FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKALAH 1
Oleh
Pembimbing:
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
KEGAWATDARURATAN DI BIDANG ONKOLOGI
Pendahuluan
Kanker merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di Amerika Serikat dengan lebih
dari 500.000 orang yang meninggal tiap tahunnya. Meskipun telah ada peningkatan dalam angka
keselamatan dan penurunan prevalensi pada kasus kanker tertentu, rata-rata prevalensi kasus
kanker secara keseluruhan diprediksi akan meningkat. Pasien kanker dapat datang dengan
kondisi kegawatdaruratan yang terkait dengan kanker, dan kebanyakan hal ini merupakan
manifestasi awal dari kanker yang diderita. Diagnosis yang efisien dan tatalaksana yang baik dari
komplikasi yang mengancam jiwa dapat memfasilitasi terapi definitif atau paliatif dari kanker
yang diderita.1,3,6,8
Pasien kanker berada dalam risiko terjadinya kondisi kegawatdaruratan medis yang luas
yang berada dalam subspesialisasi yang berbeda. Kondisi-kondisi ini bisa terjadi akibat efek
lokal langsung dari tumor dan metastasis pada jaringan yang terlibat atau dari efek umum yang
berkaitan dengan penyakit yang lebih dikenal sebagai sindrom paraneoplastik. Kondisi seperti ini
memerlukan terapi gawat darurat yang spesifik sehingga pengenalan terhadap sindrom ini oleh
klinisi merupakan hal yang penting, karena kondisi-kondisi ini biasanya dapat diprediksi dan
dapat dicegah atau ditangani dengan baik. 2,5
Kegawatdaruratan Metabolik
Hiperkalsemia
Hiperkalsemia akan dialami oleh sekitar sepertiga penderita kanker pada suatu titik dalam
perjalanan penyakitnya. Diantara pasien-pasien yang dirawat dengan hiperkalsemia, keganasan
merupakan penyebab yang paling umum. Kanker payudara, paru dan ginjal, multiple myeloma
dan limfoma serta leukemia merupakan penyebab tersering hiperkalsemia. 1,2,3
Sekitar 80% dari hiperkalsemia maligna disebabkan oleh pelepasan parathyroid hormone
related peptide (PTHrP) oleh tumor ke sirkulasi sistemik. Efek dari PTHrP menghasilkan
sindrom paraneoplastik ( tanda dan gejala sistemik yang disebabkan oleh tumor tapi tidak
terbatas pada area di sekitar tumor), dengan PTHrP dalam sirkulasi menyebabkan resorpsi tulang
dan retensi renal terhadap kalsium. Karsinoma sel skuamosa dari system aerodigestif dan
genitourinaria pada umumnya menyebabkan hiperkalsemia tipe humoral ini tapi dapat juga
ditemukan pada kanker payudara, ginjal, serviks, endometrium dan ovarium.1,3
Hiponatremia
Jumlah natrium pada tubuh, bukan konsentrasi natrium plasma, menentukan volume
cairan diluar sel dan volume ini dapat diukur secara cepat dari pemeriksaan fisik. Jika total
natrium tubuh tinggi maka volume cairan ekstraseluler akan besar dan pasien akan nampak
edema. Jika volume total natrium tubuh rendah maka ruang ekstraseluler akan berkontraksi dan
pasien akan mengalami takikardia dan hipotensi. Oleh karena itu konsentrasi natrium plasma
yang rendah dapat diasosiasikan dengan hypervolemia, hipovolemia atau euvolemia tergantung
jumlah total natrium tubuh. Pasien kanker dengan hiponatremia euvolemik memiliki volume
cairan ekstraseluler yang normal, tapi terdapat cairan berlebih pada ruang intravaskuler,
umumnya terjadi akibat syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH). Hormon
antidiuretik memicu pengambilan air bebas pada tubulus distal dengan berikatan pada reseptor
vasopressin 2. SIADH pada umumnya ditemukan pada kanker yang berasal paru, pleura, thymus,
dan otak. Penyebab iatrogenik dari hiponatremia termasuk cisplatin, cyclophosphamide,
ifosfamide dan imatinib. Masing-masing obat ini dapat menyebabkan SIADH tetapi juga dapat
menyebabkan hiponatremia melalui mekanisme yang berbeda, olehnya perlu evaluasi yang hati-
hati untuk menentukan penyebab dasar hiponatremia pada pasien yang menerima obat-obat
tersebut. 2,4
Lisis tumor terjadi jika sel-sel kanker melepaskan kandungannya ke aliran darah, apakah
secara spontan atau akibat terapi antineoplastic, sehingga menyebabkan influx elektrolit dan
asam nukleat ke dalam sirkulasi sistemik. Hal ini akan menimbulkan hyperkalemia,
hiperuricemia, dan hipofosfatemia yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat menimbulkan efek
membahayakan pada organ akhir seperti miokardium, ginjal, dan system saraf pusat.
Hiperkalsemia sebagai akibat dari hiperfosfatemia dimasukkan juga dalam konstelasi gangguan
metabolic yang dikenal sebagai tumor lysis syndrome. 1,3,4
Gejala klinis dari gangguan metabolik sebagai akibat TLS bervariasi. TLS klinis
didiagnosis jika satu atau lebih dari 3 kondisi ini terjadi. Gagal ginjal akut (jika terjadi kenaikan
kreatinin 1,5 kali atau lebih diatas batas atas normal yang bukan disebabkan oleh obat-obatan),
aritmia termasuk juga henti jantung tiba-tiba, dan kejang. Gagal ginjal akut dapat bermanifestasi
penurunan output urin, gangguan kesadaran terkait uremia, atau uropati obstruktif. 1,3,4
TLS umumnya terjadi pada keganasan hematologic proliferasi cepat seperti leukemia
limfoblastik akut, leukemia myeloid akut dan limfoma burkitt, tetapi juga telah
didokumentasikan pada tumor solid seperti kanker paru, kanker payudara dengan inflamasi dan
melanoma. Metastasis paru bisa meningkatkan risiko TLS. TLS akibat terapi bisa terjadi setelah
kemoterapi, terapi dengan kortikosteroid agen tunggal, radioterapi, pembedahan, atau prosedur
ablasi. Onset TLS dapat tertunda beberapa hari sampai beberapa minggu pada pasien dengan
kanker solid.3,4
Diagnosis laboratorium TLS awalnya didefinisikan jika dua kondisi ini terjadi dalam 4
hari setelah terapi: peningkatan asam urat, kalium, fosfat dan BUN 25% dari baseline dan/atau
penurunan 25% dari kalsium. Definisi ini kemudian diperbarui dengan menghilangkan BUN.
Nilai asam urat > 8 mg/dl, kalium > 6 mEq/L, fosfat > 6,5 mg/dL, atau kalsium < 7 mg/dL
merupakan nilai signifikan pada pasien dewasa. Kriteria yang sama tidak berlaku pada TLS
spontan. Pada TLS spontan, hiperfosfatemia jarang terjadi, mungkin akibat pengambilan kembali
fosfat oleh tumor yang membelah secara cepat. 3,4
Profilaksis diperlukan pada pasien-pasien risiko tinggi termasuk pasien dengan tumor
yang besar, proliferasi cepat, dan terapi sitotoksik yang diharapkan berefek cepat. Pasien dengan
insufisiensi renal, dehidrasi atau hiperuricemia juga berisiko tinggi. Allopurinol menghambat
xanthine oksidase sehingga menurunkan produksi asam urat dan dapat diberikan sebagai
preventif mulai dari 48 jam sebelum terapi pada dosis 100 mg/m2 tiap 8 jam dengan maksimum
800 mg tiap hari. Allopurinol tidak mengubah asam urat yang telah terbentuk dan tidak
direkomendasikan sebagai profilaksis pada pasien dengan asam urat pre-terapi > 7,5 mg/dL.
Pada pasien seperti ini dapat diberikan rasbucarise pada dosis 0,15 – 0,2 mg/kg/hari selama 5 – 7
hari. Rasbucarise adalah urat oksidase rekombinan, suatu enzim yang tidak ditemukan pada
manusia secara alami, yang mengonversi asam urat menjadi allantoin larut air. Tidak seperti
allopurinol, ia tidak menyebabkan akumulasi xantin dan hipoxantin, dimana sukar larut dalam air
dan dapat memperberat fungsi ginjal. Hyperkalemia dapat diatasi dengan loop diuretic.
Pengurangan cepat serum kalium melalui pergeseran intraseluler dapat diperoleh dengan injeksi
10 U insulin, diikuti dengan dextrose 50% 50 ml lalu infus dextrose 10% 50 – 75 ml selama 1
jam untuk mencegah hipoglikemia. Hipokalsemia diberikan infus kalsium glukonas 1000 mg
untuk menstabilkan membrane miosit dan menormalkan pola abnormal elektrokardiografi seperti
atrioventrikuler blok derajat 1 dan pelebaran QRS. Hiperfosfatemia diatasi dengan diet rendah
fosfat atau dengan penggunaan jangka pendek dari agen pengikat fosfat oral seperti aluminium
hidroksida (300 mg dengan makanan), aluminium karbonat (30 ml tiap 6 jam) atau kalsium
asetat (tidak untuk pasien hiperkalsemia). Dialisis mungkin diperlukan untukmengobati
gangguan elektrolit yang berulang, mengancam jiwa terutama pada konteks overload cairan dan
insufisiensi renal.3,4
Kegawatdaruratan Kardiovaskuler
Vena cava superior yang berdinding tipis mengembalikan semua darah dari kranial, leher,
dan pembuluh darah ekstremitas atas ke sisi kanan jantung. Tumor primer atau metastasis dapat
menyebabkan kompresi. Etiologi non-onkologi termasuk aneurisma aorta sifilitik (jarang muncul
sejak munculnya penisilin), fibrosing mediastinitis (secara klasik terkait dengan histoplasmosis),
hipertrofi substernal tiroid, penyakit granulomatosa (seperti tuberkulosis dan sarkoidosis), dan
trombosis, akibat suatu keadaan hiperkoagulasi yang mendasari atau kerusakan endothelial dari
perangkat vaskularnya sendiri. 1,3,4,5,6
Luasnya obstruksi vena cava superior dan ketajaman dari perkembangan obstruksi
menentukan gambaran klinis pasien. Penyumbatan ini ditoleransi lebih baik jika cukup waktu
untuk vena kolateral berkembang pada sistem vena yang berdekatan seperti azygos dan internal
mammae, sebuah proses yang biasanya berlangsung beberapa minggu. Pembuluh darah di
dinding dada pasien mungkin kelihatan distended.Edema pada lengan, facial plethora (tidak
harus unilateral), chemosis, edema periorbital bisa pula terjadi. Stridor adalah tanda yang
mengkhawatirkan, bahwa edema yang terjadi menyempitkan diameter luminal faring dan laring.
Suara serak dan disfagia adalah hasil dari edema disekitar traktus aerodigestif. Presinkop atau
sinkop sering muncul lebih dini, ketika curah jantung menurun tanpa kompensasi. Sakit kepala
berasal dari distensi pembuluh darah otak terhadap dura, menunjukkan indikasi edema serebral.
Semua gejala ini lebih terlihat ketika pasien terlentang. Kanker yang secara klasik berhubungan
dengan sindrom vena cava superior termasuk kanker paru-paru (khususnya sisi kanan), kanker
payudara, limfoma mediastinal primer, limfoma limfoblastik, thymoma, dan Tumor sel germinal
(primer atau metastasis ke mediastinum).5,6,7
Pencitraan radiografi sangat penting untuk diagnosis dan rencana penanganan, terutama
jika radiasi dan stent endovascular merupakan intervensi potensial. Sementara standar emas
untuk melokalisir obstruksi adalah venography selektif; multi detektor computed tomography
(CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) biasanya disukai karena non invasif, lebih mudah
didapat, dan kontras load yang lebih rendah. 5,6,7
Sindrom vena cava superior harus segera dikenali dan harus segera ditangani, tetapi
untuk penanganan klinis umumnya membutuhkan diagnosis yang benar dan lengkap sebelum
1,5,6,7
terapi definitif dimulai.
Dalam sebuah review pada 1986 pasien dengan gambaran klinis sindrom vena cava
superior, hanya ada satu kasus dengan rekam medic yang lengkap dimana kematian pasien secara
langsung dikatakan disebabkan oleh obstruksi vena cava superior. Oleh sebab itu, ketika sindrom
vena cava superior yang terjadi adalah akibat keganasan, klinisi biasanya masih memiliki waktu
untuk melakukan biopsi atau prosedur diagnostik lain yang tidak membahayakan pasien ,
meskipun seharusnya terapi tidak boleh ditunda. 5,6,7
Pasien yang meiliki gejala neurologis atau yang membahayakan jalan napas
membutuhkan penanganan yang segera; stenting endovascular dapat meringankan gejala dengan
cepat dan tidak mengganggu manuver diagnostik selanjutnya dan umumnya meredakan gejala
lebih dari cepat dari kemoradiasi. Penurunan hasil diagnostik dengan menggunakan steroid
sebelum biopsi jarang didokumentasikan, bahkan dalam kasus hematologi keganasan, dan
kemanjuran dari steroid masih dipertanyakan. Percobaan acak menilai bahwa pilihan penanganan
pada sindrom vena cava superior akibat keganasan cukup sulit untuk dipahami, namun dengan
menentukan histologi keganasan dapat membantu memandu terapi. Kemoterapi mungkin
merupakan satu-satunya penanganan pada pasien dengan penampakan yang tidak gawat seperti
pada pasien small cell lung cancer, limfoma, atau germ cell tumor. Perubahan pada lumen vena
cava superior setelah radiasi mediastinal mungkin kecil tergantung pada besarnya peningkatan
gejala. Kasus thrombosis yang berkaitan dengan kateter telah berhasil ditangani dengan
pemberian trombolitik secara berkala pada alatnya, tetapi terapi fibrinolitik harus diberikan
perlahan-lahan dimana metastase ke otak telah didiagnosa atau tidak dapat dieksklusikan. 5,6,7
Efusi perikard biasa terjadi pada kasus keganasan dengan sekitar 34% dari pasien kanker
memiliki keterlibatan pericardium. Etiologi neoplastic dilaporkan pada 7% dari semua kasus
pericardial akut, dan sekitar separuh dari kasus ini merupakan manifestasi pertama dari
keganasan yang tidak terdiagnosis sebelumnya. Kebanyakan penyakit pericardial maligna
disebabkan oleh metastasis dari kanker diluar jantung dan perikard utamanya dari paru, payudara
dan sumber hematologic. 1,2,4
Perikardium terdiri atas lapisan visceral yang dibentuk oleh sel mesotelial yang melekat
pada permukaan jantung, dan oleh lapisan parietal fibrosa yang dibentuk oleh pericardium.
Ruang antara dua lapisan ini dapat menampung 50ml cairan yang berfungsi sebagai pelumas.
Pengisian cairan pada ruang pericardial awalnya memiliki tekanan yang datar sampai mencapai
volume cadangan pericardial. Tekanan kemudian meningkat dengan cepat sehingga
menyebabkan tekanan intrapericardial yang kritis yang mengakibatkan gangguan pengisian
ruang-ruang jantung. Jumlah cairan pericardial yang menyebabkan tamponade berhubungan
dengan tingkat pembentukan cairan. Efusi yang berakumulasi secara cepat dapat segera
menimbulkan gejala tamponade. Namun jika cairan terkumpul secara lambat (mingguan sampai
bulanan) jaringan perikard parietal dapat meregang. Sehingga ruang pericardial lebih komplians
dan dapat menampung 2 L atau lebih cairan sebelum terjadi tamponade. 1,2,5
Dispnea eksersional merupakan gejala yang paling sering pada efusi pericardial maligna,
didapatkan pada 80% pasien. Tanda yang paling umum adalah pulsus paradoksus terjadi pada
30% kasus efusi perikard maligna dan 77% pada kasus tamponade akut. Trias Beck yang
terdiriu atas hipotensi, peningkatan tekanan vena jugularis dan penurunan bunyi jantung
ditemukan paling sering pada efusi yang berkembang secara cepat dan tamponade akut, tetapi
tidak sering ditemukan pada pasien dengan efusi perikard kronik. Karakteristik foto radiologi
yaitu pembesaran siluet jantung, dan peningkatan diameter transversal (water-bottle heart).
Penemuan elektrokardiogram yaitu amplitudo rendah dan electrical alternans akibat jantung
yang bergoyang. Kateterisasi jantung menunjukkan peningkatan dan penyamaan diastolic atrium
kanan, ventrikel kanan, dan tekanan oklusi arteri pulmoner yang menunjukkan tamponade
fisiologis. Resiprokasi tekanan jantung akibat distensi atrium kanan dan ventrikel kanan pada
saat inspirasi menghambat pengisian jantung bagian kiri. Ekokardiografi adalah pemeriksaan
penunjang pilihan karena dapat menentukan bukan hanya lokasi dan ukuran efusi perikard tetapi
juga signifikansi hemodinamik dan menuntun perikardiosentesis. Ekokardiogram 2 dimensi
menunjukkan kolaps atrium kanan pada diastolic akhir yang berlangsung pada sepertiga siklus
kardiak dan kolaps ventrikel kanan pada diastole awal yang merupakan karakteristik tamponade.4
Resusitasi cairan sejak dini dapat diberikan untuk stabilisasi hemodinamik pasien jika ada
hypovolemia, namun pada hypervolemia atau normovolemia pemberian caitran mungkin tidak
berguna atau bisa merugikan. Pasien dengan tamponade jantung akut dan syok mungkin
memerlukan perikardiosentesis darurat. Tuntunan ekokardiografi dapat menempatkan jarum
secara optimal dan mencegah laserasi miokard. Efusi perikard kronik berkembang secara lambat
sehingga terapinya bisa direncanakan. Lima puluh persen dari efusi maligna bersifat rekuren
sehingga dapat ditempatkan kateter drainase yang menetap pada saat perikardiosentesis.
Reakumulasi cairan mungkin memerlukan terapi sklerotik, perikardotomi balon, atau
pembedahan. Drainase bedah dapat pula diindikasikan pada cairan yang tidak terjangkau oleh
jarum atau kateter, perdarahan pada ruang perikard atau hemoperikardium yang menggumpal. 4
Kegawatdaruratan Neurologis
Pasien dengan kanker yang mengalami nyeri punggung harus dievaluasi untuk kompresi
medulla spinalis sesegera mungkin. Diagnosis dini sebelum terjadinya kelemahan otot
merupakan hal yang penting. Delapan puluh persen pasien ketika diagnosis ditegakkan masih
bisa berjalan akan tetap bisa berjalan setelah terapi. Sebaliknya, hanya 10 persen pasien yang
ketika diagnosis ditegakkan tidak bisa berjalan akan kembali bisa berjalan setelah terapi.
Anamnesis dam pemeriksaan fisis yang akurat merupakan hal yang penting dalam diagnossi
kompresi medulla spinalis. Pemeriksaan neurologis dapat membantu menentukan daerah pada
tulang belakang yang akan difoto. Aspek motoric, sensorik, dan otonomik harus dievaluasi
secara hati-hati. Meskipun beberapa defek sensorik seperti hipoestesia metameric atau kelainan
otonomi seperti retensi urine atau konstipasi dapat terjadi, hal ini menandakan tingkat lanjut dari
kerusakan dan mungkin juga paraplegia irreversible. Kebanyakan pasien dengan kompresi
medulla spinalis memiliki kelainan pada foto polos tulang belakang, seperti erosi tulang, atau
hilangnya pedikel, kolaps vertebra atau massa jaringan lunak paraspinal. Bagaimanapun juga,
MRI masih merupakan metode yan paling bagus untk menilai area kompresi. MRI
menggambarkan area kompresi dan juga membantu dalam merencanakan lapangan radiasi.3,8
Kegawatdaruratan Respirasi
Obstruksi jalan napas melibatkan jalan napas atas dan dapat disebabkan oleh kondisi
malignan atau non malignan. Istilah ini merujuk pada blockade setinggi level bronkus cabang
utama atau diatasnya. Hal ini dapat disebabkan oleh pertumbuhan tumor intraluminal atau
kompresi ekstrinsik jalan napas. Tumor yang menyumbat jalan napas atas dengan cara ekstensi
langsung adalah tumor primer dari kepala, leher, dan paru. Penyebab non-maligna dari obstruksi
jalan napas adalah aspirasi makanan atau benda asing, edem atau perdarahan jalan napas,
stenosis trakea, dan infeksi. Tumor primer dari paru merupakan penyebab yang paling umum
1,2,3
dari obstruksi jalan napas bagian bawah.
Gejala awal obstruksi jalan napas adalah dyspnea. Untuk pasien dengan obstruksi jalan
napas atas, visualisasi langusng via laringoskopi atau bronkoskopi harus dilakukan, tergantunhg
pada lokasi kerusakan. Pada kasus obstruksi jalan napas bawah, foto thorax atau CT scan dapat
dilakukan untuk diagnostic. Jika obstruksi terjadi proksimal dari larynx, trakeostomi dilakukan
untuk menyelamatkan jiwa. Untuk obstruksi yang lebih distal, bronkoskopi dengan terapi laser,
terapi fotodinamik atau stenting dapat mengurangi gejala secara cepat pada beberapa pasien.
Radiasi eksternal atau brachyterapi yang diberikan bersamaan dengan steroid dapat juga berguna
untuk membuka jalan napas yang tersumbat. Jika kompresi ekstrinsik merupakan penyebab
utama dari obstruksi, penempatan stent adalah metode pilihan untuk terapi paliatif. 1,3
Kegawatdaruratan Hematologi
Leukostasis
Kehadiran sel lekosit dalam jumlah besar dalam sirkulasi dihubungkan dengan morbiditas
dini dan mortalitas akibat leukostastis pada pembuluh darah pulmoner dan serebral. Leukositosis
didefinisikan sebagai hitung lekosit >100.000/mL. Biasanya ditemukan pada Leukemia
Limfositik Akut (LLA) pada anak. Pada Leukemia Myeloid, komplikasi yang paling sering
adalah strok. Leukosit yang berlebihan menghambat sirkulasi dalam otak dan paru-paru dengan
membentuk agregat dan thrombus pada vena-vena kecil. Leukosit yang berlebihan ini juga
berkompetisi untuk oksigen dan merusak dinding pembuluh darah dengan perdarahan.
Myeloblast dan monoblast yang ukurannya lebih besar dan lebih kaku cenderung menyebabkan
obstruksi dibandding limfoblast dan granulosit. Jika hematokrit > 30% maka resiko lebih
meningkat. 3,4
Gejala klinis berupa penurunan kesadaran, nyeri kepala fromtalis, kejang, papil edema,
dyspnea, hipoksemia, dan gagal jantung. Foto thoraks dapat memperlihatkan infiltrate-infiltrat
interstitial difus. Belum ada studi terkontrol untuk terapi ideal tetapi umumnya meliputi hidrasi
yang cukup, alkalilisasi dan allopurinol. Transfuse trombosit diberikan untuk mempertahankan
jumlah trombossit >20.000/mm3 untuk mencegah perdarahan intracranial. Leukoferesis
merupakan cara konvensional dengan harapan reduksi lekosit sekitar 48%. Masalahnmya berupa
peningkatan reboundd dari lekosit dan perlu antikoagulasi. 3,4
Neutropenia
Jumlah neutrofil normal di dalam darah pada bayi yang baru lahir umumnya tinggi (6.000
- 26.000/mm3 ), dan menurun pada umur 1 minggu. Setelah umur 1 tahun, jumlah neutrofil
berkisar antara 1.500 - 8.000 sel/mm3 . Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak
pada manusia, kadar dalam darah 50 - 70%, sekitar 10 triliun sel diproduksi tiap hari. Rata-rata
umur neutrofil di dalam darah 12 jam, setelah teraktivasi, neutrofil masuk ke dalam jaringan dan
hanya bertahan hidup 1 - 2 hari. Neutrofil normalnya terdapat dalam pembuluh darah, namun
pada saat fase inflamasi akibat inflamasi dan beberapa keganasan, neutrofil bermigrasi ke
sumber inflamasi mengikuti sinyal kimia (IL-8, IFN- ndotelium, mast sel dan makrofag.
Dalam mempertahanan tubuh dari mikroba, neutrofil mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1. Fagositosis, yaitu membunuh mikroba dengan menarik dan mencernanya dengan reactive
oxigen species (ROS) dan enzim hidrolitik
2. Degranulasi neutrofil melepaskan enzim untuk degranulasi protein sekitarnya
3. NETs (Neutrophil Extracellular Traps). Neutrofil dapat melepaskan struktur mirip jaring
yang dibentuk oleh kromatin dan protease serin yang membunuh mikroba secara
ekstraselular. .( Schimpff SC, 2010 )
Neutropenia akut berkembang selama beberapa hari dan sering terjadi jika penggunaan
neutrofil banyak dan produksinya terganggu. Neutropenia kronis yang berlangsung beberapa
bulan atau tahun bisa timbul dari berkurangnya produksi, peningkatan penghancuran, atau
penyerapan neutrofil di limfa. Neutropenia muncul sebagai faktor ekstrinsik sekunder untuk sel
myeloid sumsum yang umum terjadi gangguan yang diperoleh dari sel progenitor myeloid.
Cacat intrinsik sangat jarang mempengaruhi proliferasi dan pematangan sel progenitor myeloid.
Obat merupakan salah satu penyebab paling umum gejala neutropenia. Insiden neutropenia
akibat obat meningkat secara dramatis, 10% kasus terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dan
mayoritas kasus di antara orang dewasa di atas usia 65 tahun. Drug-induced neutropenia
memiliki beberapa mekanisme yang mendasari (Immune-mediated, beracun , reaksi
hipersensitivitas) yang berbeda dari neutropenia berat yang diduga terjadi setelah pemberian obat
kanker Cyto reductive atau radioterapi ( Boxer L.A , 2012)
Gejala dan tanda inflamasi pada pasien neutropenia, seringkali minimal atau tidak ada
samasekali. Demam merupakan gejala yang paling sering dan kadangkadang hanya muncul pada
infeksi berat. Demam karena penyebab infeksi pada leukemia, bisa ditemukan dalam bentuk
fokus infeksi yang jelas seperti infeksi kulit termasuk flebitis, infeksi saluran napas (infeksi
sinus, infeksi telinga), infeksi saluran pencernaan seperti diare infeksi dan kandidiasis, infeksi
saluran kencing; atau bisa karena adanya bakteremia sampai timbul sepsis jika disertai gejala
SIRS. ( Schimpff SC, 2010 ).
Pemeriksaan pada penderita demam neutropenia meliputi anamnesis untuk mencari faktor
risiko untuk jenis infeksi tertentu, riwayat penyakit dasarnya serta pengobatannya, telah berapa
lama terjadi neutropenia, antibiotik profilaksis yang telah diberikan, penyakit infeksi yang
pernah diderita sebelumnya dan pengobatannya, perjalanan ke daerah endemis penyakit infeksi
tertentu, pengetahuan spektrum mikroba serta uji resistensi, serta kemungkinan adanya gejala
klinis yang khas. (Donowitz GR, 2011 )
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama untuk memeriksa fokus infeksi, yang dapat terjadi pada
mukosa, rambut dan kuku, area genital, anal dan oral. Lokasi tempat masuknya kateter, biopsi
sumsum tulang, ataupun luka pembedahan. Seringkali pada penderita demam neutropenia tanda-
tanda klasik inflamasi menjadi berkurang. ( Sharma dkk, 2012 )
Sebagian besar kasus penyebab penyakit sulit dicari walaupun telah dilakukan pemeriksaan
penunjang diagnosis, namun pengobatan empiris tetap diberikan tanpa menunggu hasil
laboratorium yang spesifik. Kultur darah untuk bakteri dan jamur yang diambil dari vena perifer
dan semua lumen kateter yang terpasang. Pemeriksaan foto dada dilakukan untuk melihat adanya
infiltrat di paru. Pemeriksaan Computed Tomography Scanning (CT scan), Magnetic Ressonance
Imaging (MRI), ultrasonografi (USG), dan Positron Emission Tomography dapat
dipertimbangkan untuk mencari fokus infeksi (kulit, jaringan lunak, abdomen, sinus, saraf pusat,
paruparu, dan lain sebagainya). .( Schimpff SC, 2010 )
DAFTAR PUSTAKA