Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH IMUNOLOGI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS)

OLEH :

NUR ASNI H. ASAPA

(917312906201.008)

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................

KATA PENGANTAR................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................

A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................

C. Tujuan..................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN..............................................................................

A. Hipersensitivitas...................................................................................
B. Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis.

C. Mediator Sekunder...............................................................................

D. Mediator Primer....................................................................................

E. Manifestasi Klinis.................................................................................

BAB III : PENUTUP........................................................................................

A. Kesimpulan............................................................................................
B. Saran......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif di perankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglubin (IgG,
IgA, IgM, IgD, dan IgE). Dan sistem imunitas seluler yang di hantarkan oleh sel
limfosit T, yang bila mana ketemu dengan allergen lalu mengadakan diferensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan allergen
tersebut.

Bila mana suatu antigen masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon bila mana allergen tersebut hancur, maka merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi adalah keadaan imun tetapi bila mana merugikan, jaringan
tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu


timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang di anggap sebagai antigen
sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada
orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat
berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.

Histamin yang di lepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan


peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan
sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintik-bintik berwarna merah
pada kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf
bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses
inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan
sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik dan diare.

Selain itu, sekresi enzim mencerna zat gizi, protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalanseiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi oleh faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap antigen tertentu.

Secara umu hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif,


karena di sertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi.
Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang di
hasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga
pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat
melebihi normal.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu :

1. Apa definisi dari reaksi hipersensitivitas?


2. Tipe-tipe dari Reaksi hipersentsitivitas?

3. Apa itu mediator primer dan mediator sekunder?

4. Manifestasi klinis?

5. Patofisiologis dari reaksi hipersensitivitas?


C. Tujuan

Adapun Tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang definisi dari reaksi hipersensitivitas
2. Mengetahui tentang apa saja tipe-tipe reaksi hipersensitivitas
3. Mengetahui perbedaan tentang mediator primer dan mediator sekunder
4. Mengetahui tentang manifestasi klinis
5. Mengetahui tentang patofisiologi dari reaksi hipersensitivitas
BAB II

PEMBAHASAN

A. HIPERSENSITIVITAS

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel
limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen
tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan


respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau
alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:


1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III

4. Reaksi Tipe IV

MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS


Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Alergen mengikat silang antibodi IgE  Anafilaksis, beberapa
Anafilaksis pelepasan amino vasoaktif dan mediator bentuk asma bronkial
lain dari basofil dan sel mast  rekrutmen
sel radang lain
II Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan antigen Anemia hemolitik
terhadap pada permukaan sel  fagositosis sel autoimun,
Antigen target atau lisis sel target oleh komplemen eritroblastosis fetalis,
Jaringan atau sitotosisitas yang diperantarai oleh penyakit Goodpasture,
Tertentu sel yang bergantung antibody pemfigus vulgaris
III Penyakit Kompleks antigen-antibodi  Reahsi Arthua, serum
Kompleks mengaktifkan komplemen  menarik sickness, lupus
Imun perhatian nenutrofil  pelepasan enzim eritematosus sistemik,
lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain- bentuk tertentu
lain glomerulonefritis akut
IV Hipersensitivita Limfosit T tersensitisasi  pelepasan Tuberkulosis,
s Selular sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak,
(Lambat) diperantarai oleh sel T penolakan transplan
1. Tipe I : Reaksi Anafilaksis

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini
IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin.
Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.

Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T
CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas
tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan
diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel
mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor
Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan
basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama
mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer
untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.

Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme


otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan
oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit;

Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel
peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai
dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan
mediator primer terpenting,
menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus.
Mediator lain yang segera
dilepaskan meliputi adenosin
(menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasi
trombosit) serta faktor kemotaksis
untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam
matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi
tambahan (misalnya, C3a).

Mediator Sekunder
 Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit.
 Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.

 Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan


agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.

 Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator
yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan
faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh
sel B

Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I


Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin
meningkatkan Faktor pengaktivasi trombosit
permeabilitas vaskular) Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam
hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi
berspektrum luas, seperti kortikoid.

Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara
sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik
merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).

2. Tipe II : reaksi sitotoksik

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan


antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon
hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga
mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

 Respon yang bergantung komplemen


Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme:
lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen,
antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen
pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan
membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b
(teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang
paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada
jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas.
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai
berikut:
 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak
setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen
darah donor.
 Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen
materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah
tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah
merahnya sendiri.

 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang


disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang
menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.

 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau


metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel
(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
 Pemfigus vulgaris disebabkan
oleh antibody terhadap protein
desmosom yang menyebabkan
terlepasnya taut antarsel
epidermis.

 Sitotoksisitas Selular Bergantung


Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai
antibodi ini meliputi pembunuhan
melalui jenis sel yang membawa
reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa
difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC
dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit,
termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel
NK. Meskipn secara khusus ADCC diperantarai
oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya,
pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

 Disfungsi sel yang diperantarai oleh


antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan
sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi.
Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm
motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai
kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit
Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang
epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.

B. Tipe III : reaksi imun kompleks

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-


antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri
dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk
dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah
ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada
organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk
dan mengendap pada tempat
khusus. Tanpa memperhatikan pola
distribusi, mekanisme terjadinya
jejas jarungan adalah sama; namun,
urutan kejadian dan kondisi yang
menyebabkan terbentuknya
kompleks imun berbeda.

Penyakit Komplek Imun


Sistemik
Patogenesis penyakit
kompleks imun sistemik dapat
dibagi menjadi tiga tahapan: (1)
pembentukan kompleks antigen-
antibodi dalam sirkulasi dan (2)
pengendapan kompleks imun di
berbagai jaringan, sehingga
mengawali (3) reaksi radang di
berbagai tempat di seluruh tubuh.

Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah
protein asing (misalnya, serum
antitetanus kuda) diinjeksikan,
antibodi spesifik akan dihasilkan;
antibodi ini bereaksi dengan
antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi
(tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan
apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan
jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi
oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks
paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil
atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih
lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear.
Karena normalnya menyaring keluar
kompleks imun, makrofag yang berlebih
atau disfungsional menyebabkan
bertahannya kompleks imun dalam
sisrkulasi dan meningkatkan
kemungkinan pengendapan jaringan.

Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan


kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic
vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi,
afinitas antigen terhadap berbagai jaringan,
arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang
ada.tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit,
jantung, permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat
dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya
kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama
memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau
di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang
melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau
sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam
jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari
setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria,
artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria.

Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa.


Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas,
melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a),
yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk
leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang
terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi
tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,
serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan
kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang
dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan
proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada
jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan
vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di
glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen
melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi
jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung
oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara
eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi
pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar
serum.
Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan
oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental
dengan menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya
telah diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang telah ada di dalam
sirkulasi). Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun
terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah;
kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama
serta gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun
sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4
hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi
disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.

C. Tipe IV : Reaksi tipe lambat


Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama
respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti
Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi,
dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas
jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons
terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV
diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih
lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T
CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada
hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga
menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel
efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi
efektor.

 Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe


Hypersensitivity)

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah
injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan
mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga
72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu
akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan
penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam
jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini
disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan
edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam
respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring
individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T
memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T
CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif,
bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.

Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen
kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen
mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang
tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa
antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons T H1,
meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai.
Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori
memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan
diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan
sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk
mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling
bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
 IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah
interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH
karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel T H1;
selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah.
IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang
poten.
 IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang
paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang
meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan
lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan
kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas
fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan
kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi
beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang
berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi
fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ
meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan;
jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
 IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat
DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang
antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak
spesifik untuk agen penyerang asal.
 TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada
sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang
membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor
kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen
bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+
perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3
minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti
morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik
(disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel raksasa
(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus
dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut
sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses
yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu
terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan
terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada
sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.

DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai


patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan
dapat pula terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+
dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena
kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti
Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh
makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,
terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba
yang menginvasi.

Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan


suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang
diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak
dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy
atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu
dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada
sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ T H1
tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag
berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang
merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu
vesikel intradermal.
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi
membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada
limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL,
cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi
virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus yang lengkap pada
akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida yang
berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL
dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.

Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang
bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang
terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya,
perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan
insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini
memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula
limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim, yang
dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel,
granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan
Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel
target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL
yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga
berperan penting dalam penolakan graft.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Reaksi alergi disebabkan allergen yang mempunyai manifestasi bervariasi dan terbagi
menjadi reaksi lambat ada pada (tipe I), tipe II, tipe III dan tipe IV.

tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan
pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam
mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang
normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).

B. Saran

Adapun saran dari makalah ini adalah di harapkan pada mahasiswa agar dapat
mengetahui tentang apa itu reaksi hipersensitivitas, tipe-tipe reaksi hipersensitifitas,
mekanisme gangguan penyakitnya, reaksi lambat dan reaksi cepat
DAFTAR PUSTAKA

http//emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas

http//id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas

http//akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-hipersensitivitas.html

http//ennyps ik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.html

Anda mungkin juga menyukai