Anda di halaman 1dari 16

HIPERSENSITIVITAS TIPE III

(Immune Complex Hypersensitivity)

OLEH :

Ainiyyah Fildza Zaizafun J012231007

Nurmadinah Jamila J012231002

Dosen Pembimbing : Dr. drg. Nurlindah Hamrun, M.Kes

Disusun Sebagai Tugas Imunologi dan Biologi Molekuler

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Rahmat
dan Karunia-Nya penulis bisa menyusun tugas makalah Imunologi dan Biologi
Molekuler yang berjudul “Hipersensitivitas Tipe III (Immune Complex
Hypersensitivity)” dengan tepat waktu, guna memenuhi tugas pada Program Studi
Magister Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis banyak mendapat hambatan dan


tantangan namun dengan dukungan dari berbagai pihak, tantangan tersebut dapat
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuannya, utamanya kepada yang terhormat Dr. drg.
Nurlindah Hamrun, M.Kes selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh dosen
di Program Studi Magister Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. Semoga
kontribusinya mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan baik segi
penyusunan maupun isinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan
untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata, harapan saya makalah ini bisa memberikan manfaat untuk
pembaca dan kita sekalian.

Makassar, 22 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Hipersensitivitas Tipe III ...................................................... 3
2.2 Etiologi Hipersensitivitas Tipe III .......................................................... 4
2.3 Epidemiologi Hipersensitivitas Tipe III .................................................. 4
2.4 Patomekanisme Hipersensitivitas Tipe III .............................................. 5
2.5 Penatalaksanaan Hipersensitivitas Tipe III ............................................. 7
2.6 Diagnosis Banding Hipersensitivitas Tipe III ......................................... 7
2.7 Contoh Kasus Hipersensitivitas Tipe III ................................................. 8
BAB IV ............................................................................................................. 12
PENUTUP ......................................................................................................... 12
4.1 Kesimpulan.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen

seperti bakteri, virus, jamur dan protozoa. Pertahanan ini disebut sebagai sistem

imunitas. Komponen-komponen sistem imunitas bermacam-macam dan terdapat

dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, diantaranya

sumsum tulang, kelenjar limfe, timus, saluran nafas, saluran pencernaan, dan organ

lainnya. Imunitas adalah suatu kemampuan yang secara alami dimiliki oleh tubuh

untuk melawan mikroorganisme atau toksin yang masuk kedalam jaringan dan

organ tubuh. Sistem imun memiliki banyak fungsi, yaitu untuk pertahanan tubuh

dari benda asing, membersihkan sel mati, memperbaiki jaringan rusak, dan juga

mencegah aktifnya sel kanker dan tumor di dalam tubuh. Respon imun timbul

karena adanya reaksi yang dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap

mikroba dan bahan lainnya.1

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi abnormal dari sistem imun yang terjadi

sebagai respon akibat terpapar dengan substansi yang membahayakan, sehingga

tingkat respon reaksinya bervariasi dari ringan sampai mematikan. Reaksi

hipersensitivitas dapat mencakup kelainan autoimun dan alergi. Kondisi autoimun

merupakan suatu respon imunologis abnormal yang menyerang bagian tubuhnya

sendiri sedangkan alergi adalah respon imunologis abnormal yang timbul karena

adanya stimulus dari lingkungan di luar tubuh (substansi eksogen). 2

Reaksi hipersensitivitas terdiri dari beberapa tipe, yaitu tipe I yang dimediasi

oleh IgE (reaksi anafilaktik), tipe II yang dimediasi oleh antibodi, tipe III yang
2

dimediasi oleh kompleks imun, dan tipe IV yang dimediasi oleh sel (delayed

hypersensitivity). Reaksi hipersensitivitas umumnya akan menimbulkan

manifestasi pada tubuh sehingga sebagai praktisi wajib untuk mengetahui tanda dan

gejala klinisnya dan mampu memberikan penanganan yang benar. Oleh karena itu,

makalah ini akan membahas mengenai salah satu jenis hipersensitivitas yaitu

hipersensitivitas tipe III dan beberapa contoh kasusnya. 2

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa definisi dari hipersensitivitas tipe III?

b. Apa saja etiologi dari hipersensitivitas tipe III?

c. Bagaimana epidemiologi dari hipersensitivitas tipe III?

d. Bagaimana patomekanisme dari hipersensitivitas tipe III?

e. Bagaimana penatalaksanaan dari hipersensitivitas tipe III?

f. Apa diagnosis banding dari hipersensitivitas tipe III?

g. Apa saja contoh kasus dari hipersensitivitas tipe III?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Mengetahui definisi dari hipersensitivitas tipe III.

b. Mengetahui etiologi dari hipersensitivitas tipe III.

c. Mengetahui epidemiologi dari hipersensitivitas tipe III.

d. Mengetahui patomekanisme dari hipersensitivitas tipe III.

e. Mengetahui penatalaksanaan dari hipersensitivitas tipe III.

f. Mengetahui diagnosis banding dari hipersensitivitas tipe III.

g. Mengetahui contoh kasus dari hipersensitivitas tipe III.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi hipersensitivitas adalah respon imun yang tidak tepat atau terlalu reaktif

terhadap suatu antigen sehingga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Gejala-

gejala ini biasanya muncul pada individu yang pernah mengalami setidaknya satu

kali paparan antigen sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas dapat diklasifikasikan

menjadi empat jenis:3

a. Tipe I - Reaksi langsung yang dimediasi IgE

b. Tipe II - Reaksi sitotoksik yang dimediasi antibodi (antibodi IgG atau IgM)

c. Tipe III - Reaksi yang dimediasi kompleks imun

d. Tipe IV - Reaksi hipersensitivitas tertunda yang diperantarai sel

Hipersensitivitas tipe III adalah jenis respon imun dimana kompleks antigen-

antibodi menumpuk di jaringan dan menyebabkan inflamasi dan kerusakan

jaringan. Jenis hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai hipersensitivitas yang

dimediasi kompleks imun. Mereka dapat menumpuk di berbagai jaringan seperti

kulit, sendi, atau pembuluh darah dan memicu jalur komplemen klasik. Aktivasi

komplemen menyebabkan rekrutmen sel inflamasi (monosit dan neutrofil) yang

melepaskan enzim lisosom dan radikal bebas di lokasi kompleks imun, sehingga

menyebabkan kerusakan jaringan.3,4


4

2.2 Etiologi Hipersensitivitas Tipe III

Penyakit serum disebabkan oleh obat yang mengandung bagian protein dari

spesies lain (protein heterolog), seperti antivenin, vaksin, antitoksin, dan

streptokinase. Protein heterolog dapat bertindak sebagai antigen yang memicu

respon imun. Antibodi monoklonal dan poliklonal yang dibuat dari serum kelinci,

kuda, atau tikus yang mengandung globulin anti-timosit, OKT-3, telah terbukti

menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe III. 5

Serum sickness-like reactions (SSLR) dapat dilihat dengan antibodi

monoklonal sintetis (protein chimeric). Infliximab, yang digunakan dalam

penanganan artritis reumatoid dan penyakit Crohn, serta omalizumab, yang

digunakan untuk mengobati asma, diketahui terkait dengan SSLR. 5

Sengatan serangga, kutu, dan gigitan nyamuk dapat menyebabkan penyakit

serum. Penyakit menular seperti hepatitis B dan endokarditis bakteri merupakan

sumber antigen yang terus menerus untuk membentuk kompleks imun yang

bersirkulasi. Contoh lain dari obat yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe

III adalah sefalosporin, siprofloksasin, furazolidon, griseofulvin, linkomisin,

metronidazol, asam para-aminosalisilat, penisilin, streptomisin, sulfonamid,

tetrasiklin, allopurinol, barbiturat, bupropion, kaptopril, karbamazepin, fluoxetine,

dan penisilin.5

2.3 Epidemiologi Hipersensitivitas Tipe III

Tingkat kejadian serum sickness setiap tahunnya rendah. Dalam sebuah meta-

analisis, kejadian serum sickness setelah pemberian antivenom Fab imun polivalen

Crotalidae yang digunakan untuk bisa ular kobra adalah 0,13%. Dalam penelitian
5

retrospektif lainnya, serum sickness-like reactions terhadap imunoglobulin rabies

yang berasal dari kuda dan manusia jarang terjadi pada anak di bawah usia 10 tahun,

masing-masing sebesar 0,05% dan 0,01%. Sebuah tinjauan literatur tentang serum

sickness-like reactions yang terkait dengan cefaclor menemukan bahwa

kejadiannya kurang dari 0,2% per pemberian obat, dengan sebagian besar kasus

terjadi pada anak-anak berusia kurang dari lima tahun.5

Lebih lanjut, kemungkinan terjadinya serum sickness tergantung pada dosis

dan bervariasi menurut jenis antigen. Sebagai contoh, serum sickness yang terkait

dengan serum anti-rabies yang berasal dari kuda lebih mungkin terjadi

dibandingkan dengan antitoksin tetanus (16,3% vs 2,5% hingga 5%). 5

2.4 Patomekanisme Hipersensitivitas Tipe III

Setelah terpapar antigen, sistem imun seseorang merespon dengan membuat

antibodi setelah 4-10 hari. Antibodi bereaksi dengan antigen, membentuk kompleks

imun yang bersirkulasi dan dapat berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah, di

mana kompleks imun ini dapat memulai fiksasi dan aktivasi komplemen. Kompleks

imun ini, bersama dengan komplemen, menghasilkan masuknya leukosit

polimorfonuklear ke dalam situs, di mana kerusakan jaringan terjadi dengan

pelepasan enzim proteolitik. Proses ini berlangsung dalam tiga langkah: 6

a. Pembentukan kompleks imun. Paparan antigen endogen atau eksogen

memicu pembentukan antibodi. Antigen eksogen adalah protein asing

seperti mikroba infeksius atau produk farmasi. Antigen endogen adalah

antigen sendiri yang melawan autoantibodi yang dihasilkan (autoimunitas).

Dalam kedua kasus tersebut, antigen berikatan dengan antibodi, membentuk


6

kompleks imun yang bersirkulasi, kemudian bermigrasi keluar dari plasma

dan disimpan dalam jaringan inang.

b. Deposisi kompleks imun. Patogenisitas kompleks imun sebagian

bergantung pada rasio antigen-antibodi. Ketika antibodi berlebihan,

kompleks tidak larut, tidak bersirkulasi, dan difagositosis oleh makrofag di

kelenjar getah bening dan limpa. Namun, ketika antigen berlebihan,

agregatnya lebih kecil. Mereka dengan bebas menyaring sirkulasi di organ

tempat darah diubah menjadi cairan seperti urin dan cairan sinovial.

c. Reaksi inflamasi. Setelah pengendapan kompleks imun, langkah terakhir

adalah mengaktifkan jalur klasik, yang mengarah pada pelepasan C3a dan

C5a, yang kemudian merekrut makrofag dan neutrofil dan menyebabkan

kerusakan inflamasi pada jaringan. Tergantung pada lokasinya, gejala

vaskulitis (pembuluh darah), artritis (persendian), atau glomerulonefritis

(glomerulus) dapat terjadi.

Gambar 2.1 Patogenesis Hipersensitivitas Tipe III


(Sumber: Yalew ST. Hypersensitivity Reaction: Review. International Journal of Veterinary
Science & Technology 2020; 4(1): 31)
7

2.5 Penatalaksanaan Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi hipersensitivitas tipe III dapat dirawat berdasarkan manifestasi klinis:5

a. Penghilangan agen penyebab merupakan perawatan utama untuk reaksi

hipersensitivitas tipe III.

b. Antihistamin dan obat anti-inflamasi non steroid dapat meredakan gejala.

c. Kortikosteroid digunakan pada kasus yang parah untuk menekan inflamasi.

Obat ini juga digunakan sebagai premedikasi untuk mencegah terjadinya

hipersensitivitas.

d. Pasien harus dirawat di rumah sakit jika terjadi ketidakstabilan

hemodinamik, gejala yang mengancam jiwa, atau diagnosis yang tidak jelas.

e. Banyak penyakit infeksi dan autoimun terkait dengan reaksi

hipersensitivitas tipe III. Konsultasi dengan ahli reumatologi, ahli

imunologi, dan spesialis penyakit menular harus dipertimbangkan.

f. Pengobatan gangguan autoimun (misalnya, SLE) mencakup satu atau

kombinasi hidroksiklorokuin, NSAID, azatioprin, siklofosfamid,

metotreksat, mikofenolat, dan tacrolimus.

2.6 Diagnosis Banding Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi hipersensitivitas tipe I dan II diperantarai oleh antibodi yang mirip

dengan hipersensitivitas tipe III. Gambaran klinisnya dapat tumpang tindih. 5

Hipersensitivitas tipe I atau hipersensitivitas langsung dimediasi oleh antibodi

IgE yang telah dibentuk sebelumnya yang melapisi sel mast. Antibodi IgE berikatan

silang dengan alergen bebas (antigen), yang menyebabkan degranulasi sel mast dan

pelepasan histamin serta mediator inflamasi. Contoh kondisi yang dimediasi oleh

hipersensitivitas tipe I adalah:5


8

a. Anafilaksis

b. Asma bronkial

c. Rinitis alergi

d. Alergi makanan

Hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh antibodi IgG dan IgM yang melapisi

(opsonisasi) sel yang bersirkulasi (trombosit, eritrosit) dengan atau tanpa

komplemen. Dengan opsonisasi, sel menjadi target fagositosis oleh makrofag dan

neutrofil atau lisis yang diperantarai komplemen. Dalam kasus lain, antibodi anti-

reseptor mengganggu fungsi normal reseptor (misalnya, reseptor anti-asetilkolin).

Contoh kondisi yang dimediasi oleh hipersensitivitas tipe II adalah: 5

a. Anemia hemolitik autoimun

b. Demam rematik akut

c. Anemia pernisiosa

d. Vaskulitis ANCA

2.7 Contoh Kasus Hipersensitivitas Tipe III

a. Eritema Multiforme

Eritema multiforme merupakan suatu penyakit kulit akut, self-limited, dan

dapat berulang yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas. Kondisi ini

terjadi karena reaksi hipersensitivitas kompleks imun (tipe 3) yang terjadi

7-10 hari setelah alergen masuk dan antibodi IgG yang terbentuk akan

berikatan dengan antigen dari alergen tersebut sehingga menimbulkan

inflamasi bahkan ulserasi. Reaksi hipersensitivitas ini dapat disebabkan

oleh infeksi virus dan obat seperti NSAIDs, sulfonamides, antikonvulsan,


9

phenitonin juga dapat menimbulkan kondisi ini. Eritema multiforme dapat

timbul di kulit dan rongga mulut yang dimulai dengan adanya

pembengkakan dan eritema, kemudian terjadi pembentukan blister atau

lepuhan yang pecah dan meninggalkan daerah ulserasi. Pada beberapa

kasus, bibir menjadi bengkak dan timbul krusta atau kerak yang

menimbulkan pendarahan, dan pada kulit secara khas ditandai dengan

adanya lesi target atau iris lesion yang pada umumnya muncul di daerah

tangan, kaki dan permukaan ekstensor dari siku dan lutut. Eritema

multiforme di rongga mulut yang ringan dapat di rawat dengan perawatan

suportif seperti obat kumur anestesi topikal dan makan-makanan yang

lunak. Pada kasus dengan lesi yang luas dan lebih berat dapat diatasi dengan

kortikosteroid sistemik jangka pendek kecuali pada pasien dengan

kontraindikasi pengunaan steroid.2

Gambar 2.2 Eritema Multifome


(Sumber: Ghom AG, Ghom SA. Textbook of Oral Medicine. 3rd Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2014. pp. 367)

b. Serum Sickness

Serum sickness dimediasi kompleks imun (hipersensitivitas tipe 3) yang

terjadi karena pemberian serum untuk perawatan terhadap infeksi penyakit.

Reaksi ini dapat ditemukan pada pemeberian antitoxin tetanus, antiserum


10

rabies, dan obat yang berkombinasi dengan badan protein dan membentuk

alergen. Serum sickness umumnya terjadi 7-10 hari setelah kontak dengan

alergen, dan jangka waktunya bervariasi dari 3 hari sampai dengan selama

1 bulan. Gejala utama serum sickness berupa demam, pembengkakan,

limfadenopati, nyeri sendi dan otot, dan gatal. Pada beberapa penelitian,

serum sickness di bidang kedokteran gigi dapat terjadi akibat pemberian

obat dengan golongan penisilin. Serum sickness merupakan kondisi yang

akan hilang dengan sendirinya (self-limiting). Kondisi ini terjadi spontan

dan sembuh setelah 1-3 minggu. Pengobatan kondisi nyeri sendi dapat

diberikan aspirin sedangkan rasa gatal dapat dihilangkan dengan

penggunaan antihistamin.2

Gambar 2.3 Edema pada bibir pada penderita serum sickness


(Sumber: Lelyana S. Hypersensitivity in Dentistry. SONDE (Sound of Dentistry) 2020; 5(2): 30)

c. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun dengan

keterlibatan multisistem. Kondisi ini ditandai dengan adanya autoantibodi

IgG dan IgM yang bersirkulasi terhadap komponen jaringan inang. Pada

sebagian besar kasus, antibodi ditujukan terhadap bagian nukleus, seperti


11

DNA untai ganda, histon, dan protein ribonuklear. Pada beberapa pasien,

autoantibodi terhadap sel, termasuk trombosit, eritrosit, neutrofil, dan

limfosit, dapat ditemukan. Autoantibodi terhadap bagian fosfolipid dari

kompleks aktivator protrombin atau kardiolipin dapat menyebabkan

keadaan hiperkoagulasi. Penatalaksanaan SLE dilakukan berdasarkan

kondisi penyakit masing-masing pasien. Hidroksiklorokuin sangat penting

untuk pengobatan jangka panjang pada semua pasien SLE. Antimalaria,

kortikosteroid, dan antiinflamasi nonsteroid adalah obat lain yang

digunakan untuk mengobati SLE.7,8


12

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sistem imun atau sistem kekebalan adalah suatu sistem yang bekerja

melindungi tubuh dari serangan patogen. Respon imun akan mengaktifkan

komponen-komponennya agar patogen-patogen bisa mati atau dikeluarkan dari

tubuh, sehingga kita dapat terhindar dari penyakit. Mekanisme respon imun ini

bekerja secara terus-menerus tanpa henti untuk menjaga tubuh, karena patogen

selalu berada di sekitar dan dapat memasuki tubuh kita malalui berbagai macam

jalur masuk.

Pada hipersensitivitas tipe III, produksi imunoglobulin G (IgG) dan IgM yang

berlebihan terhadap antigen asing atau antigen sendiri dapat menyebabkan

pembentukan dan pengendapan kompleks imun berukuran menengah yang tidak

larut dalam jumlah berlebihan, yang sulit untuk dihilangkan dari berbagai jaringan

melalui fagositosis. Hal ini pada gilirannya dapat memicu aktivasi komplemen

klasik, yang menyebabkan produksi mediator inflamasi lain yang berlebihan, yang

mengarah pada perekrutan, aktivasi, dan degranulasi granulosit darah tepi, seperti

basofil atau masuknya neutrofil tepi ke jaringan tertentu, seperti ginjal, paru-paru,

dan persendian yang berujung pada kerusakan. Tergantung pada frekuensi paparan

dan rute masuknya, reaksi hipersensitivitas tipe III dapat berkembang dalam

hitungan jam, minggu, atau tahun.


13

DAFTAR PUSTAKA

1. Faizal IA, et al. Buku Ajar Imunologi. Pangkalpinang: Science Techno Direct;
2023. pp. 13-14.
2. Lelyana S. Hypersensitivity in Dentistry. SONDE (Sound of Dentistry) 2020;
5(2): 24-30.
3. Uzzaman A, Cho SH. Chapter 28: Classification of hypersensitivity
reactions. Allergy Asthma Proc. 2012; 33 Suppl 1: 96-99.
doi:10.2500/aap.2012.33.3561
4. Eggleton, P. Hypersensitivity: Immune Complex Mediated (Type III). In eLS,
(Ed.); 2013. https://doi.org/10.1002/9780470015902.a0001138.pub3
5. Usman N, Annamaraju P. Type III Hypersensitivity Reaction. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559122/
6. Hsiao YP, Tsai JD, Muo CH, Tsai CH, Sung FC, Liao YT, Chang YJ, Yang
JH. Atopic diseases and systemic lupus erythematosus: an epidemiological
study of the risks and correlations. Int J Environ Res Public Health 2014 08;
11(8): 8112-22.
7. Maidhof W, Hilas O. Lupus: an overview of the disease and management
options. P T 2012; 37(4): 240-9.
8. Ponticelli C, Moroni G. Hydroxychloroquine in systemic lupus erythematosus
(SLE). Expert Opin Drug Saf 2017; 16(3): 411-419.

Anda mungkin juga menyukai