Anda di halaman 1dari 18

REVIEW : PENGARUH PEMBERIAN DIET TINGGI PROTEIN TERHADAP

PENURUNAN BERAT BADAN ORANG DEWASA OBESITAS

Karya Tulis Ilmiah

disusun oleh :

FIDELA ZAHRADIKA FATHIMAH

NIM : 22030110141015

PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2012
REVIEW : PENGARUH PEMBERIAN DIET TINGGI PROTEIN TERHADAP
PENURUNAN BERAT BADAN ORANG DEWASA OBESITAS

Fidela Zahradika Fathimah


Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Abstrak

Artikel ini menjelaskan tentang pengaruh pemberian diet tinggi protein terhadap
penurunan berat badan orang dewasa obesitas.
Diet tinggi protein banyak digunakan 5 tahun belakangan ini sebagai salah satu cara
menanggulangi berat badan berlebih. Protein dianggap sebagai zat gizi yang mampu
menimbulkan rasa kenyang lebih lama daripada karbohidrat dan lemak sehingga diharapkan
dengan konsumsi energi dengan rasio protein lebih tinggi dapat mengurangi asupan energi total.
Metode yang digunakan adalah telaah literatur dan tinjauan pustaka, serta pengumpulan
data di lapangan.
Hasil yang didapat dalam pembahasan berasal dari review dan perbandingan antara
naskah teoritis dengan bukti empiris penelitian-penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah
terbaru.
Sebanyak 60% penelitian menyebutkan keefektifan diet ini terhadap penurunan berat
badan, sedangkan 40% sisanya mengatakan tidak dan justru memiliki efek berbahaya terhadap
kesehatan. Ada 2 teori mengenai hubungan protein dengan tingkat satiety yaitu (1) protein
memiliki efek thermal yang tinggi, (2) protein mempengaruhi hormon kolesistokinin dan GLP-1
yang mengatur rasa kenyang. Diet tinggi protein juga berpengaruh terhadap komposisi tubuh
yang lebih berotot. Sedangkan keamanan diet ini masih dipertanyakan, mengingat risikonya
terhadap kesehatan ginjal.

Kata kunci : protein, obesitas, diet tinggi protein, tingkat satiety


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah mengenai diet dan berat badan menjadi masalah umum dunia saat ini, di mana
sebagian besar penduduk dunia mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Pengertian
obesitas menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kondisi di mana terjadi
penumpukan lemak berlebih di tubuh, yang mana hal ini dapat berbahaya bagi kesehatan.

Beberapa fakta dari obesitas (Data WHO, Mei 2012) :

1. Obesitas saat ini telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1980
2. Tahun 2008, lebih dari 1,4 milyar oranng dewasa mengalami kelebihan berat badan. Dari
angka tersebut, sekitar 200 juta laki-laki dan 300 juta perempuan mengalami obesitas.
3. 65% populasi dunia tinggal di Negara di mana overweight dan obesitas menjadi
penyebab kematian utama di Negara tersebut dibandingkan dengan underweight.
4. Lebih dari 40 juta balita mengalami overweight pada tahun 2010.
5. Obesitas itu dapat dicegah.

Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 di mana populasi penduduk Indonesia mencapai
210 juta jiwa, penduduk yang menghidapi overweight diperkirakan melebihi 76.7 juta (17.5%)
dan pasien obesitas melebihi 9.8 juta (4.7%). Data penelitian menunjukkan prevalensi obesitas
pada anak-anak usia sekolah sebesar 5%, dimana Sjarif dkk (2005) menunjukkan prevalensi
terbesar terdapat di Jakarta (25%), Semarang (24,3%) Medan (17,7%) dan Palembang (13,2%).

Obesitas itu sendiri merupakan faktor risiko utama penyakit-penyakit kronik-metabolik,


seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, dan kanker. Hal ini menimbulkan kecemasan
tinggi di berbagai kelompok masyarakat sehingga bermunculan upaya-upaya untuk menurunkan
berat badan berlebih tersebut guna meningkatkan status kesehatan individu dan menekan angka
kematian di berbagai Negara.

Salah satu metode yang banyak diperbincangkan saat ini adalah modifikasi diet dengan
meningkatkan ratio protein sebagai sumber energi tubuh. Dikatakan bahwa protein adalah
makronutrien yang bersifat paling mengenyangkan dibanding kedua sumber energi lainnya, yaitu
karbohidrat dan lemak. Rasa kenyang ini dikaitkan dengan efek thermal protein yang lebih
tinggi, sebab protein tidak dapat disimpan dalam tubuh dan perlu segera dimetabolisme. Efek
inilah yang dimanfaatkan dalam diet penurunan berat badan, yaitu diharapkan dengan rasa
kenyang lebih lama dapat mengurangi nafsu makan berlebih dan dengan demikian pula lebih
mengontrol asupan energi yang masuk. Selain itu, diet tinggi protein ini juga dapat
meningkatkan penggunaan simpanan lemak dalam tubuh dan mempertahankan lean body mass.

Meninjau dari banyaknya kasus mengenai penggunaan diet tinggi protein terhadap
penurunan berat badan, penulis merasa perlu mengkaji jenis diet ini dilihat dari mekanismenya,
keefektifannya terhadap penurunan berat badan, dan keamanannya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh penggunaan diet tinggi protein terhadap penurunan berat badan
orang obesitas, dilihat dari mekanisme kerja, pengaruhnya terhadap penurunan berat badan, dan
keamanannya, baik secara teoritis maupun bukti empiris?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengkaji pengaruh penggunaan diet tinggi protein terhadap penurunan berat badan orang
obesitas.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan mekanisme kerja yang mendasari hubungan antara diet tinggi
protein dengan penurunan berat badan orang obesitas.
b. Menganalisis keefektifan pengaruh diet tinggi protein terhadap penurunan berat
badan.
c. Menganalisis tingkat keamanan diet tinggi protein terhadap kesehatan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai alternatif
diet tinggi protein yang lebih efektif dan aman bagi populasi penderita obesitas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Protein
1.1 Pengertian
Protein (akar kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah
senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-
monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Protein terdiri
dari asam-asam amino yang mengandung unsur unsur C, H, O, N. Molekul protein juga
mengandung fosfor dan belerang. Beberapa jenis protein mengandung jenis logam seperti besi
dan tembaga. Komponen penyusun protein terdiri dari karbon 51-55%, Hidrogen 0,5-7,3%,
Oksigen 21,5-23,5%, Sulfur 0,52%, Phosfor 0-1,5%. (Winarno, 1991). Protein sering disebut
sebagai zat makanan bernitrogen karena protein merupakan satu-satunya zat gizi yang
mengandung nitrogen dalam strukturnya.
Dalam sel yang hidup, protein merupakan bagian yang esensial. Pada sebagian besar
jaringan tubuh, protein merupakan komponen terbesar setelah air, kira-kira 50% dari berat kering
total sel. Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap oleh usus dalam
bentuk asam amino. (Winarno, 2004).
Karena merupakan zat yang esensial bagi semua makhluk hidup, protein terdapat secara
luas di hampir semua jenis makanan.

1.2 Sumber Protein

Sumber-sumber protein dapat dibedakan menjadi sumber protein nabati dan hewani.
Sumber protein hewani antara lain terdapat dalam daging, ikan, ayam, telur, dan susu. Sedangkan
sumber protein nabati banyak terdapat dalam jagung, kacang panjang, gandum, kedelai.

Tabel 2.2 Daftar Kadar Protein dalam beberapa jenis makanan


No Sumber protein Protein ( g %) Sumber protein Protein (g%)
hewani nabati
1 Daging 18,8 Kacang kedelai 34,9
2 Hati 19,7 Kacang ijo 22,2
3 Babat 17,6 Kacang tanah 25,3
4 Jeroan 14,0 Beras 7,4
5 Daging kelinci 16,6 Jagung 9,2
6 Ikan segar 17,0 Tepung terigu 8,9
7 Kerang 16,4 Jampang 6,2
8 Udang 21,0 Kenari 15,0
9 Ayam 18,2 Kelapa 3,4
(Djaeni, 2008)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan protein pada hewan rata-rata berkisar
antara 17 20% berat total, sedangkan untuk protein nabati lebih bervariasi nilainya. Beberapa
sumber pangan seperti kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah malah memiliki
kandungan protein lebih tinggi dari rata-rata protein hewani. Kacang kedele merupakan sumber
protein nabati yang mempunyai nilai biologik tertinggi.

2. Obesitas
Pengertian obesitas menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kondisi di
mana terjadi penumpukan lemak berlebih di tubuh, yang mana hal ini dapat berbahaya bagi
kesehatan.
Menurut Maruf (2005) dalam Amsriza (2007), secara ilmiah, obesitas terjadi karena
adanya ketidakseimbangan sistematik antara asupan kalori dengan pemakaian energi. Terjadinya
obesitas melibatkan beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan, psikis, jenis kelamin, kesehatan
seperti penyakit hipotiroidisme, obat-obatan seperti kortikosteroid, perkembangan terutama yang
gemuk pada masa kanak-kanak, dan aktivitas fisik.
Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas ada berbagai cara, salah satunya
dengan menggunakan indeks berdasarkan berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m) pangkat 2,
yang disebut Indeks Massa Tubuh (IMT).

Tabel 2.5 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT
menurut WHO 2000
Kategori BMI (kg/m2)
Underweight < 18,5 kg/m2
Batas normal 18,5 24,9 kg/m2
Overweight > 25 kg/m2
Pre-obese 25,0 29,9 kg/m2
Obese I 30,0 39,9 kg/m2
Obese II 35,0 39,9 kg/m2
Obese III > 40,0 kg/m2

Tabel 2.6 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut
menurut kriteria Asia Pasifik (2000)

Risiko Ko-Morbiditas
IMT Lingkar Perut
Klasifikasi
(kg/m2) <90 cm (pria) >90 cm (pria)
<80 cm (wanita) >80 ccm (wanita)
Berat badan kurang <18,5 Rendah (risiko Sedang
meningkat pada
masalah klinis lain)
Kisaran normal 18,5 22,9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih >23,0
Berisiko 23,0 24,9 Meningkat Moderat
Obes I 25 29,9 Moderat Berat
Obes II >30,0 Berat Sangat berat

3. Penggunaan Diet Tinggi Protein untuk Penurunan Berat Badan pada Orang Obese
3.1 Diet Tinggi Protein

Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1985) adalah konsumsi yang diperlukan


untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan
dalam masa pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui. Angka Kecukupan Protein (AKP) orang
dewasa menurut hasil-hasil penelitian keseimbangan nitrogen adalah 0,75 gram/kg berat badan,
berupa protein patokan tinggi yaitu protein telur (mutu cerna/digestibility daya manfaat/ utility
telur adalah 100). Angka ini dinamakan safe level of intake atau taraf suapan terjamin.
Dalam diet sehari-hari biasanya diberikan asupan protein 15-20% dari total kebutuhan
energi. Dalam diet tinggi protein, rasionya bisa ditingkatkan hingga 30%, bahkan lebih.
Normalnya, diet tinggi protein ini terutama diberikan pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya
pada pasien luka bakar atau kanker, dan pasien dengan kondisi metabolik tertentu.

Diet tinggi protein bisa diterapkan dengan mengasup susu tinggi protein, putih telur, atau
ikan. Untuk mudahnya, kita mengonsumsi lauk pauk lebih tinggi dari karbohidrat. Diet tinggi
protein ini juga akan lebih efektif jika digabungkan dengan serat. Diet tinggi protein biasanya
diasumsikan juga dengan diet rendah karbohidrat.
Disarankan untuk melakukan diet tinggi protein ini di satu waktu tertentu daja, misalnya
ketika sarapan untuk mencegah ngemil berlebihan di pagi hari. Dan tidak disarankan pula untuk
melakukan diet jangka panjang secara terus-menerus.

3.2 Penggunaan Diet Tinggi Protein dalam Diet Penurunan Berat Badan

Metode diet ini ditemukan oleh Dr. Robert Atkins pada era 1970-an. Aturan diet ini
dengan meminimalkan asupan karbohidrat dan gula, serta menggantinya dengan lebih banyak
mengonsumsi protein dan lemak.

Protein dinilai sebagai makronutrien yang paling mengenyangkan jika dibandingkan


dengan karbohidrat dan lemak. Karena keefektifannya sebagai zat gizi yang dapat
mempengaruhi rasa kenyang, banyak rancangan diet penurunan berat badan yang mengacu pada
pengurangan energy intake dengan menggunakan ratio protein yang lebih tinggi dibandingkan
RDA. Diharapkan dengan peningkatan konsumsi protein diimbangi dengan pengurangan
konsumsi karbohidrat atau lemak yang cenderung menyebabkan lebih cepat lapar, nafsu makan
subjek dapat lebih terkontrol dan dengan demikian dapat mengarah ke keseimbangan energi
negatif.
Isu seputar diet ini juga mengatakan bahwa asupan protein yang tinggi dapat
meningkatkan massa otot dan mencegah penimbunan lemak, sehingga hasil akhir diet ini juga
berdampak pada komposisi tubuh yang lebih berotot.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan:

1. Review studi literatur dan tinjauan pustaka penelitian terdahulu.


2. Survei lapangan.

Sumber data penelitian:

1. Teori dasar yang diambil dari buku ajar gizi resmi.


2. Teori pengembangan yang diambil dari jurnal penelitian gizi dan kesehatan terbaru, baik
skala internasional sebanyak 80% dan skala nasional sebanyak 20%, minimal 10 tahun
terakhir.
3. Data prevalensi orang dewasa obesitas di Kota Semarang dari Badan Pusat Statistik Kota
Semarang.
4. Data lapangan tentang penggunaan diet tinggi protein di Kota Semarang dari hasil survei
lapangan, data di klinik gizi dan klinik obesitas, serta data di Rumah Sakit.

Penelitian di lapangan dilakukan dengan cara survei dan kuesioner.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Kerja Diet Tinggi Protein

Protein merupakan makronutrien yang dinilai paling mengenyangkan. Dalam banyak


kasus, diet tinggi protein dapat meningkatkan rasa kenyang dan mengurangi asupan energi di
waktu makan berikutnya dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat atau lemak. Penelitian
yang dilakukan Dr. Fiastuti Witjiono, Sp.Gk dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini
menerapkan diet tinggi protein pada wanita dewasa obese dengan memberikan 40% protein dari
total energi sehari, dan diet ini terbukti lebih efektif dalam memperlama waktu pengosongan
lambung sehingga subjek tidak gampang lapar dibandingkan dengan subjek yang diberi diet
karbohidrat dan lemak yang lebih tinggi.

Ada beberapa kemungkinan yang mendasari hal ini, salah satunya adalah teori tentang
efek thermal protein. Protein memiliki efek thermal yang lebih besar daripada karbohidrat dan
lemak, sebab protein tidak dapat disimpan dalam tubuh dan perlu segera dimetabolisme.

Ada konsensus umum yang menyatakan bahwa protein merangsang termogenesis ke


tingkat yang lebih tinggi dibandingkan makronutrien lainnya. Energi metabolisme protein
menurut faktor Atwater adalah sebesar 17 kJ/g, dari energi metabolisme bersih yang seharusnya
sebesar 13 kJ/g. Beberapa penjelasan diberikan terkait dengan peningkatan efek termogenik
protein ini. Sebagai contoh, peningkatan konsumsi protein dari RDA dapat meningkatkan efek
thermogenik sebesar 68% dari efek termogenik akut setelah makan. Tubuh memiliki kapasitas
penyimpanan yang fleksibel untuk mengatasi peningkatan kebutuhan protein, oleh karena itu
tubuh harus lebih aktif mengoksidasi atau menghilangkan kelebihan asam amino, yang kemudian
akan meningkatkan termogenesis.

Meskipun efek termal ini kecil pengaruhnya, yaitu hanya sekian persen dari total energy
expenditure, akan tetapi cukup memberikan efek terhadap keseimbangan energi negatif yang
berpengaruh terhadap penurunan berat badan.

Selain itu, peningkatan konsentrasi asam amino juga dapat menyebabkan rasa kenyang
melalui stimulasi glukoneogenesis, sehingga mencegah penurunan kadar glikemi.
Proses fisiologis lain dalam peningkatan rasa kenyang adalah stimulasi dari
kolesistokinin dan glucagon-like peptide-1 (GLP-1). Kolesistokinin dan GLP-1 dikenal sebagai
hormon yang mampu meningkatkan rasa kenyang dan memperlama waktu pengosongan
lambung.

Ada teori yang mengatakan bahwa protein dari sumber yang berbeda akan menghasilkan
tingkat satiety yang berbeda pula. Sebagai contoh, konsumsi protein dari hewan (babi)
menghasilkan energi 2% lebih tinggi dibandingkan energi yang dihasilkan protein nabati
(kedelai). Beberapa studi juga meneliti tentang efek pengosongan lambung setelah konsumsi
protein tertentu, misal protein whey dibandingkan kasein. Kasein dapat meningkatkan rasa
kenyang karena kasein mempunyai efek stimulai yang lebih besar terhadap hormon-hormon
seperti kolesistokinin dan GLP-1.

B. Keefektifan Diet Tinggi Protein dalam Pengelolaan Berat Badan

Banyak studi yang mengkaji tentang diet tinggi protein ini, seiring berkembangnya isu-
isu mengenai keefektifan alternatif diet tersebut. Penelitian pada akhir 1990-an kebanyakan
masih mengkaji apakah diet tinggi protein dapat digunakan sebagai alternatif penurunan berat
badan. Selanjutnya pada tahun 2000-an penelitian yang dilakukan berkembang ke mekanisme
kerja, perbandingan jenis protein yang digunakan, efeknya terhadap komposisi tubuh, dll.

Beberapa studi menunjukkan bahwa diet tinggi protein dapat meningkatkan penurunan
berat badan total dan meningkatkan persentase kehilangan simpanan lemak tubuh. Dalam
percobaan selama 6 bulan dari 60 sampel obesitas yang diambil secara random, kehilangan
lemak mencapai hampir dua kali lebih besar pada subyek yang menerima diet tinggi protein
(25% energi, 128-139 g/hari) dibandingkan dengan subyek yang menerima diet protein moderat
(12% energi, 76 80 g/hari).

Studi lain tentang keefektifan diet tinggi protein dilakukan pada 50 subjek obesitas
selama 12 bulan. Pada 6 bulan pertama, subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang
mengkonsumsi diet tinggi protein (25% total energi) dan kelompok yang menerima diet protein
moderat (12% total energi). Konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya, penurunan berat
badan pada kelompok dengan diet tinggi protein adalah lebih besar (sekitar 9,4 kg banding 5,9
kg). selama masa 6 bulan berikutnya, kelompok tinggi protein mengalami penurunan lemak
abdominal 10% lebih besar daripada kelompok protein moderat.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa keseimbangan energi negatif yang
dihasilkan oleh diet tinggi protein mungkin disebabkan karena asupan energi yang lebih rendah
karena peningkatan rasa kenyang dan efek thermogenesis yang lebih tinggi.

Kemampuan dari diet tinggi protein untuk mencegah berat badan kembali naik setelah
program penurunan berat badan juga memiliki hasil yang positif. Dalam sebuah studi dari 113
laki-laki dan perempuan overweight yang kehilangan 5-10% dari berat badan mereka selama 4
minggu dengan diet rendah energi, mereka yang mengkonsumsi diet dengan 18% protein lebih
mampu menjaga berat badan mereka dibanding kelompok yang hanya mengkonsumsi 15%
energi protein.

Selain itu, diet tinggi protein juga berpengaruh positif terhadap komposisi tubuh, yaitu
dapat meningkatkan pembakaran lemak tubuh sambil mempertahankan atau bahkan
meningkatkan lean body mass. Jadi, pada beberapa kasus diet, ada hubungan yang signifikan
terkait efek stimulasi pada anabolisme protein otot, mendukung retensi massa otot, sekaligus
meningkatkan profil metabolisme.

Sebanyak 60% data penelitian hasil telaah literatur menunjukkan pengaruh positif diet
tinggi protein terhadap penurunan berat badan, 30% menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan
antara penggunaan diet tinggi protein dan diet biasa, sedangkan sisanya menunjukkan hasil yang
negatif.

Masih diperlukan pengkajian dan penelitian lebih dalam lagi tentang keefektifan diet ini,
terutama dari mekanisme kerjanya yang hingga sekarang masih belum pasti. Diperlukan juga
penelitian hingga tahap evidence based dan seluler.

C. Keamanan Penggunaan Diet Tinggi Protein untuk Penurunan Berat Badan

Walaupun terbukti efektif, masih terdapat banyak perdebatan tentang efek kesehatan dari
diet ini. Hal yang mendasar adalah diet ini tidak seimbang gizi. Diet ini tidak memenuhi
persyaratan gizi tubuh, yaitu 60% kebutuhan energi seharusnya berasal dari karbohidrat.
Diet tinggi protein ini dikaitkan dengan beberapa masalah kesehatan seperti penyakit
ginjal dan osteoporosis. Diet tinggi protein ini sangat tidak dianjurkan untuk orang dengan
gangguan ginjal, sebab konsumsi protein lebih dari 25% dari total energi sehari dapat
memperberat fungsi ginjal dalam mengekskresi hasil metabolisme protein seperti asam urat dan
kalsium. Asupan protein tinggi juga merupakan faktor risiko terjadinya batu ginjal. Sedangkan
kaitannya dengan risiko osteoporosis adalah protein menyebabkan ekskresi kalsium dalam urin
lebih tinggi, sehingga penyimpanan kalsium dalam tulang menurun.

Masalah-masalah kesehatan tersebut dapat muncul jika seseorang menjalani diet tinggi
protein ini dalam jangka panjang. Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya kontrol yang ketat
dalam menjalankan diet ini, jenis makanan sumber protein yang diasup, dan waktu penerapan.
Keseimbangan zat gizi lain juga tetap harus diperhatikan.

Masih diperlukan studi lebih lanjut tentang efek samping dari diet tinggi protein tersebut.
Sementara ini penelitian yang ada masih sangat sedikit untuk dapat dikatakan sebagai bukti
ilmiah yang relevan untuk selanjutnya siap diimplementasikan ke masyarakat.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah


internasional, diet tinggi protein terbukti memiliki pengaruh terhadap penurunan berat badan
karena dapat memperlama rasa kenyang dan mengurangi asupan energi di waktu makan
berikutnya. Namun hubungan antara tingkat satiety dan protein belum banyak diketahui.
Hipotesis yang berkembang adalah karena protein memiliki efek thermal lebih tinggi dibanding
karbohidrat dan lemak serta mempengaruhi hormon yang mengatur rasa lapar.

Namun keamanan diet tinggi protein masih perlu dikaji lebih lanjut, terutama dari efek
sampingnya terhadap kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alannah D. Maurer. et. al. 2009. Changes in Satiety Hormones and Expression of Genes
Involved in Glucose and Lipid Metabolism in Rats Weaned Onto Diets High in Fibre or
Protein Reflect Susceptibility to Increased Fat Mass in Adulthood. The Physiological
Society.
Alexandra M Johnstone. et. al. 2008. Effects of a high-protein ketogenic diet on hunger, appetite,
and weight loss in obese men feeding ad libitum. American Society for Nutrition.
Anne Raben. et. al. 2003. Meals with Similar Energy Densities but Rich in Protein, Fat,
Carbohydrate, or Alcohol Have Different Effects on Energy Expenditure and Substrate
Metabolism but not on Appetite and Energy Intake. American Society for Clinical
Nutrition.
Astrid J. Smeets. et. al. 2008. Energy Expenditure, Satiety, and Plasma Ghrelin, Glucagon-Like
Peptide 1, and Peptide Tyrosine-Tyrosine Concentrations Following A Single High-
Protein Lunch. American Society for Nutrition.
Bridie J. Archer. et. al. 2004. Effect of Fat Replacement by Inulin or Lupinkernel Fibre on
Sausage Patty Acceptability, Postmeal Perceptions of Satiety and Food Intake in Men.
British Journal Of Nutrition.
David S Weigle. et al. 2005. A High-Protein Diet Induces Sustained Reductions in Appetite,
Adlibitum Caloric Intake, and Body Weight Despite Compensatory Changes in Diurnal
Plasma Leptin and Ghrelin Concentrations. American Society for Clinical Nutrition.
David S. Weigle. et. al. 1995. Recombinant ob Protein Reduces Feeding and Body Weight in The
ob/ob Mouse. The American Society for Clinical Investigation, Inc.
Dawn B. Marks, Ph.D. et. al. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta : Gramedia.
Donald K Layman. 2009. Dietary Guidelines Should Reflect New Understandings About Adult
Protein Needs. Nutrition & Metabolism.
Donald K. Layman. et. al. 2003. A Reduced Ratio of Dietary Carbohydrate to Protein Improves
Body Composition and Blood Lipid Profiles during Weight Loss in Adult Women.
American Society for Nutritional Sciences.
Douglas Paddon-Jones. et. al. 2008. Protein, Weight Management, and Satiety. American
Society for Nutrition.
E-book Komoditas Sumber Protein
Emma J. Stevenson. et. al. 2009. Fat Oxidation During Exercise and Satiety During Recovery
are Increased Following A Low-Glycemic Index Breakfast in Sedentary Women.
American Society for Nutrition.
Ening Ariningsih. Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Rumah Tangga Perdesaan di
Indonesia: Analisis Data Susenas 1999, 2002, dan 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Fiastuti Witjaksono. 2012. Pengaruh Diet dengan Komposisi Protein Tetentu Terhadap Gut
Hormone Rasa Lapar dan Rasa Kenyang pada Wanita Dewasa Obese. Disertasi doktoral
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
G. Harvey Anderson dan Shannon E. Moore. 2004. Dietary Proteins in The Regulation of Food
Intake and Body Weight in Humans. American Society for Nutritional Sciences.
Heather J. Leidy. et. al. 2007. Effects of Acute and Chronic Protein Intake on Metabolism,
Appetite, and Ghrelin During Weight Loss. Department of Foods and Nutrition, Ingestive
Behavior Research Center.
Heather J. Leidy. et. al. 2009. Increased Dietary Protein Consumed at Breakfast Leads to an
Initial and Sustained Feeling of Fullness During Energy Restriction Compared to Other
Meal Times. British Journal of Nutrition.
Helena GM Liljeberg. et. al. 1999. Effect of The Glycemic Index and Content of Indigestible
Carbohydrates of Cereal-Based Breakfast Meals on Glucose Tolerance at Lunch in
Healthy Subjects. American Society for Clinical Nutrition.
J Bowen. et al. 2007. Appetite Hormones and Energy Intake in Obese Men After Consumption of
Fructose, Glucose and Whey Protein Beverages. International Journal of Obesity.
J. D. Latner dan M. Schwartz. 1999. The Effects of A High-Carbohydrate, High-Protein or
Balanced Lunch Upon Later Food Intake and Hunger Ratings. Academic Press.
Jane Bowen. et. al. 2006. Appetite Regulatory Hormone Responses to Various Dietary Proteins
Differ by Body Mass Index Status Despite Similar Reductions in ad Libitum Energy
Intake. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism.
Jay R. Hoffman dan Michael J. Falvo. 2004. Protein Which Is Best. Journal of Sports Science
and Medicine.
Jillon S. Vander Wal, PhD. et. al. 2005. Short-Term Effect of Eggs on Satiety in Overweight and
Obese Subjects. Journal of the American College of Nutrition.
Manuela PGM Lejeune. et. al. 2006. Ghrelin and Glucagon-Like Peptide 1 Concentrations, 24-H
Satiety, and Energy and Substrate Metabolism During A High-Protein Diet and
Measured in A Respiration Chamber. American Society for Nutrition.
Marjan J van Erk. et. al. 2006. High-Protein and High-Carbohydrate Breakfasts Differentially
Change The Transcriptome of Human Blood Cells. American Society for Nutrition.
Mary C Gannon. et al. 2003. An Increase in Dietary Protein Improves The Blood Glucose
Response in Persons With Type 2 Diabetes. American Society for Clinical Nutrition.
MS Westerterp-Plantenga. et. al. 1999. Satiety Related to 24 H Diet-Induced Thermogenesis
During High Protein=Carbohydrate Vs High Fat Diets Measured in A Respiration
Chamber. European Journal of Clinical Nutrition.
NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimur. 2007. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non
Gizi. Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB.
Per B Mikkelsen. et. al. 2000. Effect of Fat-Reduced Diets on 24-H Energy Expenditure:
Comparisons Between Animal Protein, Vegetable Protein, and Carbohydrate. American
Society for Clinical Nutrition.
Richard J Wurtman. et. al. 2003. Effects of Normal Meals Rich in Carbohydrates or Proteins on
Plasma Tryptophan and Tyrosine Ratios. American Society for Clinical Nutrition.
Rick Hursel. et. al. 2010. Effects of A Breakfast Yoghurt, With Additional Total Whey Protein or
Caseinomacropeptidedepleted lactalbuminenriched Whey Protein, on Dietinduced
Thermogenesis And Appetite Suppression. British Journal of Nutrition.
S. Borzoei. et al. 2006. A Comparison of Effects of Fish and Beef Protein on Satiety in
Normal Weight Men. European Journal of Clinical Nutrition.
SHA Holt. et al. 1995. A Satiety Index of Common Food. European Journal of Clinical Nutrition.
Thomas L. Halton dan Frank B. Hu, MD, PhD. 2004. The Effects of High Protein Diets on
Thermogenesis, Satiety and Weight Loss: A Critical Review. Journal of the American
College of Nutrition.
Volker Schusdziarra. et. al. 2011. Impact of Breakfast on Daily Energy Intake an Analysis of
Absolute Versus Relative Breakfast Calories. Schusdziarra et al. Nutrition Journal.
W. L. Hall. et. al. 2003. Casein and Whey Exert Different Effects on Plasma Amino Acid
Profiles, Gastrointestinal Hormone Secretion and Appetite. British Journal of Nutrition.
Wendy AM Blom. et. al. 2006. Effect of A High-Protein Breakfast on The Postprandial Ghrelin
Response. American Society For Nutrition.
Ya P Lee. et. al. 2006. Lupin-Enriched Bread Increases Satiety and Reduces Energy Intake
Acutely. American Society for Nutrition.

Anda mungkin juga menyukai