Anda di halaman 1dari 4

Nama : Micola Cipta Pamboedi

NIM : 31102000048

SGD : 9

Hipersensivitas

A. Pengertian

Reaksi hipersensitivitas merupakan keadaan tidak normal yang terjadi


di sistem kekebalan tubuh dimana hal ini merupakan respon dari paparan
substansi yang berbahaya. Kelainan autoimun, dan alergi merupakan bentuk
dari reaksi hipersensitivitas, dimana autoimun merupakan kondisi sistem
kekebalan tubuh menyerang tubuhnya sendiri (Lelyana, 2020). Dan alergi
merupakan kesalahan respon imunologis yang terjadi karena adanya faktor
ekternal, contohnya seperti memakan makanan yang mengandung allergen
atau zat yaang menyebabkan alergi (Fitria Rinarwati, 2017).

B. Etiologi

Reaksi Hipersensitivitas ditandai dengan adanya reaksi yang


melibatkan IgE atau Immunoglobulin E, dimana igE berikatan dengan basofil
di sirkulasi darah, dan berikatan dengan sel mast mast di dalam jaringan.
Jika IgE yang berikatan dengan basofil, dan sel mast tadi berhadapan dengan
antigen/alergen, maka sel tersebut akan melepaskan zat-zat kimia yang akan
merusak jaringan yang ada di sekitarnya (Hikmah et al., 2010). Ketika IgE
berikatan dengan alergen Ige akan melepaskan histamin yang merupakan zat
yang menyebabkan kepekaan tubuh. Histamin dapat menyebabkan gejala
seperti hidung berair, hidung tersumbat, kulit gatal, dan sesak nafas.Oleah
karena itu dapat dikatakan bawha histamin merupakan mediator timbulnya
gejala alergi (Fitria Rinarwati, 2017). Alergen sendiri bisa berupa partikel debu,
serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang
merangsang terajdinya respon kekebalan. Dimana, , obat anti inflamasi non steroid
(OAINS) juga menjadi penyebab dari reaksi hipersensitivitas setelah antibiotik beta-
laktam seperti penisilin, amoksisilin, dan juga seftriakson. Namun pada penelitian
terbaru, OAINS menjadi menjadi penyebab paling sering dari reaksi hipersensitivitas,
biasanya menimbulkan asma dan rinitis. Reaksi hipersensitivitas akibat OAINS
memiliki prevalensi antara 0,6 hingga 2,5% pada populasi umum, dengan kasus
lebih tinggi pada wanita, biasanya pasien memiliki riwayat gejala urtikaria kronik, dan
menderita asma (Hidajat et al., 2019)

C. Klasifikasi

Tipe I (reaksi segera atau anafilaktik)


Sebagian besar dimediasi oleh antibodi golongan Imunoglobulin E (terdapat
di permukaan sel mast dan basophil) yang memicu pelepasan mediator
farmakologi terutama histamin. Reaksi tipe I ini bisa dikenali karena terdapat
urtikaria dan angioedema, rhinitis, bronkokonstriksi, dan syok anafilaktik
Tipe II (sitotoksik)
Merupakan reaksi dimana permukaan sel atau jaringan diikat oleh antibody
Imunoglobulin G dan ImunoglobulinM yang menyebabkan gangguan
autoimun dan hematologi.
Tipe III (kompleks imun)
Disebabkan oleh reaksi antara antibody IgG, IgM atau IgA dengan antigen
pada jaringan dimana komplemen diaktivasi dan terjadi “serum sickness”
yang diakibatkan oleh proses pembentukan dan deposisi kompleks imun, tipe
ini adalah reaksi alergi yang dijumpai pada penggunaan radiofarmaka,
dengan manifestasi yang paling sering berupa maculopapular pada kulit,
deman ringan, bercak, urtikaria, dan poliartralgia pada tahap lanjut.
Tipe IV (mediasi-sel atau hipersensitivitas lambat)
Reaksi ini dimediasi oleh sel limfosit T yang tersensitisasi (Raden Erwin et al.,
2021).

D. Patogenesis
Awal mula reaksi hipersensitivitas ditandai dengan terjadinya induksi
Immunoglobulin E yang dapat mengenali alergen. Ketika IgE berikatan dengan sel
mast berikatan, akan terjadi proses pelepasan histamin yang dimana histamin sangat
berpengaruh dalam reaksi alergi. (Hidayaturahmah et al., 2020)
a. Tipe I
Mekanismenya dimulai dari alergen yang berikatan silang dengan
ImunoglobulinE. Selanjutnya sel mast dan juga basofil mengeluarkan amina
mediator kimiawi dan vasoaktif. Akibat dari mekanisme tersebut timbul
manifestasi berupa asma bronkial atau dermatitis atopi, anafilaksis, dan urtikaria.
b. Tipe II
Mekanisme reaksi pada tipe II terdiri dari 3 jenis, yaitu reaksi yang bergantung
pada komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC, dan ada yang
bergantung pada disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi. Mekanisme
singkat dari reaksi tipe II ini melibatkan antara ImunoglobulinG dan
ImunoglobulinM yang berikatan dengan antigen pada permukaan sel. Fagositosis
sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atau antibody.
Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi berupa anemia hemolitik
autoimun, eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris
c. Tipe III
Reaksi pada tipe ini disebut reaksi yang diperantarai kompleks imun yang terdiri
dari 2 bentuk reaksi, yaitu reaksi Kompleks Imun Sistemik (Serum Sickness) dan
reaksi Sistem Imun Lokal (Arthus). Mekanismenya secara umum adalah dimulai
dari terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit untuk difagosit.
Selanjutnya adalah mengaktifkan komplemen, menarik perhatian neutrophil, lalu
terjadi pelepasan enzim lisosom, mediator kimiawi dikeluarkan, dan akhirnya
timbul manifestasi berupa reaksi Arthus, glomerulonefritis, serum sickness, dan
pneumonitis.
d. Tipe IV
Reaksi ini memiliki nama lain yaitu reaksi imun seluler lambat, dikarenakan
diperantarai oleh sel T CD4+ dan juga CD8+. Reaksi ini terbagi lagi menjadi
beberapa sub reaksi, yaitu reaksi Tuberkulin, lalu reaksi Inflamasi Granulosa, dan
reaksi penolakan transplant. Mekanismenya secara umum adalah yaitu, pertama
limfosit T tersensitasi, lalu terjadi pelepasan sitokin dan mediator lainnya
( sitotoksik) yang diperantarai oleh sel T langsung, dan akhirnya menimbulkan
manifestasi berupa tuberkulosis, dermatitis kontak dan reaksi penolakan
transplant (Riwayati, 2015)
DAFTAR PUSTAKA
‘Fitria Rinarwati’ (no date).
Hidajat, D. et al. (no date) ‘Reaksi Hipersensitivitas pada Kulit Akibat Obat Anti
Inflamasi Non Steroid’, Jurnal Kedokteran, 2019(3), pp. 6–13.
Hikmah, N. et al. (no date) SEPUTAR REAKSI HIPERSENSITIVITAS (ALERGI).
Hypersensitivitas Atau Alergi, R. (no date) REAKSI HIPERSENSITIVITAS ATAU
ALERGI.
‘Jurnal Pengabdian Farmasi Malahayati’ (no date).
Lelyana, S. (no date) Hypersensitivity in Dentistry, SONDE (Sound of Dentistry.
Raden Erwin, A. et al. (2021) ‘How to cite’, Jurnal Health Sains, 2(4). Available at:
http://jurnal.healthsains.co.id/index.php/jhs/article/view/152.

Anda mungkin juga menyukai