Daftar isi
1 Hipersensitivitas Tipe I
2 Hipersensitivitas Tipe II
3 Hipersensitivitas Tipe III
4 Hipersensitivitas Tipe IV
5 Referensi
Hipersensitivitas Tipe I
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Alergi
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler
utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh
keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar
IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang
tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat
ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.[1]
Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama
sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.[4]
Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel
T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).[5]
Referensi
1. ^ a b c (Inggris)Hypersensitivity Reactions. Abdul Ghaffar.
2. ^ David K. Male, Jonathan Brostoff, Ivan Maurice Roitt, David B. Roth (2006).
Immunology. Mosby. ISBN 978-0-323-03399-2.
3. ^ (Inggris)Hypersensitivity Douglas F. Fix.
4. ^ a b (Inggris)Fritz H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-
58890-245-0.
5. ^ (Inggris)Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the
immune response. Academic Press. ISBN 978-0-12-374163-9.
Daftar Isi
o Materi Kedokteran
Blok Imunopatologi
Under Construction 1
Under Construction 2
Under Construction 3
o Tips Kesehatan
o Cerita
o Dongeng
o Kisah
o Legenda
About Us
Disclaimer
Kebijakan Privasi
Ketentuan Layanan
Contact Us
Reaksi hipersensitivitas dapat dibedakan berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk beraksi
pada tubuh manusia. Selain itu, ada juga pembagian menurut ilmuan Robert Coombs dan
Philips HH Gell, yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 macam. Berikut
penjelasannya.
a. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Reaksi ini melibatkan
ikatan silang antara alergen dan IgE. Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa reaksi anafilaksis.
c. Reaksi Lambat
Reaksi lambat terjadi setelah terpajan antigen dan masih terlihat dalam 48 jam. Reaksi ini
melibatkan sitokin yang dikeluarkan oleh sel T untuk mengaktifkan makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa dermatitis kontak,
reaksi M.Tuberkulosis, dan reaksi penolakan transplantasi organ.
Pengertian dan Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas
a. Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya
ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi
alergi, atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut :
- Alergen berikatan silang dengan IgE
- Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya
- Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan dari reaksi ini berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial
atau dermatitis atopi.
b. Hipersensitivitas Tipe 2
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 terjadi karena dibentuknya IgG dan IgM terhadap antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik
atau reaksi sitolitik. Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu reaksi yang bergantung
pada komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC dan disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibodi. Mekanisme singkat dari reaksi tipe 2 ini sebagai berikut :
- IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel
- Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atau antibodi
- Pengeluaran mediator kimiawi
- Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris.
c. Hipersensitivitas Tipe 3
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks imun (antigen-
antibodi) yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan mengakumulasi
leukosit polimorfonuklear di jaringan. Reaksi ini juga dapat disebut reaksi yang diperantarai
kompleks imun. Reaksi ini terdiri dari 2 bentuk reaksi, yaitu : reaksi Kompleks Imun Sistemik
(Serum Sickness) dan reaksi Sistem Imun Lokal (Arthus). Mekanisme reaksi ini secara umum
sebagai berikut :
- Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit
- Mengaktifkan komplemen
- Menarik perhatian Neutrofil
- Pelepasan enzim lisosom
- Pengeluaran mediator kimiawi
- Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa reaksi Arthus, serum sickness,
LES, AR, glomerulonefritis, dan pneumonitis.
d. Hipersensitivitas Tipe 4
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh sel T
CD4+ dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi Tuberkulin,
reaksi Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara
umum sebagai berikut :
- Limfosit T tersensitasi
- Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T
langsung
- Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa tuberkulosis, dermatitis kontak
dan reaksi penolakan transplant.
Reaksi Hipersensitivitas Sebagai Dasar
Mekanisme Alergi Terkait Dengan
Faktor Nutrisi
Posted on 4 September 2009 by Agatha Dinar
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Urtikaria atau biduran, dalam bahasa awam, adalah suatu kelainan yang terbatas pada bagian
superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang
eritematous. Urtikaria dikenal juga sebagai penyakit kulit dengan bintul-bintul kemerahan
sebagai akibat dari proses alergi (Baskoro et.al, 2007).
Seorang anak bernama Siti, 10 tahun, sering menderita biduren/kaligata, yang biasanya
timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pada pipinya
timbul eczema, berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Waktu bayi selain ASI, juga
mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar
bentol-bentol merah, terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen serta diare.
Selanjutnya, Siti tidak berani lagi makan udang, telur, dan semua ikan laut. Setelah periksa
ke dokter, hasil pemeriksaan darah lengkap Hb: 13, 2 gr/dL; jumlah leukosit: 7,5103; AT:
337103; hitung jenis leukosit: eosinofilia relatif. Selanjutnya dokter memberikan obat dan
dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibunya Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma, dengan gejala
sesak nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti khawatir kalau asmanya menurun pada
anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hasil tersebut. Ibunya Siti pernah
berobat ke praktek dokter, diberikan suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syoknya
tersebut, namun tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV?
2. Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi?
3. Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi?
4. Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada
juga yang menetap?
5. Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika?
6. Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit
alergi?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV?
2. Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi?
3. Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi?
4. Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada
juga yang menetap?
5. Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika?
6. Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit
alergi?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat?
D. MANFAAT PENULISAN
F. HIPOTESIS
Urtikaria yang terjadi pada pasien dalam kasus adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe
I, yaitu reaksi alergi terhadap makanan tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A. Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers
merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke
dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti
rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut
juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam
sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi
melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+
(Baratawidjaja, 2006).
Tipe IVb
(Baratawidjaja, 2006).
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah
antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik
(misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi
atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai
berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk
mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang
ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk
melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik
terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor
IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag,
monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut,
akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan
berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi,
sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari
hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain
yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator)
yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.
- histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf
sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti alergen lain,
alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target:
kulit (urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna
(nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik) (Rengganis dan
Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya timbul setelah 30-90 menit
setelah makan dan biasa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,
bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE (Baskoro
et.al, 2007).
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen
dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua
protein dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada
orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi
tersering pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar
alergi hilang setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan eliminasi
makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau
menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama.
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1 telah
diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap
sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1
(tropomiosin).
Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan
manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan
oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat
menimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random
IgE pada sel mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). .
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama
yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar
menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen
penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan
penyakit dengan alergi.
2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian
ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.
Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan
pasien.
5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan
diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat
berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara
sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan harapan di masa
mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab,
bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga.
Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja
dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan
kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan (Baskoro
et.al, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
ASI berisi substansi alamiah yang membantu maturitas usus bayi sehingga melindungi
terhadap reaksi alergi, meningkatkan pertumbuhan postnatal dari epitel intestinal dan
maturasi fungsi mukosa, serta menjaga keseimbangan Th1 dan Th2 yang menyebabkan
penurunan risiko terjadinya alergi.
Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan mengalami alergi, karena maturitas barier
imunitasnya belum sempurna, sehingga belum dapat melindungi tubuh dengan maksimal.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi
yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi
yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
Ibunya Siti yang mengalami pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma,
dengan gejala sesak nafas dan mengi, menunjukkan bahwa ibunya Siti juga memiliki riwayat
alergi. Mekanisme alergi pada ibunya Siti juga tetap diperantarai histamin, namun, alergi
pada ibunya Siti bermanifestasi pada saluran pernafasan. Contohnya, bronkokonstriksi yang
menyebabkan sesak nafas dan mengi (ekspirasi berbunyi) adalah akibat dari kerja histamin
yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Sedangkan pilek, hidung gatal, dan bersin,
adalah upaya mukosa dan sekretnya untuk menyingkirkan alergen yang masuk ke saluran
pernafasan. Asma, dalam hal ini adalah alergi bronkus yang dikhawatirkan menurun,
memang mempunyai kemungkinan diturunkan. Dengan mempunyai hanya satu orang tua
yang memiliki riwayat alergi saja, anak telah memiliki risiko alergi sebesar 20-40%.
Syok anafilaktik yang terjadi ketika ibunya Siti disuntik merupakan salah satu reaksi alergi
hebat akibat pelepasan histamin yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran dan
penurunan tekanan darah. Apabila dijumpai syok anafilaktik, hendaknya pada pasien segera
diberikan antagonis fisiologis histamin, yaitu berupa injeksi adrenalin.
Apabila dijumpai pasien dengan kecurigaan penyakit alergi, maka pertama kali dilakukan
anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan laboratorium, kemudian tes kulit yang
sederhana. Apabila belum ditemukan penyebab yang pasti, barulah dilakukan tes provokasi.
Dalam kasus, kemungkinan besar pasien alergi terhadap makanan tertentu seperti udang dan
kepiting, karena gejala-gejala alergi yang ada timbul setelah pasien makan makanan tersebut.
Penatalaksanaan yang paling baik untuk alergi adalah menghindari alergennya. Namun
apabila diperlukan, dapat digunakan antihistamin, obat-obat kortikosteroid, serta
imunosupresan yang seluruhnya digunakan untuk menekan respon sistem imun yang
berlebihan yang terjadi pada reaksi alergi.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE.
2. Pasien dalam kasus mengalami alergi terhadap makanan.
3. Alergi dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup.
4. Sifat alergi mempunyai kemungkinan diturunkan.
5. Diagnosis penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit,
dan apabila perlu tes provokasi.
6. Cara terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu
dapat digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan.
B. SARAN
1. Sebaiknya Siti segera menjalani skin prick test agar diagnosis penyakit dapat segera
dipastikan, dan dibandingkan dengan diagnosis banding bintul kulit lainnya, yaitu
herpes, pemfigoid bulosa, atau penyakit gula kronik.
2. Sebaiknya Siti menghindari makanan-makanan penyebab alergi, seperti udang dan
kepiting, dan menggunakan makanan lain sebagai sumber protein pengganti.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan
Angiodema dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K,
Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21.
Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:
FKUI
Rengganis, Iris. Yunihastuti, Evy. 2007. Alergi Makanan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi dalam Sudoyo,
Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta:
Widya Medika.
About these ads