PENDAHULUAN
melawan infeksi dan sangat penting untuk kesehatan. Antigen yang tidak terkait
dengan agen infeksi kadang-kadang menimbulkan respons imun adaptif, dan dapat
menyebabkan penyakit. Salah satu keadaan di mana ini terjadi adalah ketika
hipersensitivitas yang dikenal secara umum dengan reaksi alergi. Reaksi ini terjadi
sebagai respons terhadap 'lingkungan' yang pada dasarnya merupakan antigen yang
merupakan komponen dalam sistem imun yang berfungsi sebagai pelindung yang
respons imunologis diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi empat tipe
besar, berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.
1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
reaksi hipersensitivitas berasal dari suatu gagasan bahwa respons imun seseorang
yang “sensitif” terhadap antigen yang tidak berbahaya, seperti serbuk sari, makanan
serta obat-obatan.3 Reaksi ini diklasifikasikan menurut jenis respon imun dan
jenis, dan merupakan hasil dari abnormalitas beberapa penyebab, antara lain:2
sel T dan B yang bereaksi terhadap sel sendiri, yang disebut autoimunitas.
pada negara maju, dengan kelompok usia lebih sering pada rentang 20-40
timbulnya penyakit jika reaksi yang timbul berlebihan atau mikroba tersebut
2
persisten. Respon sel T terhadap mikroba persisten dapat menyebabkan
memicu inflamasi.
respon yang abnormal terhadap 1 atau lebih substansi tersebut. Individu ini
reaksi sel T yang mengarah pada inflamasi yang diperantarai oleh sitokin,
dalam molekul efektor yang dihasilkan dalam proses reaksi. Pada hipersensitif
immediate reaksi, isotipe antibodi yang berbeda menginduksi molekul efektor imun
pelepasan histamin dan molekul aktif biologis lainnya. Antibodi IgG dan IgM, di
3
sisi lain, memicu reaksi hipersensitif dengan mengaktifkan komplemen. Molekul
complement split seperti C3a, C4a, dan C5a. Pada reaksi delayed-type
jenis. X Tipe I-III antibody-mediated yang membedakan dengan jenis yang lain
dalam mengenali antigen dan kelas yang berbeda dari antibodi yang dilibatkan.5
Tipe-II dan III dengan media IgG, yang melibatkan mekanisme effector phagocytic
dan complement-mediated untuk berbagai tingkat, tergantung pada subklas lgG dan
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh faktor pencetus dari kompleks immun.
Suatu kategori khusus Tipe-II melibatkan respon antibodi lgG melawan permukaan
dalam tiga kelompok. Kelompok yang pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh
4
pengaktifan makrofag oleh sel TH 1, yang menyebabkan respon inflamasi.
respons oleh sel TH2, dan kelompok ketiga adalah kerusakan disebabkan secara
5
Reaksi hipersensitif tipe I diinduksi oleh tipe tertentu antigen, yang disebut
sebagai alergen, dan memiliki semua ciri khas respon humoral yang normal.
Alergen menginduksi respon antibodi humoral dengan mekanisme yang sama untuk
soluble antigen lainnya, yang dihasilkan dalam generasi sel plasma yang
mensekresi antibodi dan sel memori. Perbedaan respon tipe I hipersensitif dari
respon humoral normal, yaitu sel-sel plasma mensekresikan IgE. Kelas antibodi ini
mengikat dengan afinitas tinggi ke reseptor Fc pada permukaan sel mast jaringan
dan basofil darah. Sel mast dan basofil yang ditutupi IgE menjadi lebih peka.4
membran pada sel mast peka dan basofil, menyebabkan degranulasi sel-sel ini
(Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Mekanisme umum yang mendasari reaksi hipersensitif tipe I. Paparan
alergen mengaktifkan sel B untuk membentuk IgE yang mensekresi sel plasma.
Molekul IgE yang disekresikan berikatan dengan IgE spesifik Reseptor Fc pada sel
mast dan basofil darah. Paparan kedua terhadap alergen menyebabkan cross linking
6
IgE terikat, memicu pelepasan mediator yang aktif secara farmakologis, Amina
vasoaktif, dari sel mast dan basofil. Mediator menyebabkan kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan vasodilatasi.4
Mediator yang aktif secara farmakologis dilepaskan dari granula bekerja pada
jaringan di sekitarnya. Efek utama yaitu vasodilatasi dan kontraksi otot polos —
release.4 Kejadian ini biasanya berlangsung dalam jangka waktu 2-8 jam setelah
Gambar 2.3 Dua tahap reaksi hipersensitivitas tipe I. A. Kinetik dari tahap respons
cepat dan respons terlambat. B–C, Morfologi: respons cepat (B) bercirikan
vasodilatasi, kongesti dan edema. Respons terlambat (C) bercirikan infiltrasi sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, netrofil dan sel T.3
berpotensi mengancam jiwa dan respons lokal seperti demam dan asma.
7
Gambar 2.4 Respon inflamasi cepat dan lambat pada asma. Sel-sel imun yang
terlibat dalam respon cepat dan lambat diilustrasikan di atas. Efek dari berbagai
8
Tabel 2.1 Alergi yang sering terjadi terkait hipersensitivitas tipe I4
Serangga
polong Salisilat
Buncis
Susu
terjadi sitolisis atau sitotoksik. Mekanisme pertama reaksi ini melibatkan ikatan
IgG atau IgM dengan antigen yang mengaktifkan komplemen melalui jalur
cytotoxicity (ADCC) (Gambar 2.5) yang distimulasi sel natural killer (NK), melalui
reseptor Fc, saat mengenali IgG yang berikatan dengan antigen. Kejadian ini
9
menyebabkan pelepasan perforin dan sitolisis.5
Netrofil, eosinofil dan makrofag juga bisa berpartisipasi pada ADCC ini.
Ketika sel-sel yang bersirkulasi, seperti eritrosit atau platelet, diopsonisasi oleh
fagositosis oleh netrofil dan makrofag. Proses fagosit ini diekspresikan melalui
reseptor Fc pada IgG untuk berikatan dan memakan partikel yang telah diopsonisasi
tadi.3
10
Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat kompleks imun antigen-antibodi
berupa kemotaksin sebagai sel inflamasi akut akan menyebabkan inflitrasi sel PMN
hipersensitivitas tipe III ini bisa terlihat pada penyakit rheumatoid arthritis,
kompleks imun. Pada keadaan normal, kompleks imun ini dihilangkan oleh
fagositosis sel PMN yang bekerja sama dengan sel darah merah. Kemampuan
sistem imun dalam menghilangkan kompleks imun ini dapat melebihi toleransi
ambang batas ketika terjadi infeksi persisten, penyakit autoimun serta terus-
kompleks imun. Pada keadaan normal, kompleks imun ini dihilangkan oleh
fagositosis sel PMN yang bekerja sama dengan sel darah merah. Kemampuan
sistem imun dalam menghilangkan kompleks imun ini dapat melebihi toleransi
ambang batas ketika terjadi infeksi persisten, penyakit autoimun serta terus-
11
Gambar 2.6 Ilustrasi Hipersensitivitas Tipe III. Penimbunan kompleks imun di
dasar pembuluh darah menyebabkan agregasi platelet, fiksasi komplemen dan
inflitrasi sel PMN. Mediator inflamasi yang dilepaskan sel PMN menyebabkan
kerusakan jaringan, yang diperantarai pembentukan complement cascade
membrane attack complex (MAC) atau sitolisis melalui granula sitotoksik.
Keterangan: NK, natural killer; Ig, immunoglobulin5
darah, membran sinovial sendi, dasar membran glomerulus ginjal dan pleksus
koroid otak.6
itu sendiri, tetapi pada beberapa kasus seperti yang telah disebutkan sebelumya,
12
fagositosis tidak dapat mencapai tempat-tempat tersebut sehingga menyebabkan
terjadinya penyakit.6
13
Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya
komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease
Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil (yang berada
dalam darah) dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen.
14
Gambar 2.11 Kerusakan Jaringan akibat Deposit Immun Complex
tersimpan dalam pembuluh darah, atau kompleks tersebut dapat terbentuk di lokasi
di mana antigen telah ditanam (kompleks imun in situ). Cedera yang dimediasi
kompleks imun bersifat sistemik ketika kompleks terbentuk dalam sirkulasi dan
ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan disimpan di lokasi
tertentu.3
Lokasi pengendapan imun patogen yang disukai adalah ginjal, sendi, dan
sebagian disebabkan oleh tekanan hemodinamik yang tinggi terkait dengan fungsi
sirkulasi dan deposit di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah juga harus terjadi. Hal ini mungkin dipicu ketika
kompleks imun berikatan dengan leukosit dan sel mast melalui reseptor Fc dan C3b
15
dan merangsang pelepasan mediator yang meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah. Setelah kompleks disimpan dalam jaringan, fase ketiga, reaksi peradangan,
terjadi. Selama fase ini (sekitar 10 hari setelah pemberian antigen), gambaran klinis
proteinuria muncul.
fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang
neutrofil dan monosit. Imun kompleks juga mengikat reseptor Fc pada neutrofil dan
monosit, mengaktifkan sel-sel ini. Upaya fagositosis imun kompleks oleh leukosit
peptida vasodilator, dan zat kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu
mencerna membran dasar, kolagen, elastin, dan tulang rawan, dan spesies oksigen
reaktif yang merusak jaringan. Imun kompleks juga dapat menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktifkan faktor Hageman. kedua reaksi ini menambah proses
cedera jaringan dengan menghasilkan iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan
disebut vaskulitis jika terjadi di pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada
glomeruli ginjal, radang sendi jika terjadi pada persendian, dan sebagainya. Dapat
diprediksi, kelas antibodi yang menginduksi lesi tersebut adalah antibodi pelengkap
(mis., IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc fagosit (IgG).
16
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
2. Demam
4. Limfadenopati
6. Neuritis optik
7. Glomerulonefritis
lain.
agregat, muatan, hidrofobik, dll.), lokasi cedera yang umum adalah ginjal, kulit, dan
selaput lendir. Hipersensitivitas tipe III sering terjadi pada systemic lupus
17
hipersensitivitas tipe II dan III dengan pembentukan immunocomplexes in situ.3
Berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas dibentuk Ig yang memberikan
streptococus bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung tulang rawan dan
18
b. Artritis reumatoid (FR) adalah anti IgG yang berupa IgM yang dapat mengikat
c. Infeksi lain, pada beberapa penyakit infeksi seperti malaria, virus, lepra, antigen
tempat.
d. Penyakit akibat kerja, farmer’s lung adalah contoh reaksi Tipe III. Pada orang
pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah pajanan. Orang tersebut
III pulmoner yang sejenis adalah: Pigeon breeder’s, Cheese washer’s disease,
19
membedakan respon seluler sekunder, yang muncul 48-72 jam setelah paparan
antigen, dari respon hipersensitif, yang umumnya muncul dalam waktu 12 menit
sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
20
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T,
termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini
terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa
penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus
21
Keterangan: APC, antigen-presenting cell; CTLs, cytotoxic T lymphocytes 3
cedera jaringan dan penyakit yaitu yang pertama adalah sel limfosit T CD4+ dari
jenis TH1 dan TH17 melalui sitokin sebagai perantara inflamasi sehingga
mengaktifkan makrofag dan yang kedua adalah sel limfosit T CD8+ yang bersifat
sitotoksik.3
Tahap awal dari reaksi inflamasi yang diperantarai sel limfosit T ini dimulai
dari terpaparnya pertama kali sel limfosit T oleh antigen. Sel limfosit T CD4+
“naif” yang masih murni belum terpapar memori antigen, pertama kali mengenali
Jika sel dendrit memproduksi IL-12, sel limfosit “naif” tadi berdiferensiasi
menjadi sel efektor TH1. Sitokin IFN-γ, yang diproduksi sel NK sel TH1 itu sendiri,
akan meningkatkan diferensiasi TH1. Jika sel penyaji antigen memproduksi IL-1,
IL-6 atau IL-23 darpada IL-12, maka sel CD4+ berkembang menjadi sel efektor
TH17.3
diproduksi tadi bekerja menuju tempat yang terpapar antigen, yang diaktifkan oleh
sel penyaji antigen. Sel TH1 kemudian akan menyekresi IFN-γ, yang diketahui
22
makrofag ini akan meningkatkan fagositosis dan aktivitas mikrobisida.3
MHC kelas II sehingga kapasitas fagositosis juga makin meningkat. Sel makrofag
TH1.3
Sel efektor TH17 yang diaktifkan oleh antigen akan menyekresi IL-17 dan
beberapa sitokin lain untuk merekrut netrofil dan monosit, sehingga menstimulasi
inflamasi. Oleh karena sitokin-sitokin ini diproduksi sel limfosit T yang juga
semakin merekrut dan mengaktifkan lekosit, maka reaksi inflamasi ini dapat mejadi
mikroorganisme penyebab penyakit dan sel nekrosis, tetapi ketika ada keterlibatan
sel limfosit T maka akan terjadi peningkatan inflamasi dengan waktu yang lebih
lama.3
diferensiasi sel limfosit CD8+ menjadi sel efektor yang disebut sel limfosit
sitotoksik (CTLs).3
Sel limfosit sitotoksik berperan penting terhadap resistansi infeksi virus dan
beberapa tumor. Prinsip mekanisme sitotoksik dari sel limfosit jenis ini tergantung
dari sistem perforin–granzim. Perforin dan granzim disimpan di dalam granula sel
23
sitotoksik dan dengan cepat akan dilepaskan ketika sel ini menemukan sel targetnya
masuknya granzim ke dalam sel target. Granzim sebagai enzim protease akan
aspartate) seluler sehingga menstimulasi kematian atau apoptosis dari sel target.3
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
24
Gambar 2.15 Hipersensitivitas Tipe IV dalam respon alergi 9
Tiga jenis DHR dapat membedakan satu sama lain sesuai dengan reaktivitas
kulit yang mereka hasilkan setelah antigen dioleskan secara epikutan atau
intradermal. Besarnya reaksi dapat dinilai pada hewan dengan mengukur penebalan
kulit, yang bersifat lokal tetapi juga sistemik seperti sintesis sitokin dan pembelahan
sel-T.
ilustrasi peradangan yang dimediasi sel T dan cedera jaringan. Reaksi yang sama
seperti yang tercantum di bawah ini dan waktu reaksi maksimalnya muncul dalam
tanda kurung:
25
Dermatitis kontak adalah contoh dari cedera jaringan akibat peradangan yang
dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy dan poison oak, yang
Gambar 2.16 Reaksi hipersensitivitas (D) Tipe IV. Jenis reaksi ini tidak dimediasi
oleh antibodi. Delay-type hypersensitivity dimediasi terutama oleh limfosit T
(imunitas yang diperantarai sel)
26
Pada dermatitis kontak, antigen kecil yang disebut haptens menembus kulit
dan bergabung dengan protein jaringan dan memediasi reaksi imun. Sel Langerhans
adalah sel penyaji antigen utama yang terlibat dalam pengenalan kompleks protein
membuat sekelompok sitokin termasuk IL-1, IL-6, IL-8, antara lain yang membantu
Pada paparan ulang orang yang sebelumnya terpapar pada tanaman, sel-sel
TH1 CD4 + yang peka terakumulasi dalam dermis dan bermigrasi ke arah antigen
27
Hipersensitivitas tipe tuberkulin, awalnya dijelaskan oleh Koch, terjadi
pada pasien dengan tuberkulosis (TB) atau mereka yang divaksinasi terhadap
(produk yang berasal dari basil tuberkel). Mereka bereaksi dengan indurasi
dapat menyebabkan reaksi yang serupa pada individu yang sensitif, termasuk
makrofag patogen intraseluler atau zat lain yang tidak dapat diproses atau
dihancurkan sel. Ini terjadi pada berbagai antigen, termasuk berilium, bedak,
makrofag patogen intraseluler atau zat lain yang tidak dapat diproses atau
dihancurkan sel. Ini terjadi pada berbagai antigen, termasuk berilium, bedak,
28
Beberapa penyakit sistemik, seperti diabetes tipe 1 dan multiple sclerosis,
disebabkan oleh reaksi TH1 dan TH17 terhadap antigen diri, dan penyakit Crohn
mungkin disebabkan oleh reaksi yang tidak terkontrol yang melibatkan sel T yang
sama tetapi diarahkan pada bakteri usus. Peradangan yang diperantarai sel T juga
yang distimulasi oleh sel T tidak mampu mencerna antigen, dan mereka menjadi
sel raksasa berinti banyak. Dalam proses ini, banyak sitokin diproduksi, dan yang
paling penting adalah TNF-alpha dan beta, IL-2, dan GM-CSF. Penyakit yang
kimia dapat diterapkan pada epidermis dan dapat menyebabkan ekspresi ELAM-1,
29
VCAM-1, dan ICAM-1 yang berlebihan, yang memediasi reaksi inflamasi yang
lain seperti penyakit Crohn, tidak ditemukan mikroba infeksius yang ditemukan.
Kusta dibagi secara klinis menjadi tiga jenis esensial: tuberkuloid, garis
batas, dan lepromatosa. Pada kusta tuberkuloid, kulit yang terkena memiliki
konfluen ditandai oleh banyak basil. Kusta perbatasan menunjukkan temuan fisik
lainnya.16
30
TBC di paru-paru menyebabkan reaksi granulomatosa yang mengarah pada
kavitasi dan penyebaran bakteri. Ada area fibrosis luas yang bisa dilihat di rontgen
yang dimediasi oleh limfosit Th2. Sarkoidosis adalah penyakit kronis dan idiopatik
bersama dengan fibrosis. Kondisi ini dapat ditandai dengan adanya pembesaran
kelenjar getah bening, yang dapat diidentifikasi dalam foto thoraks. Penyakit ini
dikaitkan dengan depresi imunitas yang diperantarai sel baik secara in vivo dan in
vitro. Tes TBC negatif pada penyakit ini. Manifestasi klinis termasuk
dan kulit dan berhubungan dengan demam, malaise, dan sesak napas karena fibrosis
paru-paru.
mempengaruhi ileum dan usus besar, dan di mana sel T-helper dan APC
Evaluasi
pemeriksaan manifestasi klinis. Seorang pasien harus diuji dengan berbagai alergen
31
mikroorganisme dapat berguna dalam menunjukkan penyebab gangguan
Histopatologi dapat menjadi sangat penting dalam membuat diagnosis reaksi atau
penyakit DH. Jaringan yang dicurigai dapat dibiopsi untuk membuktikan sifat
secara rutin dan mencakup jumlah sel darah lengkap (CBC), subpopulasi sel T, uji
radioalergosorben (RAST), dan tes lain termasuk serologi, rontgen dada, radiografi
Perawatan / Manajemen
digunakan.16 Obat yang paling umum untuk mengobati kusta termasuk rifampisin
dan clofazimine dalam kombinasi dengan dapson untuk kusta multibasiler. Dosis
paucibacillary terdiri dari ofloxacin (400 mg), rifampicin (600 mg), dan
minocycline (100 mg).16 Praziquantel dapat berguna untuk mengobati infeksi yang
dapat digunakan dalam terapi sarkoidosis yang melibatkan kulit, paru-paru, dan
32
BAB III
KESIMPULAN
imun seluler atau humoral. Reaksi ini menyebabkan kerusakan jaringan yang luas
33
DAFTAR PUSTAKA
3. Kumar V, Abbas AK. Robbins and Cotran Pathologic Basic of Disease. 9th
386 p.
Elsevier; 2012.
6. Parija SC. Textbook of Microbiology & Immunology 2nd ed. New Delhi,
10. Mortaz E, Rezayat F, Amani D, Kiani A, Garssen J, Adocock IM, et al. The
34
11. Pelzer PT, Mutayoba B, Cobelens FGJ. BCG vaccination protects against
12. Cho SN, Chatterjee D, Brennan PJ. A simplified serological test for leprosy
13. Rana AP. Orofacial granulomatosis: A case report with review of literature.
2019;32(4):1–5.
15. Lambertucci JR, Drummond SC, Voieta I, De Queiróz LC, Pereira PPN,
2019.
35