Anda di halaman 1dari 36

ILMU KEDOKTERAN GIGI DASAR 1

Imunologi dan Sistem Imunitas Tubuh


Tutor : Margaretha Herawati, drg.

KELOMPOK 3 KELAS B

Qatrunnada Huwaida Febriyani 2020-11-038


Ni Kadek Gita Anandamaya 2020-11-039
Verena Valenzka 2020-11-040
Safira Amalia 2020-11-041
Siti Safreni Dwi Andini 2020-11-042
Almira Tertia Mahsa 2020-11-043
Raina Indriyanti 2020-11-044
Reclaudia Dian Arianti 2020-11-045

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul imunologi dan sistem imunitas tubuh ini tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah ilmu kedokteran gigi dasar I. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang imunologi dan sistem imunitas tubuh bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu selaku dosen bidang studi
imunologi dan sistem imunitas tubuh I yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 18 Mei 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................ 2

1.3. Tujuan Penelitian......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3

2.1. Pengantar Umum Imunologi ....................................................... 3

2.2. Fungsi Organ-organ Sistem Limfoid .......................................... 7

2.3. Sistem dan Respon Imun Nonspesifik ........................................ 17

2.4. Definisi dan Klasifikasi Sitokin................................................... 23

2.5. Sistem Respon Imun Spesifik ..................................................... 24

BAB III PENUTUP ………………………………………………………… 31

3.1 Kesimpulan................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum sistem imun dibagi menjadi dua lini: imunitas alamiah dan
imunitas adaptif. Imunitas alamiah (innate) adalah pertahanan lapis pertama,
berupa mekanisme non-spesifik (antigenindependent) untuk melawan dan
mengatasi patogen yang menerobos masuk ke dalam tubuh kita. Imunitas adaptif
bersifat spesifik terhadap antigen (antigen-dependent), dan memiliki memori
sehingga tubuh kita mampu bereaksi dengan lebih cepat serta lebih efisien pada
saat terpapar ulang dengan antigen yang sama.

Sel limfosit B termasuk dalam imunitas adaptif. Selain memiliki


kemampuan mengenali antigen secara spesifik, sel limfosit B juga dapat
mengsekresi antibodi atau immunoglobulin. Sel limfosit B dan antibodi
merupakan elemen uatma dari respon imun humoral sebagai pertahanan tubuh
terhadap berbagai patogen. Gangguan pada perkembangan, seleksi dan fungsi sel
limfosit B akan menyebabkan penyakit autoimun, keganasan, imunodefisiensi dan
alergi.

Dalam telaah pustaka ini akan dibahas secara singkat mengenai asal dari sel
limfosit B, perkembangan sel limfosit B di sumsum tulang belakang (bone
marrow), perkembangan sel limfosit B menjadi sel plasma dan sel memori serta
marker yang bisa digunakan untuk pemeriksaan sel limfosit B dengan
flowcytometry.
.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu imunologi?

2. Apa saja fungsi organ-organ system limfoid?

3. Bagaimana system dan respon imun non spesifik?

4. Apa saja konsep dasar sitokin?

5. Apa itu sistem dan respon imun spesifik?

.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang imunologi dan sistem


imunitas tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN

.1 PENGANTAR UMUM IMUNOLOGI

Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem


pertahanan tubuh. Terminologi kata “imunologi” berasal dari kata “imunitas” dari
Bahasa latin yang berarti pengecualian atau pembebasan. Imunitas adalah suatu
kemampuan tubuh untuk melawan organisme atau toksin yang cenderung
merusak jaringan dan organ tubuh.1
Dunia yang dihidupi manusia, didominasi oleh mikroba, banyak di
antaranya dapat menyebabkan kerusakan. Sistem kekebalan adalah sistem
pertahanan utama tubuh melawan invasi mikroba. Sistem kekebalan bawaan
adalah garis pertahanan pertama tubuh dan menggunakan sel nonspesifik, seperti
fagosit dan molekul, seperti komponen pelengkap, untuk mencoba menghilangkan
organisme yang menyerang.2
Tubuh manusia telah mengembangkan penghalang alami untuk mencegah
masuknya mikroba. Misalnya, kulit dan selaput lendir adalah bagian dari sistem
kekebalan bawaan atau nonadaptif. Namun, jika penghalang ini dipatahkan,
seperti setelah dipotong, mikroba dan patogen potensial (mikroba berbahaya)
dapat masuk ke dalam tubuh dan dapat mulai berkembang biak dengan cepat
dalam sistem, jaringan, dan organ yang hangat dan kaya nutrisi.
Salah satu ciri pertama dari sistem pertahanan kekebalan yang ditemui
organisme asing setelah dimasukkan melalui luka di kulit adalah sel darah putih
fagositik (leukosit, seperti makrofag; Gambar 1.1) yang berkumpul dalam
beberapa menit dan mulai menyerang mikroba asing yang menyerang. Kemudian,
neutrofil direkrut ke dalam area infeksi. Sel fagositik ini mengandung molekul
yang disebut reseptor pengenalan pola yang mendeteksi struktur yang biasa
ditemukan pada permukaan bakteri dan patogen lain. Fagositosis, menelan materi
partikulat ke dalam sel untuk degradasi merupakan mekanisme pertahanan
fundamental terhadap serangan mikroba asing.2

Gambar 1.1
Gambar confocal dari makrofag yang diturunkan dari monosit manusia yang
menyimpan streptokokus M1T1 hidup (hijau) seperti yang dinilai dengan
pewarnaan dengan viabilitas bakteri.

Berbagai komponen protein serum lainnya, termasuk komponen


komplemen, dapat mengikat organisme penyerang dan memfasilitasi
fagositosisnya, sehingga membatasi sumber infeksi dan penyakit. Molekul kecil
lainnya yang dikenal sebagai interferon memediasi respons awal terhadap infeksi
virus oleh sistem bawaan. Sistem kekebalan bawaan seringkali cukup untuk
menghancurkan mikroba yang menyerang. Jika gagal membersihkan infeksi
dengan cepat, ia mengaktifkan respons imun adaptif yang mengambil alih.
Molekul kurir yang dikenal sebagai sitokin memediasi hubungan antara kedua
sistem. Interferon adalah bagian dari keluarga sitokin.2
Sel efektor dari sistem pertahanan kekebalan adaptif adalah sel darah
putih, limfosit T dan B. Sel B dan T dari sistem kekebalan adaptif biasanya diam,
tetapi mereka menjadi aktif saat bertemu dengan suatu entitas yang disebut
sebagai antigen. Kebanyakan antigen berasal dari patogen yang menyerang, tetapi
ketika ada yang salah, antigen bisa menjadi zat asing yang tidak berbahaya,
seperti dalam hipersensitivitas atau bahkan molekul yang diturunkan dari diri,
seperti dalam autoimunitas. Respons imun adaptif sangat efektif tetapi
memerlukan waktu 7 hingga 10 hari untuk bergerak sepenuhnya. Aspek yang
sangat penting dari respons imun adaptif adalah mekanisme molekuler yang
digunakan untuk menghasilkan spesifisitas dalam respons. Sistem kekebalan
secara keseluruhan membedakan diri dari bukan dirinya sendiri.2
Ia mampu mengatasi keragaman besar dalam struktur nonself dengan
mengantisipasi antigen asing ini dan menciptakan beragam reseptor antigen atau
molekul pengenalan antigen. Reseptor ini mengikat area kecil dari struktur
molekul antigen asing yang disebut epitop. Beberapa versi reseptor antigen
digunakan oleh sistem kekebalan adalah antibodi (reseptor antigen sel B), reseptor
antigen sel T, dan produk protein dari wilayah genetik yang disebut sebagai major
histocompatibility complex (MHC). Semua vertebrata tampaknya memiliki MHC.
Gen MHC manusia disebut sebagai gen antigen leukosit manusia (HLA) dan
produknya dikenal sebagai molekul HLA.2
Selain menjadi reseptor antigen pada sel B, antibodi juga ditemukan
sebagai molekul pengenal antigen yang larut dalam darah (imunoglobulin atau
antibodi). Reseptor antigen sel B dan sel T terdistribusi secara klonal (untuk sel B
dan antibodi; Gambar 1.2) yang berarti bahwa reseptor antigen unik ditemukan
pada setiap limfosit. Ketika antigen asing memasuki tubuh, ia akhirnya bertemu
dengan limfosit dengan reseptor yang cocok.
Limfosit ini membelah dan dalam kasus sel B, klon anak menghasilkan
sejumlah besar reseptor larut. Dalam kasus sel T, sejumlah besar sel efektor
spesifik yang membawa reseptor yang sesuai pada permukaan selnya dihasilkan.
Berbagai jenis sel T spesialis, seperti sel T-helper (TH), diproduksi untuk situasi
tertentu. Misalnya, sel T TH1 biasanya diproduksi sebagai respons terhadap
infeksi virus, sel T TH2 diproduksi sebagai respons terhadap cacing, dan sel TH17
merespons jamur dan bakteri ekstraseluler.2
Gambar 1.2
Seleksi klonal sel B

Reseptor antigen sel B dan sel T berbeda dalam satu hal yang sangat
penting: Reseptor antigen sel B dapat berinteraksi langsung dengan antigen,
sedangkan reseptor antigen sel T mengenali antigen hanya ketika disajikan kepada
mereka di permukaan sel lain oleh molekul MHC. Selain mengenali antigen
nonself, sel-sel sistem kekebalan juga mengenali perubahan diri yang diakibatkan
oleh proses penyakit tertentu misalnya, antigen diri yang dimodifikasi yang
ditemukan pada sel tumor dan dapat menghilangkan sel tumor setelah dikenali.
Kemampuan untuk mengenali antigen diri yang tidak dapat berubah, jika
tidak diatur, menyebabkan penyakit autoimun, seperti pada beberapa bentuk
diabetes mellitus. Untungnya, sistem kekebalan adaptif mengandung sejumlah
mekanisme untuk memastikan bahwa antigen diri yang tidak berubah dapat
ditoleransi yang mencegah penyakit autoimun pada kebanyakan orang.2
Keberhasilan medis yang terkait dengan kemajuan pengetahuan tentang
sistem pertahanan tubuh mencakup peningkatan kesehatan masyarakat yang
timbul dari vaksinasi penyakit menular, sukses dengan transplantasi organ, seperti
dengan ginjal dan jantung, pengobatan untuk mengurangi cacat bawaan pada
sistem kekebalan, obat untuk mengontrol gejala alergi atau hipersensitivitas, dan
berbagai perkembangan teknologi yang ditambah dengan kemampuan untuk
memproduksi antibodi dengan spesifitas yang tepat (antibodi monoklonal) telah
diadaptasi untuk digunakan dalam segala hal mulai dari tes kehamilan hingga
pengobatan kanker.2
2.2 FUNGSI ORGAN-ORGAN SISTEM LIMFOID
Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, spleen, timus, dan sumsum
tulang. Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh
limfatik dan dinamakan sesuai dengan tempatnya. Organ limfoid, terdapat
jaringan limfoid yang banyak mengandung limfosit yang akan melawan agen
perusak seperti organisme asing atau toksin. Jaringan limfoid yang letaknya
tersebar ini menguntungkan tubuh untuk menahan invasi organisme sebelum lebih
luas.1
 Jaringan limfoid di nodus limfe untuk melawan antigen yang menginvasi
jaringan perifer tubuh.
 Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid untuk melawan antigen yang
masuk melalui saluran pernapasan.
 Jaringan limfoid di spleen, timus, dan sumsum tulang untuk melawan
antigen yang berhasil mencapai sirkulasi darah.
 Jaringan limfoid di dinding saluran cerna untuk melawan antigen yang
masuk melalui usus.

Perjalanan organisme asing atau toksin setelah masuk ke tubuh yaitu agen
sampai di cairan jaringan, kemudian agen ini akan dibawa melalui pembuluh
limfe ke nodus limfe atau jaringan limfoid lainnya. Selain sebagai “Gudang”
limfosit, beberapa organ limfoid juga memiliki fungsi khusus, yaitu:1
1. Kelenjar limfe untuk membersihkan limfe.
2. Spleen untuk membersihkan darah.
3. Timus sebagai tempat matur limfosit-T.
4. Sumsum tulang untuk memproduksi leukosit.

Organ Limfoid Utama Dan Sekunder


Sistem kekebalan terdiri dari kompartemen yang berbeda, organ dan
jaringan yang saling berhubungan oleh darah dan pembuluh limfatik. Jaringan ini
terdiri dari organ dan jaringan tempat limfosit diproduksi, organ limfoid primer,
dan yang bersentuhan dengan antigen asing, berkembang secara klonal, dan
matang menjadi sel efektor, yaitu organ limfoid sekunder.2
Pada embrio manusia, organ limfoid primer yaitu tempat pembentukan
limfosit yang awalnya adalah kantung kuning telur, kemudian hati dan limpa
janin, dan terakhir sumsum tulang dan timus. Pada manusia dewasa, organ limfoid
primer adalah sumsum tulang dan timus (Gambar 1.3). Saat pubertas,
kebanyakan limfopoiesis adalah produksi limfosit B di sumsum tulang pipih,
seperti tulang dada, tulang belakang, dan panggul.2

Gambar 1.3
Organ limfoid utama pada manusia dewasa

Organ limfoid sekunder manusia umumnya dianggap sebagai limpa dan


kelenjar getah bening. Selain itu, jaringan limfoid terkait mukosa khusus (MALT)
melapisi saluran pernapasan, gastrointestinal, reproduksi, dan sistem kekebalan
kulit. Organ-organ ini didistribusikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3.
Limfosit menempel di organ limfoid sekunder dan berkembang secara klonal saat
bersentuhan dengan antigen yang sesuai dengan reseptor antigen spesifiknya.
Mereka juga bersirkulasi ulang di antara organ-organ ini melalui darah dan sistem
limfatik. Resirkulasi limfosit atau perdagangan, menghubungkan berbagai
kompartemen limfoid untuk membuat satu sistem.2
Limfosit tersebar ke hampir semua situs jaringan; oleh karena itu hampir
semua jaringan dalam tubuh manusia dapat dianggap sebagai limfoid. Namun,
beberapa situs seperti mata, testis, dan otak tidak memiliki sel limfoid dan
dikatakan memiliki hak imunologis. Tempat terpenting penyebaran limfosit
adalah limpa, kelenjar getah bening, MALT, dan kulit.2

Sumsum Tulang
Sumsum tulang merupakan organ hematopoietik utama pada manusia.
Semua jenis sel darah dihasilkan di sumsum tulang. Pembentukan sel T dan B
terjadi di rongga internal ini; Perkembangan dari nenek moyang sel B menjadi sel
B imatur terjadi dalam arah radial ke tengah tulang. Sel T yang belum matang
diproduksi di sumsum tulang tetapi bermigrasi ke timus untuk matang
sepenuhnya.2 
Hematopoiesis difasilitasi di sumsum tulang oleh campuran sel yang
menyediakan sumber faktor pertumbuhan dan sitokin yang penting untuk
perkembangan berbagai jenis sel darah.2

Timus 
Timus adalah organ dengan dua lubang yang ditemukan di mediastinum
anterior. Timus terbentuk dari sel epitel dari kantong faring ketiga, celah brakialis
yang sesuai, dan lengkungan faring. Timus tumbuh sampai pubertas dan
kemudian mengalami involusi yang progresif. Pada usia dewasa akhir, sebagian
besar merupakan jaringan adiposa dengan hanya sedikit jaringan limfoid yang
tersisa. Peran utama timus adalah memilih sel T yang mampu mengenali self
major histocompatibility complex (MHC) yang dikenal sebagai seleksi positif dan
menghancurkan sel T yang mengenali antigen sendiri. Timus memiliki tiga area
utama:
1. Zona subkapsular berisi sel T progenitor paling awal.
2. Korteks padat dengan sel T berkembang yang menjalani seleksi.
3. Mengandung medulla lebih sedikit, tetapi lebih dewasa, limfosit T ini telah
bertahan dari proses seleksi dan akan segera dirilis ke pinggiran.

Timus adalah tempat utama perkembangan sel-T. Kebanyakan nenek


moyang sel-T (lebih dari 95%) mati di timus melalui proses apoptosis. Jaringan
luas sel epitel dan sel penyaji antigen terlibat dalam proses seleksi yang mengarah
pada pengembangan reseptor-reseptor sel T yang sesuai. Garis besar dari beberapa
interaksi sel-sel yang penting dalam perkembangan sel-T ditemukan pada
Gambar 1.4.2

Gambar 1.4
Skema sederhana yang menunjukkan organisasi seluler timus (T). MHC,
kompleks histokompatibilitas utama.

Kelenjar Getah Bening


Kelenjar getah bening berfungsi sebagai tempat pertemuan antigen dan
limfosit T dan B dan merupakan salah satu tempat proliferasi aktif limfosit
sebagai respons terhadap infeksi. Kelenjar getah bening berbentuk kacang dan
biasanya ditemukan berkelompok di tempat di mana banyak pembuluh darah dan
getah bening bertemu. Misalnya, banyak kumpulan node ditemukan di ketiak
(node aksila). Setiap kelenjar getah bening diatur menjadi beberapa area (Gbr.
1.5). Korteks sebagian besar merupakan tempat sel B dan berisi sejumlah folikel
bulat sel B. Jika sel B menjadi aktif dan mulai berkembang biak, mereka
menghasilkan pusat germinal. Folikel yang mengandung pusat germinal disebut
folikel sekunder. Paracortex kelenjar getah bening sebagian besar merupakan area
sel T CD4+ dan medula nodus berisi campuran sel B, sel T, dan makrofag.2

Gambar 1.5
Kelenjar getah bening. A, Bagian bernoda dari sebuah node. B, Skema
sederhana yang menunjukkan organisasi node. APC, sel penyaji antigen.
Limfosit yang bersirkulasi memasuki nodus melalui high endothelial
venules (HEVs) khusus di paracortex. Antigen tiba di getah bening yang mengalir
dari jaringan perifer. Antigen yang ada dalam larutan atau sebagai partikel kecil
dalam suspensi disaring keluar dari getah bening dan disajikan ke sel B di folikel
primer.2
Getah bening juga mengandung sel dendritic yang membawa antigen pada
permukaan molekul MHC. Sel dendritik ini memasuki paracortex dan mencari sel
T CD4+ yang mampu mengenali antigen yang mereka hadirkan. Jika pengenalan
antigen terjadi, sinaps imunologi untuk sementara terbentuk. Jika tidak, sel
dendritik akan terus mencari sel T yang mampu mengenali antigen. Sel T CD4
yang telah dirangsang dengan cara ini akan berkembang biak, memperbesar
paracortex. Beberapa sel T juga akan bermigrasi ke pusat germinal tetangga, di
mana mereka dapat membantu sel B yang merespons antigen.2
Selama aktivasi limfosit, cairan dan sel terakumulasi di dalam nodus yang
menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening “kelenjar bengkak” yang khas
sebagai respons terhadap infeksi. Setelah sistem kekebalan membersihkan agen
infeksi, nodus kembali ke ukuran normalnya dan tidak dapat diraba lagi. Lokasi
kelenjar getah bening yang membengkak mencerminkan tempat infeksi. Misalnya,
jari yang terinfeksi menyebabkan pembengkakan kelenjar ketiak. Nodus bengkak
yang lebih umum (limfadenopati) mencerminkan infeksi atau tumor umum.2

Limpa 
Limpa, organ limfoid sekunder seukuran kepalan tangan, ditemukan di
kuadran kiri atas perut. Limpa adalah organ limfoid utama dan memiliki fungsi
yang mirip dengan kelenjar getah bening, yaitu interaksi antigen-limfosit dan
aktivasi serta proliferasi limfosit selanjutnya. Tidak seperti kelenjar getah bening,
limpa tidak terhubung ke sistem limfatik, sehingga sel dan antigen datang dan
keluar melalui darah. Limpa memiliki dua fungsi tambahan. Pertama,
mengandung sejumlah besar makrofag yang menyaring darah, menghilangkan
mikroba dan sel darah merah mati.
Kedua, situs utama untuk respons terhadap antigen yang dibawa darah dan
merupakan sumber sel B yang merespons dengan tidak adanya bantuan sel-T
untuk antigen polisakarida dinding sel bakteri. Limpa mengandung dua area
utama: pulpa merah mengandung (terutama) makrofag dan sel darah merah dalam
proses pembuangan, dan pulpa putih mengandung jaringan limfoid yang padat.
Limpa diperkirakan menyimpan sekitar 25% dari total limfosit di dalam tubuh.
Histologi pulpa putih mirip dengan kelenjar getah bening dan dipisahkan menjadi
daerah limfosit B dan T. Sel T terutama ditemukan di sekitar pembuluh darah,
sedangkan sel B ditemukan terutama di folikel.2
Seperti kelenjar getah bening, limpa juga bisa membesar selama beberapa
infeksi. Ini cenderung menjadi infeksi sistemik seperti malaria, infeksi virus
Epstein Barr (EBV), dan endokarditis bakterial. Limpa juga membesar karena
penyakit darah dan beberapa penyakit berbahaya lain, seperti hati.2

Jaringan Limfoid Terkait Mukosa 


Sistem kekebalan mukosa menangani antigen pada titik kontak antara
inang dan lingkungan, dan merupakan garis pertahanan pertama yang penting.
MALT terdiri dari agregat limfoid terstruktur, populasi limfosit mukosa yang
lebih menyebar, dan sirkulasi sel dalam sistem ini. MALT bukanlah sistem
kekebalan yang berdiri sendiri, meskipun sel-sel di dalam MALT berperilaku
dalam beberapa cara yang unik.2
Agregat limfoid termasuk amandel di mukosa faring. Sama seperti
jaringan limfoid lainnya, setelah serangan infeksi berulang, folikel sekunder
berkembang di amandel yang kemudian menjadi nyeri dan bengkak. Peyer patch
adalah jenis lain dari agregat limfoid yang ditemukan di usus kecil.2
Gambar 1.5A menunjukkan bagian yang diwarnai melalui patch Peyer.
Tidak ada vili di atas patch Peyer; sebaliknya, follicleassociated epithelium (FAE)
mengandung tipe sel khusus (sel M) yang mengambil antigen yang dihirup atau
dicerna (Gbr. 1.5B, C). Antigen diambil oleh sel M melalui proses pinositosis,
yaitu asupan seluler dari vakuola kecil yang mengandung cairan dan molekul.
Dengan proses transpor transeluler yang disebut transcytosis, sel M mengangkut
antigen ke jaringan subepitel, di mana antigen tersebut bertemu dengan limfosit.
Di bawah epitel terkait folikel adalah folikel limfoid. Jika ini secara aktif
merespons infeksi, pusat germinal mungkin ada. Sel B di dalam folikel
mengeluarkan imunoglobulin A (IgA) melintasi epitel (Gambar 1.5D). IgA
awalnya terikat pada reseptor poli-Ig dan setelah transportasi melintasi membran
sel epitel, ia mempertahankan sepotong reseptor ini sekarang dikenal sebagai
komponen sekretori yang dapat membantu melindunginya dari degradasi di lumen
usus.2

Gambar 1.5
Jaringan limfoid terkait mukosa (MALT). A, Bagian bernoda dari patch
Peyer (jaringan limfoid terkait usus [GALT]). B, Organisasi GALT di patch
Peyer. C, sel M di epitel terkait folikel usus (FAE). D, Transportasi
imunoglobulin A (IgA) melintasi epitel.

Sekresi IgA, yang bertentangan dengan kelas imunoglobulin lainnya,


dirangsang oleh sitokin yang dikenal sebagai faktor pertumbuhan transformasi β
(TGF-β) yang disekresikan oleh sel epitel. TGF-β juga memiliki efek penekan
yang luas pada sel T. Hal ini dianggap penting untuk memastikan toleransi
peptida yang berasal dari protein makanan yang disebut toleransi oral.2
Limfosit Mukosa 
Epitel mukosa saluran gastrointestinal, pernapasan, dan reproduksi
mengandung banyak limfosit. Limfosit lamina propria mirip dengan yang
ditemukan di tempat lain di tubuh; Limfosit intraepitel berbeda dan sebagian besar
merupakan sel T (~90%) dan jumlah yang lebih besar dari biasanya (mungkin
sebanyak 10%-20%) adalah sel T γδ (Gbr. 1.6). Secara umum, limfosit intraepitel
bertindak untuk melindungi inang dari patogen virus dan bakteri yang ditemukan
di usus.2

Gambar 1.6
Penampang usus halus yang menunjukkan dua jenis limfosit mukosa:
lamina propria (LP) dan limfosit intraepitel. Bagian ini telah memotong beberapa
vili. Di inti setiap vilus terdapat beberapa lamina propria yang mengandung
limfosit di jaringan ikat. Limfosit intraepitel (panah) juga tersebar di sekitar epitel.

Sistem Kekebalan Kulit


Kulit adalah penghalang fisik utama untuk masuknya pathogen dan
merupakan antarmuka yang sangat penting antara sel kekebalan dan lingkungan
eksternal. Kulit memiliki banyak sel aksesori limfoid, seperti sel dendritic yang
memiliki peran sangat penting dalam menangani antigen lingkungan yang
menembus kulit. Banyak respons imun dimulai di kulit; akibatnya, masuk akal
untuk memandang kulit sebagai organ perifer lain dari sistem kekebalan jaringan
kekebalan kulit.2
Gambar 1.7A menunjukkan kulit yang meradang selama respons
hipersensitivitas tipe tertunda (DTH). Sel limfoid yang terlibat dalam reaksi imun
di kulit ditunjukkan pada Gambar 1.7B. Lapisan epidermis kulit memiliki banyak
sel dendritik yang disebut sel Langerhans yang sangat penting dalam pemrosesan
dan presentasi antigen. Sel Langerhans memiliki peran sentinel di kulit. Ketika
mereka mendeteksi infeksi, mereka memfagosit dan memproses antigen. Pada saat
yang sama, mereka bermigrasi melalui limfatik ke kelenjar getah bening regional
untuk menghadirkan antigen ke sel T.2
Sel T yang ditemukan di lapisan epidermis, sel T intraepidermal, terutama
adalah sel T CD8+ yang membawa γδ reseptor sel T pada frekuensi yang lebih
tinggi daripada biasanya, mirip dengan situasi yang dijelaskan sebelumnya untuk
sel T intraepitelial yang MALT. Reseptor sel T pada sel T intraepidermal ini juga
mewakili sekumpulan spesifisitas yang terbatas yang menunjukkan fokus pada
patogen yang sering muncul yang menginfeksi melalui kulit. Dermis di bawahnya
kaya akan makrofag dan sel T (lihat Gambar 1.7 B).2

Gambar 1.7
A, kulit yang meradang selama tes hipersensitivitas tipe tertunda. B,
Skema kulit yang disederhanakan yang menunjukkan sel penyaji antigen (APC)
dan sel Langerhans.

2.3 SISTEM DAN RESPON IMUN NONSPESIFIK (BAWAAN)


Sistem imun nonspesifik (bawaan) ada dalam beberapa bentuk di sebagian
besar organisme, dan beberapa prinsip penting tentang pengoperasian sistem
bawaan berlaku. Tidak seperti sistem adaptif, yang mungkin memakan waktu
berhari-hari untuk memobilisasi, aspek sistem imun nonspesifik sangat cepat
dimobilisasi. Misalnya, sel-sel phagocytic—khususnya, makrofag yang tinggal di
jaringan akan mengenali infeksi melalui molekul pengenalan pola yang
mendeteksi motif struktural pada mikroba yang menyerang.
Reseptor seperti tol (TLR) adalah salah satu jenis molekul pengenalan pola
yang digunakan oleh sel sistem kekebalan bawaan. TLR mengenali berbagai zat
yang ditemukan pada berbagai mikroba tetapi tidak pada sel inang. Contoh lain
dari molekul pengenalan pola adalah lectin pengikat mannan (MBL) dari sistem
pelengkap, yang mengenali molekul gula yang mengandung mannose pada
permukaan bakteri, jamur, dan virus dan membantu mengaktifkan kaskade
pelengkap.2
Sistem imun nonspesifik menggunakan sel-sel phagocytic, terutama
neutrofil dan makrofag, selain molekul seperti protein serum dari sistem
pelengkap, yang dapat berinteraksi langsung dengan mikroba tertentu untuk
melindungi inang. Sel-sel lain yang penting dalam respons bawaan adalah sel
pembunuh alami (NK), yang dapat mendeteksi dan membunuh sel-sel tertentu
yang terinfeksi virus dengan menginduksi kematian sel terprogram (apoptosis).2
Gambar 2.1(2)
Sel utama sistem kekebalan tubuh. A, Nonspesifik
Mekanisme Imun Nonspesifik
Kekebalan nonspesifik melakukan dua fungsi yang paling penting:
membunuh mikroba yang menyerang dan mengaktifkan proses kekebalan tubuh
yang diperoleh (adaptif). Kekebalan nonspesifik tidak seperti kekebalan adaptif,
namun, tidak memiliki memori dan tidak membaik setelah paparan ulang
mikroorganisme yang sama. Kekebalan nonspesifik terutama tergantung pada
empat jenis hambatan pertahanan: (a) hambatan anatomi, (b) hambatan fisiologis,
(c) fagositosis, dan (d) respons peradangan.3
a) Hambatan anatomi

Hambatan anatomi termasuk kulit dan selaput lendir. Mereka adalah


komponen kekebalan bawaan yang paling penting. Mereka bertindak sebagai
hambatan mekanis dan mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh.
Kulit yang utuh mencegah masuknya mikroorganisme. Misalnya, pecah di kulit
karena goresan, luka, atau lecet menyebabkan infeksi. Gigitan serangga yang
menyimpan organisme patogen (misalnya, nyamuk, tungau, kutu, kutu, dan lalat
pasir), memperkenalkan patogen ke dalam tubuh dan menularkan infeksi.
Kulit mengeluarkan sebum, yang mencegah pertumbuhan banyak
mikroorganisme. Sebum terdiri dari asam laktat dan asam lemak yang
mempertahankan pH kulit antara 3 dan 5, dan pH ini menghambat pertumbuhan
sebagian besar mikroorganisme. Selaput lendir membentuk sebagian besar
penutup luar gastrointestinal, pernapasan, genitourinari, dan banyak saluran inang
manusia lainnya. Sejumlah mekanisme pertahanan nonspesifik bertindak untuk
mencegah masuknya mikroorganisme melalui selaput lendir.3
 Air liur, air mata, dan sekresi lendir cenderung membasuh potensi
mikroorganisme yang menyerang, sehingga mencegah keterikatan mereka
dengan situs awal infeksi. Sekresi ini juga mengandung zat antibakteri
atau antivirus yang membunuh patogen ini.
 Lendir adalah cairan kental yang dikresresikan oleh sel-sel epitel selaput
lendir yang menjebak menyerang mikroorganisme.
 Di saluran pernapasan bawah, selaput lendir ditutupi oleh silia, tonjolan
seperti rambut dari membran sel epitel. Gerakan sinkron silia mendorong
mikroorganisme mucusentrapped dari saluran ini.
 Selain itu, organisme nonpathogenik cenderung menjajah sel-sel epitel
permukaan mukosa. Flora normal ini umumnya bersaing dengan patogen
untuk situs lampiran pada permukaan sel epitel dan untuk nutrisi yang
diperlukan.

b) Hambatan fisiologis

Hambatan fisiologis yang berkontribusi pada kekebalan bawaan termasuk


yang berikut:3
 Keasaman lambung adalah penghalang fisiologis bawaan untuk infeksi
karena sangat sedikit mikroorganisme yang terlahan dapat bertahan dari
rendahnya pH isi lambung.
 Lysozyme, interferon, dan pelengkap adalah beberapa mediator larut
kekebalan bawaan. Lysozyme memiliki efek antibakteri karena
tindakannya pada dinding sel bakteri.
 Ada jenis molekul tertentu yang unik untuk mikroba dan tidak pernah
ditemukan dalam organisme multiseluler. Kemampuan tuan rumah untuk
segera mengenali dan memerangi penjajah yang menampilkan molekul
seperti itu adalah fitur yang kuat dari kekebalan bawaan.

c) Fagositosis

Fagositosis adalah mekanisme pertahanan penting lainnya dari kekebalan


bawaan. Fagositosis adalah proses menelan bahan partikulat ekstraseluler oleh sel-
sel khusus tertentu, seperti monosit darah, neutrofil, dan makrofag jaringan. Ini
adalah jenis endositosis di mana menyerang mikroorganisme yang ada di
lingkungan disines oleh sel-sel phagocytic. Dalam proses ini, membran plasma sel
mengembang di sekitar bahan partikulat, yang mungkin termasuk mikroorganisme
patogen utuh untuk membentuk vesikel besar yang disebut phagosomes.3
d) Respons peradangan

Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh luka atau oleh mikroorganisme


patogen yang menyerang menginduksi urutan peristiwa yang kompleks, secara
kolektif dikenal sebagai respons peradangan. Hasil akhir dari peradangan
mungkin adalah aktivasi respons kekebalan tertentu terhadap invasi atau izin
penjajah oleh komponen sistem kekebalan bawaan. Empat fitur kardinal dari
respons peradangan adalah rubor (kemerahan), kalori (kenaikan suhu), dolor
(nyeri), dan tumor (pembengkakan).3

Mediator reaksi peradangan


Histamin, kinins, protein fase akut, dan defensin adalah mediator penting dari
reaksi peradangan.2
 Histamin: Ini adalah zat kimia yang diproduksi oleh berbagai sel sebagai
respons terhadap cedera jaringan. Ini adalah salah satu mediator utama
respons peradangan. Ini mengikat reseptor pada kapiler dan venel terdekat,
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
 Kinins: Ini adalah mediator penting lain dari respons inflamasi. Mereka
biasanya hadir dalam plasma darah dalam bentuk tidak aktif. Cedera
jaringan mengaktifkan peptida kecil ini, yang kemudian menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Bradikinin juga
merangsang reseptor nyeri di kulit. Efek ini mungkin melayani peran
pelindung karena rasa sakit biasanya menyebabkan seseorang melindungi
area yang terluka.
 Protein fase akut: Ini termasuk protein C-reaktif dan protein pengikat
mannose yang membentuk bagian dari kekebalan bawaan. Protein ini
diproduksi pada peningkatan konsentrasi dalam plasma selama reaksi fase
akut, sebagai respons nonspesifik terhadap mikroorganisme dan bentuk
cedera jaringan lainnya. Mereka disintesis di hati dalam menanggapi
sitokin yang disebut sitokin proinflamasi, yaitu, interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL- 6), dan tissue necrosis factor (TNF). Mereka disebut
sitokin proinflamasi karena mereka meningkatkan respons peradangan.
 Defensin: Mereka adalah komponen penting lain dari imun nonspesifik.
Mereka adalah peptida kationik yang menghasilkan pori-pori dalam
membran bakteri dan dengan demikian membunuh mereka. Ini hadir
terutama di saluran pernapasan bawah dan saluran pencernaan.3

2.4 DEFINISI DAN KLASIFIKASI SITOKIN


Sitokin adalah golongan protein/glikoprotein/polipeptida yang larit dan
diproduksi oleh sel limfosit dan sel-sel lain seperti makrofag, eosinophil, sel mast
dan sel endotel. Sitokin berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur
hampir semua proses biologis penting seperti halnya aktivasi, pertumbuhan,
proliferasi, diferensiasi, proses inflamasi sel, imunitas, serta pertahanan jaringan
ataupun morfogenesis. Kesemuanya terjadi akibat rangsangan dari luar. Sitokin
mempunyai berat molekul rendah, sekitar 8-40 KD, di samping kadarnya juga
sangat rendah.4

Sifat Sitokin
Biasanya diproduksi oleh sel sebagai repons terhadap rangsangan. Sitokin yang
dibentuk segera dilepas dan tidak disimpan didalam sel. Sitokin yang sama dapat
diproduksi oleh berbagai sel. Satu sitokin dapat bekerja terhadap beberapa jenis
sel dan dapat menimbulkan efek melalui berbagai mekanisme. Berbagai sitokin
dapat memiliki banyak fungsi yang sama, sitokin dapat/sering mempengaruhi
sintesis atau efek sitokin lain. Efeknya akan tampak saat berikatan dengan
reseptor yang spesifik pada permukaan sel sasaran atau sel target.4

Pada dasarnya sitokin berfungsi sebagai autokrin, namun pada kenyataannya juga
dapat berfungsi sebagai parakrin ataupun endokrin. Dalam melaksanakan
tugasnya, sitokin dapat juga bekerja sebagai inhibitor atau antagonis sitokin lain,
bahkan dapat pula menghambat kerja sitokin yang bersangkutan. Diketahui pula
bahwa sitokin ikut berperan dalam sistem imunitas alamiah maupun imunitas
dapatan/spesifik.4

Banyak sarjana yang mengelompokkan klasifikasi sitokin sesuai dengan


kebutuhan masing-masing, antara lain berdasarkan pada sumber sel yang
memproduksinya, efeknya pada sel, atau berdasarkan pada jenis ikatan dengan
reseptornya.4

Fungsi Sitokin
Sitokin tidak tersedia sebagai molekul yang siap digunakan, melainkan sintesa
sitokin diawali oleh transkripsi gen baru yang sesaat, sebagai hasil aktivasi seluler.
Sitokin seringkali bekerja secara pleitropic : yaitu sitokin mempunyai
pengaruh/bekerja pada berbagai sel target dan redundants : yang berarti
beberapa /berbagai sitokin melaksanakan fungsi yang sama terhadap satu jenis sel.
Suatu jenis sitokin serig mempengaruhi kerja dan sintesa sitokin lain.
Kemampuan ini menuju pada kaskade dimana sitokin kedua dan ketiga dapat
memfasilitasi pengaruh biologic dari sitokin pertama. Sitokin dapat bekerja secara
local atau pada sel lain didekatnya.4

2.5 SISTEM DAN RESPON IMUN SPESIFIK


Sistem kekebalan adaptif pertama kali diamati dalam evolusi pohon di
tingkat vertebrata. Sistem kekebalan adaptif secara khusus mampu membedakan
diri dari bukan dirinya sendiri. Ini dicapai dengan menciptakan sistem pertahanan
antisipatif dari molekul pengenalan yang berinteraksi dengan antigen asing dan
bukan yang berasal dari diri. Genom vertebrata mengandung beberapa gen yang
menyandikan jutaan gen molekul pengenalan antigen. Keluarga gen ini termasuk
antigen reseptor yang mampu mengenali antigen yang diberikan (gambar 2.2).2
Sel sistem kekebalan adaptif yang belum matang "cut and paste"
(recombine) segmen gen reseptor untuk menghasilkan keragaman reseptor yang
besar. Selain itu, molekul mekanisme memungkinkan beberapa reseptor (antibodi)
untuk dimodifikasi pada tingkat somatik selama respon imun untuk membuat
reseptor lebih cocok; artinya, pengikatannya lebih spesifik.1
Kemampuan vertebrata untuk menghasilkan pertahanan antisipatif sistem
terhadap entitas non-diri ditingkatkan dengan duplikasi gen-gen di germline yang
menyandikan protein yang dimilikinya dengan situs yang mengikat dan dapat
berfungsi sebagai reseptor (gambar 2.3).2
Produk duplikasi gen ini adalah keluarga gen yang menyandikan molekul
pengenalan antigen: antibodi, Reseptor sel-T (TCR), dan kompleks kompatibilitas
histokat protein utama (MHC). Sebuah langkah maju yang besar dalam
memahami caranya Sistem ini bekerja adalah dengan gagasan limfosit masing-
masing mengekspresikan reseptor antigen yang unik. Begitu antigen bertemu
limfosit yang membawa reseptor yang paling cocok dengan antigen, sel yang
sudah ada sebelumnya membelah dan menghasilkan banyak sel anak (clones).
Dengan demikian limfosit berkembang secara klonal, membuat tersedia lebih
banyak reseptor spesifik untuk antigen yang ditemukan. Dengan kata lain, sebagai
repertoar reseptor diekspresikan secara klonal pada limfosit dan pada antigen
pengikat, clones yang sudah ada sebelumnya dipicu secara selektif untuk
menghasilkan lebih banyak reseptor yang tepat diperlukan untuk berinteraksi
dengan antigen yang ditemui (gambar 2.2).2
Salah satu komplikasi dari sistem antisipasi dengan yang sudah ada
sebelumnya adalah reseptor antiself yang dapat digerasikan (gambar 2.4), dan sel
yang membawa reseptor yang berpotensi merusak ini harus dihapus atau
dinonaktifkan. Ketika kesalahan terjadi dan secara potensial sel antiself dibiarkan
tetap aktif, maka Penyakit autoimun (antiself) dapat terjadi.2
Gambar 2.2 Limfosit dengan reseptor antigen spesifik sebelum
pertemuan dengan antigen
Immunology for medical students

Gambar 2.3 Evolusi molekul pengenalan antigen dan pengenalan pola


molekul. Ig, imunoglobulin; MHC, kompleks histokompatibilitas utama;
TCR, reseptor sel T.
Sumber: Immunology for medical students
Gambar 2.4 Proliferasi respon antiself
Sumber: Immunology for medical students

Komponen Sistem Imun Adaptif


Sistem kekebalan menggunakan sel dan molekul yang dapat larut sebagai
efektor untuk melindungi inang. Ini terdiri dari sejumlah jenis sel yang berbeda.2

Gambar 2.6 B, Adaptif. Ig, imunoglobulin.


Sumber: Immunology for medical students

RESPON IMUN SPESIFIK


Proses imun spesifik dapat diringkas menjadi, yaitu :
1. pengakuan organisme asing oleh sel kekebalan spesifik;
2. aktivasi kekebalan sel tersebut untuk menghasilkan respons spesifik
(misalnya, antibodi); dan
3. respons yang secara khusus menargetkan organisme untuk
penghancuran.5

Contoh berikut menjelaskan secara singkat caranya kekebalan spesifik


terhadap mikroorganisme yang terjadi. Gambaran proses ini dengan infeksi virus
sebagai modelnya ditunjukkan pada Gambar 2.7.5

Gambar 2.7 Gambaran umum proses imunitas yang dimediasi sel dan imunitas
yang dimediasi oleh antibodi diinduksi oleh paparan
Virus
Sumber: Review of Medical Microbiology and Immunology
Tabel 1.1 Tipe respon imun
Immunology for medical students
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem


pertahanan tubuh. Terminologi kata “imunologi” berasal dari kata “imunitas” dari
Bahasa latin yang berarti pengecualian atau pembebasan. Imunitas adalah suatu
kemampuan tubuh untuk melawan organisme atau toksin yang cenderung
merusak jaringan dan organ tubuh.
Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, spleen, timus, dan sumsum
tulang. Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh
limfatik dan dinamakan sesuai dengan tempatnya. Organ limfoid, terdapat
jaringan limfoid yang banyak mengandung limfosit yang akan melawan agen
perusak seperti organisme asing atau toksin. Jaringan limfoid yang letaknya
tersebar ini menguntungkan tubuh untuk menahan invasi organisme sebelum lebih
luas.

a. Jaringan limfoid di nodus limfe


b. Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid
c. Jaringan limfoid di spleen, timus, dan sumsum tulang
d. Jaringan limfoid di dinding saluran cerna

Sistem imun nonspesifik (bawaan) ada dalam beberapa bentuk di sebagian


besar organisme, dan beberapa prinsip penting tentang pengoperasian sistem
bawaan berlaku. Tidak seperti sistem adaptif, yang mungkin memakan waktu
berhari-hari untuk memobilisasi, aspek sistem imun nonspesifik sangat cepat
dimobilisasi. Misalnya, sel-sel phagocytic—khususnya, makrofag yang tinggal di
jaringan akan mengenali infeksi melalui molekul pengenalan pola yang
mendeteksi motif struktural pada mikroba yang menyerang.

Sitokin adalah golongan protein/glikoprotein/polipeptida yang larit dan


diproduksi oleh sel limfosit dan sel-sel lain seperti makrofag, eosinophil, sel mast
dan sel endotel. Sitokin berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur
hampir semua proses biologis penting seperti halnya aktivasi, pertumbuhan,
proliferasi, diferensiasi, proses inflamasi sel, imunitas, serta pertahanan jaringan
ataupun morfogenesis. Semuanya terjadi akibat rangsangan dari luar. Sitokin
mempunyai berat molekul rendah, sekitar 8-40 KD, di samping kadarnya juga
sangat rendah.
Sistem kekebalan adaptif pertama kali diamati dalam evolusi pohon di
tingkat vertebrata. Sistem kekebalan adaptif secara khusus mampu membedakan
diri dari bukan dirinya sendiri. Ini dicapai dengan menciptakan sistem pertahanan
antisipatif dari molekul pengenalan yang berinteraksi dengan antigen asing dan
bukan yang berasal dari diri. Genom vertebrata mengandung beberapa gen yang
menyandikan jutaan gen molekul pengenalan antigen.
DAFTAR PUSTAKA

1. Syarifuddin. Imunologi Dasar: Prinsip Dasar Sistem Kekebalan Tubuh.


Makassar: Cendekia Publisher; 2019. 1-2.
2. Helbert M. Immunology for Medical Students. 3th Ed. Philadelphia:
Elsevier; 2017. 2-4, 83-88.
3. Parija SC. Textbook of Microbiology & Immunology. 2 nd Ed. New Delhi:
Elsevier, 2012

4. Soeroso, Admadi I. Jurnal Oftalmologi Indonesia. Surakarta: Ilmu


Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret.
173-174. 2007
5. Levinson. W. Review of Medical Microbiology and Immunology 14rd ed.
San Francisco: California; 2012.

Anda mungkin juga menyukai