. Antibodi terhadap streptococcus diduga mengikat

antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan reaksi inflamasi.

18
b. Artritis reumatoid (FR) adalah anti IgG yang berupa IgM yang dapat mengikat

fraksi Fc dari IgG (FCγ). Kompleks tersebut menimbulkan inflamasi di sendi

dan kerusakan yang khas.

c. Infeksi lain, pada beberapa penyakit infeksi seperti malaria, virus, lepra, antigen

mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang diendapkan di beberapa

tempat.

d. Penyakit akibat kerja, farmer’s lung adalah contoh reaksi Tipe III. Pada orang

yang rentan, pemaparan dengan jerami yang mengandung actinomycete

termofilik yang melepas spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu

pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah pajanan. Orang tersebut

memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete termofilik dan

membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru.Reaksi Tipe

III pulmoner yang sejenis adalah: Pigeon breeder’s, Cheese washer’s disease,

Bagassosis, Maple bark stripper’s disease, Paprika worker’s disease dan

Thatched roof worker’s disease.

e. Lupus eritematosus sistemik (LES), merupakan penyakit autoimun yang

merupakan penyakit hipersensitivitas Tipe III yang sistemik. Tubuh

membentuk antibodi autoimun terhadap berbagai komponen tubuh dan

menimbulkan manifestasi penyakit sistemik.

3.1.3 Hipersensitivitas Tipe IV: Delayed Type

Reaksi hipersensitivitas tipe Lambat adalah reaksi inflamasi yang

diperantarai oleh leukosit mononuklear. Istilah tipe lambat digunakan untuk

19
membedakan respon seluler sekunder, yang muncul 48-72 jam setelah paparan

antigen, dari respon hipersensitif, yang umumnya muncul dalam waktu 12 menit

dari paparan antigen.5

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai

sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan

jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini

untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi

makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh

umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,

hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat

kronis (Delayed Type Hipersensitivity, DTH).5

Gambar 2.12Delay-type hypersensitivity

20
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T,

termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini

dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui

terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa

penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus

maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+.

Hipersensitivitas tipe IV melibatkan interaksi antara sel limfosit T dengan

antigen yang mengaktifkan sekresi sitokin dan pembentukan granuloma sehingga

dapat terjadi fibrosis dan jaringan nekrosis.3

Gambar 2.13 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe IV. A. Sel T CD4+ T merespons


antigen di jaringan dengan menyekresi sitokin yang menstimulasi inflamasi dan
pengaktifan fagositosis, sehingga menyebabkan cedera jaringan. B. Pada beberapa
penyakit, sel CD8+ CTLs langsung membunuh sel atau jaringan yang terinfeksi.

21
Keterangan: APC, antigen-presenting cell; CTLs, cytotoxic T lymphocytes 3

Dua jenis sel limfosit T yang mampu bereaksi menyebabkan terjadinya

cedera jaringan dan penyakit yaitu yang pertama adalah sel limfosit T CD4+ dari

jenis TH1 dan TH17 melalui sitokin sebagai perantara inflamasi sehingga

mengaktifkan makrofag dan yang kedua adalah sel limfosit T CD8+ yang bersifat

sitotoksik.3

Reaksi inflamasi oleh sel limfosit CD4+

Tahap awal dari reaksi inflamasi yang diperantarai sel limfosit T ini dimulai

dari terpaparnya pertama kali sel limfosit T oleh antigen. Sel limfosit T CD4+

“naif” yang masih murni belum terpapar memori antigen, pertama kali mengenali

peptida antigen sendiri atau protein mikroorganisme melalui permukaan molekul

MHC kelas II pada permukaan sel dendrit atau makrofag.3

Jika sel dendrit memproduksi IL-12, sel limfosit “naif” tadi berdiferensiasi

menjadi sel efektor TH1. Sitokin IFN-γ, yang diproduksi sel NK sel TH1 itu sendiri,

akan meningkatkan diferensiasi TH1. Jika sel penyaji antigen memproduksi IL-1,

IL-6 atau IL-23 darpada IL-12, maka sel CD4+ berkembang menjadi sel efektor

TH17.3

Pada paparan berikutnya terhadap antigen, sel-sel efektor yang telah

diproduksi tadi bekerja menuju tempat yang terpapar antigen, yang diaktifkan oleh

sel penyaji antigen. Sel TH1 kemudian akan menyekresi IFN-γ, yang diketahui

sebagai sitokin paling potensial dalam mengaktifkan makrofag. Pengaktifan

22
makrofag ini akan meningkatkan fagositosis dan aktivitas mikrobisida.3

Pengaktifan makrofag ini juga diikuti peningkatan pembentukan molekul

MHC kelas II sehingga kapasitas fagositosis juga makin meningkat. Sel makrofag

kemudian menambah sekresi IL-12, sehingga makin menstimulasi respons sel

TH1.3

Sel efektor TH17 yang diaktifkan oleh antigen akan menyekresi IL-17 dan

beberapa sitokin lain untuk merekrut netrofil dan monosit, sehingga menstimulasi

inflamasi. Oleh karena sitokin-sitokin ini diproduksi sel limfosit T yang juga

semakin merekrut dan mengaktifkan lekosit, maka reaksi inflamasi ini dapat mejadi

kronis kecuali siklus ini diintervensi secara terapeutik.3

Pada kenyataannya, inflamasi timbul sebagai respons awal terhadap

mikroorganisme penyebab penyakit dan sel nekrosis, tetapi ketika ada keterlibatan

sel limfosit T maka akan terjadi peningkatan inflamasi dengan waktu yang lebih

lama.3

Reaksi sitotoksik yang diperantarai sel limfosit T CD8+

Molekul MHC kelas I akan berikatan dengan peptida antigen intraseluler

dan menyajikannya kepada sel limfosit CD8+. Kejadian ini menstimulasi

diferensiasi sel limfosit CD8+ menjadi sel efektor yang disebut sel limfosit

sitotoksik (CTLs).3

Sel limfosit sitotoksik berperan penting terhadap resistansi infeksi virus dan

beberapa tumor. Prinsip mekanisme sitotoksik dari sel limfosit jenis ini tergantung

dari sistem perforin–granzim. Perforin dan granzim disimpan di dalam granula sel

23
sitotoksik dan dengan cepat akan dilepaskan ketika sel ini menemukan sel targetnya

melalui ikatan dengan molekul MHC kelas I tadi.3

Perforin berikatan dengan membran plasma sel target dan menstimulasi

masuknya granzim ke dalam sel target. Granzim sebagai enzim protease akan

mengaktifkan caspase (cysteine-aspartic protease atau cysteine-dependent

aspartate) seluler sehingga menstimulasi kematian atau apoptosis dari sel target.3

Gambar 2.14 Rangkaian Waktu Hipersensitivitas Tipe IV 9

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori

berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.

Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

24
Gambar 2.15 Hipersensitivitas Tipe IV dalam respon alergi 9

Tiga jenis DHR dapat membedakan satu sama lain sesuai dengan reaktivitas

kulit yang mereka hasilkan setelah antigen dioleskan secara epikutan atau

intradermal. Besarnya reaksi dapat dinilai pada hewan dengan mengukur penebalan

kulit, yang bersifat lokal tetapi juga sistemik seperti sintesis sitokin dan pembelahan

sel-T.

Delay-type hypersensitivity (DTH), dijelaskan selanjutnya, adalah model

ilustrasi peradangan yang dimediasi sel T dan cedera jaringan. Reaksi yang sama

adalah dasar yang mendasari beberapa penyakit.

Untuk hipersensitif tipe tertunda, ada tiga varian hipersensitivitas tertunda

seperti yang tercantum di bawah ini dan waktu reaksi maksimalnya muncul dalam

tanda kurung:

• Kontak (48 hingga 72 jam)

25
Dermatitis kontak adalah contoh dari cedera jaringan akibat peradangan yang

dimediasi sel T. Ini ditimbulkan oleh kontak dengan pentadecylcatechol (juga

dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy dan poison oak, yang

mungkin menjadi antigenik dengan mengikat protein inang).

Gambar 2.16 Reaksi hipersensitivitas (D) Tipe IV. Jenis reaksi ini tidak dimediasi
oleh antibodi. Delay-type hypersensitivity dimediasi terutama oleh limfosit T
(imunitas yang diperantarai sel)

Gambar 2.17 Hipersensitivitas Dermatitis Kontak9

26
Pada dermatitis kontak, antigen kecil yang disebut haptens menembus kulit

dan bergabung dengan protein jaringan dan memediasi reaksi imun. Sel Langerhans

adalah sel penyaji antigen utama yang terlibat dalam pengenalan kompleks protein

jaringan-hapten dan presentasi mereka pada sel T. Juga, keratinosit, yang

mengekspresikan molekul MHC kelas II dan molekul adhesi antar-1 (ICAM-1),

membuat sekelompok sitokin termasuk IL-1, IL-6, IL-8, antara lain yang membantu

dalam pembentukan kontak respon hipersensitivitas.10

Pada paparan ulang orang yang sebelumnya terpapar pada tanaman, sel-sel

TH1 CD4 + yang peka terakumulasi dalam dermis dan bermigrasi ke arah antigen

di dalam epidermis. Di sini mereka melepaskan sitokin yang merusak keratinosit,

menyebabkan pemisahan sel-sel ini dan pembentukan vesikel intraepidermal, dan

peradangan yang bermanifestasi sebagai dermatitis vesikular. Dermatitis kontak

bisa diakibatkan alergi dari nikel dan gigitan nyamuk.9

Gambar 2.18 Gambaran Klinis Hipersensitivitas Dermatitis Kontak

• Tuberkulin (48 hingga 72 jam)

27
Hipersensitivitas tipe tuberkulin, awalnya dijelaskan oleh Koch, terjadi

pada pasien dengan tuberkulosis (TB) atau mereka yang divaksinasi terhadap

tuberkulosis ketika mereka disuntikkan secara subkutan dengan tuberkulin

(produk yang berasal dari basil tuberkel). Mereka bereaksi dengan indurasi

kulit, pembengkakan, dan kemerahan.11 Antigen lain dari beberapa patogen

dapat menyebabkan reaksi yang serupa pada individu yang sensitif, termasuk

antigen dari Leishmania tropica dan Mycobacterium leprae.

• Granulomatosa (21 hingga 28 hari)

Hipersensitivitas tipe granulomatosa timbul dari persistensi dalam

makrofag patogen intraseluler atau zat lain yang tidak dapat diproses atau

dihancurkan sel. Ini terjadi pada berbagai antigen, termasuk berilium, bedak,

silika, di antaranya, di mana makrofag tidak dapat mencernanya. Pada

alveolitis alergi, APC tidak dapat memproses dan mengasimilasi kompleks

imun, dan granuloma berkembang. Penyakit lain adalah sarkoidosis, di mana

antigennya tidak diketahui tetapi menyebabkan pembentukan granuloma.12,13

Hipersensitivitas tipe granulomatosa timbul dari persistensi dalam

makrofag patogen intraseluler atau zat lain yang tidak dapat diproses atau

dihancurkan sel. Ini terjadi pada berbagai antigen, termasuk berilium, bedak,

silika, di antaranya, di mana makrofag tidak dapat mencernanya. Pada

alveolitis alergi, APC tidak dapat memproses dan mengasimilasi kompleks

imun, dan granuloma berkembang. Penyakit lain adalah sarkoidosis, di mana

antigennya tidak diketahui tetapi menyebabkan pembentukan granuloma.12,13

28
Beberapa penyakit sistemik, seperti diabetes tipe 1 dan multiple sclerosis,

disebabkan oleh reaksi TH1 dan TH17 terhadap antigen diri, dan penyakit Crohn

mungkin disebabkan oleh reaksi yang tidak terkontrol yang melibatkan sel T yang

sama tetapi diarahkan pada bakteri usus. Peradangan yang diperantarai sel T juga

berperan dalam penolakan transplantasi. 3

Tabel 2.4 Penyakit yang disebabkan Hipersensitivitas 4

Kehadiran granuloma mencirikan reaksi hipersensitivitas tertunda. APC

yang distimulasi oleh sel T tidak mampu mencerna antigen, dan mereka menjadi

sel raksasa berinti banyak. Dalam proses ini, banyak sitokin diproduksi, dan yang

paling penting adalah TNF-alpha dan beta, IL-2, dan GM-CSF. Penyakit yang

disebabkan oleh reaksi hipersensitif cenderung kronis. Beberapa di antaranya

adalah kusta, tuberkulosis, schistosomiasis, sarkoidosis, dan penyakit Crohn. Iritasi

kimia dapat diterapkan pada epidermis dan dapat menyebabkan ekspresi ELAM-1,

29
VCAM-1, dan ICAM-1 yang berlebihan, yang memediasi reaksi inflamasi yang

konsisten dengan reaksi hipersensitivitas yang tertunda.10,14

Tabel 2.5 Penyakit yang disebabkan Hipersensitivitas 4

Penyakit hipersensitifitas yang tertunda dapat berkembang pada manusia

karena mikobakteri, protozoa, dan jamur, walaupun pada penyakit granulomatosa

lain seperti penyakit Crohn, tidak ditemukan mikroba infeksius yang ditemukan.

Beberapa penyakit paling kritis termasuk kusta, TBC, schistosomiasis, sarkoidosis,

dan penyakit Crohn.15,13

Kusta dibagi secara klinis menjadi tiga jenis esensial: tuberkuloid, garis

batas, dan lepromatosa. Pada kusta tuberkuloid, kulit yang terkena memiliki

beberapa bercak hipopigmentasi yang jelas yang menunjukkan infiltrat epiteloid

tanpa mikroorganisme. Dalam pertunjukan lepromatosa, beberapa lesi kulit

konfluen ditandai oleh banyak basil. Kusta perbatasan menunjukkan temuan fisik

lainnya.16

30
TBC di paru-paru menyebabkan reaksi granulomatosa yang mengarah pada

kavitasi dan penyebaran bakteri. Ada area fibrosis luas yang bisa dilihat di rontgen

dada. Lesi ini biasanya granulomatosa. Schistosomiasis disebabkan oleh

schistosom, terbentuk reaksi granulomatosa yang dikembangkan dalam jaringan

yang dimediasi oleh limfosit Th2. Sarkoidosis adalah penyakit kronis dan idiopatik

di mana makrofag dan granuloma teraktivasi terakumulasi dalam banyak jaringan

bersama dengan fibrosis. Kondisi ini dapat ditandai dengan adanya pembesaran

kelenjar getah bening, yang dapat diidentifikasi dalam foto thoraks. Penyakit ini

dikaitkan dengan depresi imunitas yang diperantarai sel baik secara in vivo dan in

vitro. Tes TBC negatif pada penyakit ini. Manifestasi klinis termasuk

perkembangan granuloma di paru-paru, kelenjar getah bening, sistem saraf, tulang,

dan kulit dan berhubungan dengan demam, malaise, dan sesak napas karena fibrosis

paru-paru.

Penyakit Crohn adalah penyakit granulomatosa lain yang tidak disebabkan

oleh mikroorganisme. Granuloma menonjol. Ini adalah penyakit kronis yang

mempengaruhi ileum dan usus besar, dan di mana sel T-helper dan APC

terakumulasi di semua lapisan usus.16

Evaluasi

Reaksi-reaksi ini dapat didiagnosis dengan tes kulit hipersensitivitas

tertunda menggunakan antigen dan dikonfirmasi oleh penarikan anamnesa dan

pemeriksaan manifestasi klinis. Seorang pasien harus diuji dengan berbagai alergen

untuk membuktikan mana dari mereka yang menyebabkan masalah. Kultur

31
mikroorganisme dapat berguna dalam menunjukkan penyebab gangguan

hipersensitivitas tertunda, terutama untuk tuberkulosis (kultur sputum).

Histopatologi dapat menjadi sangat penting dalam membuat diagnosis reaksi atau

penyakit DH. Jaringan yang dicurigai dapat dibiopsi untuk membuktikan sifat

penyakit dan diobati sesuai kebutuhan. Pengujian imunologis harus dilakukan

secara rutin dan mencakup jumlah sel darah lengkap (CBC), subpopulasi sel T, uji

radioalergosorben (RAST), dan tes lain termasuk serologi, rontgen dada, radiografi

tubuh, dan juga ultrasonik diagnostik dan CT scan. 15,13

Perawatan / Manajemen

Perawatan HR tipe 4 bergantung pada penyebabnya. Obat yang paling

umum untuk mengobati tuberkulosis adalah isoniazid, rifampin, etambutol, dan

pirazinamid. Untuk TB yang resistan terhadap obat, kombinasi antibiotik seperti

amikacin, kanamycin, atau capreomycin selama 20 hingga 30 bulan harus

digunakan.16 Obat yang paling umum untuk mengobati kusta termasuk rifampisin

dan clofazimine dalam kombinasi dengan dapson untuk kusta multibasiler. Dosis

tunggal kombinasi antimikroba untuk menyembuhkan lesi lepra tunggal

paucibacillary terdiri dari ofloxacin (400 mg), rifampicin (600 mg), dan

minocycline (100 mg).16 Praziquantel dapat berguna untuk mengobati infeksi yang

disebabkan oleh semua spesies Schistosoma. Hydroxychloroquine dan chloroquine

dapat digunakan dalam terapi sarkoidosis yang melibatkan kulit, paru-paru, dan

sistem saraf. Penggunaan antibodi monoklonal anti-TNF seperti adalimumab dan

certolizumab telah disetujui untuk penyakit Crohn.

32
BAB III
KESIMPULAN

Reaksi hipersensitif adalah reaksi inflamasi yang berada diantara sistem

imun seluler atau humoral. Reaksi ini menyebabkan kerusakan jaringan yang luas

atau bahkan kematian. Keempat jenis reaksi hipersensitif menghasilkan

karakteristik molekul efektor dan manifestasi klinis.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Murphy K, Weaver C. Janeway’s Immunobiology. 9th ed. New York:

Garland Science Taylor and Francis Group; 2017. 601–637 p.

2. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Celullar and Molecular Immunology.

Ninth. Philadelphia: Elsevier; 2018. 417–427 p.

3. Kumar V, Abbas AK. Robbins and Cotran Pathologic Basic of Disease. 9th

ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.

4. Punt J, Stranford S. Kuby Immunology. 8th ed. WH Freeman; 2018. 361–

386 p.

5. Actor J. Elsevier’s Integrated Review Immunology and Microbiology.

Elsevier; 2012.

6. Parija SC. Textbook of Microbiology & Immunology 2nd ed. New Delhi,

India: Elsevier a division of Reed Elsevier India Private Limited.; 2012.

7. Hikmah N, Dewanti IDAR. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). Somat

(JKG Unej ). 2010;7(2):108–19.

8. Baratawidjadja KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Imunologi Dasar.

Edisi ke-7. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2014. 157–161 p.

9. Otagiri M, Giam Chuang VT, Immunobiology, Murphy K, Weaver C.

Janeway ’ S 9 Th Edition. America. 2017. 1–277 p.

10. Mortaz E, Rezayat F, Amani D, Kiani A, Garssen J, Adocock IM, et al. The

roles of T helper 1, T helper 17 and regulatory T cells in the pathogenesis of

sarcoidosis. Iran J Allergy, Asthma Immunol. 2016;15(4):334–9.

34
11. Pelzer PT, Mutayoba B, Cobelens FGJ. BCG vaccination protects against

infection with Mycobacterium tuberculosis ascertained by tuberculin skin

testing. J Infect. 2018;77(4):335–40.

12. Cho SN, Chatterjee D, Brennan PJ. A simplified serological test for leprosy

based on a 3,6-di-O-methylglucose-containing synthetic antigen. Am J Trop

Med Hyg. 1986;35(1):167–72.

13. Rana AP. Orofacial granulomatosis: A case report with review of literature.

J Indian Soc Periodontol. 2012;16(3):469–74.

14. Wang R, Zhong S, Tu P, Li R, Wang M. Rapid remission of Stevens–

Johnson syndrome by combination therapy using etanercept and intravenous

immunoglobulin and a review of the literature. Dermatol Ther.

2019;32(4):1–5.

15. Lambertucci JR, Drummond SC, Voieta I, De Queiróz LC, Pereira PPN,

Chaves BA, et al. An outbreak of acute schistosoma mansoni schistosomiasis

in a nonendemic area of Brazil: A report on 50 cases, including 5 with severe

clinical manifestations. Clin Infect Dis. 2013;57(1):1–6.

16. Vaillant AAJ, Zulfiqar H. Delayed Hypersensitivity Reactions. Statpearls;

2019.

35

Anda mungkin juga menyukai