HIPERSENSITIVITAS
I. PENDAHULUAN
Reaksi hipersensitivitas adalah suatu respon tubuh yang patologis, terjadi
akibat respon imun yang berlebihan terhadap benda atau konfigurasi asing yang
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Subowo, 1993; Baratawidjaja, 2000).
Jika seseorang pernah terpapar pada suatu antigen tertentu, maka pemaparan
berikutnya dengan antigen yang sama dapat menyebabkan respons imunologik
sekunder yang memiliki tujuan guna menyingkirkan antigen tersebut. Hal tersebut
merupakan reaksi alami tubuh guna mempertahankan diri, namun pada keadaan
tertentu reaksi imunologik ini berlangsung berlebihan atau tidak wajar sehingga
menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi bila
jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang,
baik selular maupun humoral meningkat. Reaksi ini tidak pernah timbul pada
pemaparan pertama dan merupakan ciri khas individu yang bersangkutan.
Pada makalah ini akan dibicarakan mengenai pengertian hipersensitivitas
yang dikaitkan dengan fenomena klinik yang dijumpai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan mekanisme dan kecepatan reaksi imunologik yang terjadi
Coombs dan Gell membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe yaitu :
1.
2.
3.
4.
Dan dikenal satu golongan lain yang disebut Tipe V atau Stimulatory
hypersensitivity. Reaksi Tipe I, II, III dan V terjadi karena interaksi antara antigen
dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi Tipe IV
terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada
Reaksi Hipersensitivitas
permukaan limfosit
diperlukan guna timbulnya suatu reaksi, reaksi tipe I, II, III, dan V disebut reaksi
tipe segera (Immediate), dimana reaksi Tipe I berlangsung lebih cepat dari yang
lain antara beberapa detik hingga menit, sedangkan Tipe II dan III antara beberapa
jam. Sedangkan Tipe IV disebut reaksi tipe lambat (Delayed Tipe Hypersensitivity
Reaction) karena reaksi berlangsung lebih lambat dibanding tipe lain, pada
umumnya lebih dari 12 jam.
Walaupun pembagian reaksi itu bukan merupakan satu-satunya klasifikasi
reaksi hipersensitivitas, namun demikian pembagian ini masih paling banyak
dipakai dalam berbagai buku ajaran inumologi di dunia. Secara garis besar
pembagian ini masih memadai, umumnya dan khususnya penyakit kulit sering
dihadapi secara klinis.Berikut gambar mengenai reaksi hipersensitivitas tipe I
IV.
Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi Hipersensitivitas
terjadi aktivasi eosinofil yang diikuti pula dengan peningkatan sekret eosinofil
didaerah radang yang bersangkutan. Respon yang ditimbulkan oleh sekret
eosinofil itu timbul 6-8 jam setelah paparan antigen dan dikenal sebagai respon
fase lambat atau Late Phase Response (LPR).
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2000)
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sanpai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan
basifil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitifitas ini merupakan respon terhadap antigen jaringan atau
antigen sel. Dikenal pula dengan nama reaksi sitotoksik. Ada dua macam
mekanisme yang dikenali di dalam reaksi hipersensitifitas tipe ini. Yaitu:
1. Antibodi akan segera merusak sel yang mengandung antigen
dengan bantuan komplen.
2. Perusakan sel dengan bantuan sel makrofag atau netrofil.
Reaksi Hipersensitivitas
pada
anemia
hemolitik atau platelet (thrombocytopenia) adalah suatu akibat lain dari masuknya
obat tertentu seperti penisilin, zat pembunuh kuman, anti-cardiac arrhythmia,
obat quinidine, atau anti hipertensi agen methildopa. Ini adalah contoh jenis reaksi
hipersensitivas Tipe II di mana obat mengikat pada permukaan sel dan bertindak
sebagai suatu target untuk Anti-Drug IgG zat darah dalam menyerang obat.
Contoh yang lain adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi,
antigen Rhesus, sindrom Goodpasture, myasthenia gravis, dan pempigus
(Baratawidjaja, 2000).
3. Hipersensitifitas tipe III
Pada reaksi jenis ini, antigen yang berasal dari manapun berkaitan dengan
antibodi yang sudah ada di dalam sirkulasi dan membentuk kompleks imun.
Kompleks imun ini dapat merangsang berbagai reaksi kerusakan jaringan melalui
peranan berbagai sel radang akut dan sel radang kronik serta sel fagosit. Berat dan
ringannya kerusakan jaringan yang ditimbulkan tergantung pada :
1. Jenis kompleks imun yang terbentuk apakah larut atau mengendap
2. Lokalisasi kompleks imun didalam berbagai organ tubuh.
3. Bagaimana kompleks imun merangsang reaksi lanjutan bersama
dengan berbagai sel imunokompeten yang lain.
4. Luasnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan.
Sebagai contoh antigen yang berasal dari luar adalah derbis dari
Mycobacterium lepare yang dapat menimbulkan fenomena Erytema Nodusum
leprosum (ENL). Sedang contoh adanya antigen diri (antigen self) terjadi pada
penyakit vesiko-bulosa kronik di bidang dermatologi.
Konsep dari autoimun adalah tubuh oleh karena sesuatu hal tidak dapat
mengenali konfigurasi diri atau self. Keadaan ini dapat merupakan respon
hipersensitivitas tubuh terhadap autoantigen, dapat bersifat humoral artinya
melalui mekanisme autoantibodi. Reaksi autoantigen dengan autoantibodi
membentuk kompelks imun yang secara imunologik dimasukan di dalam katagori
reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks imun seperti tertera pada gambar di atas.
Reaksi Hipersensitivitas
4. Penyakit akibat kerja, farmers lung adalah contoh reaksi Tipe III. Pada orang
yang rentan, pemaparan dengan jerami yang mengandung actinomycete
termofilik yang melepas spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu
pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah pajanan. Orang tersebut
memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete termofilik dan
membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru.
REAKSI Tipe III pulmoner yang sejenis adalah: Pigeon breeders, Cheese
washers disease, Bagassosis, Maple bark strippers disease, Paprika
workers disease dan Thatched roof workers disease.
5. Lupus eritematosus sistemik (LES), merupakan penyakit autoimun yang
merupakan penyakit hipersensitivitas Tipe III yang sistemik. Tubuh
Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi Hipersensitivitas
III. KESIMPULAN
Reaksi hipersensitivitas terjadi jika tubuh kita melakukan suatu reaksi
alami guna mempertahankan diri, jika