Anda di halaman 1dari 40

TUGAS FARMAKOTERAPI DAN TERMINOLOGI MEDIK

Dosen Pengampu : Dr. Maria Caecilia Nanny S. Hadirahardja, M. Sc., Apt.

Disusun Oleh:

Akhmad Ngafif 1061921003

Dyah Permatasari 1061921023

Isnia Sekar Sari 1061921041

Amrina Rosada 1061922005

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”

2020
BAB I
PENDAHULUAN

Imunologi adalah imu yang mempelajari tentang proses pertahanan atau


imunitas tubuh terhadap senyawa makromolekuler atau organisme asing yang
masuk ke dalam tubuh. Zat asing tersebut dapat berupa virus, bakteri protozoa
atau parasit lainnya. Disamping itu tubuh juga dapat mengembangkan respon
imun terhadap protein tertentu yang terdapat di dalam tubuh sendiri yang disebut
dengan autoimunitas dan terhadap keberadaan sel yang tidak dikehendaki, yaitu
respon imunitas tubuh terhadap sel tumor.
Sistem imunitas nonspesifik dan sistem imunitas spesifik berfungsi untuk
mempertahankan tubuh terhadap serangan berbagai mikroorganisme, akan tetapi
terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu :
1. Sistem imun spesifik memerlukan waktu untuk dapat bereaksi terhadap
serangan serangan mikroorganisme, sedangkan sistem imun nonspesifik pada
umumnya dapat langsung dan segera mengatasi adanya proses infeksi di dalam
tubuh.
2. Sistem imun spesifik bersifat antigen spesifik sehingga hanya bereaksi dengan
organisme yang dapat menginduksi respon imunitas terhadap jenis antigen
yang spesifik tersebut. Sedangkan sistem imun nonspesifik tidak bersifat
antigen spesifik dan dapat bereaksi dengan baik dengan berbagai jenis
organisme.
3. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk dapat mengenali jenis
organisme asing yang masuk ke dalam tubuh. Dan dapat bereaksi lebih cepat
terhadap adanya invasi organisme yang sama yang telah dikenalinya.
Sedangkan sistem imun nonspesifik tidak menunjukkan adanya immunological
memory terhadap suatu organisme yang masuk ke dalam tubuh. (Radji, 2010).
Salah satu kelainan dari penyakit autoimun yaitu Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan produksi antibodi
yang berlebihan terhadap komponen inti sel, dan menimbulkan berbagai macam
manifestasi klinis pada organ. SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang

1
terganggu yang menyebabkan produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi
normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan digunakan untuk melindungi
tubuh dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE,
antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing
dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T berkontribusi pada
respon imun penyakit SLE (Atikah, 2018). Penyebab penyakit SLE ini belum
sepenuhnya diketahui, akan tetapi pada beberapa penderita ditemukan antibodi
yang spesifik terhadap beberapa komponen tubuhnya sendiri termasuk terhadap
DNA, yang diduga dilepaskan pada saat penghacuran sel atau jaringan secara
normal, terutama sel – sel kulit (Radji, 2010).

2
BAB II
TINJAUAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

2.1 Pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang
ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen intisel,
dan menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis pada organ (Cleanthous,
2012). Istilah penyakit SLE telah diperkenalkan oleh dokter pada abad ke-19
untuk menggambarkan lesi di kulit, dan membutuhkan waktu hampir 100 tahun
untuk akhirnya menyadari bahwa penyakit ini bersifat sistemik pada beberapa
organ yang disebabkan respon autoimun yang menyimpang (Tsokos, 2011).

2.2 Gejala – Gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Gejala-gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE ) menurut Evi, 2012
adalah sebagai berikut ini :

1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.

2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.

3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari

4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).

5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% dapus.

6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.

7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.

8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lainya.

3
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia

10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif

11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.

2.3 Kelainan Akibat Respon Imun

1. Hipersensitivitas
Hipersensitifitas adalah suatu respon antigenic yang berlebihan yang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitivitas
dengan antigen atau alergen tertentu. Reaksi hipersensitifitas dibagi menjadi 4
golongan:
 Tipe I (reaksi anafilaktik)
Faktor penting terjadinya reaksi anafilaktik adalah IgE yang merupakan
antibodi homositotropik atau reagin. Pada umumnya reaksi anafilaktik bersifat
sistemik sehingga menyebabkan syok dan kegagalan pernapasan yang sering
kali berakibat fatal. Reaksi anafilaktik terjadi dalam waktu cepat 2-30 menit
setelah seseorang terpapar kembali antigen yang sama, contoh dari reaksi
anafilaktik adalah asma dan kulit kemerahan (Radji, 2010).
 Tipe II (reaksi sitotoksik)
Mekanisme proses sitolisis dengan bantuan antibodi (Antibody Dependent
Cellular Cytotoxicity = ADCC), merupakan cara yang bermanfaat untuk
menghancurkan sel sasaran yang berukuran besar. Selain itu mekaknisme
sitolisis dengan bantuan antibody dapat menghancurkan sel-sel patologi
misalnya tumor (Radji, 2010).
 Tipe III (reaksi kompleks imun)
Reaksi hipersensitifitas tipe III merupakan reaksi yang melibatkan antibodi
terhadap antigen yang larut dan bersikulasi dalam serum. Pemaparan antigen
dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibody terutama

4
golongan IgG. Pembentukan kompleks antigen antibodi ini dapat
mengakibatkan inflamasi (Radji, 2010).
 Tipe IV (reaksi tipe lambat)
Reaksi hipersensitifitas tipe IV atau hipersensitifitas tipe lambat
merupakan reaksi yang melibatkanrespon imun selular khususnya sel T.
Reaksi ini berlangsung lambat, umumnya timbul lebih dari 12 jam, karena
migrasi sel T dan makrofag ke tempat adanya antigen memerlukan waktu
berkisar 12-24 jam (Radji, 2010).

Tabel 1. Kelainan Akibat Respon Imun

Karakteristik Hipersensitifitas Hipersensitifitas Hipersensitifitas Hipersensitifitas


tipe I tipe II tipe III tipe VI
Jenis IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada
antibody
Jenis antigen Eksogen Permukaan sel Antigen larut Organ dan
Jaringan
Waktu respon 2-30 menit Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam
Keadaan fisik Kemerahan, Lisis dan Eritema, Eritema dan
panas, dan nekrosis nekrosis, dan indurasi
bengkak edema
Diperantarai Antibodi Antibodi Antibodi Sel T
oleh
Histologi Sel basophil dan Antibodi dan Komplemen dan Monosit dan
eosinofil komplemen neutrofil linfosit
Contoh reaksi Alergi, asma, Erytroblastosis SLE, farmer’s Tes tuberculin
demam fetalis, lung disease. poison ivy,
goodpasture’s granuloma.
nephritis.
(Radji, 2010)

2. Penyakit autoimun
 Reaksi autoimunitas tipe I

5
Reaksi autoimunitas tipe I melibatkan antibodi dalam menyerang jaringan
tubuh sendiri. Protein virus mirip dengan protein dari jaringan tubuh, sehingga
antibodi yang ada dapat merusak jaringan tubuh sendiri. Penyakit hepatitis
yang disebabakan oleh virus hepatitis C merupakan salah satu penyakit
hepatitis autoimun berdasarkan reaksi autoimunitas tipe I (Radji, 2010).
 Reaksi autoimunitas tipe II (Sitotoksik)
Grave’s disease dan myasthenia gravis merupakan contoh penyakit reaksi
autoimun tipe II. Grave’s disease timbul sebagai akibat dari produksi antibodi
yang merangsang tiroid. Penyakit Myasthenia gravis merupakan penyakit
autoimun yang mengakibatkan kelemahan otot secara progesif (Radji, 2010).
 Reaksi autoimunitas tipe III (Kompleks imun)
Systemic Lupus Erythomatosus (SLE) dan Rheumatoid arthritis
merupakan penyakit autoimun tipe III. Menifestasi lupus eritomasus sistemik
umumnya terjadi pada organ jaringan diseluruh tubuh. Penyebab penyakit ini
belum diketahui sepenuhnya, akan tetapi pada beberapa penderita ditemukan
antibody yang spesifik terhadap beberapa kompenen tubuhnya sendiri
termasuk terhadap DNA. Artritis rheumatoid merupakan kelainan sendi yang
disebabkan oleh reaksi kompleks imun antara IgM, IgG dan komplemen pada
persendian (Radji, 2010).
 Reaksi autoimunitas tipe IV (call-mediated autoimmune)
Penyakit multiple sclerosis dan Hoshimoto’s thyroiditis merupakan contoh
reaksi autoimun tipe IV. Gejala penyakit multiple sclerosis sangat beragam
mulai dari kelelahan yang kronis sampai kelumpuhan (paralysis). Belum
ditemukan obat untuk mengatasi kondisi penderita, akan tetapi pemberian
interferon dapat memperlambat keparahan penyakit. Hashimoto’s Thyroiditis
terjasi akibat distruksi kelenjar tiroid, melalui respon imun selular terutama
oleh sel T. Penyakit autoimun lainnya yaitu diabetes mellitus yang disebabkan
karena kerusakan sel pancreas, pemyakit DM tipe I tergantung pada insulin
(insulin dependent diabetes mellitus) (Radji, 2010).
3. Imunodefisiensi

6
Imunodefisiensi atau imunokompromais adalah fungsi imun yang menurun
atau tidak berfungsi dengan baik. Keadaan imunodefisiensi dapat terjadi
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain akibat infeksi (AIDS, Virus
mononucleosis, rubella, dan campak), pengguna obat (steoid, penyinaran,
kemoterapi, imunosupesi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit
hematologik (limfoma/Hodgkin, leukemia, mieloma, neutropenia, anemia)
penyakit metabolit (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik,
DM, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka bakar, splenektomi,
anestesi), systemic erythematosus lupus (SLE), dan hepatitis kronis (Radji,
2010).

Tabel 2. Jenis Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Jenis Penyakit Sel Target
Acquired Immune Deficiencies Sel T → virus merusak sel Th [CD4])
Syndrome (AIDS)
Imunodefisiensi sIgA Sel B dan sel T → rentan terhadap
infeksi pada mukosa
Retrikular Disgenesis Sel B, sel T, dan sel induk →
defisiensi sel induk, sel B dan sel T
tidak berkembang
Severe Combined immunodeficiency Sel B, sel T, dan sel induk →
defisiensi pada sel B dan sel T
DiGeorge syndrom Sel T → kelainan pada timus
menyebabkan defisiensi sel T
Wiskoott-aladrich syndrom Sel B dan sel T → sedikit platelet
dalam darah dan sel T abnormal
X-linked agammaglobulinemia Sel B → penurunan produksi
immunoglobulin
(Radji, 2010).

2.4 Kriteria Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


berdasarkan ACR (American College of Rheumatology) 1997

7
Keterangan :

8
- Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin terkena SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

Gambar 1. Pengobatan non SLE ginjal (Fanouriakis dkk., 2019)

9
2.5 Algoritma Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan SLE (Perhimpunan Rheumatoid Indonesia,


2011)

2.6 Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Tabel 4. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai

10
11
(Perhimpunan Rheumatoid Indonesia, 2011)

Tabel 5. Spektrum Penyakit Autoimun Dan Organ Sasaran


Jenis Penyakit Organ Antibodi terhadap
Tioriditis Hashimoto’s Tiroid Tiroglobulin, tiroid
peroksidase
Miksedema primer Tiroid Reseptor TSH
sitoplasmik ( Thyroid
stimulating hormone,
TSH)
Anemia pemisiosa Sel darah merah Faktor intrinsik, sel
parietal lambung
Penyakit addison Adrenal Sel – sel adrenal
Menopause dini Rahim Sel yang memproduksi
steroid
Infertilitas pria Sperma Spermatozoa

12
Diabetes tergantung pada Pankreas Sel beta pangkreas
insulin
Diabetes resisten insulin Sistemik Reseptor insulin
Alergi atopik Sistemik Reseptor beta –
adrenergik
Miatenia gravis Otot Otot, reseptor
asetilkolin
Sindrom Goodpasture Ginjal, Paru Membran dasar ginjal
dan paru
Pemfigus Kulit Desmosome
Pemfigoid Kulit Membran dasar kulit
Uveitis fakogenik Lensa mata Protein lensa mata
Anemia Hemolitik Platelet, sel darah Sel darah merah
merah
Sirosis bilier primer Liver Mitokondria
Neutropenia idiopatik Neutrofil Neutrofil
Kolitis ulseratif Kolon Lipopolisakarida kolon
Sindrom Sjogren Kelenjar sekretorik Mitokondria
Vitiligo Kulit Melanosit
Reumatoid artritis Kulit, ginjal, sendi IgG
Lupus eritematosus sistemik Sendi DNA, RNA,
nukleoprotein

2.7 Penyakit Autoimun Yang Sering Terjadi di Masyarakat


2.7.1. Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang


muncul lebih sering pada wanita daripada pria, yang dominan diamati pada orang
tua. RA terutama mempengaruhi lapisan sendi sinovial dan dapat menyebabkan
kecacatan progresif, kematian dini, dan beban sosial ekonomi. Manifestasi klinis
dari keterlibatan sendi simetris termasuk artralgia, pembengkakan, kemerahan,
dan bahkan membatasi rentang gerak. (Guo dkk., 2018)

Menurut Arthritis Foundation (2015), sebanyak 22% atau lebih dari 50


juta orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih di diagnosa
arthritis. Dari data tersebut, sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami RA
(Arthritis Foundation, 2015). RA terjadi pada 0,5-1% populasi orang dewasa di

13
negara maju (Choy, 2012). Prevalensi RA di Indonesia menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Nainggolan (2010), jumlah penderita RA di Indonedsia tahun
2009 adalah 23,6% sampai 31,3%.

Patofisiologi Rheumatoid arthritis akibat reaksi autoimun dalam jaringan


sinovial yang melibatkan proses fagositosis. Dalam prosesnya, dihasilkan enzim-
enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut selanjutnya akan memecah kolagen
sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya terjadi
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi
yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan merasakan nyeri akibat serabut
otot mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya kemampuan
elastisitas pada otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).

Manifestasi Rheumatoid arthritis umumnya sering di tangan, sendi siku,


kaki, pergelangan kaki dan lutut. Nyeri dan bengkak pada sendi dapat berlangsung
dalam waktu terus-menerus dan semakin lama gejala keluhannya akan semakin
berat. Keadaan tertentu, gejala hanya berlangsung selama beberapa hari dan
kemudian sembuh dengan melakukan pengobatan (Tobon dkk., 2010). Rasa nyeri
pada persendian berupa pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi
merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis. Persendian
dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari
30 menit. (Smeltzer & Bare, 2002). Pola karakteristik dari persendian yang
terkena adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki.
Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan
kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular.

Tujuan dari pengobatan rheumatoid arthritis tidak hanya mengontrol gejala


penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan
permanen (Nikolas, 2012). Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk
mengurangi nyeri sendi dan bengkak, serta meringankan kekakuan dan mencegah

14
kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien meringankan
gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit.

Dua puluh satu guidelines mengenai manajemen RA merekomendasikan


memulai terapi dengan konvensional DMARDs sesegera mungkin setelah
diagnosis. Methotrexate adalah obat yang sering diresepkan untuk RA. Ketika
ada kontraindikasi dengan methotrexate atau jika ada efek samping yang
signifikan secara klinis terhadap metotreksat 19 guidelines yang menyarankan
metotreksat sebagai pengobatan awal merekomendasikan dengan
mempertimbangkan alternative DMARDs konvensional contohnya sulfasalzine,
leflunomide dan hydroxychloroquine. 12/22 guidelines penggunaan kombinasi
methotrexate dengan DMARDs konvensial sangan direkomendasikan dibanding
penggunaan DMARDs monoterapi, contohnya methotrexate dengan sulfasalazine
dan hydroxychloroquine atau methotrexate dengan leflunomid (Mian dkk., 2019)

Terapi simtomatik penderia RA direkomendasikan dari lebih dari 30


guidelines menggunakan NSAID, misalnya Pedoman Skotlandia menyarankan
menggunakan dosis NSAID terendah yang kompatibel dengan menghilangkan
gejala, pengobatan harus dilakukan jika nyeri saja dan jika mungkin ditarik
sesegera mungkin dan perlu ditambah obat perlindungan gastro ketika
menggunakannya (Mian, 2019)

Terapi farmakologis yang diterapkan secara universal dengan obat


antiinflamasi non-steroid (NSAID) dan kortikosteroid telah terbukti efektif dalam
menghilangkan kekakuan dan nyeri, tetapi tidak memoderasi perkembangan
penyakit. Selama 20 tahun terakhir, keefektifan DMARDs telah mendapatkan
banyak perhatian karena ini dapat secara efisien melemahkan aktivitas penyakit
dan secara substansial mengurangi atau menunda deformitas sendi (Mian, 2019).

2.7.2 Penyakit Addison (Addisons Disease)

Penyakit Addison (Addisons disease) adalah kelainan yang disebabkan


oleh ketidakmampuan korteks adrenalis memproduksi hormon kortisol dan
aldosteron. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh insufisiensi adrenal primer
15
seperti autoimun. Penyakit Addison dapat terjadi baik pada pria maupun wanita di
semua usia. Gejala penyakit addison dengan warna kulit yang hitam, kadar gula
darah menurun, ruam kulit. Frekuensi penyakit addison pada populasi manusia
diperkirakan 1 dari 100.000. Diagnosis penyakit Addison dapat dibuat melalui
pemeriksaan darah seperti adrenokortikotropik (ACTH), tes hormone, pencitraan
dengan CT Scan dan MRI dapat membantu menganalisa kelenjar adrenal dan
kelenjar hipofise sehingga dapat diketahui penyebab insufisiensi kortisol yang
terjadi pada penderita. Terapi penyakit Addison yaitu penggantian atau subtitusi
hormon kortisol memperbaiki defisiensi glukokortikoid dan terapi standar pada
keadaan krisis Addison (Sanjaya, 2012).

Pengobatan penyakit Addison : Untuk menggantikan kortisol adalah prednisone


atau hydrocortisone, sedangkan fudrocortisone untuk menggantikan aldosteron.
Kortikosteroid injeksi dapat digunakan untuk penderita Addison yang mengalami
gejala muntah, dan tidak bisa meminum kortikosteroid tablet.

2.7.3 Penyakit Diabetes Millitus tipe 1

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan


berbagai macam etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat
gangguan sekresi insulinatau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya
sekresi insulin akibat kerusakan sel β-pankreas yangdidasari proses autoimun.
Diabetes mellitus memiliki gejala klinis antara lain polidipsi, polifagia, berat
badan turun, hiperglikemia (≥ 200 mg/dl), ketonemia, dan glukosuria.

Pengobatan penyakit : Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat


inap. DM tipe-1 diberikan Insulin dan selama pemberian perlu dilakukan
pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia dapat
timbul karena kebutuhan insulin menurun. Pada keadaan ini, dosis insulin harus
diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak
dihentikan sama sekali.

2.8 Mekanisme Sistem Kekebalan Tubuh


16
Tubuh diibaratkan sebagai sebuah negara. Jika negara itu tidak memiliki
pertahanan yang kuat, akan mudah mendapatkan perlawanan baik dari dalam
maupun dari luar, sehingga lambat laun negara itu akan hancur. Begitupun halnya
tubuh kita. Jika kita tidak memiliki pertahanan tubuh yang tinggi pada akhirnya
tubuh kita akan jatuh sakit dan mungkin akan berujung kepada kematian.
Dibutuhkan sistem kekebalan tubuh untuk menjaga agar tubuh kita bisa melawan
serangan apapun baik dari dalam maupun dari luar.
Sistem imunitas yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan
antara diri sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya ketika
ada benda asing yang yang memicu respons imun masuk ke dalam tubuh (antigen)
dikenali maka terjadilah proses pertahanan diri. Secara garis besar, sistem imun
menurut sel tubuh dibagi menjadi sistem imun humoral dan sistem imun seluler.
Sistem imun humoral terdiri atas antibody (Imunoglobulin) dan sekret tubuh
(saliva, air mata, serumen, keringat, asam lambung, pepsin, dll). Sedangkan
sistem imun dalam bentuk seluler berupa makrofag, limfosit, neutrofil beredar di
dalam tubuh kita.
Tubuh kita mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang terdiri
dari berbagai macam sistem imun yaitu organ limfoid (thymus, lien, sumsum
tulang) beserta sistem limfatiknya. Organ tubuh kita yang juga termasuk dalam
mekanisme pertahanan tubuh yaitu jantung, hati, ginjal dan paru-paru.
Sistem limfatik baru akan dikatakan mengalami gangguan jika muncul
tonjolan kelenjar yang membesar dibandingkan pada umumnya. Hal ini
dikarenakan kelenjar limfe sedang berperang melawan kuman yang masuk ke
dalam tubuh. Organ limfoid seperti thymus sendiri mempunyai tanggung jawab
dalam pembentukan sel T dan penting bagi para bayi baru lahir, karena tanpa
thymus, bayi yang baru lahir akan mempunyai sistem imun yang buruk. Leukosit
(sel darah putih) dihasilkan oleh Thymus, lien dan sumsum tulang. Leukosit
bersirkulasi di dalam badan antara organ tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Dengan begitu, sistem imun bekerja terkoordinasi baik
memonitor tubuh dari kuman ataupun substansi lain yang bisa menyebabkan
problem bagi tubuh.

17
Ada dua tipe leukosit pada umumnya, yaitu fagosit yang bertugas memakan
organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit yang bertugas mengingat dan
mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh menghancurkan
mereka. Sedangkan sel lainnya adalah netrofil, yang bertugas melawan bakteri.
Jika kadar netrofil meningkat, maka bisa jadi ada suatu infeksi bakteri di
dalamnya. Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit B dan limfosit T.
Limfosit dihasilkan oleh sumsum tulang, tinggal di dalamnya dan jika matang
menjadi limfosit sel B, atau meninggalkan sumsum tulang ke kelenjar thymus dan
menjadi limfosit sel T. Limfosit B dan T mempunyai fungsi yang berbeda dimana
limfost B berfungsi untuk mencari target dan mengirimkan tentara untuk
mengunci keberadaan mereka. Sedangkan sel T merupakan tentara yang bisa
menghancurkan ketika sel B sudah mengidentifikasi keberadaan mereka.
Jika terdapat antigen (benda asing yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi,
maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa mereka dan
memberikan respons. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi antibodi,
suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik. Antibodi
sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari berbagai macam organisme,
dan juga antibodi bisa mengaktivasi kelompok protein yang disebut komplemen
yang merupakan bagian dari sistem imun dan membantu menghancurkan bakteri,
virus, ataupun sel yang terinfeksi.

2.9 Faktor-faktor Yang Merendahkan Sistem Imun

Sistem imun mempunyai hubungan rapat dengan cara hidup kita. Berikut
adalah faktor-faktor yang merendahkan sistem keimunan kita:

1. Cara hidup yang tidak sihat

2. Kekurangan zat makanan

3. Pencemaran udara atau alam sekitar

4. Keletihan

5. Tekanan dan kerisauan

18
6. Kurang bersenaman

7. Penggunaan antibiotik yang berlebihan.

3.0 Patofisiologis

19
BAB III

ANALISA KASUS (METODE SOAP)

 SUBJEKTIF

Ny R berusia 38 tahun datang ke dokter dengan keluhan ruam kemerahan


pada kedua pipi hingga hidung, sariawan, dan nyeri sendi. Setelah
dilakukan pemeriksaan dokter mendiagnosis bahwa Ny R terkena penyakit
lupus (SLE).

 OBJEKTIF

Obyek Data Lab Nilai Rujukan

SGOT 116,8 µ/L ↑ (5-35 µ/L)

SGPT 74,6 µ/L ↑ (5-35 µ/L)

Asam Urat 6,4 mg/dL↑ (2,6-6 mg/dL)

Ureum 53,7 mg/dL↑ (0,6-1,2mg/dL; 0,5-


1,1mg/dL)

20
Kreatinin 1,6 mg/dL↑ (<0,6-0,9 mg/dL)

Ca 6,2 mg/dL↓ (8,5-10,5 mg/dL)

Na 11,2 mg/dL↓ (9-11 mg/dL)

K 2,9 mg/dL↓ (3,5-50 mg/dL)

Mg 0,9 mg/dL↓ (1,2-2,5 mg/dL)

Total 4,8 g/dL↓ (64-83 g/dL)


protein

Albumin 2,8 g/dL↓ (35-50 g/dL)

Globulin 2 g/dL↓ (28-34 g/dL)

D-Dimer 3441,9 mg/L (<500 mg/L)

Anti dS- 119 IU/mL ↑ (<100 IU/mL)


DNA

C3 123 N (74 – 148 N)


Komplemen

C4 24 N (16,4 – 39,2 N)
Komplemen

Gamma GT 73 U/L ↑ (5 - 38 U/L)

LDH 1287,3 µ/L ↑↑ (135-214µ/L)

21
PTTK 48,9 det ↑ (23 det)

 ASSESSMENT

No Obat 24/8 25/8 26/8 27/8 28/8 29/8 ANALISA DRP

1. Mucosta      
(rebamipide)

3X1

2. Enystin/mucost -      Sub dose,


atin (nystatin) seharusnya 4x1

3X1 CC

3. Inpepsa     
(Sucralfat)

3X1 C

4. Pantozol 40 mg       Over dose,


(pantoprazole) seharusnya 1x1
(40mg)
2X1

5. Aspar K      

(k l aspartate)

3X1

6. Maintate 5 mg - - -   
(bisoprolol
hemifumarate)

22
0-1-0

7. Amlodipin 10 - -    
mg

0-0-1

8. Ikaphen 100 - -     Sub dose,


mg (Phenytoin) seharusnya 3x1

1X2 kapsul

9. Aldactone 25 mg - - - -   Sub dose,


(spironolactone)     seharusnya
1-0-0 100mg/hari

10. Metaneuron - - - -     Sub dose,


(metampiron seharusnya 3x1
500mg,
diazepam 2mg)
1x1

11. Oscal 0,25 mcg - - - -   Over dose ,


(calcitriol)     seharusnya 1x1

2x1

12. Tanapres 5 mg - - - -   Waktu konsumsi


(imidapril HCl)     obat tidak tepat,
1-0-0 seharusnya
diminum pada
malam hari

13. Sandimmun - - - -  
Neoral    
(ciclosporin)
2x100mg

14. Catapres 75 mcg - - - -  -


(clonidine HCl)  
1x1

23
 Analisa Drug Related Problems (DRP)

ANALISA DRP KETERANGAN

Ada indikasi tanpa obat -

Ada obat tanpa indikasi -

Pemilihan obat yang kurang tepat -

Overdose Oscal 0,25 mcg (calcitriol) 2x1

Pantozol 40 (pantoprazole) 2X1

Underdose - Enystin/mucostatin (nystatin) 3X1 CC

- Aldactone 25 mg (spironolactone) 1-0-0

- Metaneuron (metampiron 500mg, diazepam


2mg) 1x1

Reaksi efek samping -

Interaksi obat Maintate-catapres, Aldacton-sandimmun


neuoral, Maintate-Tanapres, Inpepsa-Ikaphen.

Gagal menerima obat -

 Informasi Obat

Mucosta

Golongan Asam amino turunan kuinolon

24
Zat Aktif Rebamipide
Dewasa :
- Gastritis 1 tab per oral 3x/hari
Dosis - Tukak Lambung 1 tab per oral 3x/hari, pada pagi hari,
sore dan sebelum tidur malam, dalam ombinasi dengan
penghambat factor ofensif (sebelum atau sesudah makan).

Terapi kombinasi dengan pengghambat factor ofensif


Indikasi (Penghambat pompa proton, antikolinergik atau antagonis
H2) gastritis dan tukak lambung.

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap mucosta.


Interaksi dengan
-
obat lain
Cara kerja obat mucosta adalah meningkatkan produksi
mukus atau lendir lambung dengan tujuan untuk
meningkatkan perlindungan terhadap permukaan lambung
Mekanisme terhadap asam lambung. Selain itu, obat ini juga bekerja
mengubah pH lambung untuk menetralisir asam lambung,
serta meningkatkan aliran darah di usus.

Reaksi hipersensitivitas, onstipasi, diare, udem, dan perut


Efek samping
terasa membesar.
Bentuk sediaan Tablet

Enystin

Golongan Antijamur Polyene


Zat Aktif Nystatin 100.000 IU
Dewasa :
candidiasis mulut :100,000 unit, 4x sehari (Sebelum atau
sesudah makan, kocok/kumur dan ditahan di dalam mulut
Dosis selama mungkin sebelum ditelan)

candidiasis  usus : 500,000 hingga 1,000,000 unit oral 3-4x


sehari. Untuk profilaksis: 1,000,000 unit sehari

Enystin merupakan obat yang berisi zat aktif nystatin yang


Indikasi berfungsi mengobati infeksi jamur pada mulut atau vagina

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap nystatin.


Nystatin dapat menyebabkan interaksi ringan bila
digunakan bersamaan dengan produk ragi yang dihasilkan

25
dari Saccharomyces cerevisiae. Walau tergolong ringan,
sebaiknya hindari penggunaan nystatin dengan ragi tersebut
untuk menghindari interaksi yang tidak diinginkan

Interaksi dengan
-
obat lain
Bekerja dengan menghentikan pertumbuhan jamur candida
Mekanisme dengan mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dean
mengikat sterol dalam membran sel jamur.

Efek samping Mual atau sakit perut, muntah,dan diare


Bentuk sediaan Suspensi
Inpepsa

Golongan Sucralfate
Zat Aktif Sucralfate
Dewasa:
2 sendok takar, diberikan 4x sehari. Dosis harian tidak
melebihi 8 gr Sucralfate per hari. (saat perut kosong 1-2 jam
sebelum makan).
Dosis
Anak usia 2-12 tahun: satu sendok takar, diberikan 4 kali
sehari.
Anak usia 1 bulan-2 tahun: ½ sendok takar, diberikan 4 kali
sehari.

Indikasi Ulkus duodenum, lambung, dan gastritis kronis.


Kontraindikasi Hypersensitive terhadap sucralfat
Sukralfat bisa menghambat penyerapan
ketoconazole, tetracycline, teofilin, ranitidine, cimetidine,
Interaksi dengan phenytoin, norfloxacin, digoxin, dan ciprofloxacin.
obat lain Berisiko meningkatkan berat badan jika digunakan bersama
obat kanker payudara jenis penghambat aromatase, seperti
anastrozole atau letrozole.
Sucralfate melindungi lapisan GI terhadap asam peptik,
pepsin, dan garam empedu dengan mengikat dengan protein
Mekanisme bermuatan positif dalam eksudat membentuk zat perekat
seperti pasta kental sehingga membentuk lapisan pelindung.

Menyebabkan kantuk, mual, diare, sembelit, sakit kepala,


Efek samping
vertigo, gangguan kulit seperti pruritus dan reaksi alergi.
Bentuk sediaan Suspensi

26
Pantozol

Golongan Proton Pump Inibitor (PPI)


Zat Aktif Pantoprazole
Tablet : 40 mg/hari selama 4-8 minggu
Dosis
IV injeksi : 40 mg/hari selama <= 8 minggu

Dalam kombinasi dengan 2 antibiotik yang tepat untuk


pemberantasan H. pylori pada pasien dengan tukak peptic,
Indikasi Ulkus duodenum, tukak lambung, esofagitis refluks sedang
& berat. Sindrom Zollinger-Ellison & kondisi hipersekresi
patologis lainnya.

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap pantoprazole atau PPI lainya.

Interaksi dapat terjadi jika pantoprazole dikonsumsi


bersama dengan beberapa jenis obat berikut ini:
-Digoxin meningkatkan kadar atau efek digoxin akibat
meningkatnya pH lambung.
-Diuretik meningkatkan risiko hipomagnesemia.
Interaksi dengan -Warfarin meningkatkan INR (standar efek antikoagulan
obat lain oral) dan waktu pembekuan darah.
-Methotrexate meningkatkan kadar methotrexate dalam
darah.
-Sukralfat menghambat penyerapan pantoprazole.
-Ketoconazole, itraconazole – menurunkan penyerapan
ketoconazole dan itraconazole.
Meredakan gejala meningkatnya asam lambung seperti sakit
maag dan gejala refluks asam lambung. Pantoprazole
bekerja dengan cara menghambat sel-sel di lapisan lambung
Mekanisme untuk menghasilkan asam lambung, sehingga produksi
asam lambung berkurang. Dengan berkurangnya asam
lambung, luka (tukak) pada lambung dan erosi pada
esofagus dapat dicegah atau dipercepat penyembuhannya.

Mual, muntah, dan diare, Sakit perut, kelelahan, merasa


Efek samping lelah, Nyeri sendi, Sulit tidur (insomnia).

Bentuk sediaan Tablet

Aspar K

27
Golongan Supplemen kalium
Zat Aktif Potassium aspartate
Dosis Tiga kali satu tablet Aspar K 300 mg
Penyakit hati (hepar), mengatasi kadar kalium rendah pada
Indikasi
tubuh (hypokalemia).
Pasien dengan penyakit addison. Pasien dengan
Kontraindikasi hiperkalemia. Pasien dengan hipersentivitas terhadap
komponen obat.
Penggunaan Aspar-K dapat menyebabkan kondisi jumlah
Interaksi dengan kalium dalam darah sangat tinggi (hiperkalemia), jangan
obat lain digunakan bersamaan dengan preparasi anti aldosteron,
triamterene.
Mekanisme Meningkatkan kadar kalium dalam darah.
Gangguan makan yang ditandai dengan rasa takut akan
Efek samping
gemuk (anorexia). Gangguan lambung.
Bentuk sediaan Tablet

Maintate

Golongan Beta-blocker
Zat Aktif Bisoprolol hemifumarate
Angina pectoris, Hipertensi -> Dewasa: Awalnya, 5 mg
sekali sehari disesuaikan menurut respons. Dosis biasa: 10
mg sekali sehari. Maks: 20 mg setiap hari.
Dosis Gagal jantung kronis -> Dewasa: Awalnya, 1,25 mg sekali
sehari. Dapat digandakan setelah 1 minggu jika ditoleransi,
kemudian secara bertahap meningkat pada interval 1-4
minggu. Maks: 10 mg sekali sehari.
Indikasi Hipertensi dan Gagal jantung.
Syok kardiogenik dan hipovolemik, blok atrioventrikular
Kontraindikasi derajat 2 atau 3, blok sinoatrial, sindrom sinus sakit,
bradikardia dan hipotensi simptomatik.
Dapat mempotensiasi waktu konduksi atrioventrikular dan
dapat meningkatkan efek inotropik negatif dengan obat
antiaritmia kelas I (mis. Quinidine, disopyramide,
propafenone). Penggunaan bersamaan dengan antagonis
kalsium (mis. Verapamil, diltiazem) dapat menyebabkan
Interaksi dengan
blok atrioventrikular dan hipotensi berat. Obat penipis
obat lain
katekolamin yang terjadi bersamaan (mis. Reserpin,
guanethidine) dapat menghasilkan pengurangan aktivitas
simpatis yang berlebihan. Gagal jantung dapat memburuk
ketika diberikan dengan antihipertensi yang terpusat (mis.
Clonidine, methyldopa).

28
Bisoprolol secara selektif dan kompetitif memblokir
reseptor β1-adrenergik tetapi memiliki sedikit atau tidak
Mekanisme
berpengaruh pada reseptor β2 kecuali pada dosis tinggi (≥20
mg).
Bradikardi, gangguan pengelihatan, muntah, mulut kering,
Efek samping
pusing, sakit kepala, dan ruam.
Bentuk sediaan Tablet
Amlodipin

Golongan Antagonis Kalsium


Zat Aktif Amlodipin
Dosis Angina stabil kronis, Hipertensi, angina Prinzmetal

Dewasa: Awalnya, 5 mg sehari sekali. Dosis bersifat


individual dan dapat ditingkatkan setelah setidaknya 1-2
minggu. Maks: 10 mg sekali sehari.
Anak: 6-17 tahun Awalnya, 2,5 mg sekali sehari, dapat
meningkat menjadi 5 mg sekali sehari setelah interval 4
minggu menurut respons klinis.
Lansia: Awalnya, 2,5 mg sekali sehari
Indikasi Hipertensi
Kontraindikasi Hipotensi berat, syok kardiogenik, obstruksi saluran keluar
ventrikel kiri (mis. Stenosis aorta derajat tinggi), gagal
jantung setelah MI akut.
Interaksi dengan Peningkatan konsentrasi plasma sistemik dengan
obat lain imunosupresan (mis. Ciclosporin, tacrolimus).
Peningkatan konsentrasi serum simvastatin. Peningkatan
paparan dengan inhibitor enzim CYP3A4 (mis. Protease
inhibitor, antijamur azole, erythromycin, diltiazem).
Konsentrasi plasma menurun dengan induser CYP3A4
(mis. Rifampisin).
Interaksi dengan Peningkatan konsentrasi plasma dengan jus anggur.
Makanan/Minuman Konsentrasi plasma menurun dengan St. John's wort.
Mekanisme Amlodipine, penghambat Ca-channel dihydropyridine,
mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan TD
dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah koroner
dan vasodilatasi koroner melalui penghambatan masuknya
ion Ca transmembran ke dalam otot polos jantung dan
pembuluh darah.
Efek samping Edema perifer, hipotensi, jantung berdebar, tinnitus,
gangguan gastrointestinal, nyeri punggung, sakit kepala,
pusing, mengantuk, dan kulit ruam.
Bentuk sediaan Tablet
Penyimpanan 20-250C, hindari dari cahaya dan kelembapan.
KIO Obat ini akan menyebabkan pusing, sakit kepala, mual

29
atau muntah. Jangan mengendarai kendaraan dulu.

Ikaphen

Golongan Antiepilepsi
Zat Aktif Phenytoin Sodium 100 mg
Dosis Dewasa
Dosis Lazim : 3 kali sehari 1 kapsul Dosis Pemeliharan :
3-4 Kapsul per hari.
Anak
Dosis awal 5 mg/kgBB/hari dalam dua tiga dosis terbagi.
Maksimal 300 mg/hari. Dosis pemeliharaan : 4-
8/kgBB/hari
Indikasi Untuk mengobati trigeminal neuralgia, yaitu suatu jenis
penyakit nyeri saraf yang menyebabkan penderitanya
mengalami rasa sakit panas atau menusuk di bagian wajah.

Kontraindikasi Hipersensitifitas terhadap fenitoin dan hidantoin lain,


bradikardia.
Interaksi dengan Meningkatkan level serum dengan agen anti epilepsi
obat lain (topiramate), azole (ketokonazole), capecitabine,
chloramphenicol, chlordiazepoxide, diazepam, disulfiram,
oestrogens, fluorouracil, fluoxetine, fluvastatin,
fluvoxamine, H2-antagonists (cimetidine), halothane,
isoniazid, methylphenidate, omeprazole, phenothiazines,
salicylates, sertraline, succinimides, sulfonamides
(sulfamethizole), ticlopidine, tolbutamide, trazodone,
warfarin.
Menurunkan kadar serum dengan obat anti kanker,
carbamazepine, folic acid, fosamprenavir, nelfinavir,
reserpine, ritonavir, sucralfate, vigabatrin, albendazole,
certain HIV antivirals (efavirenz), anti-epileptics
(quetiapine), atorvastatin, ciclosporin, digoxin, fluvastatin,
folic acid, mexiletine, nisoldipine, praziquantel,
simvastatin.

Mekanisme Ikaphen bekerja dengan cara menstabilkan aktivitas


elektrik tersebut sehingga kejang dapat dicegah.

30
Efek samping Sukar bicara, bingung, pusing, insomnia, gugup, kejang
motorik, sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, ataksia
(kemampuan koordinasi memudar), nistagmus (gerakan
spontan pada mata), hepatitis.
Bentuk sediaan Tablet, Kapsul, Injeksi

Aldacton

Golongan Diuretic hemat kalium


Zat Aktif Spironolactone 25 mg
Dosis Dewasa 100 mg/hari
Indikasi Edema, sirosis hati, sindroma nefrotik, hipertensi.

Kontraindikasi Hipersensitifitas
Interaksi dengan Dapat menimbulkan hiperkalemia bila dikombinasikan
obat lain dengan ACE-Inhibitor, ARB, Beta blocker, OAINS dan
suplemen kalium.

Mekanisme Menghambat sintesis aldosteron dan menghambat


penyerapan kembali natrium di ginjal.
Efek samping Gangguan saluran cerna, sakit kepala, bingung.
Bentuk sediaan Tablet

Metaneuron

Golongan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)


Zat Aktif Methampyrone 500 mg dan Diazepam 2 mg
Dosis Dewasa 3x1 kaplet
Indikasi Mengurangi rasa sakit (nyeri), mengurangi peradangan.

Kontraindikasi Kehamilan dan laktasi. Pasien dengan tekanan darah


sistolik < 100 mmHg, gangguan pernapasan, gangguan
paru akut, glaukoma sudut sempit, psikosis (keadaan
mental yang terganggu oleh delusi atau halusinasi) akut
Interaksi Alkohol dapat meningkatkan efek depresan, atau obat
penekan saluran saraf pusat.

Mekanisme Menghambat prostaglandin dalam menyebabkan reaksi


peradangan berupa rasa nyeri, pembengkakan, dan demam
Efek samping Lelah, mengantuk, vertigo, ataksia (gangguan gerakan
tubuh yang disebabkan masalah pada otak),
agranulositosis, konstipasi (sembelit), depresi, diplopia
(gangguan penglihatan), hipotensi (tekanan darah rendah),
jaundice (penyakit kuning), perubahan libido (gairah

31
seksual), mual, tremor, retensi urin.

Bentuk sediaan Tablet

Catapers

Golongan Agonis alpha pusat


Zat Aktif Klonidine HCL 75 mcg
Dosis Dewasa 1x1 tablet
Indikasi Hipertensi

Kontraindikasi Blok AV derajat 2 dan 3, sindroma sick-sinus


Interaksi Mningkatkan efek hipotensi, jika digunakan dengan obat
antihipertensi lainnya, seperti obat diuretik, beta blocker,
antagonis kalsium, atau ACE Inhibitor.
Mengurangi efektivitas antihipertensi dan berisiko
menimbulkan hipotensi ortostatik, jika digunakan dengan
antidepresan trisiklik, dan obat penghambat reseptor alfa,
seperti tamsulosin.
Mengurangi efektivitas obat, jika digunakan dengan obat
antiinflamasi nonsteroid.Berpotensi menyebabkan
bradikardia, jika digunakan dengan beta blocker, seperti
bisoprolol atau digoxin.

Mekanisme Mempengaruhi saraf yang mengatur otot jantung dan


pembuluh darah, sehingga dapat melemaskan pembuluh
darah dan mengurangi denyut jantung. Akibatnya tekanan
darah juga turun.
Efek samping Mulut kering, Penurunan tingkat kesadaran, Sakit kepala,
Kelelahan dan Mengantuk
Bentuk sediaan Tablet

Oscal

Golongan Analog Vitamin D


Zat Aktif Calcitriol
P.O Hypocalcaemia Awal : 0,25 mcg setiap hari.
Dosis Intravena Hipokalsemia 1-2 mcg 3 kali seminggu
digunakan setiap hari.

Indikasi Vitamin
Kontraindikasi Hiperkalsemia dan toksisitas vitamin D
Interaksi dengan Peningkatan resiko hiperkalsemia dengan diuretik thiazide.

32
Pengurangan penyerapan usus dengan sequestrant asam
empedu misalnya Colestiramine. Penurunan efek dengan
antikonvulsan pengindukasi CYP450 misalnya
obat lain Carbamazepine, fenobarbital, fenitoin, kortikosteroid. Dapat
menyebabkan aritmia jantung dengan digitalis.

Calcitriol adalah bentuk aktif dari vitamin D3


(cholecalciferol), yang dapat merangsang reseptor vitamin
Mekanisme D di usus ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang dan
penyerapan Ca sehingga meningkatkan kadar Ca serum.

- Gangguan pencernaan : mulut kering, mual, muntah,


konstipasi, sakit perut, pankreatitis.
-Gangguan metabolisme dan nutrisi : hiperkolesterolemia,
dehidrasi, anoreksia dan penurunan berat badan.
Efek samping -Gangguan muskuloskeletal dan jaringan ikat : nyeri otot
dan tulang
-Gangguan sistem saraf : sakit kepala, mengantuk,
gangguan sensorik dan fotofobia
-Gangguan pembuluh darah : Hipertensi

Bentuk sediaan Tablet 0,25 mcg

Tanapres

Golongan ACE Inhibitor


Zat Aktif Imidapril HCl
Dosis awal dewasa : 5 mg 1 kali sehari, diberikan pada
waktu tidur untuk menghindari penurunan tekanan darah
yang drastis.
Dosis Dosis pemeliharaan : 10 mg/ hari.
Dosis awal lansia : 2,5 mg setiap hari.
Dosis maksimal lansia : 10 mg setiap hari

Indikasi Hipertensi
Riwayat edema angioneurotik terkait terapi ACE inhibitor
Kontraindikasi
sebelumnya, angioedema isiopatik, kehamilan.
Interaksi dengan Ditandai dengan diuretik, antihipertensi lainnya, dan
obat lain vasodilator. Efek hiperkalemia aditif dengan diuretik hemat
kalium, suplemen K dan pengganti garam yang
mengandung K. mengurangi efek antihipertensi atau efek

33
nefrotoksik tambahan dengan NSAID, rifampisin,
simpatomimetik.

Imidapril menghambat ACE yang mengubah angiotensin I


menjadi angiotensin II yang menghasilkan peningkatan
aktivitas renin plasma dan pengurangan sekresi aldosetron
Mekanisme hormon yang menyebabkan air dan retensi Na, dapat
mendorong vasodilatasi dan pengurangan tekanan darah,
dan dapat menghambat degradasi bradikinin

Pusing, sakit kepala, kelelahan, mengantuk, gangguan


Efek samping saluran pencernaan, batuk kering, dan hiperkalemia.

Bentuk sediaan Tablet 5mg

Sandimmun neuoral

Golongan Immunosupressant
Zat Aktif Ciclosporin
Transpantasi organ padan sandimmun neoral 10 mg/ kg/
hari dalam 2 dosis terbagi, dimulai 12 jam sebelum operasi
dan dilanjutkan 1 – 2 minggu setelah operasi. Secara
bertahap kurangi dosis menjadi 2 – 6 mg/ kg dalam 2 dosis
Dosis terbagi.
Transplantasi sumsum tulang awalnya dengan infus
intravena 3 – 5 mg/ kg / hari hingga 2 minggu, kemudian
beralih ke terapi oral dengan sandimmun neoral 12,5 mg/
kg/ hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 – 6 bulan.

Indikasi Antidepresan
Hipersensitif terhadap minyak jarak, gangguan ginjal,
Kontraindikasi immunosupressan.

Aminoglikosida, amfoterisin, bciprofloxacin,


clotrimoxazole; NSAID, antagonis reseptor H2, nifedipin,
Interaksi dengan digoksin, prednisolon dan inhibitor reduktase HMG – CoA
obat lain (statin), vaksin yang dilemahkan, obat hemat kalium atau
mengandung K.

Penghambat kalsium dan menekan imunitas seluler dan


Mekanisme humoral (terutama sel T).

Tremor, sakit kepala, hiperlipidemia, gangguan hati,


Efek samping hiperuremia, kram otot, hipertrikosis, kelelahan.

34
Bentuk sediaan Tablet

 PLAN

 Terapi Farmakologi :

Tetap menggunakan obat Mucosta, Enistin, Pantozole, Aspar K, Tanapres,

Metaneuron, Oscal, Furosemid, Cyclophosphamid. Obat yang tidak digunakan

Inpepsa, Maintate, Amlodipin, Ikhapen, Catapres, Aldacton, Sandimmun Neoral.

Susunan terapi yang disarankan:

 Mucosta 3x1

 Enistin 4x1cc

 Pantozole 1x1

 Aspar K 3x1

 Metaneuron 3x1

 Oscal 0,25mcg 1x1

 Tanapres 5mg 1-0-0

 Furosemid 60mg 2x1

 Cyclophosphamid i.v 500 mg dalam dextrose 250 ml, infus selama 1 jam.

 Terapi Non Farmakologi :

- Menggunakan pakaian tertutup untuk kulit darii tabir surya hal ini efektif

mencegah fotosensitif pada kulit.

- Penurunan berat badan disarankan untuk pasien SLE yang mengalami obesitas,

terutama untuk pasien yang mengalami masalah nyeri sendi.

- Menghindari asap rokok atau menghentikan kebiasaan merokok.

35
 Interaksi Obat :

- Maintate (Bisoprolol Hemifumarat) + Tanapres (Imidapril HCL) tidak

direkomendasikan karena mengurangi efikasi anti hipertensi.

- Maintate (Bisoprolo Hemifumarate) + Catapres (Clonidine HCL) tidak

direkomendasikan karena meningkatkan efek AV blocking dari Maintate dan

disfungsi nodus. Peningkatan AV Blocking menyebabkan penyumbatan

sebagian atau seluruh konduksi impuls listrik dari antrium jantung menuju

ventrikel

- Inpepsa (Sucralfate) dapat menyebabkan penyerapan obat Pantozol

(Pantoprazole) dan Ikaphen (Phenytoin).

- Tanapres (Imidapril) menyebabkan hipokalemia aditif apabila digunakan

dengan Aldacton (Spironolacton)

 Alasan Obat Dihilangkan :

- Inpepsa (sukralfat) dihilangkan karena penggunaan Mucosta dengan Pantozol


lebih efektif dikombinasi dibanding pengguanaan monoterapi untuk tukak
lambing dan GI.

- Ikhapen (Fenitoin) tidak digunakan karena efek samping Ikhapen adalah SLE
dan didalam kasus pasien tidak mengalami kejang.

- Tanapres (Imidapril ) tidak digunakan karena memiliki efek yang sedikit tidak
menguntungkan pada fungsi ginjal dan keseimbangan elektrolit.

- Maintate tidak digunakan karena berinteraksi dengan beberapa obat yang


diresepkan, dan penggunaan bisoprolol dirasa tidak perlu karena HT pasien
telah tertangani dengan obat Imidapril

36
- Amlodipin tidak digunakan karena memiliki efek meningkatkan efek
antihipertensi pada kanal blok

- Aldacton tidak digunakan karena memiliki efek meningkatkan serum potasium

- Sandimmun Neoral tidak digunakan karena berinteraksi dengan banyak obat


yang diresepkan dan efek samping dari kandungan sandimmun neoral =
cyclosporin adalah salah satunya gangguan fungsi ginjal dan hipertensi yang
merupakan penyakit utama dan comorbid pada LN

 KIE

- Istirahat yang cukup.

- Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya dapat kambuh

kembali seihingga pasien diharapkan kontrol rutin ke dokter.

- Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya merupakan

komplikasi dari autoimun yang diderita dan merupakan penyakit perawatan

dalam jangka waktu yang lama.

- Memberikan informasi kepada pasien tetang pengobatan yang dilakukan dan

berobat secara teratur serta efek obat terhadap keadaan pasien.

- Menghindari kelelahan.

DAFTAR PUSTAKA

37
Arthritis Foundation. 2015. Arthritis Foundation Scientific Strategy 2015-2020,
http://www.arthritis.org/Documents/arthritis-foundationscientific-
strategy.pdf.

Bartels, C.M., Diamond, H.S., Muller, D., Farina, A.G., Goldberg, E., Hildebrand,
J., Lakdawala, V.S. 2013. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Retrieved from http://www.emedicine.medscape.com.
Cerika, Rismayanthi. 2010. Terapi Insuin Sebagai Alternatif Pengobatan Bagi
Penderita Diabetes. Medikora. 6 (2) : 29-36.

Choy, E. 2012. Understanding the dynamics: pathways involved in the


pathogenesis of rheumatoid arthritis, Rheumatology, 2012 ;51:v3-v11.
doi:10.1093/rheumatology/kes113.

Cleanthous, S., Tyagi, M., Isenberg, D.A., & Newman, S.P. 2012. What do we
know about self-reported fatigue in systemic lupus erythematosus Lupus,
21 (5), 465–476. https://doi.org/10.1177/0961203312436863.
Evi, R. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE) : Kelainan Autoimun Bawaan
Yang Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia.
1. (2) : 1-16.
Fanouriakis A, Kostopoulou M, Alunno A, et al. 2019. Update of the EULAR
Recommendations For The Management Of Systemic
Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis 2019;78:736–
745.https://www.doi:10.1136/annrheumdis-2019-215089.
Guo, Qiang et al. 2018. Rheumatoid Arthritis: Pathological Mechanisms And
Modern Pharmacologic Therapies. Department of Spine Surgery, Xiangya
Hospital, Central South University, No. 87, Xiangya Road, 410008
Changsha China. www.nature.com/boneres diakses tanggal 5 maret 2020.

Kemenkes RI. 2017. Situasi Lupus di Indonesia.Jakarta: Pusdatin–Pusat Data dan


Informasi Kementerian Kesehatan RI. ISSN: 24427659.
Medicine, 365 (22), 2110–2121. https://doi.org/10.1056/NEJMra1100359.

38
Smeltzer, Suzanne. dan Bare, Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth Ed.8. EGC, Jakarta.

Mian, Aneela et al. 2019. A Systematic Review Of Guidelines For Managing


Rheumatoid Arthritis. BMC Rheumatology (2019) 3:42.
https://doi.org/10.1186/s41927-019-0090-7.

Nainggolan, O. 2009. Prevalensi dan Determinan Penyakit Rheumatik di


Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 59 : 587-594.

Nery, F.G., Borba, E.F., Viana, V.S.T., Hatch, J.P., Soares, J.C., Bonfá, E., &
Neto, F. L. 2008.Prevalence of depressive and anxiety disorders in
systemic lupus erythematosusand their association with anti-ribosomal P
antibodies. Progress in Neuro-Psychopharmacology & Biological
Psychiatry, 32(3), 695–700. https://doi.org/10.1016/j.pnpbp.2007.11.014.
Nikolas, S. 2012. Fatigue in Rheumatoid Arthritis: from Patient Experience to
Measurement. Thesis, University of Twente.

Perhimpunan Reumatoid Indonesia. 2011. Diagnosis danPengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. PerhimpunanReumatoid Indonesia ISBN 978-979-
3739-16-5.
Radji, Maksum. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan.
Sanjaya, Ayling. 2012. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 1 (1)
Edisi. Surabaya.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. 2010. Brunner and
Suddarth textbook of medical surgical nursing (12th Ed.).Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Tobon G.J., P. Youinou, A. Saraux. 2010. The Environment, GeoEpidemiology,


and AutoimmuneDisease: Rematoid arthritis. J Autoimmun 35: 10-4.

Tsokos, G.C. 2011. Systemic lupus erythematosus. The New England Journal.

39

Anda mungkin juga menyukai