(REAKSI HIPERSENSITIVITAS)
OLEH :
(917312906201.008)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................
C. Tujuan..................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN..............................................................................
A. Hipersensitivitas...................................................................................
B. Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis.
C. Mediator Sekunder...............................................................................
D. Mediator Primer....................................................................................
E. Manifestasi Klinis.................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................................
B. Saran......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif di perankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglubin (IgG,
IgA, IgM, IgD, dan IgE). Dan sistem imunitas seluler yang di hantarkan oleh sel
limfosit T, yang bila mana ketemu dengan allergen lalu mengadakan diferensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan allergen
tersebut.
Bila mana suatu antigen masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon bila mana allergen tersebut hancur, maka merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi adalah keadaan imun tetapi bila mana merugikan, jaringan
tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Selain itu, sekresi enzim mencerna zat gizi, protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalanseiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi oleh faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap antigen tertentu.
B. Rumusan Masalah
4. Manifestasi klinis?
Adapun Tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang definisi dari reaksi hipersensitivitas
2. Mengetahui tentang apa saja tipe-tipe reaksi hipersensitivitas
3. Mengetahui perbedaan tentang mediator primer dan mediator sekunder
4. Mengetahui tentang manifestasi klinis
5. Mengetahui tentang patofisiologi dari reaksi hipersensitivitas
BAB II
PEMBAHASAN
A. HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel
limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen
tersebut.
4. Reaksi Tipe IV
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini
IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin.
Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T
CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas
tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan
diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel
mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor
Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan
basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama
mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer
untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel
peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai
dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan
mediator primer terpenting,
menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus.
Mediator lain yang segera
dilepaskan meliputi adenosin
(menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasi
trombosit) serta faktor kemotaksis
untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam
matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi
tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator
yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan
faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh
sel B
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara
sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik
merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah
protein asing (misalnya, serum
antitetanus kuda) diinjeksikan,
antibodi spesifik akan dihasilkan;
antibodi ini bereaksi dengan
antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi
(tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan
apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan
jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi
oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks
paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil
atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih
lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear.
Karena normalnya menyaring keluar
kompleks imun, makrofag yang berlebih
atau disfungsional menyebabkan
bertahannya kompleks imun dalam
sisrkulasi dan meningkatkan
kemungkinan pengendapan jaringan.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen
melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi
jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung
oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara
eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi
pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar
serum.
Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan
oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental
dengan menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya
telah diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang telah ada di dalam
sirkulasi). Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun
terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah;
kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama
serta gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun
sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4
hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi
disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah
injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan
mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga
72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu
akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan
penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam
jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini
disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan
edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam
respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring
individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T
memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T
CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif,
bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen
kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen
mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang
tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa
antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons T H1,
meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai.
Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori
memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan
diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan
sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk
mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling
bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah
interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH
karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel T H1;
selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah.
IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang
poten.
IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang
paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang
meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan
lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan
kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas
fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan
kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi
beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang
berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi
fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ
meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan;
jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat
DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang
antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak
spesifik untuk agen penyerang asal.
TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada
sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang
membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor
kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen
bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+
perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3
minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti
morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik
(disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel raksasa
(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus
dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut
sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses
yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu
terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan
terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada
sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang
bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang
terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya,
perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan
insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini
memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula
limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim, yang
dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel,
granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan
Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel
target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL
yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga
berperan penting dalam penolakan graft.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reaksi alergi disebabkan allergen yang mempunyai manifestasi bervariasi dan terbagi
menjadi reaksi lambat ada pada (tipe I), tipe II, tipe III dan tipe IV.
tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan
pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam
mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang
normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).
B. Saran
Adapun saran dari makalah ini adalah di harapkan pada mahasiswa agar dapat
mengetahui tentang apa itu reaksi hipersensitivitas, tipe-tipe reaksi hipersensitifitas,
mekanisme gangguan penyakitnya, reaksi lambat dan reaksi cepat
DAFTAR PUSTAKA
http//emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas
http//id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
http//akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-hipersensitivitas.html
http//ennyps ik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.html