Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PRESENTASI KASUS

STASE KARDIOVASKULAR PULMONAL

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS SINDROM

OBSTRUKTIF POST TUBERCULOSIS (SOPT)

MUH. HAIDIR AGUN, S.Kes


PO. 715.241.202.019

POLTEKES KEMENKES MAKASSAR

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI

2020-2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Presentasi Kasus

Stase Fisioterapi Kardiovaskular Pulmonal

MUH. HAIDIR AGUN, S.Kes

PO 715-241-202-019

Dengan Judul

Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Sindrom Obstruktif Post Tuberkulosis

(SOPT)

Periode 3 Tanggal 12 April Sampai Dengan 30 April 2021 Di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Kota Mkassar Telah Disetujui Oleh

Pembimbing Lahan/ Clinical Educator

Makassar, 30 April 2021

Preceptor Clinical Educator,

St. Muthiah, S.ST.Ft.,Physio Lusi Sulandri, S.St.Ft


NIP. 19661027199990032003 NIP. 198310032008012008
KATA PENGANTAR

Setiap langkah yang saya pijak itu semua pemberian dari Allah swt, dan sebagai

tanda terima kasihnya, saya selelu bersyukur mengucapkan Alhamdulillah. Tiada

hentinya untuk memujinya dimanapun itu, dengan ridhonya saya bisa menyelesaikan

tugas laporan kasus dengan tepat waktu. Mohon maaf jika laporan ini masih memiliki

banyak kekurangan semoga kedepannya bisa lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Penulis

Muh. Haidir Agun


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR..........................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................1
BAB II TINJAUAN KASUS ...........................................................3
A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi...............................3
B. Tinjauan Tentang ............................................................4
1. Definisi...................................................................4
2. Etiologi...................................................................6
3. Epidemiologi..........................................................7
4. Patoanatomik Dan Patofisiologi.............................9
5. Maniestasi Klinis....................................................10
6. Pemeriksaan diagnostic..........................................12
BAB III PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI............................18
A. Data Medis........................................................................18
B. Identitas Pasien.................................................................18
C. Anamnesis Khusus............................................................19
D. Inspeksi/Observasi............................................................19
E. Pemeriksaan Spesifik........................................................19
F. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD).......................................22
G. Problematik Fisioterapi.....................................................24
BAB IV INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI.................25
A. Rencana Intervensi Fisioterapi..........................................25
B. Strategi Intervensi Fisioterapi...........................................25
C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi....................26
D. Edukasi dan Home Program..............................................33
E. Evaluasi..............................................................................
BAB V PEMBAHASAN......................................................................
A. Pembahasan Assessmen Fisioterapi..................................
B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi...................................
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Obstruksi Paska Tuberkulosis merupakan suatu gejala sisa yang

berupa gangguan faal paru dengan kelainan obstruksif yang memiliki gambaran klinis

mirip dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Tuberculosis merupakan

penyebab utama kematian oleh karena infeksi respirasi, ada sekitar 1.5 juta orang per

tahun orang meninggal diakibatkan oleh TB. Multi-Drug resistant tuberculosis (MDR-

TB), resisten pada rifampicin dan isoniazid telah mencapai 480000 kasus pertahun

Sebuah studi menemukan frekuensi kelainan aliran udara kronis yang berhubungan

dengan kerusakan struktural pada paru yang terjadi saat episode tuberculosis dimana

18.4% pasien dengan satu episode TB, 27.1 % dengan dua episode dan 35/2% dengan

tiga episode TB atau lebih. Tuberculosis dapat menyisakan sebuah gejala yang

kemudian disebut dengan Sindrom Obstruksi Paska Tuberculosis (SOPT), studi

menemukan bahwa sebagaian besar penderita Tuberculosis (TB) paru terancam

memiliki gangguan ini. TB masih menjadi penyakit menular yang menjadi sorotan

didunia. WHO mendeklarasikan bahwa penyakit ini mempengaruhi populasi muda dan

produktif, menghasilkan kelainan pulmonal residual yang panjang yang diprediksi

menjadi penyebab disabilitas utama khususnya gagal napas.

Pasien dengan gangguan Sindrom Obstruksi Paska Tuberculosis (SOPT)

memiliki masalah utama terutama dalam inkapasistas pernapasan atau sesak dan

gangguan pada aspek fungsional misalnya tidak dapat berjalan mencapai jarak >100

meter dan menjalankan tugas sehari hari karena keluhan yang muncul. Manajemen

fisioterapi pada SOPT untuk meningkatkan derajat dan kondisi kesehatan penderita

SOPT adalah adalah untuk mengurangi kerja pernapasan yang berlebihan, mendorong
pembersihan jalan napas, meningkatkan mobilitas, mendorong rehabilitasi dan

berkontribusi untuk melengkapi pelayanan ventilasi non invasif .


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi

Paru-paru terletak pada rongga dada dekat dengan letak organ jantung dan

dilindungi oleh tulang rusuk. Pada rongga dada inilah tepatnya di bagian kanan

dan kiri, paru-paru manusia terletak dengan diselimuti oleh selaput ganda pleura

(Saladin, 2003). Paru-paru terdiri dari beberapa bagian, antara lain trakea,

bronkus primer, bronkiolus, dan alveoli yang merupakan unit fungsional dari

paru-paru yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara yaitu oksigen dan

karbondioksida dalam sistem respirasi. Pada paru-paru, sebagian besar terdiri

atas gelembung-gelembung (alveoli), yang terdiri atas sel-sel epitel dan endotel

(Wasripin, 2007). Paru-paru pada bagian kiri memiliki dua buah lobus,

sedangkan di bagian kanan memiliki tiga lobus. Paru-paru bekerja secara

otonom, artinya tidak ada yang mempengaruhi aktivitasnya. Kemampuan

otonom yang dimiliki paru adalah sekitar 14-16 kali pernapasan per menit. Satu

kali pernapasan sama dengan satu kali inspirasi dan satu kali ekspirasi (Ganong,

2005).

Gambar 1. Anatomi paru


Sumber : Ganong, 2005
Pada waktu pernapasan biasa (waktu istirahat) yang bekerja hanya otot-

otot pernapasan reguler yaitu: muschel diaphragma dan muschel

intercostals.Apabila pernapasan diperkuat maka akan di bantu oleh otot- otot

pernapsan auxiliair. Apabila kita melakukan tarik napas, yang bekerja adalah

muschel diaphragma dan muschel intercostale externi dan beberapa otot

pembantu(auxiliair).

Otot-otot inspirasi auxiliair antara lain :

1)  muschel anterior medius dan posterior

2)  muschel seratus posterior posterior dan seratus anterior

3)  mushel sterno-cledio-mastoideus

4)  Muschel pectoralis major dan minor

5)  Muschel rhomboideus

B. Tinjauan Kasus

1. Pengertia Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

(M.tuberculosis) yang dikenal sebagai tubercle bacilli atau basil tahan asam

(BTA) dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi baik di paru atau

ekstraparu (Salwani,2018). Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi

dan menular secara langsung ataupun tidak langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosa yang ditularkan melalui udara saat seorang

pasien tuberculosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri

tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas serta melalui cairan dengan

terkena ludah dari penderita ketika menggunakan peralatan makan/minum

yang sama dengan penderita (Mardiono,2013).


TB merupakan penyebab utama kematian diantara berbagai penyakit

infeksi. Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan

masyarakat terutama di negara yang sedang berkembang. Sosial ekonomi

yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan

buruknya sanitasi lingkungan. Selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya

kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kategori layak juga

menjadi masalah bagi masyarakat golongan sosial ekonomi rendah

(Mulyadi, 2011). Menurut World Health Organization (2014) benua Asia

menyumbang 56% jumlah penderita paru didunia pada tahun 2013, Afrika

29%, Eropa 4% dan yang paling kecil beban penderita TB adalah wilayah

Amerika 3% dari jumlah total penderita TB paru didunia. Penderita TB paru

terbanyak pada lima Negara di dunia yaitu India, China, Afrika Selatan,

Indonesia dan Nigeria.

Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Tiongkok

(Depkes RI, 2008). Namun menurut laporan WHO tahun 2013, prevalensi

TB di Indonesia kembali menempati urutan ketiga setelah India dan

Tiongkok yaitu hampir 700 ribu kasus, dengan angka kematian masih tetap

27 per 100.000 penduduk.

Perlu diketahui bahwa selain itu di negara dengan prevalens TB paru

yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh setelah

pengobatan TB, namun pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala

sesak terutama pada aktivitas, radiologi menunjukkan gambaran bekas

tuberkulosis paru (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru

menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel.


Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit sindrom

obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT) dengan gejala dan tanda mirip dengan

PPOK (Editorial, 2012).

Syndrome obstruktif post tuberculosis (SOPT) itu disebabkan oleh

bekas dari luka akibat infeksi TB paru atau fibrosis yang dipengaruhi oleh

reaksi imunologi seseorang sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang

menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas (Mahendra, 2015).

Jadi, semakin luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB,

semakin berkurang membran pernapasan total dan kerusakan jaringan paru-

paru yang hebat (Titin dkk, 2007).

2. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis

kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan tebal

0,3-0,6 mikron dan digolongkan dalam Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri

Mycobacterium tuberculosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai

beberapa hari, berminggu- minggu, hingga bertahun-tahun bergantung pada

ada tidaknya sinar matahari tetapi dapat bertahan hidup di tempat yang gelap

dan lembab. Sebagian besar bakteri ini terdiri dari asam lemak dan lipid,

yang membuat lebih tahan asam. Sifat lain kuman ini ialah aerob yang

menunjukkan bahwa lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan

oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada apikal paru-paru lebih

tinggi dari bagian lain, sehingga bagian ini merupakan tempat predileksi

penyakit tuberculosis (Amin & Bahar, 2014).


Mycobacterium tuberculosis mengandung banyak zat imunoreaktif.

Lipid permukaan pada mikobakterium dan komponen peptidoglikan dinding

sel yang larut air merupakan tambahan yang penting yang dapat

menimbulkan efek melalui kerja primernya pada makrofag penjamu.

Mikobakterium mengandung suatu kesatuan antigen polisakarida dan

protein, sebagian mungkin spesifik spesies tetapi yang lainnya secara nyata

memiliki epitop yang luas di seluruh genus. Hipersensitivitas yang

diperantarai sel khas untuk tuberculosis dan merupakan determinan yang

penting pada patogenesis penyakit (Isselbacher, 2013).

Energi kuman ini didapat dari oksidasi senyawa karbon yang

sederhana, pertumbuhannya lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jam, pada

pembenihan pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Daya tahan kuman ini

lebih besar apabila dibandingkan dengan kuman lain karena sifat hidrofobik

permukaan sel. Pada sputum kering yang melekat pada debu dapat hidup 8-

10 hari (Aditama, 2006). Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant

selama beberapa tahun. Sifat dormant ini berarti kuman dapat bangkit

kembali dan menjadikan tubercolosis aktif kembali.

Beberapa faktor karaktersitik individu yang menjadi faktor resiko

kejadian TB paru (Hardiyanti, 2012), antara lain :

a) Umur

b) Jenis kelamin

c) Pekerjaan.

d) Tingkat pendidikan.

e) Merokok.
f) Status gizi.

g) Kondisi sosial ekonomi

h) Perilaku.

3. Epidemiologi

Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun

2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB

bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun,

sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health Organization

memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak

menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Pada wanita kematian

akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan,

dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020 kematian karena TB

meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB

aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian. Setiap tahun didapatkan

250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira 100.000 kematian karena

TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu diantara

penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian

pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi

saluran napas akut. (Kartasasmita, 2009)

Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 15-5 tahun,

merupakan kelompok usia produktif. Peningkatan jumlah kasus TB di

berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1)

diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, program

penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV,


(5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7)

meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang

memadai. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan

upaya dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai Negara

(Kartasasmita, 2009).

4. Patomekanisme

Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada Tuberkulosis paru

yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca Tuberkulosis sangat kompleks

pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh

proses Tuberkulosis. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi Tuberkulosis,

dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan

reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke

dalam parenkim paru makrofagaktif. Peradangan yang berlangsung lama ini

menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk

jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju

kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat

dideteksi secara spirometri (Aida, 2006).

Infeksi terjadinya Tuberkulosis saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga

dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan

sehingga sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat

kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru-

paru, yang mengakibatkan peradangan di paru. Saluran limfe akan membawa

kuman TB ke kelenjar limfe sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan

kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat

dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif

menjadi positif (Depkes RI, 2006).

Terjadinya infeksi tergantung banyaknya kuman yang masuk dan

besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman TB, ada beberapa kuman akan menetap sebagai

kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak

mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu

waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan

sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan

mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada

berbagai organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan nama penyebaran

limphohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Jenis penyebaran

hemathogen yang lain adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan

tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila nekrotik merusak pembuluh darah

sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vascular dan tersebar ke

organ-organ (Hardiyanti, 2012).

5. Manifestasi Klinis

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa: 1) batuk

berdahak 2) sesak napas, 3) penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala


lainnya adalah demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan

(Widoyono, 2008).

Gejala-gejala paling umum dijumpai adalah:

a. Demambiasanya subfebris menyerupai demam influenza tetapi

kadang mencapai 40° - 41°C yang hilang timbul sehingga pasien

merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.

Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan

berat ringannya infeksi mycobacterium tuberculosis yang masuk

(Somantri, 2009).

b. Sesak nafas pada penyakit ringan belum ditemukan atau dirasakan.

Sesak akan terjadi pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (Somantri,

2009).

c. Malaisedimana gejala ini sering ditemukan seperti anoreksia tidak

nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,

meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise makin lama

makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Somantri,

2009).

d. Batuk atau batuk berdahak dimana gejala ini banyak karena adanya

iritasi pada bronkus.batuk ini diperlukan untuk membuang produk-

produk radang keluar. Mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit

berkembang dalam jaringan paru yakni setelah minggu-mimggu atau

berbulan-bulan peradangan bermula.sifat batuk dimulai dari batuk

kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradagan menjadi


produktif (menghasilkal sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa

batuk darah karena terdapat pembuuh darah yang pecah.kebanyakan

batuk darah pada tuberkulusis terjadi pada kavitas,tetapi dapat juga

terjadi pada ulkus dinding bronkus. (Corwin, 2009).

e. Lemah badan, kehilangan nafsu makan dan berat badan turun, rasa

kurang enak badan (Malaise), berkeringat pada malam hari padahal

tidak ada kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan (Corwin,

2009).

6. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnostik

Diagnosis tuberculosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik

tuberculosis dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala respiratorik dan gejala

sistemik.

1. Gejala respiratorik meliputi batuk yang sudah lebih 2-3 minggu. Batuk

dapat berupa batuk kering, batuk dengan sputum, hingga batuk darah.

Selain itu, gejala respiratorik yang lainnya seperti sesak napas dan nyeri

dada.

2. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya menyerupai demam

influenza, tapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C.

Gejala sistemik yang lain berupa malaise, keringat malam, anorexia, dan

berat badan yang menurun (PDPI, 2006).

Pemeriksaan fisis tuberkulosis paru, kelainan yang didapat

tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan

penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan


paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex

dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan

jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara

napas melemah, ronki basah,tanda-tanda penarikan paru, diafragma &

mediastinum (PDPI, 2006).

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan kelainan yang

ditemukan berupa pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan

foto thorax merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberculosis,

walaupun dengan harga yang lebih mahal karena beberapa keuntungan yang

dimilikinya. Disamping itu, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan

adalah darah rutin. Pemeriksaan darah mempunyai hasil yang tidak sensitif

dan spesifik. Selain itu, dapat dilakukan tes tuberculin. Pemeriksaan ini

masih banyak digunakan untuk mendiagnosis tuberculosis terutama pada

anak-anak atau balita. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar

adalah pemeriksaan sputum BTA. Pemeriksaan ini mampu mendiagnosis

dan mengevaluasi pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA

positif apabila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA dalam

satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam satu sputum

(Amin & Bahar, 2014).

1. Pemeriksaan BTA

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek tuberkulosis diperiksa 3

spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasyankes.

c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2011).

2. Pemeriksaan  BACTEC merupakan dasar teknik pemeriksaan

biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. Sistem ini dapat

menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk

membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan   Mycobacteria

Growth Indicator Tube (MGIT) (PDPI, 2006).

3. Teknik Polymerase Chain Reaction Deteksi DNA kuman secara

spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat

mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen.

Juga dapat mendeteksi adanya resistensi (PDPI, 2006).

4. Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)

merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam

serum. Apabila serum mengandung antibodi IgG

terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen

dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila
setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat

garis antigen pada membran (PDPI, 2006).

7. Mycodot merupakan uji untuk mendeteksi antibodi

antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen

lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang

berbentuk sisir plastik. Bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi

spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti

penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat

dideteksi dengan mudah (PDPI, 2006).

8. PAP (Uji peroksidase anti peroksidase) merupakan salah satu jenis uji

yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi

hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati

karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang

terdeteksi (PDPI, 2006).

9. Tes Mantoux/Tuberkulin dimana bila uji tuberculin positif, menunjukkan

adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji

tuberculin dapat negatif pada anak TB berat dengan alergi (malnutrisi,

penyakit sangat berat, dll). Jika uji tuberculin meragukan dilakukan uji

silang.

10. Reaksi cepat BCG Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat

(dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak

tersebut dicurigai telah terinfeksi kuman TB.

11. Foto toraks PA dan lateral.


Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberkulosis, berupa

bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus

bawah., bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular). Adanya

kavitas, tunggal atau ganda. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas

paru. Adanya kalsifikasi, bayangan menetap pada foto ulang beberapa

minggu kemudian, serta adanya bayangan milier (Mansjoer, Triyanti,

Savitri, et al., 2000).

Gambar 4 Gambaran Foto Rontgen Dada pada Pasien Tuberkulosis

Pada sebagian besar tuberkulosis paru, diagnosis terutama ditegakkan

dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto

toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan

sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis

tuberkulosis paru BTA positif.


b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur).

c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang

mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau

aspergiloma) (Depkes RI, 2006).

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini

terutama ditujukan pada tuberkulosis paru (Smeltzer, 2008):

a. Tuberkulosis paru BTA positif.

 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif

 Hasil pemeriksaan satu specimen sputum menunjukkan BTA positif

dan di jumpai adanya kelainan radiologi

 Hasil pemeriksaan satu specimen sputum menunjukan BTA positif dan

biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada

tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik tuberkulosis paru BTA

negatif harus meliputi:

 Hasil pemeriksaan sputum 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

klinis dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberculosis aktif


 Hasil pemeriksaan sputum 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan micobacterium tuberculosis positif.


BAB III

PROSES ASSESMEN FISIOTERAPI

A. Data Medis

Vital Sign :

 Nadi : 84 X/Menit

 Tekanan Darah : 120/70 mmHg

 Pernafasan : 18 X/Menit

 Suhu : 36o C

 SpO2 : 95 %

B. Identitas Pasien

Nama : Tn. Y
umur : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kota Makassar

C. History Taking
Keluhan Utama : Sesak nafas
Faktor Penyebab : Pola hidup kurang sehat/Bakteri
Faktor Yang Memperberat : Beraktivitas Berat
Faktor Yang Memperingan : Istirahat
Riwayat Perjalanan Penyakit : 4 tahun yang lalu pasien di diagnose TB paru,
hari ini (26/4/2021) pasien datang ke poli fisioterapi dengan keluhan sesak nafas,
sesak dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, dokter mengdiagnosa lanjut SOPT,
untuk keluhan batuk jarang. Sesak biasanya menyerang pada malam hari.
Riwayat Penyakit Dahulu : TBC Paru

D. Inspeksi

Statis

1. Bentuk dada : Pectus Excavatum

2. Pola nafas : Normal

3. Warna kulit : Normal

4. Postur : Shoulder Protraksi

5. Mata : Normal

6. Bibir : Normal

Dinamis

1. Saat jalan pasien terlihat sedikit sesak

E. Pemeriksaan Spesifik

2. Palpasi :

 Nyeri : ada nyeri tekan pada sisi kanan

 Spasme : -
3. Asukultasi :

Regio Kiri Kanan


Ves Ronchi Whes Ves Ronchi Whes
Apical   
Mild zon  
Low zon  
Posterior  

4. Pemeriksaan Mobilisasi Thoraks

Selisih
Titik Ukur Inspirasi Awal Ekspirasi
Inspirasi Ekspirasi
Axilla 75 cm 74 cm 73 cm 1 cm 1 cm
Pappila
78 cm 76 cm 75 cm 2 cm 1 cm
Mamae
Xyphoid 76 cm 74 cm 73 cm 2 cm 1 cm
Interprestasi : penurunan mobilisasi sangkar thorak

5. Pemeriksaan Ventilasi Thoraks

Param Best Pred % Pred


FVC 1.09 3.41 32.05
FEV1 0.88 2.66 32.94
FEV1/FVC 80.13 75.12 106.67
Interprestasi : obstruktif sedang

6. Pemeriksaan Gas Darah : -

7. Pemeriksaan Sputum/sekresi : 08-10-2018 (MTB-Rif) = Non Detected

8. Pengukuran derajat sesak napas : Skala BORG = Poin 3

Score Interpretasi sesak

0 Tidak ada

0,5 Tidak nyata

1 Sangat ringan
2 Ringan

3 Sedang

4 Sedikit berat

5 Berat

7 Sangat berat

10 Sangat-sangat berat

? Tidak tertahankan

9. Pengukuran Toleransi Aktivitas (Six minute walking test)

Pengukuran Pre- test Post Test


Tekanan Darah 120/70 mmHg 120/90 mmHg
Frekuensi Nadi 84x/menit 91x/menit
SaO2 95 % 94%
Skala Borg Sesak nilai 3 ( sedang) Sesak nilai 3 ( sedang)
Pelaksanaan : pasien hanya mampu berjalan dalam 4 menit.

10. Pemeriksaan X-Ray/MRI/CT-Scan

=Kesan : TB Paru lama aktif

11. Pengukuran Nyeri :

Nyeri : Diam : 0
Tekan : 4

Gerak : 2

F. Dioagnosis dan Problem Fisioterapi

1. Diagnosa Fisioterapi

= penurunan aktivitas fungsional dengan gangguan respiratori ditandai

dengan sesak nafas terkadang disertai batuk kering e.c Sindrome Obstructive

Post Tuberculosis

G. Kemampuan ADL (Aktivity Dailt Living) Menggunakan (London Chest

Aktivity of Daily Living (LCADL) Scale

Deskripsi Kegiatan Skor

Perawatan Diri
1. Memakai handuk setelah mandi 1

2. Memakai pakaian ( Tshirt, jaket) 2


3. Memakai sepatu atau kaos kaki 1

4. Mencuci rambut / keramas 2

Aktivitas Di Rumah

1. Merapikan tempat tidur 2

2. Merapikan sprei 2

3. Membersihkan jendela 2

4. Menyapu 3

5. Menyiapkan makanan 1

6. Membersihkan debu 3

Aktifitas Fisik

1. Menaiki tangga 4
2. Membungkuk 3
Aktifitas Waktu Luang

1. Berjalan disekitar rumah 4

2. Pergi keluar rumah 4

3. Berbicara 1

H. CAT (COPD Assesment Test)

0 1 2 3 4 5 skor
Saya tidak pernah ✓ Saya selalu batuk 2
Batuk
Tidak ada dahak ✓ Dada saya penuh 2
sama sekali dengan dahak
Tidak ada rasa berat ✓ Dada saya terasa 2
di dada berat ( tertekan )
sekali
Ketika saya jalan ✓ Ketika saya jalan 3
mendaki/ naik mendaki/ naik
tangga saya tidak tangga saya
sesak sangat sesak
Aktivitas sehari- ✓ Aktivitas sehari- 3
hari saya di rumah hari saya di
tidak terbatas rumah sangat
terbatas
Saya tidak kawatir ✓ Saya sangat 4
keluar rumah kawatir keluar
meskipun saya rumah karena
menderita penyakit kondisi paru saya
paru
Saya dapat tidur ✓ Saya tidak dapat 5
dengan nyenyak tidur nyenyak
karena kondisi
paru saya
Saya sangat ✓ Saya tidak punya 5
bertenaga tenaga sama
sekali
Interprestasi : 26<30 tingkat kualitas keseharian sedang

I. Problematik Fisioterapi

Pemeriksaan/Pengukuran Yang
No. Komponen ICF
Membuktikan

1. Inpairment

a. Penurunan mobilitas thorax Pemeriksaan Mobilitas sthorax

b. Batuk Kering Auskultasi/History Taking/CAT

Spirometri
c. Sesak nafas Skala Borg
Auskultasi
Lingkar dada
d. Nyeri dada Palpasi
Skala VAS
2. Activifiti Limitation

Pasien merasa sesak saat


beraktivitas berat dan berada History Talking
di suhu dingin 6MWT

3. Participation Restriction

Pasien mengurangi aktivitas


diluar rumah seperti tidak
History Talking, (Landon ches)
berlama-lama ngobrol dengan
tetangga di masjid.

BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI


A. Rencana Intervensi

1. Tujuan Jangka Panjang

Mengurangi sesak nafas dan meningkatkan kualitas hidup pasien tanpa adanya

keluhan sesak yang berat.

2. Tujuan Jangka Pendek

 Menurunkan sesak nafas

 Peningkatan mobilisasi thoraks

 Meredahkan batuk kering

 Meredakan Nyeri dada

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

No. Komponen ICF Tujuan Intervensi Jenis Intervensi

1. Impraitmen

.a. Penurunan mobilitas Meningkatkan mobilitas MWD, Breathing


thorax thorax Exercise

MWD, latihan batuk/


b. Batuk kering Meredakan Batuk
Having

MWD, Breathing
Exercise, postural
c.sesak nafas Memperbaiki jalan nafas drainase, dan
streaching serta
mobilisasi paru

MWD, Tens breathing


Nyeri dada Mengurangi Nyeri dada exercises, serta
mobilisasi paru

2. Activifiti Limitation

Breathing Exercise
Pasien merasa sesak saat
dan postural
beraktivitas berat dan Menghilangkan sesak
drainase,
berada di suhu dingin
mobilisasi thoraks

Participation Restriction
Pasien mengurangi Therapy activity
aktivitas diluar rumah s

eperti tidak berlama-lama


ngobrol dengan tetangga
di masjid.

C. Prosedur Intervensi

1. MWD

a. Persiapan

 Pastikan alat berfungsi dengan baik

 Hubungkan kabel alat dengan kontak listrik

 Tekan tombol on

 Sebelum mesin di gunakan sebaiknya panaskan mesin terlebih

dahulu

b. Persiapan pasien

 Posisikan pasien dengan senyaman mungkin

 Pastikan area yang akan diterapi terhindar dari kain

 Posisikan pasien berbaring di atas bed

c. Posisi terapis

 Berdiri di samping pasien dan bersiap untuk mengaplikasikan alat

ke daerah yanga akan di terapi

d. Teknik

 Arahkan MWD ke daerah yang akan diterapi


 Selanjutnya lakukan pengaturan timer,serta dosis yang akan

diterapi.

 Lakukan selalu pengontrolan terhadap pasien jangan sampai ada

hal yang akan memperburuk keadaan pasien, seperti luka bakar

dll.

 Jarak pengaplikasian 5 cm dari permukaan kulit, waktu 10-15

menit untuk intesitas 30 w.

2. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation

a. Tujuan : Untuk meredakan Nyeroi

b. Persiapan alat

 Tes alat

 Basahi spon dengan air

c. Persiapan pasien

 Lakukan pengecekan sensibilitas

 Bebesakan kain dari daerah yang akan diterapi

 Posisikan pasien dengan senyaman mungkin

 Pasang ped daerah yang akan diterapi

 Durasi 10-15 menit

 Intensitas toleransi pasien

d. Posisi terapis

 Berdiri di samping pasien

e. Teknik pelaksanaan

 Letakkan ped vacuum daerah yang akan diterapi

 Pilih arus assimteriycal alternating


 Waktu 10 menit

 Intesitas toleransi pasien

 Lakukan pengontrolan yang dirasakan oleh pasien

3. Breathing exercises

a. Teknik Pelaksanaan

Pasien di posisikan serileks mungkin, tangan pasien berada diatas


rektus abdominali pasien, kemudian tangan fisioterapis diatasnya.
Instruksikan pasien menarik napas dengan hidung dan keluarkan
darimulut (ekspirasi panjang) dengan 8x repetisi kemudian istirahat.

b. Tujuan : Untuk melatih otot-otot pernafasan, memperbaiki ventilasi dan

merangsang breflek batuk

4. Mobbilisasi Thoraks

a. Tujuan : Memelihara atau memperbaiki mobilitas dinding chest, trunk

dan Shoulder akibat gangguan respirasi, meningkatkan kemampuan deep

inspirasi dan kontrol ekspirasi

b. Teknik pelaksanaan :

 Pasien tidur terletang di atas bed

 Selanjutnya letakan tangan pasien di bagian midel dari sisi lateral

kiri dan kanan paru, selanjutnya intruksikan pasien untuk tarik

nafas panjang dan terapis mengikuti pergerakan paru setelah itu

pasien diarahkan untuk ekspirasi dan tangan terapis tetap

mengikuti perkembanga thoraks dan pasien.istirahat sambil

mengntrol kembali keadaan pasien

5. Postur Drainage
a. Tujuan : untuk mengalirkan mucus dari sebagian segmen paru ke

saluran nafas atas

b. Prosedur pelakanaan :

 Posisi pasien halflying untuk segemen apical

 Posisi terapis : berada di samping pasien

c. Teknik pelaksanaan :

 Posisikan pasien dengan benar untuk drainage dan pastikan

pasien comfortable dan rileks (pada pasien postural drainage

untuk segmen apical dengan posisi halflying dan segmen

middle dengan posisi side lying).Pertahankan posisi 10-20

menit jika pasien dapat mentoleransi posisi tersebut atau

selama posisi tersebut produktif. Pasien diinstrukikan bernapas

dalam dan rileks. Anjurkan pasien tarik napas dalam dan batuk

jika pasien tidak mampu batuk, lakukan vibrasi pada akhir

ekspirasi untuk membantu pasien. Dosis : 1 - 2 kali dalam

sehari.

6. Streaching exercises

a. M. Pectoralis Mayor
 Teknik Pelaksanaan : Pasien dalam posisi duduk dengan kedua

tangan berada di belakang kepala. Fisioterapis berada di belakang

badan pasien dan menggenggam elbow pasien. Intruksikan pasien

menarik napas saat fisioterapis membawa elbow ke arah samping

luar (horizontal abdukasi dan adduksi scapular). Tahan elbow pada

posisi ini ketika pasien mengeluarkan napas. Tidak perlu penguluran

memasa diperlukan (Ylinen,2008).

b. Muschel. Pectoralis minar dan m. Upper Trapezius

 Teknik Pelaksanaan : Pasien diarahkan gerakan lateral fleksi cervical,

tangan kanan fisioterapi diletakkan dibahu pasien, kemudian tangan

kiri diletakkan dikepala pasien. Tahanan akan diberikan secara

bergantian. Fisioterapis mendorong bahu pasien sambil pasien

menahannya, kemudian fisioterapis mendorong kepala pasien sambal

pasien menahannya. Setelah itu, minta pasien untuk tarik nafas dan

rileks, kemudian fisioterapis mendorong daerah bahu sambil pasien

mengarahkan bahu ke arah caudal dan tangan kiri fisioterapis juga

mendorong kepala pasien secara perlahan kearah lateral fleksi.

c. Muchel Sternocledomastoideus

 Teknik Pelaksanaan : Pasien dalam posisi duduk dengan kepala

tegak kemudian lehernya digerakkan rotasi ipsilateral dan ekstensi

hingga maksimal dan posisi ini dipertahankan dan berikan dorongan

untuk mengulur otot sternocleidomastoideus selama 8-10hitungan

atau dalam satuan detik kemudian dikembalikan pada posisi semula.


Gerakan ini dilakukan juga pada sisi leher yang berlawanan yaitu ke

arah kiri dan kanan. Gerakan ini dilakukan sebanyak 4-8 kali.

7. ACBT (Aktive cycle Breathing Teknique)

ACBT terdiri dari tiga tahapan yaitu Breathing control,


deep breathing dan huffing.

a) Breathing Control

Tujuan : merilekskan saluran pemapasan dan meringankan sesak napas


yang dirasakan oleh pasien

Teknik :

 Letakkan satu tangan diatas perut dan biarkan bahu dalam

posisi rileks.

 Bernapaslah dengan tenang dan lembut.

 Lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan control

pernapasan ini bervariasi, tergantung sejauh mana pasien

merasakan sesak napasnya. Tiga atau 4 kali bernapas dirasa

cukup pada keadaan sesak napas yang ringan dan lebih dari

itu jika disertai adanya infeksi.

b) Deep Breathing

Tujuan : mendapatkan udara dibelekang sputum yang terjebak disaluran


napas kecil

Teknik pelaksanaan :

 Rilekskan dada bagian atas.

 Tarik napas secara perlahan dan dalam.

 Bernapaslah perlahan hingga udara dalam paru paru kosong,


dengan tidak memaksakan udara keluar.

 Ulangi 3 hingga 4 kali. Jika merasa ringan,

ulangi kembali dari kontrol pernapasan awal.

 Setelah melakukan latihan pernapasan, kembali

ke kontrol pernapasan lagi untuk memastikan

saluran napas benar-benar rileks.

c) Latihan Batuk (Huffing)

Teknik pelaksanaan :

posisikan pasien rileks mungkin untuk melakukan deep breathing dan

batuk. Posisi duduk dengan leher sedikit fleksi agar batuk lebih

comportable. Ajarkan pasien untuk mengontrol diagfragma breathing

khususnya deep inspirasi. Demonstrasikan cara batuk yang dalam dan

kuat. Kemudian letakkan tangan di abdomen pasien dan lakukan huffing

pada akhir eksipirasi, rasakan kontaksi abdomen pasien.

Tujuan : Untuk membantu proses pengeluaran mulkus dalam paru agar

saluran nafas lancar.

8. Mobilisasi

1. Mobilisasi paru

2. Mobilisasi diagfragma

D. Edukasi dan Home Program


o Edukasi

 Pasien disarankan untuk tidak melakukan pekerjaan yang

memperberat sesak nafasnya.

 Kontrol stres (psikologis)

o Home Program

 Melakukan Breathing Exercises, Huffing ( latihan batuk)

 Lakukan peregangan dirumah


BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assessment Fisioterapi

1. Identitas Pasien

Pada konsep Evidence Based Practice bahwa Assessment

(indentitas pasien) dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan

bukti-bukti yang paling relevan seputar indentitas diri pasien yang

nanti dapat menentukan hasil untuk mendukung tercapainya

tujuan. Kita melakukan proses sistematik pengumpulan,

penganalisaan, dan penafsiran informasi dari pasien untuk

menentukan apa yang menjadi tujuan .Pada kondisi SOPT kita

menanyakan umur serta pekerjaan yang bisa menjadi penyebab

dari kasus Paru. Apakah ada riwayat penyakit yang sama dengan

keluarganya.

2. History Taking

Pada history taking terdapat keluhan utama, riwayat perjalanan

penyakit, serta riwayat penyakit sebelumnya, dalam proses

assessment kita memasukkan history taking agar kita bisa

mentukan intervensi apa yang akan diberikan pada pasien kasus

SOPT tersebut agar tidak menjadi kontra indikasi pada pemberian

alat maupun terapi exercise serta kita mengukur tekanan darah,

denyut nadi serta pernapasan pasien karena itu juga berkaitan,

apabila pasien memiliki riwayat hipertensi yang menjadi kontra


indikasi pada salah satu alat yang diberikan

3. Inspeksi/Observasi

Pada inspeksi terdapat dua bagian Statis dan dinamis dimana pada

statis kita melihat pada saat pasien diam, sedangkan pada dinamis

kita melihat pada saat pasien berjalan. Dan pada hasil yang

didapatkan dari kedua terdapat protraksi pada shoulder , serta ada

tidaknya sesak yang nampak saat pasien berjalan.

B. Pemeriksaan Spirometri

Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi

terintegrasi mekanik paru, dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan

mengukur jumlah volume udara yang dihembuskan dari kapasitas paru

total (TLC) ke volume residu.

a. Fungsi Paru Normal

Hasil spirometri normal menunjukkan FEV1 >80% dan FVC

>80%.

b. Obstructive Ventilatory Defects (OVD)

Gangguan obstruktif pada paru, dimana terjadi penyempitan

saluran napas dan gangguan aliran udara di dalamnya, akan

mempengaruhi kerja pernapasan dalam mengatasi resistensi

nonelastik dan akan bermanifestasi pada penurunan volume


dinamik.

c. Restrictive Ventilatory Defects (RVD)

Gangguan restriktif yang menjadi masalah adalah hambatan dalam

pengembangan paru dan akan mempengaruhi kerja pernapasan

dalam mengatasi resistensi elastik. Manifestasi spirometrik yang

biasanya timbul akibat gangguan ini adalah penurunan pada

volume statik. RVD menunjukkan reduksi patologik pada TLC

(<80%).

C. Palpasi

Pada pemeriksaan ini terapis meraba dan menekan otot pasien.

Tujuannya untuk mengetahui apakah terdapat nyeri, spasme otot pada

pasien

Adapun hasil yang didapatkan yaitu :Suhu : Normal

D. Auskultasi

Auskultasi adalah metode pemeriksaan untuk mendengarkan bunyi

dari dalam tubuh dengan menempelkan stetoskop di area tertentu.

Pemeriksaan bunyi jantung dilakukan pada dada sebelah kiri, sedangkan

pemeriksaan bunyi paru-paru dilakukan pada seluruh bagian dada.

Bunyi jantung sehat memiliki irama yang teratur, dan tidak ada
bunyi tambahan. Sementara pada paru-paru yang sehat, akan terdengar

suara napas yang normal, tanpa ada mengi, stridor, atau suara napas

abnormal lainnya.

E. Mobilitas Shangkar Thoraks

Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi

penurunan sangkar thoraks sehingga menghambat kerja pernafasan .

Proses penuaan secara signifikan dapat menyebabkan terjadinya

penurunan pada sistem musculoskeletal yang dapat mempengaruhi postur,

tulang skeletal, pengembangan sangkar thorax dan penurunan fungsi otot-

otot sangkar thorax dan mobilitas otot-otot diafragma-abdominal.

F. Kemampuan ADL (Activity Daily Living) menggunakan London

Chest Activity of Daily Living (LCADL) Scale

Activities Of Daily Living (ADL) atau aktivitas sehari-hari adalah

sekumpulan kegiatan yang dilakukan oleh Lansia untuk memenuhi

kebutuhan perawatan dirinya. Aktivitas tersebut meliputi mandi,

berpakaian, berpindah dari tempat tidur atau kursi, berjalan, menggunakan

toilet, dan makan (Lueckenotte, 2000). Seiring terjadinya proses penuaan

maka akan terjadi perubahan ataupun kemunduran dalam ADL lansia.

Oleh karena itu, perawat harus memiliki kemampuan dalam mengkaji

kemampuan ADL lansia.

G. Pembahasan Intervensi Fisioterapi


1. MWD

MWD (Micro Wave Diathermy) Pengaruh MWD dalam penurunan

rasa nyeri yakni adanya efek thermal yang akan menimbulkan efek

fisiologis terhadap jaringan yaitu setiap kenaikan 1 °C MWD dapat

mengurangi sebagian inflamasi dan meningkatkan metabolisme,

peningkatan 2 – 3 °C berfungsi menurunkan nyeri dan muscle spasme,

sedangkan peningkatan pada suhu di atas 3-4 °C dapat meningkatkan

ekstensibilitas jaringan (Wismita, Putra, & Nurmawan, 2015).

Efek thermal yang dihasilkan oleh MWD akan diikuti dengan

vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran darah kapiler menjadi

meningkat. Adanya peningkatan ini akan melancarkan pembuangan zat-

zat sisa metabolisme yang menumpuk di jaringan yang sering

menyebabkan spasme otot dan nyeri. Dengan lancarnya pembuangan zat

sisa metabolisme, maka otot yang akan menjadi rileks dan nyeri akan

berkurang (Alfonso, Ortega, Dami, & Mart, 2013).

2. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Diketahui adanya penurunan tingkat nyeri, dimana Transcutaneus

Electrical Nerve Stimulation (TENS) dapat menurunkan nyeri dengan

stimulasi electrical, yang mana pemberian stimulus ini dapat menghambat

nosiseptif pada tingkatan dorsal horn (pusat dari gray matter), sehingga dapat

membatasi transmisi ke pusatnya (Kaye, 2015).

3. Breathing Exercises
Breathing exercise merupakan latihan untuk meningkatkan

pernafasan dan kinerja fungsional (Cahalin, 20145). Pulsedlip

breathing exercise adalah suatu latihan bernafas yang terdiri dari

dua mekanisme yaitu inspirasi secara kuat dan dalam serta ekspirasi

aktif dan panjang. Proses ekspirasi secara normal merupakan proses

mengelurkan nafas tanpa menggunakan energi (Maryoto, 2010).

4. Mobilisasi sangkar thoraks

Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive

movement pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep

breathing yang bertujuan untuk meningkatkan mobilitas trunk dan

shoulder yang mempengaruhi respirasi serta memperkuat kedalaman

inspirasi dan ekspirasi (Subroto, 2010). Mobiliasi sangkar toraks dapat

dilakukan dengan bantuan pergerakan dari bahu dan tulang belakang.

Mobilisasi sangkar toraks melibatkan gerakan kompleks dari anggota

gerak atas selain itu antara sternum, torakal vertebra, serta otot-otot

pernapasan. Mekanisme mobilisasi sangkar toraks adalah meningkatkan

panjang otot interkostalis dengan melakukan kontraksi yang efektif dari

anggota gerak atas.

DAFTAR PUSTAKA
Aditama TY, 2002. Tuberculosis Masa Datang Dalam : Simposium

Nasional TB Update, Surabaya. Hal 102-107.

Aida,N. 2006. Patogenesis Sindrom Ostruksi Pasca Tuberkulosis. Bagian

Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru

Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.

Amin Z, Bahar A, 2014. Tuberculosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid I. 6st edition, Jakarta: Interna Publishing. Hal 865-970.

Aras, Djohan. 2013. Buku Ajar Mata Kuliah Proses dan Pengukuran

Fisioterapi. Makassar : Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Kedokteran

Unhas.

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Penduduk Lanjut Usia Provinsi

Sulawesi Selatan 2010. Jakarta-Indonesia

Bartlett, JG. 2016. Aspiration Pneumonitis and Pneumonia. Medscape

Basuki, Nur, 2009. Fisioterapi pada Kasus Respirasi. Surakarta:

Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi.

Corwin, J.Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC

Depkes RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Editorial.2012. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD):

“GOLD Revised 2011” lebih aplikatif. J Respir Indo, Volume 32 Nomor 4.


Guyton, AC., Hall, JC. 2007 . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran .Jakarta.

EGC.

Hardiyanti, S. 2012. Karakteristik Pasien Tb Paru Berdasarkan

Pemeriksaan Foto Thorax Di Bagian Radiologi Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar Periode Juni 2016-Juni 2017. Skripsi : FK UNHAS

Irawati Anastasia. 2013. Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis

di RSU Dr. Soedarso Pontianak. Naskah Publikasi. Pontianak: Fakultas

kedokteran Universitas Tanjungpura

Irawati Anastasia. 2013. Naskah Publikasi Kejadian Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis di RSU Dr. Soedarso Pontianak. (Thesis). Pontianak: Fakultas

kedokteran Universitas Tanjung Pura

Isselbacher dkk, 2013. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.

Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC. Hal 799-800.

Kartasasmita, C. 2009. Epidemiologi Tuberculosis. Bandung.

Kementerian Kesehatan. 2017. Analisis Lansia di Indonesia. Jakarta :

Pusat Data dan Informasi Kemenkes.

Kisner, C dan Colby L. A. 2012. Therapeutic Exercise: Foundations and

Techniques. 6th Ed. Philadelphia: F. A. Davis Company. PP: 2

Kisner, Carolyn. 2007. Therapeutic Exercise.USA: Margaret Biblis

Mardatila Antina Ria. 2016. Penatalaksanaan Chest Physiotherapy pada

Kondisi Bronkitis Akut di RS Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga. Program Studi

Diploma III Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta.
Mardino.Sasono. 2013. “Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terhadap

Frekuensi Pernafasan Pasien TB Paru di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam

Rumah Sakit Pelabuha Palembang Tahun 2013”. Jurnal Harapan BAngsa Vol. 1

No.2 Desember 2013.

Mulyadi. 2011. Profil Penderita Tuberculosis Paru di Pesisir Pantai Aceh

Barat Daya (Kajian di Puskesmas Blangpidie). J Respir Indo. 31 (2).

Ningsih leni wahyu. 2017. Gambaran epidemologi kejadian syndrome

obstruksi pasca tuberculusis(SOPT) di unit pengobatan penyakit paru-paru

pontianak. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Pontianak.

Noorhidayah Dwi. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus

Tuberkulosis Paru di RSP. Ario Wirawan Salatiga. Program Studi Diploma III

Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

PDPI. 2005. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Diakses:

15/9/2019. http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2006. PPOK. Pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika.

Pratama, H. 2012. Fisioterapi Dada. Jakarta.

Riset Kesehatan Dasar. 2013. http://www.litbang.depkes.go.id

Sailaja HK dan Rao N. 2015 . Study of Pulmonary Function Impairment

by Spirometry in Post Pulmonary Tuberculosis. Journal of Evolution of Medical

and Dental Sciences. Volume 4. Nomor 42.


Salwani, D. 2018. Kemampuan Gabungan Gejala Klinis Dan Pemeriksaan

Radiologis Serta Biakan MGIT 960 Alam Diagnosis Tuberculosis Paru Pada

Pasien HIV. Jakarta : jurnal penyakit dalam Indonesia

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:

EGC.

Shetty AJ dan Tyagi A. 2010. Development Of Post Tubercular Bronchial Astma

A Pilot Study.Journal of Clinical and Diagnostic Research. Nomor 4.

Snell, Richard S. 2012. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta.

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan

Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.

Subagyo, A. 2013. Bronkiestasis. Jakarta

Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi

Pada Kasus Syndrome Obstructive Post Tuberculosis (SOPT) di RS. Dokter Ario

Wirawan Salatiga. Suntari Senny. Surakarta.

Webber Barbara A and Pryor Jennifer A. 1998. Physiotherapy for

Respiratory and Cardiac Problems. London: Churchill Livingstone.

Widoyono.2008.Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,

dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

World Health Organization. 2015. World Report on Ageing and Health.

Luxembourg : WHO Press

Anda mungkin juga menyukai