Anda di halaman 1dari 66

MEKANISME

GANGGUAN SISTEM
IMUN
Ilmu Dasar Keperawatan II
Anggota kelompok 11
● Cut Rika Nur Afifah Bakrie (302020071)
● Devitry Noor Fauziah (302020080)
● Merly Rismawatin (302020076)
● M. Rangga Wijaya (302020073)
● Vika Pratiwi Rahayu (302020077)
Gangguan Alergi Anafilaksis & Penyakit Atopik

A. Pengertian
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4
tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu
tipe I, II, III, dan IV. Reaksi anafilaktik adalah suatu respons
hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas
tipe I). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi.
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi
dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan
kejadian anafilaksis adalah sebagai berikut:

Fase Sentisitasi

Fase Aktifasi
Fase Efektor
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi
dicurigai dikendalikan secara genetik dan istilah atopi
digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial
terhadap reaksi alergi terlokalisir tersebut
Penyakit yang disebabkan oleh Autoimun
& Komplek Imun
1. Lupus
Penyakit yang ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti sel,
dan menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis pada organ (cleanthous, tyagi, 2011). Penyakit
Lupus ini belum diketahui penyebabnya. Namun, terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi
resiko dari penyakit ini yaitu genetik, lingkungan, regulasi sistem imun, hormonal dan epigenic
(Bartels, et. Al, 2013).
Lupus adalah hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabka produksi
berlebihan dari autoantibod. Pada kondisi normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan
digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing. Namun, pada kondisi Lupus, antibodi
kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing untuk membedakan antara benda
asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T berkontribusi pada respon imun
penyakit SLE (systemic lupus erythematosus).
2. Psoriasis
Merupakan salah satu penyakit inflamasi kulit yang
bersifat kronis residitif. Penyakit ini ditandai dengan
plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik tebal berwarna 3. Penyakit Graves
putih keperakan, memiliki batas tegas, dan dapat Penyakit ini merupakan hal yang
dialami oleh berbagai usia (Djuanda, 2010; Schon, 2005; kompleks. Antibodi terhadap reseptor dari
Simmons, 2007). Penyakit psoriasis belum diketahui THS (TRAb) adalah penyakit utama dalam
secara pasti atau idiopatik, namun terdapat banyak terjadinya hipertioid. Antibodi ini membentuk
faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit ikatan dengan reseptor TSH yang berada di
psoriasis ini, terutama faktor genetik, faktor imunologik, permukaan sel folikuler tiroid dan
serta faktor lingkungan faktor sebagai pencetusnya menyebabkan terjadinya stimulasi hormon
(gudjonsson 2012; sugito 2008). Prevalensi pasien tiroid yang berkelanjutan dan tidak
psoriasis di Indonesia, mencapai 2,5 % dari populasi terkontrol. Produksi antibodi ini utamanya
penduduk, dan dari prevalensi tersebut masih banyak berasal dari kelenjar tiroid dan diduga
yang belum mendapatkan penanganan medis. rendahnya kadar sel T supresor bertanggung
jawab terhadap timbulnya produksi antibodi
terhadap reseptor TSH.
4. Rheumatoid Arthritis
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun
berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa (Singh et al., 2015). Rasa nyeri pada
penderita RA pada bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan mengalami
penebalan akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar
sendi (Syamsuhidajat, 2010) hingga dapat menyebabkan kecacatan (Yazici & Simsek,
2010). Namun demikian, kebanyakan penyakit rematik berlangsung kronis, yaitu
sembuh dan kambuh kembali secara berulangulang sehingga menyebabkan
kerusakan sendi secara menetap pada penderita RA (Muchid, 2006).
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan kronis pada sendi. Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi
ketika jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri yang keliru
(Aletaha et al., 2010).
5. Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis Hashimoto adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan destruksi kelenjar tiroid yang progresif sehingga berujung pada
kegagalan fungsi tiroid. Fase awal penyakit ini ditandai dengan
tirotoksikosis yang dalam perkembangannya menjadi hipertiroid. Gejala
dari tiroiditis hashimoto didominasi akibat turunnya produksi hormon
tiroid sebagai konsekuensi dari destruksi kelenjear tiroid. Sebagian besar
gejala tidak bermanifestasi saat awal penyakit, namun seiring perjalanan
penyakit dan bertambah beratnya kondisi hipotiroid maka gejala akan
semakin tampak
A. Pengertian
Alergi merupakan suatu kelainan reaksi berlebih
(hipersensitivitas) sistem imun tubuh terhadap subtansi spesifik
(alergen) yang mengakibatkan kerusakan jaringan. 21-22 Respon
alergi sebagian besar dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) dan
dibagi dalam tiga fase, yaitu :
✓ Fase sensitisasi
✓ Fase reaksi
✓ Fase reaksi lambat
Fase sensitisasi
Alergen, protein dengan berat molekul antara 5-80 kDa, dapat memasuki tubuh
melalui berbagai macam rute seperti kulit, saluran nafas, saluran pencernaan,
maupun sengatan lebah. Saat pertama kali memasuki tubuh manusia, alergen akan
dijamu dan diproses dalam endosome antigen presenting cells (APCs) pada lokasi
terjadinya kontak. APC yang mengandung alergen ini akan bermigrasi menuju
organ limfe sekunder dan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II kepada sel limfosit T Helper yang masih polos (Th0). Kesesuaian
antara reseptor Th0 dengan MHC kelas II serta tersedianya kostimulator,
menyebabkan sel Th0 mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi
sel Th ke arah Th2. Sel Th2 ini akan meregulasi sel limfosit B (sel B) untuk
memproduksi Imunoglobulin (Ig) tertentu masih melalui IL-4
Fase reaksi
Pada paparan ulang, alergen akan segera bereaksi silang dengan
bagian Fc dari minimal 2 reseptor IgE yang menempel pada sel
pengekspresi FcεRI. Agregasi dari sel-sel tersebut, menginisiasi
kaskade sinyal dari sel pengekspresi FcεRI yang berujung
dengan dikeluarkannya produk simpanan granul sitoplasma,
sintesis, dan sekresi mediator serta faktor pertumbuhan. Pada sel
mast misalnya, beberapa menit setelah terpapar ulang alergen, sel
mast akan mengalami degranulasi yaitu suatu
proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang
berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin -sitokin yang
menimbulkan berbagai gejala klinis.
Fase reaksi lambat
Fase ini dimulai sekitar 2-6 jam setelah paparan
alergen dan mencapai puncaknya setelah 6-9 jam.
Mediator inflamasi yang dikeluarkan dari hasil
degranulasi sel mast menarik sel T serta sel mast
untuk menginduksi sel imun yang lain seperti
basofil, eosinofil, dan monosit bermigrasi ke
tempat kontak. Sel-sel ini masing-masing akan
memproduksi substansi inflamasi spesifik yang
mengakibatkan
aktivitas imun berkepanjangan dan kerusakan
jaringan.
Pengertian
Autoimun merupakan respon imun yang menyebabkan kerusakan pada system
yang ada di dalam tubuh itu sendiri serta mengakibatkan terganggunya fungsi
fisiologis tubuh. Autoimun sendiri dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu genetik,
infeksi, lingkungan, hormonal, daerah/suku, diet, dan obat-obatan.
Penyebab Autoimun
 Berjenis kelamin perempuan
 Memiliki riwayat penyakit autoimun dalam keluarga
 Memiliki berat badan berlebih atau obesitas
 Merokok
 Menggunakan obat-obatan yang memengaruhi sistem kekebalan tubuh,
seperti obat simvastatin atau antibiotik
 Terkena paparan bahan kimia atau cahaya matahari
Berikut ini adalah beberapa contoh penyakit autoimun dan gejalanya:
1. Lupus dapat memengaruhi hampir semua organ tubuh dan
menimbulkan beragam gejala, seperti demam, nyeri sendi dan otot,
ruam kulit, kulit menjadi sensitif, sariawan, bengkak pada tungkai,
sakit kepala, kejang, nyeri dada, sesak napas, pucat, dan perdarahan.
2. Penyakit Graves dapat menimbulkan gejala berupa kehilangan
berat badan tanpa alasan yang jelas, mata menonjol, rambut rontok,
jantung berdebar, insomnia, dan gelisah.
3. Psoriasis ,Penyakit ini dapat dikenali dengan kulit yang bersisik dan
munculnya bercak merah pada kulit.
4. Multiple sclerosis
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh multiple sclerosis meliputi nyeri, mati rasa
pada salah satu bagian tubuh, gangguan penglihatan, otot kaku dan lemas,
koordinasi tubuh berkurang, dan kelelahan.
5. Myasthenia gravis
Gejala yang dapat dialami akibat menderita myasthenia gravis adalah kelopak
mata terkulai, pandangan kabur, lemah otot, kesulitas bernapas, dan kesulitan
menelan.
6. Tiroiditis Hashimoto
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala berupa berat badan naik tanpa sebab yang
jelas, sensitif terhadap udara dingin, mati rasa di tangan dan kaki, kelelahan,
rambut rontok, dan kesulitan berkonsentrasi.
7. Kolitis ulseratif dan Crohn’s disease
Gejala yang dapat dialami jika menderita kedua penyakit ini adalah nyeri perut,
Untuk menghambat perkembangan penyakit
dan memelihara fungsi organ tubuh, bisa
dibantu dengan penggunaan berrbagai
macam obat penekan sistem kekebalan tubuh,
seperti kortikostreoid. Obat jenis anti TNF
dapat mencegah peradangan yang
diakibatkan penyakit autoimun rheumatoid
arthritis dan psoriasis.
HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan
virus yang melakukan replikasi di system imun tubuh
serta termasuk salah satu retrovirus karena dapat
merubah susunan system rantai Deoxyribonucleic
Acid (DNA) menjadi Ribonucleic Acid (RNA) sesudah
berpindah ke sel inangnya. Penyakit AIDS berasal dari
infeksi virus HIV. Awalnya virus ini disebut virus s
limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T
Lympotrophic Virus III / HTLVIII) atau virus
limfadenopati, merupakan sebuah retrovirus manusia
dari keluarga lentivirus. Virus ini terdapat 2 tipe yaitu
HIV-1 serta HIV-2 yang epidemiologis penyebarannya
berbeda. HIV-1 merupakan tipe HIV yang paling
umum dan ganas ketika menginfeksi manusia dimana
Cara Penularan HIV
HIV tersebar di dalam cairan tubuh
manusia yang terinfeksi virus tersebut.
Cairan-cairan tubuh yang memilik
potensi mengandung HIV yaitu darah,
cairan sperma, cairan vagina, dan air
susu ibu. Penularan HIV dapat terjadi
melalui hubungan seksual, penggunaan
jarum suntik yang terkontaminasi virus
HIV, dan dapat pula menular melalui ibu
hamil kepada anak yang dikandungnya
Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada infeksi
virus HIV dapat dilakukan dengan
memberikan kombinasi tiga kelas obat
antivirus. Obat tipe pertama adalah analog
nukleotida yang dapat menurunkan perubahan
rantai DNA menjadi RNA pada virus ini. Obat
ini dapat mengendalikan level plasma RNA
pada virus HIV untuk beberapa bulan tetapi
tidak menghentikan perkembangan HIV akibat
virus yang berevolusi dan menjadi resisten.
Karena hal demikian, pencegahan terhadap
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
A. Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah
sekumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus
HIV (Human immunodeficiency Virus) yang termasuk
famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari
infeksi HIV. (Sudoyo Aru,dkk 2009)
B. Etiologii
Penyebab kelainan imun pada AlDS adalah suatu agen
viral yang disebut HIV dari kelompok virus yang dikenal
retrovirus yang disebut lympadenopothy Associated Virus
(LAV) atau Human T-Cel Leukemia Virus (HTL-Il yang
juga disebut Human T- Celi Lymphotropic Virus
Penularan virus ditularkan melalui:
1. Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak
terlindungi (tanpa kondom) dengan orang yang
telah terinfeksi HIV
2. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan
dipakai bergantian
3. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung
virus HIV
4. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika
dalam kandungan, saat melahirkan atau melalui air
susu ibu (ASI)
C. Manifestasi
Klinis Berdasarkan gambaran klinik (WHO 2006)
Tanpa gejala : Fase klinik 1
Ringan : Fase klinik 2
Fase klinik HIV
1. Fase klinik 1
Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan
kelenjar/pembuluh limfe) menetap dan
menyeluruh
2. Fase klinik 2
Penurunan BB (<10%) tanpa sebab. Infeksi
saluran pernapasan atas (sinusitis, tonsilitis,
otitis media, pharyngitis) berulang. Herpes
zoster, infeksi sudut bibir, ulkus mulut
berulang, popular pruritic eruptions,
seborrhoic dermatitis, infeksi jamur pada
3. Fase klinik 3
Penurunan BB (>10%) tanpa sebab. Diare
kronik tanpa sebab sampai >1 bulan,.
Demam menetap (intermiten atau tetap >1
bulan). Kandidiasis oral menetap. TB
pulmonal (baru), plak putih pada mulut,
infeksi bakteri berat misalnya: pneumonia,
empyemalnanah dirongga tubuh terutama
pleura, abses pada otot skelet, infeksi sendi
atau tulang), meningitis, bakteremia,
gangguan inflamasi berat pada pelvik, acute
necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis
atau periodontitis anemia yang
penyebabnya tiak diketahui (<8 g/dl),
4. Fase klinik 4
Gejala menjadi kurus (HIV wasting
syndrome), pneumocystis pneumonia
(pneumonia karena pneumocytis carinii),
pneumonia bakteri berulang, infeksi
herpes simplex kronik (orolabial, genital
atau anorektal >1 bulan) Oesophageal
candidiasis, TBC ekstrapulmonal,
Cytomegalovirus, Toksoplasma di SSP,
HIV encephalopaty, meningitis, infektion
progresive multivocal, lympoma,
invasive cervical carsinoma,
Jenis Pemeriksaan
Penunjang
A. Pemeriksaan Sistem Imun Humoral Umum
1. Pemeriksaan Imunoglobulin
Pengukuran imunoglobulin mutlak diperlukan pada infeksi berulang berat.

a. Hemaglutinasi
Merupakan cara untuk menemukan antibodi atas dasar aglutinasi sel darah merah. Uji
“Coombs Direk” merupakan cara untuk menentukan antibodi yang dapat mengaglutinasikan
sel darah merah Uji “Coombs Indirek” merupakan cara untuk menentukan antibodi yang
tidak begitu efektif untuk mengaglutinasikan sel darah merah. Aglutinasi terjadi melalui
yang sudah disensitisasi dengan antigen tertentu.

b. Reaksi Presipitasi
Presipitasi dapat terjadi bila antibodi bereaksi dengan antigen yang larut. Bila reaksi
terjadi dengan bantuan medium / agar, akan terbentuk lengkung presipitasi. 
2. Pemeriksaan Autoantibodi
Tes antinuclear antibody (ANA) adalah pemeriksaan untuk mencari antibodi tersebut di
dalam darah. Bila ANA terdapat di dalam darah, berarti Anda memiliki penyakit autoimun.
Penyakit ini terjadi karena sel-sel imun atau pertahanan tubuh, melakukan kesalahan dengan
menyerang sel, jaringan, atau organ tubuh sendiri.

a. Autoantibodi Organ Spesifik:


Penyakit autoimun spesifik organ berarti penyakit menyerang satu organ tertentu, contohnya
Grave's Disease dan Hasimoto's Disease (menyerang kelenjar gondok/tiroid) dan Addison,s
Disease (menyerang kelenjar anak ginjal/adrenal), IBD (inflamatory Bowel Disease) menyerang
usus

b. Autoantibodi nonorgan spesifik: non organ spesifik menyerang organ-organ lain secara luas.
“Jadi gejala yang ditimbulkan bisa bermacam-macam. Tergantung organ mana yang
terkena,”
3. Pemeriksaan Komplemen (Complement Fixation Test)
Complement Fixation Test (CFT) merupakan reaksi pengikatan komplemen untuk mengukur
kadar antibodi serum ataupun antigen. Prinsip reaksi ini adalah adanya kompleks antigen dan
antibodi yang homolog, menarik komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi
sehingga melisiskan sel darah (RBC), (Dewi, 2009).

Kadar yang meningkat sering ditemukan pada proses inflamasi akut. Komponen komplemen
dibagi menjadi :
a. Komponen dini pada jalur klasik (C1, C4 & C2)
b. Komponen dini pada jalur alternatif (faktor B, D & P)
c. Komponen lambat pada kedua jalur (C3 & C9) 
4. Pemeriksaan Kompleks Imun
Kompleks patogen yang potensial ditemukan dalam sirkulasi bila ada antigen yang
berlebihan. Kompleks imun berperan pada berbagai penyakit seperti arthritis rheumatoid,
glomerulonefritis, poliarthritis dan endokarditis.

Adanya kompleks imun dapat dibedakan dengan 2 cara :


a. Analisi spesimen jaringan untuk melihat komponen endapan kompleks imun dengan teknik
imunofluoresen.
b. Kompleks imun dalam serum atau cairan tubuh lain.
B. Pemeriksaan Sistem Imun Humoral Khusus  
1. Radioimmunoassay (RIA) : Radioimmunoassay adalah immunoassay yang menggunakan molekul
radiolabeled dalam pembentukan bertahap kompleks imun. RIA adalah teknik uji in vitro yang sangat
sensitif yang digunakan untuk mengukur konsentrasi zat, biasanya mengukur konsentrasi antigen dengan
menggunakan antibodi.

2. Radioallergosobent Test : radioallergosorbent adalah tes darah menggunakan tes radioimmunoassay untuk
mendeteksi antibodi IgE spesifik, untuk menentukan zat yang menjadi subjek alergi. Ini berbeda dari tes
alergi kulit, yang menentukan alergi oleh reaksi kulit seseorang terhadap zat yang berbeda.

3. Immunoradiometric Assay : Uji imunoradiometrik adalah uji yang menggunakan antibodi radiolabeled. Ini
berbeda dari radioimmunoassay konvensional di mana senyawa yang akan diukur bergabung segera dengan
antibodi radiolabeled, daripada menggeser antigen lain dengan derajat selama beberapa periode.
4. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) : ELISA atau 'penetapan kadar imunosorben taut-enzim'
merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki
beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas
yang cukup tinggi. pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji antigen dengan antibody yang telah dikenal yang
dilabel dengan enzim atau sebaliknya. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dipisahkan dari antigen dan
antibodi yang bebas, kemudian diinkubasi dengan substrat kromatogenik yang tidak berwarna. Substrat ini
kemudian menjadi berwarna karena dihidrolisis oleh enzim. intensitas warna dapat diukur dan merupakan
parameter untuk antigen yang diuji.

5. Fluoresence Immuno Assay : Fluoresensi immunoassay adalah teknik sensitif yang dapat digunakan dalam
pengukuran banyak senyawa, termasuk obat-obatan, hormon, dan protein; dalam identifikasi antibodi; dan
dalam penghitungan antigen seperti partikel virus dan, berpotensi, bakteri. Immunoassay fluoresensi
homogen, immunoassay transfer eksitasi fluoresen, immunoassay polarisasi fluoresensi, immunoassay
"dipstick" fase padat, immunoassay fluoresensi fluoresensi fase padat, immunoassay fluoresensi berlabel
substrat, dan immunoassay fluoresensi konjugasi menggunakan spektroskopi reflektansi internal atau
immunoassay konjugasi fasa yang ditinjau.
6. Immunodouble Diffusion (ID Ouchterlony) : adalah teknik imunologi digunakan dalam deteksi, identifikasi
dan kuantifikasi dari antibodi dan antigen , seperti imunoglobulin dan antigen nuklir diekstrak.

7. Countercurrent Electrophoresis: Imunoelektroforesis adalah teknik analitik yang kuat dengan daya
penyelesaian tinggi karena menggabungkan pemisahan antigen dengan elektroforesis dengan imunodifusi
terhadap antiserum. Keuntungan utama dari imunoelektroforesis adalah sejumlah antigen dapat diidentifikasi
dalam serum.

8. Rocket Electrophoresis: Elektroforesis roket (juga disebut sebagai electroimmunoassay atau


electroimmunodiffusion) adalah metode yang sederhana, cepat, dan dapat direproduksi untuk menentukan
konsentrasi protein tertentu dalam campuran protein.

9. Immunoelectrophoresis: Immunoelectrophoresis adalah nama umum untuk sejumlah metode biokimia untuk
pemisahan dan karakterisasi protein berdasarkan elektroforesis dan reaksi dengan antibodi.
C. PEMERIKSAAN SISTEM IMUN SELULER  
 Pemeriksaan Limfosit

1. Kuantitas Sel
a. Isolasi Sel (Ficoll Isopaque): isolasi sel adalah proses pengambilan suatu partikel sel dari tempat asalnya
untuk diteliti lebih lanjut. Sel dapat diisolasi dari suspensi jaringan. Prinsip metode ini ialah menggunakan
antibodi yang berikatan dengan zat fluoresen untuk melabel sel spesifik.

b. E Rosette Sel T manusia memiliki reseptor untuk sel darah merah biri – biri.Bila kedua sel tersebut
dicampur maka akan terbentuk “rosette”.

c. EA Rosette Sel T dapat dibedakan dari sel B yang tidak membentuk rosette. Cara lain untuK menunjukkan
rosette yaitu dengan menggunakan reseptor lain yang ada pada permukaan sel T.

d. Flow Cytometry Alat yang dapat menghitung serta membedakan satu sel dengan sel yang lain. Sel dilabel
dengan 2-3 bahan flueresence yang berbeda.
2. Pemeriksaan Fungsi Limfosit
a. Transformasi Limfosit: Uji Transformasi Limfosit (UTL) adalah suatu pemeriksaan laboratorium dengan
prosedur in vitro yang sensitivitasnya dilaporkan 70-90% dalam mendiagnosis erupsi obat. Tujuan:
Menganalisis perbedaan antara hasil UTO dan UTL pada pasien erupsi obat.

b. Leucocyte Migration Inhibition Test (LMI): Uji penghambatan migrasi leukosit (LMI) dapat digunakan
untuk mendeteksi dan menghitung faktor transfer (TF) dalam ekstrak leukosit yang dapat didialisis (DLE)
secara in vitro.

c. Pemeriksaan Sitotoksisitas: Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang
digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Penggunaan uji sitotoksik
pada kultur sel merupakan salah satu cara penetapan in vitro untuk mendapatkan obat-obat sitotoksik.

d. Uji proliferasi: Proliferasi adalah fase sel saat mengalami pengulangan siklus sel tanpa hambatan. Istilah
proliferasi sel secara khusus berlaku untuk peningkatan jumlah sel, yang diukur sebagai jumlah sel sebagai
fungsi waktu. Tes proliferasi sel digunakan dalam berbagai aplikasi penelitian ilmiah – dari pengujian obat
hingga efek faktor pertumbuhan, dari pengujian sitotoksisitas hingga analisis aktivitas sel. Jadi tes
proliferasi sel adalah tes yang mendeteksi perubahan dalam jumlah sel dalam suatu divisi atau perubahan
dalam populasi sel.
e. Mixed Lymphocyte Culture Reaction (MLCR): Mixed lymphocyte reaction (MLR) adalah tes yang
digunakan oleh organisasi farmasi dan bioteknologi untuk menunjukkan keamanan obat atau bahan yang
dapat ditanamkan. Ini biasanya digunakan sebagai bagian dari proses izin FDA. Sederhananya, ini
mencampurkan populasi limfosit-T (kategori sel darah putih) bersama-sama, dan mengukur reaksi yang
terjadi. Secara teknis, ini adalah uji imun seluler ex-vivo yang terjadi antara dua populasi limfosit alogenik
(spesies yang sama tetapi berbeda secara genetik). Dalam MLR satu arah, hanya satu populasi limfosit yang
dapat merespon atau berkembang biak. Dalam MLR dua arah, kedua populasi dapat berkembang biak.
MLR dilakukan untuk menilai bagaimana sel-T bereaksi terhadap rangsangan eksternal. Sel T adalah jenis
sel darah putih yang memindai kelainan dan infeksi seluler. Mereka penting untuk kekebalan manusia.

f. Plaque Forming Cell (PFC): Antibodi spesifik yang disintesis oleh beberapa sel limfoid dilepaskan dan
berdifusi dari sel pusat; antibodi terperangkap oleh antigen di area yang mengelilingi sel pembentuk plak
(PFC).
3. Pemeriksaan Neutrofil & Monosit

a. Rebuck Skin Window: teknik ini digunakan dimana lapisan atas kulit dikerok sehingga memungkinkan
untuk mengidentifikasi respon imun yangakan terjadi dengan barrier kulit yang berkurang pada host. Tes ini
tidak berguna bagi pasien dengan imunodefisiensi yang disertai keluhan alergi.

b. Kemotaksis: Kemotaksis adalah gerakan dari sel tubuh, bakteri atau organisme sebagai respon akibat
terpapar zat kimiawi tertentu dalam lingkungannya.

c. Fagositosis: Fagositosis adalah proses seluler dari fagosit dan protista yang menggulung partikel padat
dengan membran sel dan membentuk fagosom internal.
Prosedur
Pemeriksaan
Pemeriksaan Sistem Imun Humoral Umum:
A. Cara Uji Hemaglutinasi Cepat
1. Uji hemaglutinasi cepat (rapid HA) dilakukan untuk deteksi cepat. Cara kerja:
a. Diteteskan satu tetes suspensi antigen diatas gelas objek, didekatnya diteteskan pula satu tetes suspense sel
darah merah 1 %.
b. Kedua tetesan tersebut selanjutnya dicampurkan dengan menggunakan batang korek api lalu diaduk
beberapa saat sampai merata.
c. Diamati terjadinya butiran berpasir warna merah pada objek glas sebagai tanda reaksi itu positif.

2. Uji Hemaglutinasi Teknik Mikrotiter Uji ini untuk mengetahui titer virus, diperlukan untuk menyiapkan
antigen 4 HA unit pada uji HI. Cara kerjanya:
a. Disiapkan plat mikro 96 sumuran, lalu diisikan 0,025 µl PBS ke dalam semua lubang.
b. Ditambahkan suspensi antigen yang diuji (dari cairan alantois hasil panen) pada tahap uji sebelumnya ke
dalam lubang satu dan dua, selanjunya dilakukan pengenceran berseri kelipatan dua mulai dari lubang
kedua sampai lubang ke sebelas dengan menggunakan pengencer mikro.
c. Ditambahkan 0,25 µl PBS ke dalam setiap lubang plat mikro (mulai dari lubang 1 sampai lubang 12),
selanjutnya diaduk dengan pengocok mikro.
d. Ditambahkan ke dalam setiap lubang masing-masing 0,05 µl sel darh merah 1 % mulai lubang 1 sampai lubang 12,
lalu diayak selama 30 detik.
e. Plat mikro selanjutnya dieramkan pada suhu kamar dan diamati timbulnya aglutinasi sel darah merah. Pengamatan
dilakukan setiap 15 menit selama satu jam.
f. Titer virus ditentukan dari pengenceran tertinggi yang masih mampu mengalutinasi sel darah merah 1%. Titer virus
yang diperoleh selanjutnya diencerkan menjadi 4 HA Unit.
g. Identifikasi virus dilanjutkan dengan uji HI.
3. Uji Hambatan Hemaglutinasi (Uji HI) Uji ini digunakan untuk mengidentifikasi lebih lanjut virus yang
diuji pada uji HA. Disamping itu uji HI juga dapat juga digunakan untuk menentukan titer antibodi hewan
pascavaksinasi. Cara kerja:

a. Disiapkan plat mikro 96 sumuran, lalu diisikan 0,025 µl PBS ke dalam semua lubang. 21
b. Serum yang akan di uji dipanaskan terlebih dahulu pada penangas air bersuhu 56 ºC selama 30 menit.
c. Ditambahkan 0,025 µl serum ke dalam lubang 1 dan 2 dari sumuran plat mikro lalu diencerkan secara
berseri kelipatan dua mulai dari sumuran ke dua sampai lubang ke sepuluh dengan pengencer mikro.
d. Ditambahkan 0,25 µl suspensi antigen 4 HA unit mulai lubang n0 1 sampai 11, lubang nomor 12 hanya diisi
0,25 µl PBS.
e. Plate mikro diayak selama 30 detik, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar (sehu 23º C) selama 30
menit. Kedalam setiap lubang selanjutnya ditambahkan masing-masing 0.05 ml suspense sel darah merah 1
%, diayak kembali selama 30 detik.
f. Plate mikro diletakkan pada suhu kamar, diamati setiap 15 menit, dibaca hasilnya . pengamatan dilakukan
selama 1 jam
g. Titer HI dinyatakan sebagai pengenceran tertinggi dari serum yang masih mampu menghambat terjadinya
hemaglutinasi virus secara sempurna.
B. Pemeriksaan Autoantibodi
1. Petugas akan mengikat sabuk khusus di lengan atas untuk memperjelas keberadaan pembuluh darah.
2. Setelah itu, area tangan yang akan disuntik diusap menggunakan tisu antiseptik agar steril.
3. Petugas akan mengambil sampel darah dari pembuluh darah vena di lengan menggunakan jarum. Ketika
jarum dimasukkan, darah diambil dan ditampung di dalam tabung. Anda akan merasakan sensasi tersengat
ketika jarum dimasukkan dan dicabut. Prosedur ini memakan waktu kurang lebih 5 menit.
Pada anak atau bayi, tes ini dilakukan dengan cara yang berbeda. Darah tidak akan dikeluarkan atau disedot
menggunakan suntikan sebab petugas biasanya akan membuat sedikit perlukaan di permukaan kulit hingga ada
sedikit darah yang keluar, kemudian darah tersebut di ambil dengan pipet. Setelah selesai, darah yang sudah
diambil akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut.
Pemeriksaan Sistem Imun
Humoral Khusus
1. Radioimmunoassay
(RIA)  
2. Radioallergosobent Test

Radio allergo sorbent test dapat


membantu dalam mengetahui alergi terhadap
alergi makanan dan alergi hirup.

Nantinya anak akan diambil sampel


serum darah kurang lebih 2 cc. Setelah itu,
sampel akan diproses melalui mesin
komputerisasi khusus dan hasilnya dapat
diketahui setelah 4 jam.  
4. Immunodouble Diffusion (ID
Ouchterlony)

a. Pelat gel dipotong untuk membentuk serangkaian lubang ("sumur") pada


agar atau gel agarosa .
b. Ekstrak sampel yang menarik (misalnya sel manusia yang diambil dari
jaringan amandel) ditempatkan di satu sumur, dan serum atau antibodi
yang dimurnikan ditempatkan di sumur lain dan piring dibiarkan selama
48 jam untuk berkembang.
c. Selama waktu ini antigen dalam ekstrak sampel dan antibodi berdifusi
keluar dari sumurnya masing-masing.
d. Ketika dua front difusi bertemu, jika salah satu antibodi mengenali
antigen, mereka akan mengikat antigen dan membentuk kompleks
imun .
e. Kompleks imun mengendap dalam gel menghasilkan garis putih tipis
(garis presipitin), yang merupakan tanda visual pengenalan antigen.
5. Countercurrent Electrophoresis
a. Gel agarose disiapkan di atas slide kaca yang diletakkan dalam
posisi horizontal.
b. Dengan menggunakan templat sampel, sumur ditanggung di
zona aplikasi dengan hati-hati.
c. Sampel diencerkan 2: 3 dengan larutan pengencer protein
(larutan antigen 20μl + pengencer 10 μl).
d. Dengan menggunakan pipet 5 μl, 5 μl kontrol dan sampel
diterapkan di setiap celah yang sesuai (Celah kontrol dan Celah
sampel).
e. Gel ditempatkan ke dalam ruang elektroforesis dengan sampel di
sisi katodik, dan elektroforesis dijalankan selama 20 menit / 100
volt.
f. Setelah elektroforesis selesai, 20 μl antiserum yang sesuai
ditambahkan ke dalam bak dalam ruang lembab dan diinkubasi
selama 18-20 jam pada suhu kamar dalam posisi horizontal.
g. Gel agarosa ditempatkan pada posisi horizontal dan dikeringkan
dengan lembaran blotter.
h. Gel dalam larutan garam direndam selama 10 menit dan
pengeringan dan pencucian diulang dua kali lagi.
i. Gel dikeringkan pada suhu kurang dari 70 ° C dan dapat diwarnai
dengan larutan pewarnaan protein selama sekitar 3 menit diikuti
dengan penghilangan warna gel selama 5 menit dalam bak larutan
suling.
j. Gel dikeringkan dan hasilnya dievaluasi.  
6. Rocket Electrophoresis 
Sampel yang akan dibandingkan dimuat
berdampingan dalam sumur melingkar kecil di sepanjang tepi
gel agarosa yang mengandung antibodi monospesifik. Sampel
(antigen) ini kemudian dielektroforesis ke dalam gel agarosa
dimana terjadi interaksi antara antigen dan antibodi. Dengan
adanya antigen berlebih, antigen kompleks antibodi dapat
larut, tetapi saat antigen bergerak lebih jauh ke dalam gel,
lebih banyak antigen bergabung dengan antibodi sampai titik
ekivalen tercapai. Pada tahap ini antigen kompleks antibodi
tidak larut. Hasil akhirnya adalah 'roket' pengendapan yang
menyebar dari sumur pemuatan.
Pengobatan Pada Gangguan
Persepsi Sensori : Pengobatan
Pada Infeksi Mata dan Telinga
1. Mata
Pemberian Antibiotika
Infeksi pada mata dapat berupa infeksi dengan spektrum yang luas, mengenai jaringan mata mulai
dari bagian depan bola mata (anterior segment), bagian belakang bola mata (posterior segment) sampai
ke adnexa dan jaringan sekitar. Misalnya blefaritis, hordeolum externum, hordeolum internum,
konjungtivitis, keratitis yang dapat melanjut menjadi ulkus kornea, skleritis, dakrioadenitis, kanalikulitis,
dakriosistitis, selulitis preseptal, dan selulitis orbita.

Sedangkan infeksi pada segmen belakang bola mata berupa endoftalmitis dan panoftalmitis, yang
tidak hanya meningkatkan morbiditas penyakit mata tetapi yang lebih parah lagi 6 ialah menyebabkan
kebutaan. Infeksi bagian belakang bola mata dapat terjadi melalui salah satu cara berikut, yaitu (1)
sebagai akibat operasi intra okuler, (2) setelah trauma penetrans bola mata, (3) perluasan lanjut
(extention) dari keratitis atau ulkus kornea, serta (4) penyebaran hematogen dari infeksi yang berasal dari
tempat yang jauh. Keratitis bakterial merupakan salah satu infeksi yang mengancam kebutaan, kuman
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus merupakan kuman yang dapat merusak epithel dan
s troma kornea secara progresifsehingga menyebabkan perforasi kornea atau 5,7 melanjut menjadi
endoftalmitis.
Antibiotika topikal efektif dan aman digunakan sebagai profilaksis edoftalmitis post operatif dan
trauma penetrans. Antibiotika topikal baik diberikan 24 jam sebelum operasi intra okuler untuk
menurunkan jumlah kuman di fornix konjungtiva. Injeksi antibiotika subkonjungtiva juga efektif
untuk mencegah endoftalmitis post operatif, tetapi karena efek samping pemakaian aminoglikosida
yaitu perdarahan dan efek toksik, maka cefalosporin lebih disenangi. Sekarang injeksi subkonjungtiva
post operatif ini sudah ditinggalkan dan diganti dengan obat topikal golongan quinolone yang
mempunyai efektifitas yang sama dan efek samping sangat minimal, misalnya gatifloxacin 0,3% 11
atau moxifloxacin 0,5%.

Infeksi yang berat seperti keratitis bakterial, endoftalmitis atau selulitis orbita jelas memerlukan
pengobatan antibiotika yang progressif dengan antibiotika spektrum lebar. Pada sebagian besar kasus,
macam kuman penyebab infeksi belum diketahui. Oleh karena itu spesimen harus diambil sebelum
diberi antibiotika agar kuman dapat diisolasi dan pengobatan yang tepat tidak terlambat. Untuk
mengatasi masalah ini, pada ulkus kornea diberikan pengobatan empiris dengan combined fortified
antibiotics sampai hari ke tiga, yang kemudian diteruskan dengan pengobatan definitif, sesuai hasil
kultur dan kepekaan terhadap antibiotika 9 dari laboratorium mikrobiologi klinik.
2. Telinga
Infeksi Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur
yang superficial pada kanalis auditorius eksternus.Infeksi telinga ini dapat bersifat akut,
dan subakut, dengan tanda khas adanya inflamasi, rasa gatal, dan ketidaknyamanan.
Mikosis ini menyebabkan adanya pembengkakan, pengelupasan epitel superficial,
adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa, disertai supurasi dan nyeri. Pada 80%
kasus otomikosis disebabkan oleh Aspergillus, diikuti dengan Candida sebagai
penyebab kedua tersering pada otomikosis. Spesies Aspergillus yang paling sering
ditemukan adalah Aspergillus niger, sementara spesies jamur lain yang umum dijumpai
pada otomikosis adalah Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Aspe rgillus terreus,
Candida albicans, dan Candida parapsilosis.
 
Pengobatan pada
Gangguan Sistem
Sensori Persepsi:
Pengobatan Pada
Glaucoma
Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan di seluruh dunia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2002 di seluruh dunia terdapat 37
juta orang mengalami kebutaan dan glaucoma menempati urutan kedua
(12,3%)setelah katarak (47,8%) sebagai penyebab kebutaan. Diperkirakan pada
tahun 2010 diperkirakan terdapat 60,5 juta penderita glaucoma diseluruh dunia dan
jumlahnya meningkat pada 2020 menjadi 79,6 juta,kemudian diperkirakan pada
tahun 2040 menjadi 111,8 juta (Quicley, 2006).Glaukoma ditandai oleh
meningkatnya tekanan intraokular yang disertai oleh pencekungan diskus optikus
dan pengecilan lapang pandang. Glaukoma dapat menyebabkan penyempitan lapang
pandang bilateral progresif yang sering tidak terdeteksi sampai terjadi pengecilan
lapang pandang yang ekstensif. Glaukoma merupakan penyakit yang tidak dapat
dicegah, akan tetapi bila diketahui lebih dini dan diobati maka glaukoma dapat
diatasi untuk mencegah kerusakan lanjut (Vaughan, 1998).Mekanisme peningkatan
tekanan intraokular pada pasien glaukoma adalah gangguan aliran keluar humor
akueus akibat kelainan sistem drainase sudut kamera anterior (glaukoma sudut
terbuka) atau gangguan akses humor akueus ke sistem drainase (glaukoma sudut
tertutup).
Pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular dan apabila
mungkin memperbaikipathogenesis yang mendasarinSemakin dini deteksi
glaukoma maka akan semakin besar tingkat kesuksesan pencegahan
kerusakanpenglihatan. Meskipun belum ada cara untuk memperbaiki kerusakan
penglihatan yang terjadi akibat glaukoma, pada kebanyakan kasus glaukoma
dapat dikendalikan dengan terapi pengobatan yaitu dengan pemberian obat tetes
sebagai terapi awal. Apabila glaukoma tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan
atau efek samping tidak dapat ditolerir, maka dapat dilakukan pembedahan untuk
meningkatkan pembedahan untuk meningkatkan pengaliran cairan dari bilik
anterior (Vaughan, 1998).Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan intra
ocular ke tingkat yang berhubungan denganpenurunan risiko kerusakan saraf
optic. Terapi obat harus dipantau denganpengukuran tekanan intra
okular,pemeriksaan disk optik, penilaian bidangvisual, dan evaluasi pasien untuk
efek samping obat, interaksi obat dankepatuhan pada terapi obat. Pasien yang
tidak responsif atau tidak toleran dari obat harus beralih ke agen alternatif lain
daripada diberikan obat tambahan.
Banyak dokter lebih memilih untukmenghentikan semua obat pada pasienyang
gagal untuk menanggapi topikal sederhana (Vaughan,1998).Dengan
meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada
saat ini, dan berkembangnya polifarmasi, kemungkinan terjadinya interaksi obat
sangat besar. Agar penggunaan obat tepat dan rasional perlu adanya pemantauan
oleh seorang farmasis yaitu proaktif, mengantisipasi interaksi obatmungkin terjadi
dan bertindak sebelum muncul masalah (Aslam, 2003).Berdasarkan latar belakang
tersebut, pemilihan obat yang akan digunakan pada pasien glaukoma harus sangat
diperhatikan dan sesuai dengan faktor penyebab dari glaukoma. Penggunaan obat
yang tidak sesuai dapat menimbulkan efek samping dan interaksi.

Obat yang tidak diharapkan bahkan dapat menimbulkan reaksi merugikan yang
dapat menghambat kerja obat dan tidak menghasilkan efek terapi yang diinginkan.
Oleh karena itu untuk meningkatkan ketepatan dalam penggunaan obat pada
pasien glaucoma perlu adanya kajian interaksi obat pada pasien glaucoma.
METODE
PENGOBATAN
Penetapan Kriteria Pasien InklusiSemua pasien yang diikut sertakan
dalam penelitian adalah pasien glaukoma yang mendapatkan terapi
obat antiglaukoma EksklusiPasien yang diikut sertakan dalam
penelitian adalah pasien yang termasuk kategori penderita glaukoma
dan yang tidak mendapatkan terapi anti glaukoma.Penetapan Kriteria
Obat Golongan obat yang diteliti adalah semua jenis obat yang
diberikan pada pasien glaukoma yang melakukan rawat jalan di salah
satu rumah sakit di Bandung.Penetapan Kriteria Interaksi Obat
standar Penggunaan obat adalah suatu acuan yang digunakan untuk
mengevaluasi penggunaan obat. Persyaratan dari standar penggunaan
obat ini harus obyektf, tegas, jelas didasarkan pada pustaka yang
mutakhir dan secara internasional banyak digunakan, serta
merefleksikan standar paktek medik dan pengalaman klinik medik,
serta disetujui oleh staf medik.
Standar penggunaan obat ini meliputi, indikasi, lama terapi,
kontra indikasi, dosis, efek samping dan interaksi obat. Penelitian
ini meliputi interaksi obat saja.Data dan Sumber Data
PenelitianData Restrospektif diambil dari rekam medik penderita
rawat jalan di salah satu Rumah Sakit di Bandung yang telah
selesai memperoleh pengobatan.Pengumpulan dataPengumpulan
data dilakukan dengan mengumpulkan jenis data yang
dibutuhkan dari sumber data yaitu rekam medik berupa data:
Identitas penderita (meliputi: nama, usia, jenis kelamin),
diagnose, proses pengobatan dan tindakan medik. Analisis
DataAnalisis data penelitian terdiri dari:Analisa
KuantitatifAnalisis mengenai data untuk mengetahui pola
penggunaan obat berdasarkan jumlah penderita berdasarkan jenis
kelamin, jumlah penderita berdasarkan umur, jumlah penderita
berdasarkan diagnosis, jumlah penderita berdasarkan golongan
obat anti glaukoma yang digunakan, jumlah obat berdasarkan
golongan farmakologi, rute pemberian, dan dokter penulis resep.
Analisis Kualitatif
Analisis mengenai data yang digunakan
untuk mengkaji secara ketepatan
penggunaan obat berdasarkan standar
penggunaan obat yang ditetapkan, meliputi
indikasi, dosis, kombinasi obat, interaksi
obat dan duplikasi penggunaan.
Pengambilan
Kesimpulan
Analisis dari hasil pengobatan dilakukan secara
kuantitatif dan kualitatif terhadap penderita
glaukoma dan penggunaan obat-obat glaukoma.
Analisis kuantitatif untuk mengetahui jumlah
penderita serta jumlah penggunaan obat glaukoma
berdasarkan kebutuhan klink. Diambil kesimpulan
untuk mengetahui ketepatan dan masalah dalam
penggunaan obat.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai