Disusun Oleh:
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1
terganggu yang menyebabkan produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi
normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan digunakan untuk melindungi
tubuh dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE,
antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing
dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T berkontribusi pada
respon imun penyakit SLE (Atikah, 2018). Penyebab penyakit SLE ini belum
sepenuhnya diketahui, akan tetapi pada beberapa penderita ditemukan antibodi
yang spesifik terhadap beberapa komponen tubuhnya sendiri termasuk terhadap
DNA, yang diduga dilepaskan pada saat penghacuran sel atau jaringan secara
normal, terutama sel – sel kulit (Radji, 2010).
2
BAB II
TINJAUAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% dapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lainya.
3
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
1. Hipersensitivitas
Hipersensitifitas adalah suatu respon antigenic yang berlebihan yang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitivitas
dengan antigen atau alergen tertentu. Reaksi hipersensitifitas dibagi menjadi 4
golongan:
Tipe I (reaksi anafilaktik)
Faktor penting terjadinya reaksi anafilaktik adalah IgE yang merupakan
antibodi homositotropik atau reagin. Pada umumnya reaksi anafilaktik bersifat
sistemik sehingga menyebabkan syok dan kegagalan pernapasan yang sering
kali berakibat fatal. Reaksi anafilaktik terjadi dalam waktu cepat 2-30 menit
setelah seseorang terpapar kembali antigen yang sama, contoh dari reaksi
anafilaktik adalah asma dan kulit kemerahan (Radji, 2010).
Tipe II (reaksi sitotoksik)
Mekanisme proses sitolisis dengan bantuan antibodi (Antibody Dependent
Cellular Cytotoxicity = ADCC), merupakan cara yang bermanfaat untuk
menghancurkan sel sasaran yang berukuran besar. Selain itu mekaknisme
sitolisis dengan bantuan antibody dapat menghancurkan sel-sel patologi
misalnya tumor (Radji, 2010).
Tipe III (reaksi kompleks imun)
Reaksi hipersensitifitas tipe III merupakan reaksi yang melibatkan antibodi
terhadap antigen yang larut dan bersikulasi dalam serum. Pemaparan antigen
dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibody terutama
4
golongan IgG. Pembentukan kompleks antigen antibodi ini dapat
mengakibatkan inflamasi (Radji, 2010).
Tipe IV (reaksi tipe lambat)
Reaksi hipersensitifitas tipe IV atau hipersensitifitas tipe lambat
merupakan reaksi yang melibatkanrespon imun selular khususnya sel T.
Reaksi ini berlangsung lambat, umumnya timbul lebih dari 12 jam, karena
migrasi sel T dan makrofag ke tempat adanya antigen memerlukan waktu
berkisar 12-24 jam (Radji, 2010).
2. Penyakit autoimun
Reaksi autoimunitas tipe I
5
Reaksi autoimunitas tipe I melibatkan antibodi dalam menyerang jaringan
tubuh sendiri. Protein virus mirip dengan protein dari jaringan tubuh, sehingga
antibodi yang ada dapat merusak jaringan tubuh sendiri. Penyakit hepatitis
yang disebabakan oleh virus hepatitis C merupakan salah satu penyakit
hepatitis autoimun berdasarkan reaksi autoimunitas tipe I (Radji, 2010).
Reaksi autoimunitas tipe II (Sitotoksik)
Grave’s disease dan myasthenia gravis merupakan contoh penyakit reaksi
autoimun tipe II. Grave’s disease timbul sebagai akibat dari produksi antibodi
yang merangsang tiroid. Penyakit Myasthenia gravis merupakan penyakit
autoimun yang mengakibatkan kelemahan otot secara progesif (Radji, 2010).
Reaksi autoimunitas tipe III (Kompleks imun)
Systemic Lupus Erythomatosus (SLE) dan Rheumatoid arthritis
merupakan penyakit autoimun tipe III. Menifestasi lupus eritomasus sistemik
umumnya terjadi pada organ jaringan diseluruh tubuh. Penyebab penyakit ini
belum diketahui sepenuhnya, akan tetapi pada beberapa penderita ditemukan
antibody yang spesifik terhadap beberapa kompenen tubuhnya sendiri
termasuk terhadap DNA. Artritis rheumatoid merupakan kelainan sendi yang
disebabkan oleh reaksi kompleks imun antara IgM, IgG dan komplemen pada
persendian (Radji, 2010).
Reaksi autoimunitas tipe IV (call-mediated autoimmune)
Penyakit multiple sclerosis dan Hoshimoto’s thyroiditis merupakan contoh
reaksi autoimun tipe IV. Gejala penyakit multiple sclerosis sangat beragam
mulai dari kelelahan yang kronis sampai kelumpuhan (paralysis). Belum
ditemukan obat untuk mengatasi kondisi penderita, akan tetapi pemberian
interferon dapat memperlambat keparahan penyakit. Hashimoto’s Thyroiditis
terjasi akibat distruksi kelenjar tiroid, melalui respon imun selular terutama
oleh sel T. Penyakit autoimun lainnya yaitu diabetes mellitus yang disebabkan
karena kerusakan sel pancreas, pemyakit DM tipe I tergantung pada insulin
(insulin dependent diabetes mellitus) (Radji, 2010).
3. Imunodefisiensi
6
Imunodefisiensi atau imunokompromais adalah fungsi imun yang menurun
atau tidak berfungsi dengan baik. Keadaan imunodefisiensi dapat terjadi
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain akibat infeksi (AIDS, Virus
mononucleosis, rubella, dan campak), pengguna obat (steoid, penyinaran,
kemoterapi, imunosupesi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit
hematologik (limfoma/Hodgkin, leukemia, mieloma, neutropenia, anemia)
penyakit metabolit (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik,
DM, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka bakar, splenektomi,
anestesi), systemic erythematosus lupus (SLE), dan hepatitis kronis (Radji,
2010).
7
Keterangan :
8
- Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin terkena SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
9
2.5 Algoritma Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2.6 Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Tabel 4. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai
10
11
(Perhimpunan Rheumatoid Indonesia, 2011)
12
Diabetes tergantung pada Pankreas Sel beta pangkreas
insulin
Diabetes resisten insulin Sistemik Reseptor insulin
Alergi atopik Sistemik Reseptor beta –
adrenergik
Miatenia gravis Otot Otot, reseptor
asetilkolin
Sindrom Goodpasture Ginjal, Paru Membran dasar ginjal
dan paru
Pemfigus Kulit Desmosome
Pemfigoid Kulit Membran dasar kulit
Uveitis fakogenik Lensa mata Protein lensa mata
Anemia Hemolitik Platelet, sel darah Sel darah merah
merah
Sirosis bilier primer Liver Mitokondria
Neutropenia idiopatik Neutrofil Neutrofil
Kolitis ulseratif Kolon Lipopolisakarida kolon
Sindrom Sjogren Kelenjar sekretorik Mitokondria
Vitiligo Kulit Melanosit
Reumatoid artritis Kulit, ginjal, sendi IgG
Lupus eritematosus sistemik Sendi DNA, RNA,
nukleoprotein
13
negara maju (Choy, 2012). Prevalensi RA di Indonesia menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Nainggolan (2010), jumlah penderita RA di Indonedsia tahun
2009 adalah 23,6% sampai 31,3%.
14
kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien meringankan
gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit.
17
Ada dua tipe leukosit pada umumnya, yaitu fagosit yang bertugas memakan
organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit yang bertugas mengingat dan
mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh menghancurkan
mereka. Sedangkan sel lainnya adalah netrofil, yang bertugas melawan bakteri.
Jika kadar netrofil meningkat, maka bisa jadi ada suatu infeksi bakteri di
dalamnya. Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit B dan limfosit T.
Limfosit dihasilkan oleh sumsum tulang, tinggal di dalamnya dan jika matang
menjadi limfosit sel B, atau meninggalkan sumsum tulang ke kelenjar thymus dan
menjadi limfosit sel T. Limfosit B dan T mempunyai fungsi yang berbeda dimana
limfost B berfungsi untuk mencari target dan mengirimkan tentara untuk
mengunci keberadaan mereka. Sedangkan sel T merupakan tentara yang bisa
menghancurkan ketika sel B sudah mengidentifikasi keberadaan mereka.
Jika terdapat antigen (benda asing yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi,
maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa mereka dan
memberikan respons. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi antibodi,
suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik. Antibodi
sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari berbagai macam organisme,
dan juga antibodi bisa mengaktivasi kelompok protein yang disebut komplemen
yang merupakan bagian dari sistem imun dan membantu menghancurkan bakteri,
virus, ataupun sel yang terinfeksi.
Sistem imun mempunyai hubungan rapat dengan cara hidup kita. Berikut
adalah faktor-faktor yang merendahkan sistem keimunan kita:
4. Keletihan
18
6. Kurang bersenaman
3.0 Patofisiologis
19
BAB III
SUBJEKTIF
OBJEKTIF
20
Kreatinin 1,6 mg/dL↑ (<0,6-0,9 mg/dL)
C4 24 N (16,4 – 39,2 N)
Komplemen
21
PTTK 48,9 det ↑ (23 det)
ASSESSMENT
1. Mucosta
(rebamipide)
3X1
3X1 CC
3. Inpepsa
(Sucralfat)
3X1 C
5. Aspar K
(k l aspartate)
3X1
6. Maintate 5 mg - - -
(bisoprolol
hemifumarate)
22
0-1-0
7. Amlodipin 10 - -
mg
0-0-1
1X2 kapsul
2x1
13. Sandimmun - - - -
Neoral
(ciclosporin)
2x100mg
23
Analisa Drug Related Problems (DRP)
Informasi Obat
Mucosta
24
Zat Aktif Rebamipide
Dewasa :
- Gastritis 1 tab per oral 3x/hari
Dosis - Tukak Lambung 1 tab per oral 3x/hari, pada pagi hari,
sore dan sebelum tidur malam, dalam ombinasi dengan
penghambat factor ofensif (sebelum atau sesudah makan).
Enystin
25
dari Saccharomyces cerevisiae. Walau tergolong ringan,
sebaiknya hindari penggunaan nystatin dengan ragi tersebut
untuk menghindari interaksi yang tidak diinginkan
Interaksi dengan
-
obat lain
Bekerja dengan menghentikan pertumbuhan jamur candida
Mekanisme dengan mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dean
mengikat sterol dalam membran sel jamur.
Golongan Sucralfate
Zat Aktif Sucralfate
Dewasa:
2 sendok takar, diberikan 4x sehari. Dosis harian tidak
melebihi 8 gr Sucralfate per hari. (saat perut kosong 1-2 jam
sebelum makan).
Dosis
Anak usia 2-12 tahun: satu sendok takar, diberikan 4 kali
sehari.
Anak usia 1 bulan-2 tahun: ½ sendok takar, diberikan 4 kali
sehari.
26
Pantozol
Aspar K
27
Golongan Supplemen kalium
Zat Aktif Potassium aspartate
Dosis Tiga kali satu tablet Aspar K 300 mg
Penyakit hati (hepar), mengatasi kadar kalium rendah pada
Indikasi
tubuh (hypokalemia).
Pasien dengan penyakit addison. Pasien dengan
Kontraindikasi hiperkalemia. Pasien dengan hipersentivitas terhadap
komponen obat.
Penggunaan Aspar-K dapat menyebabkan kondisi jumlah
Interaksi dengan kalium dalam darah sangat tinggi (hiperkalemia), jangan
obat lain digunakan bersamaan dengan preparasi anti aldosteron,
triamterene.
Mekanisme Meningkatkan kadar kalium dalam darah.
Gangguan makan yang ditandai dengan rasa takut akan
Efek samping
gemuk (anorexia). Gangguan lambung.
Bentuk sediaan Tablet
Maintate
Golongan Beta-blocker
Zat Aktif Bisoprolol hemifumarate
Angina pectoris, Hipertensi -> Dewasa: Awalnya, 5 mg
sekali sehari disesuaikan menurut respons. Dosis biasa: 10
mg sekali sehari. Maks: 20 mg setiap hari.
Dosis Gagal jantung kronis -> Dewasa: Awalnya, 1,25 mg sekali
sehari. Dapat digandakan setelah 1 minggu jika ditoleransi,
kemudian secara bertahap meningkat pada interval 1-4
minggu. Maks: 10 mg sekali sehari.
Indikasi Hipertensi dan Gagal jantung.
Syok kardiogenik dan hipovolemik, blok atrioventrikular
Kontraindikasi derajat 2 atau 3, blok sinoatrial, sindrom sinus sakit,
bradikardia dan hipotensi simptomatik.
Dapat mempotensiasi waktu konduksi atrioventrikular dan
dapat meningkatkan efek inotropik negatif dengan obat
antiaritmia kelas I (mis. Quinidine, disopyramide,
propafenone). Penggunaan bersamaan dengan antagonis
kalsium (mis. Verapamil, diltiazem) dapat menyebabkan
Interaksi dengan
blok atrioventrikular dan hipotensi berat. Obat penipis
obat lain
katekolamin yang terjadi bersamaan (mis. Reserpin,
guanethidine) dapat menghasilkan pengurangan aktivitas
simpatis yang berlebihan. Gagal jantung dapat memburuk
ketika diberikan dengan antihipertensi yang terpusat (mis.
Clonidine, methyldopa).
28
Bisoprolol secara selektif dan kompetitif memblokir
reseptor β1-adrenergik tetapi memiliki sedikit atau tidak
Mekanisme
berpengaruh pada reseptor β2 kecuali pada dosis tinggi (≥20
mg).
Bradikardi, gangguan pengelihatan, muntah, mulut kering,
Efek samping
pusing, sakit kepala, dan ruam.
Bentuk sediaan Tablet
Amlodipin
29
atau muntah. Jangan mengendarai kendaraan dulu.
Ikaphen
Golongan Antiepilepsi
Zat Aktif Phenytoin Sodium 100 mg
Dosis Dewasa
Dosis Lazim : 3 kali sehari 1 kapsul Dosis Pemeliharan :
3-4 Kapsul per hari.
Anak
Dosis awal 5 mg/kgBB/hari dalam dua tiga dosis terbagi.
Maksimal 300 mg/hari. Dosis pemeliharaan : 4-
8/kgBB/hari
Indikasi Untuk mengobati trigeminal neuralgia, yaitu suatu jenis
penyakit nyeri saraf yang menyebabkan penderitanya
mengalami rasa sakit panas atau menusuk di bagian wajah.
30
Efek samping Sukar bicara, bingung, pusing, insomnia, gugup, kejang
motorik, sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, ataksia
(kemampuan koordinasi memudar), nistagmus (gerakan
spontan pada mata), hepatitis.
Bentuk sediaan Tablet, Kapsul, Injeksi
Aldacton
Kontraindikasi Hipersensitifitas
Interaksi dengan Dapat menimbulkan hiperkalemia bila dikombinasikan
obat lain dengan ACE-Inhibitor, ARB, Beta blocker, OAINS dan
suplemen kalium.
Metaneuron
31
seksual), mual, tremor, retensi urin.
Catapers
Oscal
Indikasi Vitamin
Kontraindikasi Hiperkalsemia dan toksisitas vitamin D
Interaksi dengan Peningkatan resiko hiperkalsemia dengan diuretik thiazide.
32
Pengurangan penyerapan usus dengan sequestrant asam
empedu misalnya Colestiramine. Penurunan efek dengan
antikonvulsan pengindukasi CYP450 misalnya
obat lain Carbamazepine, fenobarbital, fenitoin, kortikosteroid. Dapat
menyebabkan aritmia jantung dengan digitalis.
Tanapres
Indikasi Hipertensi
Riwayat edema angioneurotik terkait terapi ACE inhibitor
Kontraindikasi
sebelumnya, angioedema isiopatik, kehamilan.
Interaksi dengan Ditandai dengan diuretik, antihipertensi lainnya, dan
obat lain vasodilator. Efek hiperkalemia aditif dengan diuretik hemat
kalium, suplemen K dan pengganti garam yang
mengandung K. mengurangi efek antihipertensi atau efek
33
nefrotoksik tambahan dengan NSAID, rifampisin,
simpatomimetik.
Sandimmun neuoral
Golongan Immunosupressant
Zat Aktif Ciclosporin
Transpantasi organ padan sandimmun neoral 10 mg/ kg/
hari dalam 2 dosis terbagi, dimulai 12 jam sebelum operasi
dan dilanjutkan 1 – 2 minggu setelah operasi. Secara
bertahap kurangi dosis menjadi 2 – 6 mg/ kg dalam 2 dosis
Dosis terbagi.
Transplantasi sumsum tulang awalnya dengan infus
intravena 3 – 5 mg/ kg / hari hingga 2 minggu, kemudian
beralih ke terapi oral dengan sandimmun neoral 12,5 mg/
kg/ hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 – 6 bulan.
Indikasi Antidepresan
Hipersensitif terhadap minyak jarak, gangguan ginjal,
Kontraindikasi immunosupressan.
34
Bentuk sediaan Tablet
PLAN
Terapi Farmakologi :
Mucosta 3x1
Enistin 4x1cc
Pantozole 1x1
Aspar K 3x1
Metaneuron 3x1
Cyclophosphamid i.v 500 mg dalam dextrose 250 ml, infus selama 1 jam.
- Menggunakan pakaian tertutup untuk kulit darii tabir surya hal ini efektif
- Penurunan berat badan disarankan untuk pasien SLE yang mengalami obesitas,
35
Interaksi Obat :
sebagian atau seluruh konduksi impuls listrik dari antrium jantung menuju
ventrikel
- Ikhapen (Fenitoin) tidak digunakan karena efek samping Ikhapen adalah SLE
dan didalam kasus pasien tidak mengalami kejang.
- Tanapres (Imidapril ) tidak digunakan karena memiliki efek yang sedikit tidak
menguntungkan pada fungsi ginjal dan keseimbangan elektrolit.
36
- Amlodipin tidak digunakan karena memiliki efek meningkatkan efek
antihipertensi pada kanal blok
KIE
- Menghindari kelelahan.
DAFTAR PUSTAKA
37
Arthritis Foundation. 2015. Arthritis Foundation Scientific Strategy 2015-2020,
http://www.arthritis.org/Documents/arthritis-foundationscientific-
strategy.pdf.
Bartels, C.M., Diamond, H.S., Muller, D., Farina, A.G., Goldberg, E., Hildebrand,
J., Lakdawala, V.S. 2013. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Retrieved from http://www.emedicine.medscape.com.
Cerika, Rismayanthi. 2010. Terapi Insuin Sebagai Alternatif Pengobatan Bagi
Penderita Diabetes. Medikora. 6 (2) : 29-36.
Cleanthous, S., Tyagi, M., Isenberg, D.A., & Newman, S.P. 2012. What do we
know about self-reported fatigue in systemic lupus erythematosus Lupus,
21 (5), 465–476. https://doi.org/10.1177/0961203312436863.
Evi, R. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE) : Kelainan Autoimun Bawaan
Yang Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia.
1. (2) : 1-16.
Fanouriakis A, Kostopoulou M, Alunno A, et al. 2019. Update of the EULAR
Recommendations For The Management Of Systemic
Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis 2019;78:736–
745.https://www.doi:10.1136/annrheumdis-2019-215089.
Guo, Qiang et al. 2018. Rheumatoid Arthritis: Pathological Mechanisms And
Modern Pharmacologic Therapies. Department of Spine Surgery, Xiangya
Hospital, Central South University, No. 87, Xiangya Road, 410008
Changsha China. www.nature.com/boneres diakses tanggal 5 maret 2020.
38
Smeltzer, Suzanne. dan Bare, Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth Ed.8. EGC, Jakarta.
Nery, F.G., Borba, E.F., Viana, V.S.T., Hatch, J.P., Soares, J.C., Bonfá, E., &
Neto, F. L. 2008.Prevalence of depressive and anxiety disorders in
systemic lupus erythematosusand their association with anti-ribosomal P
antibodies. Progress in Neuro-Psychopharmacology & Biological
Psychiatry, 32(3), 695–700. https://doi.org/10.1016/j.pnpbp.2007.11.014.
Nikolas, S. 2012. Fatigue in Rheumatoid Arthritis: from Patient Experience to
Measurement. Thesis, University of Twente.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. 2010. Brunner and
Suddarth textbook of medical surgical nursing (12th Ed.).Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Tsokos, G.C. 2011. Systemic lupus erythematosus. The New England Journal.
39