Anda di halaman 1dari 15

ANTIALERGI

2.1 Definisi dan Patofisiologi Alergi


Alergi (hipersensitifitas) menggambarkan reaktivitas khusus host terhadap suatu unsur
eksogen pada kontak kedua kali. Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa autoimun
dan alergi serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses
imunologi (Tjay, 2007).
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata
berair,mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi gangguan
pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah, yang menyebabkan
syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif,
misalnya segera setelah makan makanan atau obatobatan tertentu atau setelah disengat lebah,
dengan segera menimbulkan gejala (Hikmah dan I Dewa, 2010).
Bila suatu protein asing (antigen masuk) berulangkali ke dalam aliran darah seseorang
yang berpotensi hipersensitif, maka limfosit B akan membentuk antibodi dari tipe Imunoglobulin
E (IgE). IgE mengikat diri pada membran sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian
antigen (alergen) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE
akan mengenali dan mengikat padanya sehingga hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat
pecahnya membrane sel mast (degranulasi). Sejumlah zat perantara (mediator dilepaskan yakni
histamin bersama serotonin, bradikinin dan asam arachidonat), yang kemudian diubah menjadi
prostaglandin dan leukotrien. Zat itu menarik makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk
memusnahkan penyerbu. Disamping itu mengakibatkan beberapa gejala, seperti vasodilatasi,
bronchoconstriksi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. (Tjay,
2007).

2.2 Mekanisme Terjadinya Alergi


Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen
bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya
setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti hay
fever) (Brooks, 2005).
Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan
antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam system imun yang
berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan (Hikmah dan I Dewa, 2010).
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2006)
2.2.1 Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2.2.2 Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
2.2.3 Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk
mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan
secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat
pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast,
juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan
trombosit (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi
tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast
melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan
vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian
dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain
yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).

2.3 Penggolongan Alergi


Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian
Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb. Berikut tipe-
tipe alergi: (Hikmah dan I Dewa, 2010)
2.3.1 Tipe I, gangguan alergi (reaksi segera, immediate) yakni kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B,
sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E
kemudian melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast,
Ig E dan alergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator
kimia. Efek mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi,
oedem, spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada
alergi tipe ini antara lain: rinitis (bersin-bersin, pilek); sesak nafas (hipersekresi sekret),
udem dan kemerahan (menyebabkan inflamasi); kejang (spasme otot polos yang
ditemukan pada anafilaktic shock). Mulai reaksinya cepat, dalam waktu 5 sampai 20
menit setelah terkena alergen, maka sering kali di sebut reaksi segera. Gejalanya bertahan
lebih kurang 1 jam.
2.3.2 Tipe II, autoimunitas (reaksi sitolitis). Antigen yang terikat yang terikat pada membran
sel beraksi dengan IgG atau IgM  dalam darah dan menyebabkan sel lisis (cytos=sel,
lysis= melarut). Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi darah. Contohnya adalah
gangguan autoimun akibat obat, seperti anemia hemolitis (akibat pinisilin), agranulotosis
(akibat sulfamida), artrihitis rheumatika, SLE (system lupus erymetodes) akibat
hedrolazim atau prekaimida. Reaksi autoimun jenis ini umumnya sembuh dalam waktu
berapa bulan setelah penggunaan obat berhenti. Timbulnya penyakit autoimun adalah bila
sistem imun tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya. Gangguan ini
bercirikan terdapatnya auto-antibodi atau sel-sel-T autoreaktif dan lazimnya dibagi dalam
dua kelompok, yang berdasarkan:
a. auto-imunitas organ-pesifik (menyangkut organ tunggal), mis. Anemia pernicoios,
Addison’s disease, ACTH.
b. auto-imunitas nonorgan spesifik (menyangkut berbagai organ), misalnya SLE.
2.3.3 Tipe III, gangguan imun-komplek. Pada peristiwa ini, antigen dalam sirkulasi bergabung
dengan suatu antibody yaitu IgG menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada
pembuluh endotel. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease
histamine, leukotrines dan menyebabkan inflamasi. imunisasi/vaksinasi yang
menyebabkan alergi sering disebabkan serum (imunisasi) terhadap Dipteri dan
Tetanus dengan gejala urticaria, demam dan nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6
jam setelah “terkena” (exposure) dan lamanya 4-12 hari. Imun-kompleks dapat terjadi di
jaringan yang menimbulkan reaksi lokal (arthus) atau dalam sirkulasi (gangguan
sistemis).
2.3.4 Tipe 4 (reaksi lambat, delayed). Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan
intrinsik/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag
dan sel T. Antigen yang terdiri dari suatu kompleks hapten+protein, bereaksi dengan T-
limposit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (sitokin dari limfosit) dibebaskan,
yang menarik magrofog dan neutrofil, sehinga terjadi reaksi peradangan. Proses
penarikan itu disebut chemotaxis. Reaksi terjadi sekitar 24-48 jam dan bertahan beberapa
hari. Contohnya adalah reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.

Tabel Jenis-Jenis Hipersensitifitas


Mekanisme Imun
Jenis Hipersensitivitas Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit
Patologik
Tipe I Hipersensitivitas Sel mast dan mediatornya  (amin vasoaktif,
IgE
cepat mediator lipid, dan sitokin)
Opsonisasi & fagositosis sel
IgM, IgG terhadap
Tipe II Pengerahan leukosit(neutrofil, makrofag) atas
permukaan sel atau
Reaksi melalui antibodi pengaruh komplemen dan FcR
matriks antigen
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal
ekstraseluler
reseptor hormon)
Kompleks imun
Tipe III (antigen dalam Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
Kompleks imun sirkulasi dan IgM pengaruh komplemen dan Fc-R
atau IgG)
Tipe IV (melalui sel T) CD4+ : DTH Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh
sitokin
Tipe IVa CD8+ : CTL
Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas
Tipe IVb
pengaruh sitokin
Sumber: Baratawidjaja, 2006

2.4 Tanda dan Gejala Alergi


Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi yangringan
dapat berupa bersin,hidung meler, gatal baik bersifat lokal atauseluruh tubuh, hidung mampet
dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan
perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat
serius adalah :
2.4.1 Hives atau welts, ruam, atau masalah kulit disebut eksim
2.4.2 Batuk, bersin, dan kesulitan bernapas
2.4.3 Demam
2.4.4 Kulit melepuh dan mengelupas
2.4.4 Anafilaksis, yang merupakan reaksi paling berbahaya.
Gejala, seperti hives dan kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah
minum obat. Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
2.4.1 Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2.4.2 Adanya biduran
2.4.3 Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
2.4.4 Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam berdarah
dengue.
2.4.5 Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
2.4.6 Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
2.4.7 Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
2.4.8 Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik disebut
nekrolisis epidermal toksik

2.5 Jenis-Jenis Penyakit


Jenis penyakit yang sering timbul akibat alergi adalah sebagai berikut: (Hartono dan
Fitriyadi, 2018)
2.5.1 Alergi Makanan
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dari
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh zat pada makanan yang menimbulkan reaksi alergi.
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan menunda pemberian makanan beresiko
yang menyebabkan alergi seperti telur, kacang tanah, dan ikan hingga usia 2-3 tahun. Bila
membeli makanan, biasakan untuk mengetahui komposisi makanan label pada produk
makanan tersebut.
2.5.2 Alergi Rhinitis
Rhinitis adalah jenis alergi yang paling umum dari penyakit-penyakit alergi dan
merujuk pada gejala-gejala gangguan saluran pernapasan musiman yang disebabkan oleh
partikelpartikel kecil di lingkungan. Beberapa gejala rhinitis yang dapat dirasakan yaitu
sering bersin, sesak, gatal-gatal pada hidung, hidung berair, mata berair, lingkaran hitam
di bawah mata, mendengkur pada malam hari dan bernafas melalui mulut, merasa lelah
karena umumnya tidak bisa tidur nyenyak pada malam hari.
2.5.3 Asma
Asma adalah suatu gejala yang ditimbulkan oleh kelainan saluran nafas berupa
kepekaan yang meningkat terhadap rangsangan dari lingkungan sebagai pemicu.
Serangan Asma terjadi karena penyempitan saluran pernapasan yang merupakan respon
terhadap rangsangan seperti serbuk sari, debu, bulu hewan, asap, udara dingin dan
kelelahan fisik pada kondisi tertentu.
2.5.4 Biduran (Urtikaria)
Biduran (urtikaria) adalah sejenis gangguan kulit dengan ciri-ciri warna kulit merah
pucat, timbul benjolan dan disertai gatal. Gejala-gejala dari urtikaria yaitu warna merah
pada kulit, rasarasa gatal pada kulit, rasa panas pada kulit, benjolan-benjolan kecil,
pelebaran benjolan dengan digaruk, pembengkakan pada bagian yang sering tertekan
seperti pinggang dan gatal-gatal sering kambuh setelah olahraga berat.
2.5.5 Alergi Mata Merah
Mata juga bisa mengalami alergi karena bagian ini juga cukup sensitif terhadap
lingkungan. Mata merah ini berupa radang konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi
alergi. Konjungtiva banyak sekali mengandung sel dari sistem imun (sel mast) yang
melepaskan senyawa kimia (mediator) yang merespon terhadap berbagai rangsangan
(seperti serbuk sari dan debu tungau). Mediator inilah yang menyebabkan radang pada
mata, yang mungkin berlangsung sebentar atau bertahan lama.
2.5.6. Alergi Kulit atau Eksem (Dermatitis Atopik)
Alergi kulit atau eksem (dermatitis atopik) adalah suatu bentuk gangguan kulit luar
atau peradangan dari epidermis. Pengaruh lingkungan tidak bersih seperti tungau debu
rumah dapat menjadi penyebab alergi kulit. Memiliki orang tua, saudara, atau kakek dan
nenek dengan riwayat alergi kulit mungkin memiliki resiko lebih besar untuk terkena
alergi kulit. Gejala-gejala alergi kulit atau eksem adalah kulit menjadi kering, ruam (rash)
pada muka dan lipatan organ tubuh, gatalgatal, pembengkakan, kemerahan pada kulit,
rasa panas pada kulit.
2.5.7 Syok Alergi (Anafilaksis)
Gejala syok alergi (anafilaksis) adalah rasa panas pada kulit, pembengkakan pada
tubuh, nyeri ketika menelan atau batuk, kram otot pada arteri koroner, dan penurunan
tekanan darah sehingga mengakibatkan pingsan.
2.6 Pengobatan
Antihistamin adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamin (penghambatan saingan) pada awalnya
hanya di kenal 1 tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor kusus pada
tahun 1972, yang disebut reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat di bagi
dalam 2 tipe yaitu reseptor H1 dan reseptor H2 (Tjay, 2007).
Mekanisme kerja: Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala
alergi berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan reseptor H1 dan H2 di organ
sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1 dan H2.
Peringatan dan Kontraindikasi: Antihistamin yang menyebabkan kantuk mempunyai
aktivitas antimuskarinik yang nyata dan harus digunakan dengan hati-hati pada hipertrofi prostat,
retensi urin, pasien dengan risiko galukoma sudut sempit, obstruksi pyloroduodenal, penyakit
hati dan epilepsi. Dosis mungkin perlu diturunkan pada gangguan ginjal. Anak dan lansia lebih
mudah mendapat efek samping. Penggunaan pada anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan
kecuali atas petunjuk dokter dan tidak boleh digunakan pada neonatus. Banyak antihistamin
harus dihindari pada porfiria, meskipun beberapa (misalnya klorfenamin dan setirizin)
diperkirakan aman.
Efek Samping Antihistamin: Mengantuk adalah efek samping utama pada sebagian besar
antihistamin golongan lama, walaupun stimulasi yang paradoksikal dapat terjadi meski jarang
(terutama pada pemberian dosis tinggi atau pada anak dan pada lanjut usia). Mengantuk dapat
menghilang setelah beberapa hari pengobatan dan jauh kurang dengan antihistamin yang lebih
baru. Efek samping yang lebih sering terjadi dengan antihistamin golongan lama meliputi sakit
kepala, gangguan psikomotor, dan efek antimuskarinik seperti retensi urin, mulut kering,
pandangan kabur, dan gangguan saluran cerna. Efek samping lain yang jarang dari antihistamin
termasuk hipotensi, efek ekstrapiramidal, pusing, bingung, depresi, gangguan tidur, tremor,
konvulsi, palpitasi, aritmia, reaksi hipersensitivitas (bronkospasme, angio-edema, dan
anafilaksis, ruam kulit, dan reaksi fotosensitivitas), kelainan darah, disfungsi hepar dan
glaukoma sudut sempit.
2.6.1 H1 blocker
2.6.1.1 Generasi 1
Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau
dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk pengobatan influensa.
Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine, prometazin, hidroksisin dan lain-
lain. Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai efektifitas yang
serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain
menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak diinginkan obat ini adalah
menimbulkan rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan
(Gunawijaya, 2017).
Farmakokinetik: Pada pemberian oral antihistamin H1 umumnya mulai timbul
efek dalam waktu 15-30 menit, efek maksimal sekitar 1 jam, dan efek bertahan selama 4-
24 jam. Waktu paruh eliminasi prometazin berkisar antara 10-14 jam, difenhidramin 4
jam, dan klorfeniramin 14-25 jam. Waktu paruh dalam serum anak-anak lebih singkat,
sehingga perlu diberikan 2 atau 3 kali sehari. Antihistamin H1 didistribusikan ke seluruh
tubuh, umumnya melewati sawar darah-otak dan plasenta, serta dapat diekskresi melalui
air susu ibu. Obat-obat tersebut dimetabolisme di hati sehingga penggunaan obat ini pada
penyakit hati berat akan menimbulkan akumulasi. Antihistamin H1 menginduksi enzim
mikrosomal hepatik, sehingga mempercepat metabolismenya sendiri. Ekskresi
antihistamin ini terutama melalui ginjal.
2.6.1.1.1 Klorfeniramin Maleat
Indikasi: gejala alergi seperti hay fever, urtikaria; pengobatan darurat reaksi
anafilaktik.
Peringatan: glaukoma sudut sempit, kehamilan, menyusui, retensi urin,
hipertropi prostat, pasien dengan lesi vokal vorteks serebrum; hindari
mengemudi dan menjalankan mesin, sensitivitas silang dengan obat sejenis;
penyuntikan dapat menimbulkan iritasi dan menyebabkan hipotensi sekilas
atau stimulasi SSP.
Interaksi: alkohol, depresan SSP, anti kolinergik, penghambat MAO.
Kontraindikasi: serangan asma akut, bayi prematur.
Efek Samping: lihat keterangan di atas; sedasi, gangguan saluran cerna, efek
antimuskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinnitus, euforia, nyeri kepala,
stimulasi SSP, reaksi alergi, kelainan darah.
Dosis: oral: 4 mg tiap 4-6 jam; maksimal 24 mg/hari. Anak di bawah 1 tahun
tidak dianjurkan; 1-2 tahun 1 mg 2 kali sehari; 2-5 tahun 1 mg tiap 4-6 jam,
maksimal 6 mg/hari; 6-12 tahun 2 mg tiap 4-6 jam, maksimal 12
mg/hari. Injeksi subkutan atau intramuskular: 10-20 mg, diulang bila perlu
maksimal 40 mg dalam 24 jam.Injeksi intravena lambat, lebih dari 1 menit: 10-
20 mg dilarutkan dalam spuit dengan 5-10 ml darah atau dengan NaCl steril
0,9% atau air khusus untuk injeksi.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Brontusin, CTM, Chlorpheniramine, Cough-En Plus,
Decolgen, Etaflusin, Nalgestan, Omecough.
2.6.1.1.2 Deksklorfeniramin Maleat
Indikasi: gejala alergi seperti rinitis alergi, urtikaria, saluran napas atas
sistemik.
Peringatan: glaukoma sudut sempit, tukak lambung, obstruksi piloro
duodenal, hipertrofi prostat, obstruksi struktural kandung kencing, penyakit
kardiovaskuler, kenaikan tekanan intraokuler, hipertiroidisme, hindari
mengemudi dan menjalankan mesin.
Interaksi: penghambat MAO, alkohol, antidepresan trisiklik, barbiturat,
depresan SSP, antikolinergik.
Kontraindikasi: bayi baru lahir, prematur, pasien dalam terapi penghambat
MAO, serangan asma akut.
Efek Samping: sedasi, gangguan saluran cerna, efek antimuskarinik, hipotensi,
kelemahan otot, tinnitus, euforia, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi,
kelainan darah.
Dosis: Dewasa: 2 mg, Anak: 2 - 6 tahun 0,5 mg; 6 - 12 tahun: 1 mg. Diberikan
3 - 4 kali/hari.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Alerdex, Bechlor, Cortamine, Intunal, Paramex.
2.6.1.1.3 Difenhidramin Hidroklorida
Indikasi: antihistamin, antiemetik, anti spamodik; parkinsonisme, reaksi
ekstrapiramidal karena obat; anak dengan gangguan emosi.
Peringatan: glaukoma sudut sempit, tukak lambung, obstruksi piloro
duodenal, gejala hipertropi prostat atau obstruksi struktural kandung kencing;
riwayat asma bronkial, kenaikan tekanan intra okuler, hipertiroid, penyakit
kardiovaskuler atau hipertensi; hamil; hindari mengemudi dan menjalankan
mesin; lihat juga keterangan di atas.
Interaksi: alkohol, depresan SSP, penghambat MAO.
Kontraindikasi: bayi baru lahir atau prematur; menyusui; lihat juga
keterangan di atas.
Efek Samping: pengaruh pada kardiovaskuler dan SSP; gangguan darah;
gangguan saluran cerna; efek anti muskarinik, reaksi alergi; lihat juga
keterangan di atas.
Dosis: Dewasa 25-50 mg 3 kali sehari; Anak 5 mg/kg bb sehari.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Andonex, Benacol DTM, Contrexyn, Novadryl, OBH Dryl,
Woods.
2.6.1.1.4 Prometazin Hidroklorida
Indikasi: gejala alergi seperti hay fever, urtikaria, pengobatan darurat reaksi
anafilaktik; premedikasi, sedasi dan motion sickness.
Peringatan: hindari mengemudi dan menjalankan mesin; kehamilan,
menyusui, gangguan kardiovaskuler atau hati, glaukoma sudut sempit, retensi
urin, hipertrofi prostat, lesi fokal di korteks serebrum, sensitivitas silang
dengan obat sejenis, anak dengan dehidrasi; lihat juga keterangan di atas.
Interaksi: antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP, antikolinergik,
antidepresan trisiklik, penghambat MAO.
Kontraindikasi: pasien koma, serangan akut asma, bayi prematur; lihat juga
keterangan di atas.
Efek Samping: sedasi, gangguan saluran cerna, efek antimuskarinik,
kelemahan otot, tinnitus, reaksi alergi, kelainan darah, pengaruh kardiovaskuler
atau SSP, sakit kuning, fotosensitivitas, injeksi intramuskular kemungkinan
menyebabkan rasa sakit; lihat juga keterangan di atas.
Dosis: oral: 25 mg, malam hari, bila perlu dinaikkan sampai 50 mg, atau 10-20
mg 2-3 kali/hari. Anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan; 2-5 tahun, 5-15
mg/hari, 5-10 tahun 10-25 mg/hari.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Davenol, Gigadryl, Promedex, Promex, Tussival.

2.6.1.2 Generasi 2
Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi
pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak.
Reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak
kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan
dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk
penderita alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk
pengobatan jangka panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronchial
(Gunawijaya, 2017).
2.6.1.2.1 Loratadin
Indikasi: gejala alergi seperti hay fever, urtikaria.
Peringatan: hamil, menyusui; lihat juga antihistamin di depan Insiden sedasi
dan antimuskarinik rendah.
Interaksi: alkohol, depresan SSP, anti kolinergik, penghambat MAO.
Kontraindikasi: lihat keterangan di atas; bayi prematur dan bayi baru lahir,
asma akut, kehamilan dan menyusui.
Efek Samping: lesu, nyeri kepala; sedasi dan mulut kering, jarang; lihat
keterangan di atas.
Dosis: 10 mg/hari. Anak: 2-12 tahun, di bawah 30 kg, 5 mg/hari; lebih dari 30
kg, 10 mg/hari.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Claritin. Clatadine, Loran, Rahistin.
2.6.1.2.2 Desloratadin
Indikasi: gejala yang berkaitan dengan rinitis alergi seasonal (SAR), urtikaria
idiopatik kronis.
Peringatan: efikasi dan keamanan pada anak dibawah 2 tahun belum
diketahui, penurunan fungsi ginjal berat, obat yang mengandung sukrosa,
sorbitol, pasien dengan masalah intoleransi fruktosa herediter, malabsorbsi
glukosa-galaktosa atau penurunan fungsi sukrosa-isomaltase.
Interaksi: alkohol, depresan SSP, anti kolinergik, penghambat MAO.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap desloratadin, kehamilan, menyusui.
Efek Samping: umum: takikardi, mulut kering, pusing, hiperaktif psikomotor,
faringitis, anoreksia, konstipasi, sakit kepala, letih, insomnia, somnolence ,
gangguan tidur, gugup;
Tidak umum: palpitasi, premature atrial contractions, hiperkinesia, kulit
memerah, kebingungan, rinitis, sinusitis, epistaksis, iritasi hidung, rinorea,
tenggorokan kering, hiposmia, dispepsia, mual, nyeri abdomen, gastroenteritis,
feses abnormal, disuria, gangguan micturition, gangguan frekuensi micturition,
pruritus, rasa haus, glikosuria, hiperglikemia, perburukan sakit kepala,
peningkatan enzim hati, agitasi, ansietas, iritabilitas;
Telah dilaporkan: pusing, halusinasi, somnolence, insomnia, hiperaktif
psikomotor, kejang, takikardi, nyeri abdomen, mual, muntah, dispepsia, diare,
peningkatan bilirubin, mialgia, reaksi hipersentivitas (anafilaksis, angioedema,
dispnea, pruritus, ruam, urtikaria).
Dosis: Anak 6-11 tahun: 5 mL (2,5 mg) sirup 1 kali sehari dengan atau tanpa
makanan, anak 2-5 tahun 2,5 mL (1,25 mg) sirup 1 kali sehari dengan atau
tanpa makanan, dewasa dan anak di atas 12 tahun:10 mL (5 mg) sirup 1 kali
sehari dengan atau tanpa makanan.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Aerius, Aerius D-12, Aleros, Aerius Reditabs.
2.6.1.2.3 Cetirizine HCl
Indikasi: rinitis menahun, rinitis alergi seasonal, konjungtivitis, pruritus,
urtikaria idiopati kronis.
Peringatan: hindari mengemudi dan menjalankan mesin; gangguan
kardiovaskuler atau hati, glaukoma sudut sempit, retensi urin, hipertrofi prostat,
lesi fokal di korteks serebrum, sensitivitas silang dengan obat sejenis, anak
dengan dehidrasi; lihat juga keterangan di atas.
Interaksi: alkohol, depresan SSP, anti kolinergik, penghambat MAO.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap obat dan komponennya, kehamilan;
menyusui.
Efek Samping: sakit kepala, pusing, mengantuk, agitasi, mulut kering, rasa
tidak nyaman di perut, reaksi hipersensitif seperti reaksi kulit dan angioudem.
Dosis: Dewasa dan anak diatas 6 tahun: 10mg/hari pada malam hari bersama
makanan. Anak 3-6 tahun, hay fever: 5 mg/hari pada malam hari atau 2,5 mg
pada pagi dan malam hari. Tidak ada data untuk menurunkan dosis pada pasien
lansia. Insufisiensi ginjal, dosis 1/2 kali dosis rekomendasi.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta
cahaya matahari langsung.
Merk Dagang: Cetipharm, Cetirizine, Cetryn, Falergi, Ozen, Ritez, Ryzicor.
2.6.2 H2 blocker
Semua antagonis reseptor-H2 mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan cara
mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambatan reseptor histamin-H 2. Obat ini
dapat juga digunakan untuk mengatasi gejala refluks gastroesofagus (GERD). Meskipun
antagonis reseptor-H2 dosis tinggi dapat digunakan untuk mengatasi sindroma Zollinger-Ellison,
namun penggunaan penghambat pompa proton lebih dipilih.
Terapi pemeliharaan dengan dosis rendah pada pasien yang mengalami infeksi H.
pylori, termasuk untuk anak telah digantikan oleh regimen eradikasi. Terapi pemeliharaan
kadang digunakan pada pasien yang sering mengalami kekambuhan yang berat dan untuk pasien
lansia yang menderita komplikasi tukak.
Pada pasien dengan usia yang lebih muda pengobatan dispepsia dengan antagonis reseptor-
H2 dapat diterima, namun perhatian khusus perlu diberikan kepada orang dewasa yang lebih tua
karena adanya kemungkinan kanker lambung.
Peringatan: Antagonis reseptor-H2 sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan gangguan ginjal (Lampiran 3), kehamilan (Lampiran 4), dan pasien menyusui (Lampiran
5). Antagonis reseptor-H2 dapat menutupi gejala kanker lambung; perhatian khusus perlu
diberikan pada pasien yang mengalami perubahan gejala dan pada pasien setengah baya atau
yang lebih tua.
Efek samping: Efek samping antagonis reseptor-H2 adalah diare dan gangguan saluran
cerna lainnya, pengaruh terhadap pemeriksaan fungsi hati (jarang, kerusakan hati), sakit kepala,
pusing, ruam dan rasa letih. Efek samping yang jarang adalah pankreatitis akut, bradikardi, AV
block, rasa bingung, depresi dan halusinasi, terutama pada orang tua atau orang yang sakit parah,
reaksi hipersensitifitas (termasuk demam, artralgia, mialgia, anafilaksis), gangguan darah
(termasuk agranulositosis, leukopenia, pansitopenia, trombositopenia) dan reaksi kulit (termasuk
eritema ultiform, dan nekrolisis epidermal yang toksik). Dilaporkan juga kasus ginekomastia dan
impotensi, namun jarang terjadi.
Interaksi: Simetidin menghambat metabolisme obat secara oksidatif di hati dengan cara
mengikat sitokrom P450 di mikrosom. Penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien yang
sedang mendapat terapi warfarin, fenitoin dan teofilin (atau aminofilin), sedangkan interaksi lain
(lihat lampiran 1), mungkin kurang bermakna secara klinis. Famotidin, nizatidin, dan ranitidin
tidak memiliki sifat menghambat metabolisme obat seperti halnya simetidin.

2.6.2.1 Famotidin
Indikasi: tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison 
Mekanisme kerja : mengurangi jumlah produksi asam lambung
Efek Samping: Gusi berdarah, kulit melepuh, feses warna hitam, nyeri dada (jarang), juga
ansietas, anoreksia, mulut kering, cholestatic jaundice yang sangat jarang.
Interaksi obat: Penggunakan bersama obat antasida dapat sedikit menurunkan ketersediaan
famotidine dalam darah, menurunkan kadar obat antijamur yaitu ketoconazole dan itraconazole
dalam darah, serta penggunaan dengan alkohol dapat menimbulkan iritasi pada dinding lambung
Dosis: pengobatan tukak lambung dan duodenum 40 mg sebelum tidur malam; selama 4-8
minggu; pemeliharaan (tukak duodenum) 20 mg sebelum tidur malam; Anak. Tidak dianjurkan.
Refluks esofagitis, 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg 2 kali
sehari. Sindroma Zollinger-Ellison (lihat keterangan di atas), 20 mg setiap 6 jam (dosis lebih
tinggi pada pasien yang sebelumnya telah menggunakan antagonis reseptor-H2 lain); dosis
sampai 800 mg sehari dalam dosis terbagi.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta cahaya matahari
langsung.
Contoh obat : promag, corocyd, denufam, famocid, magstop, neosanmag, nulcefarm, pratifar,
ulmo, renapepsa.

2.6.2.2 Nizatidin
Indikasi: tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esophagitis (kerusakan pada
kerongkongan) akibat GERD
Mekanisme kerja :Menurunkan produksi asam lambung
Peringatan: lihat keterangan di atas; juga hindari injeksi intravena secara cepat (risiko aritmia
dan hipotensi postural), gangguan fungsi hati.
Interaksi: Obat ini dapat mengubah kinerja obat atau meningkatkan resiko efek samping yang
serius, jadi jangan di hentikan atau diganti tanpa persetujuan dari dokter. Dosis tinggi dapat
meningkatkan penyerapan apirin. Kadar obat akan menurun jika digunakan bersamaan dengan
aspirin
Efek Samping: Sakit kepala,pusing,diare,hidung berair/ tersumbat, anemia, hipersensitivitas,
urtikaria,juga berkeringat; hiperurisemia (jarang)
Dosis: Oral: tukak lambung dan tukak duodenum atau tukak karena AINS, pengobatan 300 mg
sebelum tidur malam atau 150 mg 2 kali sehari selama 4-8 minggu: pemeliharaan 150 mg
sebelum tidur malam; Anak: tidak dianjurkan.
Refluks esofagitis, 150-300 mg 2 kali sehari selama sampai 12 minggu.
Infus intravena: untuk penggunaan jangka pendek pada tukak lambung pasien rawat inap sebagai
alternatif terhadap penggunaan oral, dengan cara infus intravena berselang (intermittent) selama
15 menit, 100 mg 3 kali sehari, atau dengan cara infus intravena berkesinambungan, 10 mg/jam,
maksimal 480 mg sehari; Anak: tidak dianjurkan.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta cahaya matahari
langsung.
Contoh obat : axid

2.6.2.3 Ranitidin
Indikasi: tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis,
tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison, kondisi lain
dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
Mekanisme kerja obat : menghambat produksi histamine 2 sehingga mengurangi produksi
jumlah asam dalam lambung
Peringatan: hindarkan pada porfiria
Kontraindikasi: penderita yang diketahui hipersensitif terhadap ranitidine
Interaksi obat : Jika diberikan bersama propantheline bromide akan terserap lebih lama dan
meningkat jumlahnya dalam darah, menghambat metabolism dari obat antikoagulan kumarin,
teofilin, diazepam dan propranolol, dapat mengubah waktu penyerapan obat ketokonazol,
midazolam, glipizide, serta menurukan jumlah antasida dalam darah.
Efek Samping: takikardi (jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial
(jarang sekali)
Dosis: oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg
pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia episodik kronis, dan
sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak duodenum 300 mg dapat diberikan dua
kali sehari selama 4 minggu untuk mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); ANAK:
(tukak lambung) 2-4 mg/kg bb 2 kali sehari, maksimal 300 mg sehari. Tukak duodenum
karena H. pylori, lihat regimen dosis eradikasi. Untuk Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama sampai 8 minggu, atau
bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg sehari dalam 2-4 dosis terbagi selama
12 minggu); pengobatan jangka panjang GERD, 150 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-
Ellison (lihat juga keterangan di atas), 150 mg 3 kali sehari; dosis sampai 6 g sehari dalam dosis
terbagi.
Pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg
pada awal melahirkan, kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi intramuskuler
atau injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi anestesi (injeksi intravena
diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit), atau oral: 150 mg 2
jam sebelum induksi anestesi, dan juga bila mungkin pada petang sebelumnya. Anak: Neonatus
2 mg/kg bb 3 kali sehari namun absorpsi tidak terjamin; maksimal 3 mg/kg bb 3 kali sehari; Usia
1-6 bulan: 1 mg/kg bb 3 kali sehari (maks. 3 mg/kg bb 3 kali sehari); Usia 6 bulan-12 tahun: 2-4
mg/kg bb (maks. 150 mg) 2 kali sehari; Usia 12-18 tahun: 150 mg 2 kali sehari.
Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8 jam.
Injeksi intravena lambat: 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang
dari 2 menit; dapat diulang setiap 6-8 jam. Anak. Neonatus: 0,5-1 mg/kg bb setiap 6-8 jam; Usia
1 bulan-18 tahun: 1 mg/kg bb (maks. 50 mg) setiap 6-8 jam (dapat diberikan sebagai
infus intermiten pada kecepatan 25 mg/jam).
Infus intravena: 25 mg/jam selama 2 jam; dapat diulang setiap 6-8 jam. Anak. Neonatus: 30-60
mg microgram/kg bb/jam (maks. 3 mg/kg bb sehari); Usia 1 bulan-18 tahun: 125-250
mikrogram/kg bb/jam.
Pemberian pada anak untuk injeksi intravena lambat dengan cara diencerkan hingga kadar 2,5
mg/mL menggunakan glukosa 5%, natrium klorida 0,9% atau campuran natrium laktat.
Diberikan selama sekurang-kurangnya 3 menit. Untuk infus intravena, diperlukan pengenceran
lebih lanjut.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta cahaya matahari
langsung.
Contoh obat : aciblock, acran, anitid, biotidine, curadyn, doranit, radin, ranal, ranifin, ranin,
ranivel, ranoxin, rantin, rattan, zantac, titan.

2.6.2.4 Simetidin
Indikasi: tukak lambung dan tukak duodenum jinak, tukak stomal, refluks esofagitis,
sindrom Zollinger-Ellison, kondisi lain di mana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
Mekanisme kerja obat:mengurangi jumlah produksi asam lambung
Peringatan: lihat keterangan di atas; injeksi intravena lebih baik dihindari (infus lebih baik)
terutama pada dosis tinggi dan pada gangguan kardiovaskuler (risiko aritmia);
Interaksi: Mengurangi absorpsi dari obat dasatinib, ketoconazole, itraconazole, posaconazole,
meningkatkan kadar obat fenitoin, teofilin, lidokain, hidroxin, dan antikoagulan dalam darah,
absorbs simetidin dapat dihambat oleh obat antasida lain, menurunkan ketersediaan dari obat
metoklorpamid, sucralfate, propanthelin, dapat meningkatkan efek mielosupresi dari obat
penekan aktivitas sumsum tulang seperti obat antimetabolite, agen pengalkilasi, dan alkohol
dapat memperlambat laju dan sedikit menurunkan waktu perpanjangan absorbs obat simetidin.
Efek Samping: Sakit kepala, rasa kantuk berlebihan, diare, juga alopesia; takikardia (sangat
jarang), nefritis interstitial, ginekomastia (pertumbuhan payudara pada pria)
Dosis: oral, 400 mg 2 kali sehari (setelah makan pagi dan sebelum tidur malam) atau 800 mg
sebelum tidur malam (tukak lambung dan tukak duodenum) paling sedikit selama 4 minggu (6
minggu pada tukak lambung, 8 minggu pada tukak akibat AINS); bila perlu dosis dapat
ditingkatkan sampai 4 x 400 mg sehari atau sampai maksimal 2,4 g sehari dalam dosis terbagi
(misal: stress ulcer); anak lebih 1 tahun, 25-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi.
Pemeliharaan, 400 mg sebelum tidur malam atau 400 mg setelah makan pagi dan sebelum tidur
malam. Refluks esofagitis, 400 mg 4 kali sehari selama 4-8 minggu.
Sindrom Zollinger Ellison (tapi lihat keterangan di atas), 400 mg 4 kali sehari atau bisa lebih.
Profilaksis tukak karena stres, 200-400 mg setiap 4-6 jam.
Pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam; jangan menggunakan sirup), obstetrik
400 mg pada awal melahirkan, kemudian bila perlu sampai 400 mg setiap 4 jam (maksimal 2,4 g
sehari); prosedur bedah 400 mg 90-120 menit sebelum induksi anestesi umum.
Short bowel syndrome: 400 mg dua kali sehari (bersama sarapan dan menjelang tidur),
disesuaikan menurut respons.Untuk mengurangi degradasi suplemen enzim pankreatik, 0,8-1,6 g
sehari dalam 4 dosis terbagi menurut respons 1-1,5 jam sebelum makan.
Anak. Neonatus: 5 mg/kg bb 4 kali sehari; Usia 1 bulan-12 tahun: 5-10 mg/kg bb (maks. 400
mg) 4 kali sehari; Usia 12-18 tahun 400 mg 2-4 kali sehari.
Injeksi intramuskuler: 200 mg setiap 4-6 jam.
Injeksi intravena lambat (tetapi lihat peringatan di atas): 200 mg diberikan selama tidak kurang
dari 5 menit; dapat diulang setiap 4-6 jam; bila diperlukan dosis besar atau terdapat gangguan
kardiovaskuler, dosis bersangkutan harus diencerkan dan diberikan selama 10 menit (infus lebih
baik); maksimal 2,4 g sehari.
Infus Intravena: 400 mg dalam 100 mL natrium klorida 0,9 % infus intravena diberikan selama
0,5-1 jam (dapat diulang setiap 4-6 jam) atau dengan cara infus berkesinambungan pada laju
rata-rata 50-100 mg/jam selama 24 jam, maksimal 2,4 g sehari; Bayi di bawah satu tahun melalui
injeksi intravena lambat atau infus intravena, 20 mg/kg bb bobot badan sehari dalam dosis
terbagi pernah dilakukan: Anak lebih dari satu tahun, 25-30 mg/kg bb bobot badan sehari dalam
dosis terbagi.
Anak. (injeksi lambat atau infus intravena): Neonatus 5 mg/kg bb setiap 6 jam; Usia 1 bulan-12
tahun: 5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) setiap 6 jam; Usia 12-18 tahun: 200-400 mg setiap 6 jam.
Pemberian untuk injeksi intravena pada anak tidak melebihi kadar 10 mg/mL dengan natrium
klorida 0,9%, diberikan selama 10 menit; untuk infus intravena intermiten, diencerkan dengan
glukosa 5% atau natrium klorida 0,9%.
Penyimpanan : simpan di suhu ruangan, jauhkan dari lembab, panas serta cahaya matahari
langsung.
Contoh obat : cimetidine, cimexol, corsamet, gastricon, licomet, nulcer, ramet, sanmetidin,
selestidin, tidifar, ulcusan, ulsikur, xepamet.

Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh, Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A., 2005, Mikrobiologi Kedokteran Edisi
21, Jakarta: Salemba Medika.
Gunawijaya FA., 2017, Manfaat Penggunaan Antihistamin Generasi Ketiga, Bagian Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Hartono VC., dan Fitriyadi, 2018, Sistem Pakar Diagnosa Alergi pada Anak Menggunakan
Certainty Factor, Progresif, Vol. 14(1).
Hikmah N., dan I Dewa ARD., 2010, Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi), Stomatognatic
(J.K.G Unej), Vol. 7(2).
Rengganis, Iris. Yunihastuti, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV, Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tjay TH.,  2007, Obat-obat Penting, Jakarta: PT. Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai