Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PRAKTIKUM 6

HIPERSENSITIVITAS TIPE I, II, III, IV

DISUSUN OLEH

SALMA UMI RAFIAH (31102000071)


SELMA KARENINA AISYAH (31102000078)
DHIMAS PRIYO AJI PRAYOGA (31102000095)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................2
PENDAHULUAN..........................................................................................................2
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................3
C. TUJUAN..........................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. Reaksi Hipersensitivitas...............................................................................3
B. Penyebab Hipersensitivitas.........................................................................4
C. Klasifikasi Hipersensitivitas.........................................................................4
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I.................................................................4
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II................................................................9
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III.............................................................12
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV.............................................................12
BAB III........................................................................................................................13
KESIMPULAN............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi oleh
imunoglobulin E (IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan
sel mast atau sel basofil. Ketika antigen terikat, terjadi silang molekul IgE, sel mast
dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin, leukotrein, kinin,
Plateletes Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari hipersensitivitas, dimana
histamin merupakan penyebab utama berbagai macam alergi. Reaksi hipersensivitas
merupakan reaksi imun yang dapat menimbulkan cedera jaringan. Reaksi
hipersensivitas dapat disebut juga sebagai refleksi dari system imun yang
berlebihan. Berdasarkan mekanisme imunologis utama yang bertanggung jawab
pada cedera jaringan dan penyakit, reaksi hipersensivitas dibedakan menjadi
hipersensivitas I, II, III dan IV.
Pada Hipersensivitas I melibatkan Immunoglobulin E (IgE) sedangkan pada
hipersensitivitas II melibatkan imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M (IgM).
Pada hipersensivitas III ia merupakan hipersensivitas kompleks imun karena adanya
pengendapan kompleka antigen-antibodi terlarut di dalam jaringan. Serta untuk
hipersensivitas IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel karena
reaksi ini terjadi akibat aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari hipersensitivitas ?
2. Apa penyebab dari hipersensitivitas ?
3. Bagaimana klasifikasi dari hipersensitivitas beserta gambaran klinis dan patologis
utama dari penyakit yang disebabkan oleh masing-masing reaksi tersebut ?

C. TUJUAN
1. Dapat mengetahui pengertian dari hipersensitivitas
2. Dapat mengetahui penyebab dari hipersensitivitas
3. Dapat mengetahui patofisiologi dari hipersensitivitas
4. Dapat mengetahui manifestasi klinis dari hipersensitivitas

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas adalah respon imun terhadap adanya suatu antigen dan
menyebabkan sensitivitas terhadap keberadaan antigen tersebut.Reaksi
hipersensitivitas juga dapat diartikan sebagai refleksi dari sistem imun yang
berlebihan.Reaksi hipersensitivitas ini dapat terjadi pada dua situasi.Pertama,reaksi
hipersensitivitas ini terjadi sebagai respon imun terhadap antigen asing yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan ,khususnya bila reaksinya terjadi secara berulang dan
tidak terkontrol.Kedua,reaksi hipersensitivitas ini terjadi sebagai respon imun terhadap
self-antigen (autolog) sebagai akibat kegagalan toleransi diri sendiri (self-tolerance)
(Abbas, 2016)

B. Penyebab Hipersensitivitas
Hipersensitivitas biasanya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara
mekanisme efektor respon imun dan mekanisme kontrol yang berfungsi
membatasi respon-respon secara normal. Namun, banyak reaksi
hipersensitivitas diduga penyebab utamanya adalah kegagalan regulasi normal.

C. Klasifikasi Hipersensitivitas
Berdasarkan mekanisme imunologis utama yang bertanggung jawab pada cedera
jaringan dan penyakit,reaksi hipersensitivitas ini diklasifikan menjadi :
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensivitas tipe I merupakan tipe reaksi patologis yang disebabkan oleh
pelepasan mediator-mediator dari sel mast. Reaksi ini kebanyakan dipicu oleh
produksi antibody IgE terhadap antigen lingkungan dan ikatan IgE dengan sel mast
pada berbagai jaringan. Reaksi hipersensivitas I mengakibatkan paling banyak reaksi
alergi seperti demam, asma, dermatitis atopik, dan alergi makanan.
Mekanisme yang mendasari reaksi hipersensitivitas tipe I
Paparan alergen mengaktifkan Sel TH2 yang merangsang sel B untuk membentuk sel
plasma yang mensekresi IgE. Molekul IgE yang disekresikan berikatan dengan
reseptor Fc spesifik IgE (Fc RI) pada sel mast dan basofil darah.
Paparan kedua alergen menyebabkan ikatan silang dari IgE yang terikat, memicu
pelepasan mediator aktif secara farmakologis (amina vasoaktif) dari sel mast dan

4
basofil. Mediator menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dan vasodilatasi

IgE mengikat dua reseptor yang berbeda :


1) Fc RI berafinitas tinggi
Fc RI berafinitas tinggi yang bertanggung jawab atas sebagian besar gejala yang
berkaitan dengan alergi. Peran Fc RI pada hipersensitivitas tipe I terbukti resisten
terhadap respon alergi lokal dan sistemik, meskipun memiliki jumlah sel mast
yang normal. Sel mast dan basofil mengekspresikan reseptor Fc RI, yang
mengikat IgE. Eosinofil, sel Langerhans, monosit, dan trombosit juga
mengekspresikan Fc RI, meskipun pada tingkat yang lebih rendah. Sebagian
besar sel mengekspresikan bentuk tetramerik dari Fc RI, termasuk satu rantai dan
dua disulfi identik de-linked rantai (Gambar 15-3a). Sedangkan, Monosit dan
trombosit mengekspresikan bentuk alternatif yang tidak memiliki rantai.
2) Fc RII atau CD23 berafinitas lebih rendah,
Fc RII berafinitas lebih rendah yang mengatur produksi IgE oleh sel B. CD23a
ditemukan pada sel B yang diaktifkan, sedangkan CD23b diinduksi pada berbagai
sel jenis oleh sitokin IL-4. Fc RII. Fc RII terdiri dari rantai tunggal karena
merupakan protein transmembran tipe II,berorientasi pada membran dengan
ujung NH2-nya mengarah ke interior sel dan ujung COOH-nya mengarah ke
ruang ekstraseluler

5
Aktivasi sel mast dan Sekresi Mediator pada hipersensivitas I
Antibody IgE dihasilkan sebagai respons terhadap allergen yang berikatan
dengan resptor Fc berafinitas tinggi spesifik untuk rantai berat yang diekspresikan
pada sel mast. Oleh karena itu pada individu atopic, sel mast diselubungi oleh
antibody IgE spesifik. Proses penyelubungan sel mast oleh IgE disebut
sensitisasi.
Rangsangan yang berbeda mengaktifkan sel mast untuk mengeluarkan jumlah
atau jenis produk yang berbeda. Sel mast yang teraktivasi segera melepaskan
mediator inflamasi terkait granula (termasuk histamin, protease, dan heparin) dan
diinduksi untuk menghasilkan mediator lipid (seperti leukotrien dan prostaglandin),
kemokin, sitokin, dan faktor pertumbuhan (beberapa di antaranya juga dapat
dikemas dalam butiran). Mediator ini bekerja pada jenis sel yang berbeda, dan
memiliki efek akut dan kronis. Ketika diproduksi dalam jangka waktu yang lama,
mediator sel mast memiliki pengaruh yang signifikan pada struktur jaringan
dengan meningkatkan proliferasi fibroblas dan sel epitel, meningkatkan produksi
dan deposisi kolagen dan protein jaringan ikat lainnya, merangsang pembentukan
pembuluh darah, dan banyak lagi.

6
Mediator utama yang terlibat dalam hipersensivitas I
Manifestasi yang bervariasi dari hipersensitivitas tipe I pada jaringan dan spesies
yang berbeda mencerminkan variasi dari mediator primer dan sekunder yang ada
Mediator Efek
Utama
Histamin, heparin Peningkatan permeabilitas pembuluh darah; kontraksi
otot polos
Serotonin Peningkatan permeabilitas pembuluh darah; kontraksi
oto polos
Faktor kemotaksis eosinofil Keomotaksis eosinophil
(ECF-A)
Faktor kemotaksis neutrofil Kemotaksis neutrophil
(NCF-A)
Protease (triptase, kimase) Sekresi lendir bronkus; degradasi membran basal
pembuluh darah; generasi produk split komplemen
Sekunder
Faktor pengaktif trombosit Agregasi dan degranulasi trombosit; kontraksi otot
polos paru
Leukotrien (zat anafilaksis Peningkatan permeabilitas pembuluh darah; kontraksi
yang reaktif lambat, SRS-A) otot polos paru
Prostaglandin Vasodilatasi; kontraksi otot polos paru; agregasi platelet
Bradykinin Peningkatan permeabilitas vaskular; kontraksi otot
polos
Sitokin
IL-1 dan TNF Peningkatan permeabilitas vaskular; kontraksi otot
polos
IL-4 dan IL-13 Peningkatan produksi IgE
IL-5,TGF-, dan GM-CSF  IL-5 : sangat penting dalam perekrutan dan aktivasi
eosinophil
 TNF- : yang disekresikan oleh sel mast dapat
menyebabkan syok pada anafilaksis sistemik
 GM-CSF : merangsang produksi dan aktivasi sel
myeloid, termasuk granulosit dan makrofag.

Kategori Reaksi Hipersensitivitas Tipe I


1) Anafilaksis sistemik

7
Anafilaksis sistemik adalah keadaan seperti syok dan seringkali fatal yang terjadi
dalam beberapa menit setelah terpapar alergen. Biasanya dimulai oleh alergen
yang masuk langsung ke aliran darah atau diserap dari usus atau kulit. Gejalanya
meliputi sesak napas, penurunan tajam tekanan darah diikuti oleh kontraksi otot
polos yang menyebabkan defekasi, urinasi, dan konstriksi bronkiolus. Epinefrin
merupakan obat pilihan untuk mengobati reaksi anafilaksis sistemik.
2) Reaksi Hipersensitivitas Lokal
Pada reaksi hipersensitivitas lokal (atopi), mencakup berbagai gangguan yang
dimediasi IgE, seperti rinitis alergi (hay fever), asma, dermatitis atopik (eksim),
dan alergi makanan. Cross-linking reseptor IgE menginduksi pelepasan histamin
dan heparin dari sel mast, yang kemudian menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas kapiler,

Respon hipersensitivitas tipe I


Respon hipersensitivitas tipe I dibagi menjadi :
1) respon awal segera
Respon awal terjadi dalam beberapa menit setelah paparan allergen. Beberapa
jam setelahnya, respon awal akan mulai mereda,dan mediator yang dilepaskan
selama reaksi akan menginduksi peradangan lokal, yang disebut reaksi fase
akhir.
2) Respon akhir
Respon akhir terjadi setelah respon awal mulai mereda.biasanya terjadi dalam
beberapa jam. Yang berperan dalam respon akhir :
A. Eosinofil
Eosinofil memainkan peran utama dalam reaksi fase akhir. Faktor kemotaksis
eosinofil, yang dilepaskan oleh sel mast selama reaksi awal, menarik sejumlah
besar eosinofil ke tempat yang terkena. Hal ini menyebabkan degranulasi dan
pelepasan lebih lanjut dari mediator inflamasi yang berkontribusi pada
kerusakan jaringan yang luas.
B. Neutrophil
Neutropil juga berperan dalam reaksi fase akhir. Neutrophil tertarik ke tempat
reaksi tipe I yang sedang berlangsung oleh faktor kemotaksis neutrofil yang
dilepaskan dari sel mast yang mengalami degranulasi. Setelah diaktifkan,
neutrofil melepaskan isi granulanya. Degranulasi eosinofil dan neutrofil
selanjutnya menambah kerusakan jaringan yang cukup besar di tempat kontak
alergen awal.

8
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II dalam proses penghancuran sel akan diperantarai oleh
antibody kecuali IgE.Antibodi yang terikat pada permukaan sel antigen dapat
menginduksi kematian dari sel tersebut melalui 3 mekanisme yang berbeda :
 Antibodi akan memediasi penghancuran sel dengan mengaktifkan sistem
komplemen dan membentuk pori-pori dibagian membrane sel antigen
 Antibodi akan memediasi penghancuran sel dengan ADCC (antibody
dependent cell mediated cytotoxicity),dimana sel sitotoksik yang memiliki FC
receptor akan berikatan dengan FC region antibody pada sel target dan
mendorong terjadinya pembunuhan sel
 Antibodi yang berikatan dengan sel antigen juga dapat berfungsi sebagai
opsonin yang akan memungkinkan sel fagosit berikatan sengan FC reseptor
atau C3B untuk mengikat dan memfagositosis sel antigen dengan cara
melapisinya dengan antibody
Berikut ini adalah 3 contoh reaksi hipersensitivitas tipe II :
a) Reaksi Transfusi
Beberapa protein dan glikoprotein pada membrane sel darah merah
dikodekan oleh gen dengan beberapa allelic.Seorang individu dengan allele
tertentu dari golongan darah antigen akan dikenali sebagai allelic lain pada
transfusi darah sebagai benda asing dan akan mengaktifkan respon dari
antibody.Tipe golongan darah dikenal sebagai A,B atau O dan antigen yang
berhubungan dengan tipe golongan darah dikenal sebagai A,B dan H.
Antibodi yang bereaksi dengan ABH antigen disebut dengan
isohemagglutinin.Apabila pada individu dengan golongan darah A

9
ditransfusikan darah dengan golongan darah B maka akan terjadi reaksi
transfusi, dimana isohemaglutinin anti-B yang sudah ada sebelumnya
berikatan dengan sel darah B dan akan memediasi penghancuran secara lisis
yang diperantarai oleh komplemen.Manifestasi klinis dari reaksi transfusi ini
merupakan hasil dari massive intravascular hemolysis yang ditransfusikan
oleh antibody plus komplemen.Manifestasi ini dapat bersifat langsung maupun
lambat.
Reaksi yang bersifat langsung ini terjadi karena transfusi darah yang
inkompabilitas terhadap golongan darah ABO, yang menyebabkan lisis yang
dimediasi oleh komplemen dan dipicu oleh isohematoglutinin IgM.Dalam
beberapa jam hemoglobin bebas dapat dideteksi di dalam plasma,ia akan
disaring oleh ginjal dan menghasilkan hemoglobinuria.Sebagai hemoglobin
yang terdegradasi,komponen porphyrin akan dimetabolisme menjadi
bilirubin,yang mana pada jumlah yang banyak dapat menjadi racun bagi suatu
organisme dan kasus tersebut disebut dengan bilirubinemia.Gejala khas
akibat bilirubinemia diantaranya demam,menggigil,mual,pembekuan dalam
pembuluh darah,nyeri pada punggung bagian bawah dan adanya hemoglobin
didalam urin.Penanganan yang dapat dilakukan terhadap kasus ini
diantaranya segera menghentikan proses transfusi darah serta mengontrol
laju urin dengan menggunakan diuretic karena adanya hemoglobin didalam
ginjal dapat menyebabkan terjadinya necrosis tubular akut.
Reaksi hipersensitivitas yang bersifat lambat terjadi karena mendapat transfusi
yang kompatibel terhadap golongan darah ABO namun inkompatibel terhadap
faktor lainnya seperti faktor Rh yang mungkin terjadi akibat transfusi darah
berulang karena adanya perbedaan allelic ini dapat merangsang produksi dari
antibody terutama IgG.Reaksi terjadi antara 2 hingga 6 hari pasca
transfusi.Hal ini disebabkan karena IgG ini kurang efektif apabila dibandingkan
dengan IgG dalam mengaktivasi komplemen,sehingga lisis yang dimediasi
oleh komplemen dari sel darah merah yang ditransfusikan tidak
lengkap.Hemoglobin bebas biasanya tidak terdeteksi baik dalam plasma
maupun urin pada reaksi ini.Sebaliknya,tidak sedikit sel yang ditransfusikan ini
dihancurkan pada bagian ekstravaskular melalui aglutinasi,opsonisasi dan
selanjutnya akan difagositosis oleh makrofag.Gejala dari reaksi himolitik
susulan ini diantaranya meliputi demam,peningkatan bilirubin,icterus ringan
dan anemia

b) Penyakit Hemolitik Pada Bayi Baru Lahir

10
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir disebabkan karena antibodi spesifik
IgG ibu melintasi plasenta dan menghancurkan sel darah merah pada
janin.Penyakit hemolitik berat pada bayi baru lahir disebut dengan
erythroblastosis fetalis yang terjadi akibat ibu dan janin mengekspresikan
Rhesus (Rh) antigen yang berbeda.

Ibu dengan Rhˉ yang dibuahi oleh ayah dengan Rh + akan berbahaya bagi
perkembangan respon terhadap rhesus antigen dan menghambat Rh +
janin.Selama proses kehamilan sel darah merah janin akan dipisahkan dari
sirkulasi ibu oleh lapisan sel yang ada pada plasenta yaitu trofoblas.Selama
kehamilan pertamanya dengan janin Rh +,seorang ibu dengan Rhˉ biasanya
tidak terpapar sel darah merah janin yang cukup untuk mengaktifkan sel
B.Namun pada saat proses persalinan terjadi pemisahan plasenta dari dinding
Rahim yang akan memungkinkan Sebagian besar darah dari tali pusar
memasuki sirkulasi darah ibu.Sel darah merah janin ini akan merangsang
stimulasi Rh-spesific B cells untuk meningkatkan respon imun dan
menghasilkan produksi Rh-spesific plasma cells dan sel B memori pada
ibu.Antibodi IgM yang disekresikan akan membersihkan sel darah merah janin
Rh+ dari sirkulasi darah ibu namun sel memori akan tetap ada.
Aktivasi sel memori yang mensekresi IgG pada kehamilan berikutnya akan
menghasilkan pembentukan antibodi anti-Rh IgG.Hal ini akan menjadi
ancaman bagi kehamilan berikutnya apabila janin memiliki Rh +.Apabila anti-
Rh IgG melewati placenta dan menyerang sel darah merah akan menyebabkan
terjadinya erythroblastosis fetalis.Aktivasi dari sel memori akan menghasilkan

11
pembentukan anti-Rh IgG yang dapat melewati plasenta dan merusak sel
darah merah pada janin.
Namun hampir seluruh kasus ini dapat dicegah dengan pemberian antibodi
terhadap Rh antigen kepada ibu pada minggu ke-28 kehamilan dan 24 hingga
48 jam setelah persalinan pertama.Selain itu antibodi anti-Rh juga dapat
diberikan kepada ibu hamil setelah amniosentesis.Antibodi ini nantinya akan
dijadikan sebagai rhogam yang akan mengikat setiap sel darah merah janin
yang telah memasuki sirkulasi darah ibu dan memfasilitasi pembersihannya
sebelum aktivitas sel B dan produksi sel memori berikutnya.

c) Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik ini dapat diinduksi dengan obat misalnya saja
antibiotic.Antibiotik tertentu misalnya penisilin,sefalosporin dan streptomisin
serta obat obatan ternama lainnya termasuk ibuprofen dan naproxen ini dapat
menyerap protein secara nonspesifik pada membrane sel darah merah dan
membentuk komplek protein.Pada beberapa pasien adanya kompleks protein
yang disebabkan karena obat ini dapat menginduksi pembentukan
antibody.Antibodi ini kemudian akan mengikat obat yang telah terabsorbsi
pada sel darah merah dan menginduksi lisis yang dimediasi oleh komplemen
dan menyebabkan terjadinya anemia progresif.Ketika obat-obatan tersebut
dihentikan penggunaanya maka penyakit anemia hemolitik ini akan terhenti
atau sembuh

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

12
BAB III

KESIMPULAN

13
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K. 2016. Imunologi Dasar Abbas Ed 5. Singapore: Elsevier.


Owen, J. A. 2013. Kuby Immunology Ed 7. New York: Susan Winslow.

14

Anda mungkin juga menyukai