Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KELOMPOK IMUNOLOGI

DEFISIENSI IMUN
Dosen Pengampuh :
Dr.Mellova Amir.MSc.,Apt

DISUSUN OLEH :

15334011 AIKA PRASTIA

15334052 ILFA RAMADINA

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dankarunia-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “DEFISIENSI IMUN” ini dengan lancar. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas kuliah yang di bimbing oleh Ibu Dr.Mellova Amir.MSc.,Apt.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah imunologi Ibu
Dr.Mellova Amir.MSc.,Apt atas bimbingan dan arahanya dalam penulisan makalah ini, dan
kepada rekan-rekan mahasiswa juga yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya
makalah ini. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk
kelengkapan makalah ini. Penyusun berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua.

Penyusun

Jakarta, November 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
I.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................................... 1
I.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................................................................. 2
I.3 TUJUAN MAKALAH .................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
II.1 IMUNODEFISIENSI ................................................................................................................... 3
II.2 PEMBAGIAN DEFISIENSI IMUN ............................................................................................ 4
A. Defisiensi imun non spesifik ................................................................................................... 4
II.2.1.1 Defisiensi Komplemen .................................................................................................. 4
II.2.1.2 Defisiensi interferon dan lisozim .................................................................................. 6
II.2.1.3 Defisiensi sel NK .......................................................................................................... 6
II.2.1.4 Defisiensi Sistem Fagosit .............................................................................................. 6
B. Defisiensi Imun Spesifik ............................................................................................................ 8
II.2.1.5 Defisiensi Imun Kongenital atau Primer ....................................................................... 8
II.2.1.6 Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik ............................................................................ 13
C. Defisiensi Imun Didapat Sekunder........................................................................................... 13
B. AIDS (Acquired immune deficiency syndrome) ...................................................................... 14
II.3 DIAGNOSIS .............................................................................................................................. 18
II.4 PENGOBATAN ......................................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel
tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme
akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.

Integritas sistem imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap infeksi mikroba dan
produk toksiknya. Defek salah satu komponen sistem imun dapat menimbulakan penyakit
berat bahkan fatal yang secara kolektif disebut penyakit defisiensi imun. Secara umum,
penyakit defisiensi imun dapat dibagi menjadi kongenital dan didapat. Defisiensi kongenital
atau primer merupakan defek genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang
sering sudah bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi kadang secara klinis baru ditemukan
pada usia lebih lanjut. Defisiensi imun didapat atau sekunder timbul akibat malnutrisi, kanker
yang menyebar, pengobatan dengan imunosupresan, infeksi sel sistem imun yang nampak
jelas pada infeksi virus HIV, yang merupakan sebab AIDS.

Pada saat ini, semakin banyak penyakit yang bermunculan. Penyakit sistem imun
merupakan suatu penyakit yang sedang ramai dibahas. Defisiensi sistem imun yang paling
melekat di masyarakat adalah HIV/AIDS, padahal masih banyak penyakit sistem imun yang
terdapat di sekitar kita. Defisiensi imun disebabkan oleh berbagai factor seperti oleh virus,
mutasi, antigen, genetik dan lain sebagainya.

Pada tahun 1953 untuk pertama kali Bruton menemukan hipogamaglobulinemia pada anak
usia 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis dan arthritis lutut sejak usia 4 tahun yang disertai
dengan serangan-serangan otitis media, sepsis pneumokok dan pneumonia. Analisis
elektroforesis serum tidak menunjukkan fraksi globulin gama. Anak tersebut tidak
menunjukkan respon imun terhadap imunisasi dengan tifoid dan difteri. Defisiensi imun
tersebut merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria
maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul sekunder
karena faktor lain.

1
Sistem Imun adalah struktur efektif yang menggabungkan spesifisitas dan adaptasi.
Kegagalan pertahanan dapat muncul dan jatuh pada 3 kategori yaitu: Defisiensi Imun,
Autoimunitas dan Hipersensitivitas. Namun dalam makalah ini penulis hanya memberikan
informasi mengenai Defisiensi Imun saja.

I.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan defisiensi imun ?
2. Bagaimana pembagian defisiensi imun ?
3. Apa saja penyakit yang disebabkan defisiensi imun ?
4. Bagaimana mendiagnosis defisiensi imun ?
5. Bagimana pengobatan pada penyakit yang disebabkan defisiensi imun ?

I.3 TUJUAN MAKALAH


Adapun tujuan dari paper ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dari defisiensi imun.


2. Untuk mengetahui pembagian defisiensi imun.
3. Untuk mengetahui penyakit yang disebabkan defisiensi imun.
4. Untuk mengetahui mendiagnosis defisiensi imun.
5. Untuk mengetahui pengobatan penyakit yang disebabkan defisiensi imun.

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 IMUNODEFISIENSI
Imunodefisiensi adalah penyakit yang disebabkan menurunya atau gagalnya salah satu
atau lebih komponen sistem imun. Imunodefisiensi spesifik dapat melibatkan kelainan pada
sel T atau sel B yang merupakan komponen sistem imun spesifik, sedangkan kelompok
Imunodefisiensi lain adalah Imunodefisiensi non-spesifik yang melibatkan komponen-
komponen sistem imun yang terutama terdiri atas sistem fagosit dan komplemen. Gejala
klinis yang menonjol pada Imunodefisiensi adalah infeksi berulang atau berkepanjangan atau
oportunistik atau infeksi yang tidak umum yang tidak memberikan respon yang adekuat
terhadap terapi antimikroba. Telah diketahui bahwa reaksi imunologi pada infeksi merupakan
interaksi antara berbagai komponen dalam sistem imun yang sangat komplek. Kelainan pada
sistem fagosit, limfosit T dan limfosit B mapun dalam sistem komplemen dapat menampilkan
gejala klinik yang sama sehingga sulit dipastikan komponen mana dari sistem imun yang
mengalami gangguan. Penderita dengan defisiensi limfosit T biasanya menunjukan kepekaan
terhadap infeksi virus, protozoa, dan jamur yang biasanya dapat diatasi dengan respon imun
seluler.
Gambaran umum imunodefisiensi adalah sebagai berikut:
 Konsekuensi utama imunodefisiensi adalah peningkatan kepekaan terhadap infeksi. Sifat
infeksi pada individu tertentu terutama bergantung pada komponen sistem imun mana
yang mengalami defek.
 Pasien dengan imunodefisiensi biasanya juga mudah terkena kanker terutama kanker yang
disebabkan oleh virus. Hal ini sering terlihat pada imunodefisiensi sel T.
 Imunodefisiensi merupakan penyakit yang sangat heterogen. Sebagian besar hal ini
disebabkan defek komponen sisten imun tang berbeda-beda dengan manisfestasi klinis
yang berbeda pula.
 Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau aktivasi atau dalam
mekanisme efektor imunitas nonspesifik dan spesifik.
Dengan demikian, defek respon imun dapat disebabkan kelainan imunitas spesifik maupun
non spesifik, sedangkan defek imunitas spesifik mungkin disebabkan kelainan dalam
perkembangan sel-sel sistem imun, maupun aktivasi atau fungsi limfosit T dan atau limfosit
B spesifik.

3
II.2 PEMBAGIAN DEFISIENSI IMUN
Defisiensi imun terdiri atas sejumlah penyakit yang menimbulkan kelainan satu atau lebih
sistem imun.
Manifestasi defisiensi imun tergantung dari sebab dan respon. Defisiensi sel B ditandai
dengan infeksi rekuren bakteri dengan kapsel. Defisiensi sel T ditandai infeksi virus dan
protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit dengan ketidakmampuan untuk memakan dan
mencerna patogen yang biasanya terjadi pada infeksi bakteri rekuren. Penyakit gangguan
komplemen menunjukan defek aktivasi jalur klasik, alternatif dan lektin yang meningkatkan
mekanisme spesifik.

A. Defisiensi imun non spesifik


Defisiensi Komplemen
Defisiensi komplemen atau fungsi komplemen berhubungan dengan pemingkatan
insidensi infeksi dan penyakit autoimun LES. Komponen komplemen dibutuhkan untuk
membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eleminasi
kompleks antigen antibodi. Defisiensi komplemen (terutama C3) dapat menimbulkan
berbagai akibat seperti infeksi bakteri yang rekuren, peningkatan sensitifitas terhadap
penyakit atuimun.
Konsekuensi dari defisiensi komplemen tergantung dari komplemen yang kurang.
Defisiensi C2 tidak terlalu berbahaya. hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena
mekanisme jalur aternatif tidak terganggu. Defisiensi c3 biasanya menimbulkan infeksi
rekuren bakteri piogenik dan negatif-gram yang mungkin disebabkan oleh karena tidak
adanya faktor kemotaktik, opsonisasi dan aktivitas bakterisidal.
a. Defisiensi Komplemen kongental
Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau penyakit
kompleks imun seperti LES (Lupus) dan glomerulonefritis.
i. Defisiensi inhibitor esterase CI
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter, penyakit yang di tandai
dengan edem local sementara tetapi seringkali. Defek tersebut menimbulkan aktivitas C1
yang tidak dapat dikontrol dan diproduksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapilar.
C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang sel mast melepas histamin di daerah dekat trauma
yang berperan pada rdem lokal. Kulit, saluran cerna dan nafas dapat terkena dan
menimbulksn edem laring yang fatal.

4
ii. Defisiensi C2 dan C4
Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan
kegagalan eliminasi komplek imun yang komplemen dependen.
iii. Defisiensi C3
Defisiensi C3 dapat menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama yang berhubungan
dengan infeksi mikroba piogenik seperti streptococcus dan stafilokokus. Tidak adanya C3
berarti fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi-C3 tidak
diendapkan dimembran dan terjadi gangguan opsoninasi.
iv. Defisiensi C5
Defisiensi C5 menimbulkan keretanan pada infeksi bakteri yang berhubungan dengan
gangguan kemotaksis.
v. Defisiensi C6.C7 dan C8
Defisiensi C6.C7 dan C8 meningkatkan keretanan terhadap septicemia meningitis dan
gonorhoe. Lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme control utama dalam
imunitas terhadap neisseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut menunjukkan
derajat infeksi neisseria, sepsis (septicaemia), arthritis yang lebih berat dan peningkatan DIC
(Disseminated intravascular Coagulation).
b. Defisiensi Komplemen Fisiologik
Defisiensi Komplemen Fisiologik hanya ditemukan pada neonates yang disebabkan kadar
C3, C5 dan factor B yang masih rendah.
c. Defisiensi Komplemen Didapat
Defisiensi Komplemen Didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis
hati dan malnutrisi protein kalori. Pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi
komplemen yang meningkatkan resiko infeksi salmonella dan pneumokok.
i. Defisiensi Clq,r,s
Defisiensi Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama pada penyakit
LES (Lupus Eritematosus Sistemik). Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri.
Penyakit yang berhungan dengan defisiensi C1 adalah edem angioneurotik herediter.
Penderita tersebut tidak memiliki inhibitor esterase C1. Akibatnya ialah efek C1 terhadap C4
atau C2 berjalan terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan seperti plasmin dan peptide
yang vasoaktif. Hal ini menimbulkan edem local dan berbagai alat tubuh yang dapat fatal bila
terjadi dalam larings. Danazol dan oksimetolon memacu sintesis inhibitor esterase C1 pada
penderita dengan edem angioneurotik.

5
ii. Defisiensi C4
Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.
iii. Defisiensi C2
Defisiensi C2 merupakan defisiensi komplemen yang paling sering terjadi. Defisiensi
tersebut tidak menunjukkan gejala seperti telah dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada
penderita LES.
iv. Defisiensi C3
Penderita dengan difisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa
penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.
v. Defisiensi C5-C8
Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan yang meningkat
terhadap infeksi terutama neisseria.
vi. Defisiensi C9
Defisiensi C9 sangat jarang ditemukan. Anehna penderita tersebut tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi rekuren, mungkin karenan lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8
tanpa C9 meskipun terjadi secara perlahan.
Defisiensi interferon dan lisozim
a. Defisiensi interferon kongenital
Defisiensi interferon kongenital dapat menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal.
b. Defisiensi interferon dan lisozim yang di dapat
Defisiensi interferon dan lisozim dapat ditemukan pada malnutrisi protein atau kalori.
Defisiensi sel NK
a. Defisiensi Kongenital
Defisiensi sel NK kongenital telah ditemukan oada penderita osteopetrosis. Kadar IgD,
IgA dan kekerapan auti antibody biasanya meningkat.
b. Desisiensi di dapat
Defisiensi sel NK yang terjadi akibat imunosupresi dan radiasi
Defisiensi Sistem Fagosit
Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen.
Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi
piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neurotfil yang menurun. Resiko infeksi
meningkat bila jumlah fagosit menurun sampai dibawah 500/mm3. Defisiensi disini
ditekankan terhadap sel PMN.

6
a. Defisiensi Kuantitatif
Neutropenia atau granulositopenia yang ditemukan dapat disebabkan oleh penurunan
produksi atau peningkatan destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat disebabkan
pemberian depresan sumsum tulang (kemoterapi pada kanker), leukimia.
Peningkatan destruksi neutrofil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian
obat tertentu yang dapat memacu produksi antibodi dan berfungsi sebagai opsonin untuk
neutrofil normal.
b. Defisiensi Kualitatif
Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan
dan membunuh mikroba intraseluler.
i. Chronic Granulomatosus Disease (CGD)
CGD mempunyai ciri infeksi rekuren berbagai mikroba baik gram negatif mapun gram
positif. Pada CGD ditemukan dwefek neutrofil, ketidak mampuan membentuk hidrogen
peroksidase atau metabolit oksigen toksik lainnya.
ii. Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD)
Defisiensi G6PD adalah penyakit imunodefisiensi yang X-Linked. Penyakit ini diduga
akibat defisiensi generasi Nicotinamide Adenin Dinucleotide Phosphate Dehydrogenase
(NAPDH). Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang
diperlukan untuk pembentukan peroksidase. Pada defisiensi oksidase NADPH tidak dibentuk
peroksidase yang diperlukan untuk membunuh kuman intraseluler.
iii. Defisiensi mioloperoksidase
Pada beberapa oenderita DMP di temukan infeksi mikroba rekuren terutama K.albikans
dan S.aureus. Enzim tersebut ditemukan pada neutrofil normal. Peroksidase ditemukan dalam
granul sitoplasma dan dilepas ke fagosom melalui proses degranulasi yang diikuti dengan
fagositosis.
iv. Sindrom Chediak-Higashi
SCH sangat jarang ditemukan, dtandai dengan infeksi rekuren, piogenik, terutama
streptococcus dan stafilococcus. Prognosisnya buruk dan kebanyakan penderita meninggal
pada usia anak. Neutrofil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan
fagosom tetapi terganggu dalam kemampuan melepas isinya, sehingga proses menelan,
memakan dan menghancurkan mikroba terlambat. Pada SHC ditemukan neutrofil dena dan
kemotaksis dan kemampuan membunuh yang abnormal dengan aktivitas sel NK dan kadar
enzim lisosom menurun. Konsumsi oksigen dan produksi peroksid hydrogen adalah normal.

7
v. Sindrom Job
Sindrom job berupa pilek yang berulang (tidak terjadi inflamasi normal), abses stafilokok,
eksim kronis dan otitis media.
vi. Sindrom leukosit malas (lazy leucocyte)
Sindrom leukosit malas berupa kerentanan terhadap infeksi mikroba yang berat. Jumlah
neutrofil menurun, respon kemoktasis dan respons inflamasi terganggu.
vii. Defisiensi adhesi leukosit
Defisiensi adhesi leukosit merupakan penyakit imunodefisiensi yang ditandai dengan
infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka.

B. Defisiensi Imun Spesifik


Defisiensi Imun Kongenital atau Primer
a. Defisiensi Imun Primer Sel B
Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B (Gambar 1). Berbagai akibat
dapat ditemukan seperti tidak adanya semua Ig atau satu kelas atau sub kelas Ig. Penderita
dengan defisiensi semua jenis IgG akan lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang
hanya menderita defisiensi kelas Ig tertentu saja. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
adalah analisa jumlah dan fungsi sel B, imunoelektroforesis dan evaluasi kuantitatif untuk
menentukan kadar berbagai kelas dan subkelas Ig. Istilah agamaglobulinemia (tidak ada Ig
sama sekali) sbenarnya tidak benar oleh karena pada defisiensi ini biasanya masih da kadar Ig
yang rendah terutama IgG. Oleh karena itu sebaiknya disebut hipogamaglobulinemia.
i. X-linked hypogamaglobulinemia
Bruton pada tahun 1952 menggambarkan enyakit yang disebutnya agamaglobulinemia
Bruton yang X-linked dan hanya terjadi pada bayi laki-laki. Penyakit arang terjadi
(1/100.000), biasanya Nampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang.
Pada usia tersebut bayi mulai menderita infeksi bakteri berulang. Pemeriksaan imunologi
menunukkan tidak adanya Ig dari semia kelas Ig. Darah, limpa, sumsum tulang dan KBG
tidak mengandung sel B. kerusakan utama adalah oleh karena pre-sel B yang ada dalam kadar
normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang.
Bayi dengan defisiensi sel Bmenderita otitis media rekuren, bronchitis, septicemia,
pneumoni, arthritis, meningitis dan dermatitis. Kuman penyebab pada umumnya adalah
H.influenza dan S.pneumoni. sering pula ditemukan sindrom malabsorbsi oleh karena
G.lamblia yang bermanifestasi dalam saluran cerna. Antibiotic biasanya tidak dapat

8
menolong. Pemberian IgG yang periodic memberikan hasil yang efektif untuk 20-30 tahun.
Prognosisnya buruk dan biasanya diakhiri dengan penyakit paru kronik.

GAMBAR 1. Tahapan perkembangan sel B dan pengaruhnya terhadap defisiensi antibodi


ii. Hipogamaglobulinemia sementara
Hipogamaglobulinemia sementaradapat terjadi pada bayi bila sintesis terutama IgG
terlambat. Sebabnya tidak jelas, tetapi dapat berhubungan dengan defisiensi sementara dari
sel Th. Penyakit ditemukan pada bayi melalui masa hipogamaglobulinemia antara usia 6-7
bulan. Banyak bayi yang menderita infeksi saluran napas rekuren pada masa tersebut.
Beberapa bayi mengalami perkembangan yang terlambat dalam sintesis IgG. Bayi sering
menderita infeksi kuman piogenik gram-positif (kulit, selaput otak dan saluran napas).
Keadaan membaik sendiri. Kadang-kadang bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan
cukup meskipun ada IgM dan IgA normal. Hal tersebut disebabkan oleh karena sel T yang
belum matang. Pada beberapa bayi ditemukan kelebihan sel Ts. Gangguan dapat berlangsung
beberapa bulan sampai 2 tahun. Penyakit ini tidak X-linked dan dapat dibedakan dari penyakit
Bruton oleh karena yang akhir tidak ditemukan IgG dan sel B dalam darah. Pemberian Ig
hanya diberikan bila terjadi infeksi berat yang rekuren.
iii. Common Variable Hypogamaglobulinemia
CVH menyerupai hypogamaglobulinemia Bruton. Penyakit berhubungan dengan insidens
autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig normal, kemampuan memproduksi dan
atau melepas Ig mengalami gangguan. Kadar Ig serum menurun seiring dengan memberatnya
penyakit. Fungsi CMI biasanya baik, tetapi kadang juga defektif.
CVH dapat mengenai pria maupun wanita , sebabnya belum diketahui. Penyakit dapat
timbul setiap saat, biasanya antara usia 15-35 tahun. Penderita menunjukkan peningkatan

9
kerentanan terhadap infeksi kuman piogenik. Selain itu sering ditemukan pula penyakit
autoimun. Seperti halnya dengan penyakit Bruton, kadar semua kelas Ig sangat menurun.
Bedanya adalah bahwa penderita dengan CVH mengandung sel B tetapi tidak mampu
merkembang menjadi sel plasma yang memproduksi sel Ig. Beberapa penderita menunjukkan
kelebihan sel Ts yang menggangu respon sel B.
Pengobatan CVH adalah dengan memberikan Ig bila disertai infeksi yang terus menerus
atau berulang kali. Beberapa penderita dapat hidup sampai usia 70-80. Wanita dengan
penyakit tersebut. Dapat hamil dan melahirkan bayi dengan normal meski[pun tidak ada IgG
yang dialihkan ke anak.

iv. Defisiensi immunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)


Disgamaglobulinemia adalah penurunan kadar satu atau lebih Ig., sedang kadar yang lain
dalah normal meningkat. Defisiensi IgA selektf ditemukan pada 1 dari 700 orang dalam
masyarakat dan merupakan defisiensi imun tersering. Klinis menunjukkan gambaran infeksi
sino-pulmoner dan gastrointestinal rekuren tang disebabkan virus atau bakteri. Hal tersebut
menunjukkan tidak adanya proteksi dari serum IgA pada permukaan membrane mukosa.
Penderita juga menunjukkan peningkatan insidens autoimun, keganasan dan alergi. Anehnya
ialah bahwa beberapa penderita diantaranya tetap sehat. Pengobatannya yaitu dengan
antibiotic spectrum luas. Prognosis pada umumnya baik dan penderita dapat mencapai usia
lanjut. Kadar serum IgA rendah tetapi kadar igG dan IgM normal atau meningkat. Ditemukan
sel B yang mengadung IgA, tetapi defek dalam kemampuannya melepas Ig.
HGG sebaiknya tidak diberikan oleh karena penderita dengan kadar IgA yang sangat
rendah dapat membentuk antibody (IgG atau IgE) terhadap IgA dan menimbulkan sensitasi
anafilaksis pada resipien tanpa IgA. Tetapi agresif dengan antibiotic harus diberikan untuk
mengontrol infeksi.
Defisiensi IgM selektif merupakan hal yang jarang terjadi. Penderita sering menunjukkan
infeksi kuman yang mengandung polisakarida dalam membrane selnya seperti pneumonia
dan influenza. Defisiensi IgG selektif lebih jarang ditemukan.
b. Defisiensi Imun Primer Sel T
Penderita dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur
dan protozoa. Oleh karena sel T juga bnerpengaruh terhadap sel B, maka defisiensi sel T
disertai pula gangguan produksi Ig yang tampak dan tidak adanya respon terhadap vaksinasi
(Gambar 2).

10
GAMBAR 2. Efek penyakit genetik pada pematangan sel T.
i. Aplasi timus kongetal (sindrom DiGeorge)
Penyebab sindrom DiGeorge adalah defisiensi sel T dengan sebab yang tidak diketahui.
Penderita tidak atau sedikit memiliki sel T dalam darah, KGB dan limpa. Defisiensi tersebut
disebabkan oleh defek dalam perkembangan embrio dari lengkung faring ke 3 dan 4, yang
terjadi pada sekitar 12 minggu sesudah gestasi. Bayi menunjukan gejala hipokalsemi selama
24 jam pertama sesudah lahir yang sering disertai dengan kelainan jantung dan ginjang
kongental.
Sindrom DiGeorge tidak diturunkan. Bayi dengan sindrom DiGeorge juga menunjukkan
infeksi kronik oleh vius, bakteri, jamur, protozoa dan mikobakteria rekuren.
Hipoparatiroidism dapat menimbulkan tetani hipokalsemia. Penampilan muka berubah,
berbentuk mulut ikan dengan telinga letak rendah.
ii. Kandidiasis Mukokutan Kironik
Kandidiasis Mukokutan Kronik adalah infeksi jamur biasa yang nonpatogenik seperti K.
Albikans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang
selektif. Penderita tersebut mempunyai imunitas seluler yang normal terhadap
mikroorganisme lain selain kandida dan imunitas humoralnya normal. Jumlah limfosit total
normal, tetapi sel T menunjukan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam
respon terhadap antigen kandida, meskipun respon terhadap antigen lain normal.
c. Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat
a. Severse combined immunodeficiency disease
SICD adalah defisiensi kombinasi sel Bdan sel T yang berat (Gambar 3). Penderita dengan
SICD rentan terhadap infeksi virus , jamur, bakteri, dan protozoa terutama CMV,
pneumosistis karini dan kandida. Gejala mulai terlihat pada usia muda dan bila tidak diobati

11
jarang dapat hiup melebihi usia satu tahun. Tidak adanya sel B dan sel T terlihat dari
limfositopenia.

GAMBAR 3. Defek kongenital yang mengganggu hematopoiesis atau fungsi sel sistem imun
yang menimbulkan berbagai penyakit imunodefisiensi
b. Sindrom Nezelof
Sindrom nezelof adalah golongan penyakit dengan gambaran imun yang sama. Semua
penderita dengan sindrom ini rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba. Imunitas sel
T nampak jelas menurun. Defisiensi sel B variabel dan kadar Ig spesifik dapat rendah, normal
atau meningkat (disgammaglobulinemia). Respons antibodi terhadapa antigen spesifik
biasanya rendah atau tidak ada.
c. Sindrom Wiskott-aldrich
WAS menunjukan trombositopeni, ekzem dan infeksi rekuren oleh mikroba, IgM serum
rendah , kadar IgG normal sedang IgA dan IgE meningkat. Isohemaglutinin ditemukan dalam
jumlah sedikit atau tidak ada. Jumlah sel B normal, tidak memberikan respons terhadap
antigen polisakarida untuk memproduksi antibodi.
d. Defisiensi adenosin deaminase
Adenosin deaminase tidak ditemukan dalam semua sel. Hal ini berbahaya oleh karena itu
bila hal ini terjadi , kadar bahan toksik berupa ATP dan deoksi ATP dalam sel limfoid akan
meningkat.

12
Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik
a. Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat ditemukan dalam kehamilan. Keadaan ini mungkin
diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen
paternal. Hal tersebut antara lain dapat disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivitas sel
Ts atau oleh efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblas.
Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen. IgG diangkut
melewati plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.
b. Usia Tahun Pertama
Sistem imun pada usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belim matang.
Meskipun neonatus menunjukan jumlah sel T yang tinggi. Semuanya berupa sel naif dan
tidak memberikan respon yang adekuat terhadap antigen.
c. Usia Lanjut
Golongan usia lanjut lebih sering mendapat infeksi dibandingkan dengan usia muda. Hal
ini disebabkan oleh karena atrofi timus, fungtsi timus menurun. Akibat involusi timus, jumlah
sel T Naif dan kualitas respon sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tetapi
semakin sulit untuk berkembang.

C. Defisiensi Imun Didapat Sekunder


Merupakan defisiensi sekunder yang sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai
fungsi fagosit dan limfosit yang terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan
lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
oportunistik
1. Malnutrisi
Malnutrisi dan defisiensi zat besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada
imubitas seluler.
2. Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Infeksi virus dapat menginfeksi tubuh dan
menginduksi supresi Delayed Type Hypersensitivitas sementara, jumlah sel T dalam sirkulasi
dan respon limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun.
3. Obat, Trauma, Tindakan Katerisasi dan Bedah
Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Imunosupresi merupakan efek
samping steroid dan obat sitotoksik sudah sering digunakan pada penyakit autoimun dan
pencegahan penolakan transplantasi. Pemberian obat, tindakan katerisasi dan bedah dapat

13
menimbulkan imunokompromais. Obat-obat imunosupresi dan antibiotik dapat menekan
sistem imun pasien yang mendapat taruma (luka bakar atau tindakan bedah ) akan kurang
mampu menghadapi patogen, mungkin akibat penglepasan faktor dan menekan respon imun.
4. Penyinaran
Dalam dosis tinggi penyinran menekan seluruh jringan limfoid, sedang dalam dosis rendah
dapat menekan aktivasi sel Ts secara selektif
5. Penyakit Berat
Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang jaringan
limfoid seperti penyakit Hodgkin, leukimia, dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan
sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek
fagosit sekundr yang mekanismenya bekum jelas.
6. Kehilangan Imunoglobulin/ Leukosit
Defisiensi imunoglobulin dapat juga terjadi karena tubuh kehilangan protein yang
berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan
protin dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM tetap normal.
7. Stres
Stres akut atau kronos menunjukan berbagai efek terhadap sistem imun. Sistem imun
berintegrasi dengan stres. Sistem imun dapat bekeja sebagai sistem sensoris pada infeksi dini
melalui peningkatan respon fase akut. Pada keadaan lain, stres menghambat kerja sistem
imun.
8. Agamaglobulinemia dengan timoma
Agamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari
sirkulasi. Eosinipenia atau aplasia sel darah merah dapat pula menyertai agamaglobulinemia.

B. AIDS (Acquired immune deficiency syndrome)


Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi sistem imun
atau dengan menginfeksi sel sistem imun. Contoh fenomen yang baik adalah AIDS.
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya
AIDS di sebabkan HIV-1 dan beberapa kasus di afrika tengah disebabkan HIV-2 yang
merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan virus lenti yang menginfeksi sel CD4+ T
yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, magrofag dan jenis sel lain.
Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual,
homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah
seperti hemofili adan bayi yang di lahirkan ibu HIV.

14
1. Struktur HIV
Struktur virus HIV-1 terdiri dari 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti pelipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel penjamu. Protein gp120 dan
gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan
envelop luar glikoprpotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid.
Rna-direct DNA polymerase adalah polimerase DNA dalam retrovirus seperti HIV dan
virus Sarkoma rouse yang dapat digunakan RNA template untuk memproduksi hibrid DNA.
Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam
sintesis firs strand cDNA.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari- minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis
antibodi terhadap HIV-1. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang
mengikat reseptor CD4+ pada sel T dan makrofag. Usaha sintess reseptor CD4+ ini telah
digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut :
jumlah CD4 perifer menurun fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo (gagal memberikan
respons terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivitas polikonal sel B menimbulkan
hipergamag lobulinemia, antibodi gpl120 dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progres
penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc dapat mencegah infeksi
(jarang) atau memperlambat progres. Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120,
diguanakan dalam usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh pejamu.

GAMBAR 4. Morfologi virus HIV

15
2. Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA vius dan integran ke dalam
genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virud. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gpl120 (120kD glikoprotein) yang terutama
mengikat sel CD4+dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena
itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4+ makrofag dan sel dendritik juga
dapat diinfeksikannya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel
pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan
RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transkriptase dan kopi
DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut proviru. Provirus dapat
diaktivkan sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk
struktur inti, berimigrasi ke membran sel memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas
berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus
dapat tetap letan dalam sel terinfeksi untuk berbulan bulan atau tahu, sehingga tersembunyi
dari sistem imun pejamu bahkan dari terapi antivirus.
3. Patogenesis
Virus biasanya masuk ke tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa retrum
atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di KGB setempat. Virus
kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas,
mialgia, artralgia. Penjamu memberikan respons seperti terhadap infeksi virus umumnya.
Virus menginfeksi sel CD4+, magrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.
Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini
kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein
envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya
kadar virus.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk komplek imun yang diikat SD.
Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4+ berjalan
terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya sejumlah sel CD4+ dalam sirkulasi menurun hal ini
dapat memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul fase progresif kronis dan penderita
menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman nonpatogenik (Gambar 5).

16
Gambar 5. Patogenesis penyakit HIV
Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA viral dalam genom sel penjamu
membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi
mencetuskanaktivasinya yang mengakibatkan terbentuk dan pelepasan partikel virus. Walau
CD4 berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan resetor kedua agar dapat
masuk dan terjadi infeksi. Galur tropik sel T Hiv-1 menggunakan koreseptor CXCR4,
sedangkan galur tropik magrofag menggunakan CCR5. Kedua reseptor ini merupakan
kemokin dan ligan normalnya dapat menghambat infeksi HIV ke dalama sel. Subyek yang
baru terinfeksi HIV dapat disertai gejala atau tidak.

Tabel I. Perjalanan panyakit pada HIV


1. Transmisi virus
2. Infeksi HIV primer (sindrom retro viral akut) 2-6 minggu
3. Serokonversi
4. Infeksi kronik asimptomatik (5-10 hari)
5. AIDS (CD4 <200/mm3), infeksi oportunistik
6. Infeksi HIV lanjut (CD4 < 50/mm3)
4. Manifestasi klinik AIDS
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu
biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih
dari 10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati.
Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :

17
a) Infeksi HIV Stadium Pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-
gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.
b) Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu
malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur
kandida di mulut.
c) AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi
berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita
menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan
berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah
timbul pada fase kedua.
d) Full Blown AIDS.
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi
sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma
kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem
saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-
4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.

II.3 DIAGNOSIS
1. Antibodi mikrobial dalam pemeriksaan defisiensi imun
Penemuan antibodi mikrobial telah digunakan dalam diagnosis infeksi. Antobodi terhadap
mikroba merupakan juga bagian penting dalam pemeriksaan defisiensi imun. Kemampuan
untuk memproduksi antibodi merupakan cara paling sensitif untuk menemukan gangguan
dalam produksi antibodi. Antibodi tersebut biasanya ditemukan dengan esai ELISA.
Antibodi terhadap S. Pneumonia ditemukan pada hampir semua orang dewasa sehat, tetapi
tidak pada individu dengan defisiensi imun primer. Antibodi terhadap antigen virus yang
umum juga dapat digunakan bila ditemukan ada riwayat terpajan dalam virus. Demikian juga,
bila seseorang diimunisasi sebaiknya diperiksa untuk antibodi terhadap toksoid tetanus,
toksoid difteri dan virus polio. Bila kadar antibodi rendah , sebaiknya individu tersebut dites
dengan imunisasi terhadap antigen mati dan responnya dievaluasi 4-6 minggu kemudian.
2. Pemeriksaan in vitro

18
Sel B dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibodi terhadap CD19,
CD20, dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibodi
monoklonal terhadap CD23 arau CD2, CD5, CD7, CD4 dan CD8. Penderitaan dengan
defisiensi sel T hanya hiporeaktif atau tidak reaktif terhadap tes kulit dengan antigen
tuberkulin, kandida, trikofiton, steptokinase/steptodornase dan virus parotitits . produksi
sitokinnya berkurang bila dirangsang dengan PHA atau mitogen nonspesifik yang lain.
Tes in vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan fungsi bakterisidal reduksi NBT
atau stimulasi produksi superoksida yang memberikan nilai enzim oksidatif yang
berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.

II.4 PENGOBATAN
Pengobatan penderita dengan defisiensi imun antara lain adalah dengan menggunakan
antibiotik/antiviral yang tepat, pemberian poled human immunoglobulin yang teratur.
Transplantasi sumsum tulang dari donor dan resipien yang memiliki hubungan genetik yang
cocok telah dilakukan dengan hasil yang baik dari beberapa kasus. Transplantasi timus fetal
telah pula dilakukan pada aplasi timus.
Tujuan pengobatan penderita dengan penyakit defisiensi imun umumnya adalah
mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengan penyakit menular,
memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik /antivial yang benar, imunisasi
aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem imun yang defektif
dengan transfer pasif atau tranplantasi.
1. Pemberian globulin gama
Globulin gama diberikan kepada penderita dengan defisiensi Ig tertentu (tidak pada
defisiensi IgA).
2. Pemberian sitokin
Pemberian infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN-y kepada subyek penyakit
tertentu/
3. Transfusi
Transfusi diberikan dalam bentuk neutrofil epada subyek dengan defisiensi fagosit dan
pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi dengan gen adenosin
deaminase untuk mengobati ACID.
4. Transplantasi
Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk memperbaiki
kompetensi imun.

19
5. Obat antivirus
Siklus virus HIV menunjukan beberapa titik rentan yang diduga dapat dicegah obat
antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan AIDS.
Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT,
dideksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma.
6. Vaksinasi
Pengembangan vaksin untuk mencegah penyebaran AIDS merupakan penelitian yang di
prioritaskan para ahli imunologi. Dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS masih belum
dikembangkan.
7. Terapi genetik
Terapi gen somatik menunjukan harapan dalam terapi penyakit genetik. Prosedur tersebut
antara lain dilakukan dengan cara menyisipkan gen normal ke populasi sel yang terkena
penyakit. Hasil sementara menunjukan bahwa limfosit T perifer mempunyai kemampuan
terbatas untuk berproliferasi. Untuk pengobatan jangka panjang akan diperlukan penyisipan
gen ke sel asal sumsung tulang yang pleuriprotein. Tetapi hal tersebut masih sulit dilakukan
dan perlu studi lebih lanjut.
8. Terapi potensial
AIDS disebabkan pleh berbagai varian retrovirus HIV yang tergolong virus lenti, oleh
karena menimbulkan penyakit dengan perkembangan lambat. Virus merupakan virus RNA
yang memiliki enzim unik, reverse transcriptase yang diperlukan untuk sintesis dsDNA
spesifik dari genom viral RNA. GAMBAR 15.13 460
Dna baru diintegrasi dalam genom sel terinfeksi dan banyak yang tetap laten dalam sel.
Bila diaktifkan, DNA digunakan sebagai template RNA yang diperlukan untuk produksi
virus. Dewasa ini obat dengan aktivitas anti HIV mencegah virus masuk, mencegah terhadap
reverse transcription RNA ke cDNA atau mencegah prekursor protein virus membelah diri
dalam protein yang diperlukan untuk membentuk virion baru dan melengkapi
pematangannya pada virus infeksius. reverse transcriptase dapat dicegah tidak hanya oleh
analog nukleoside tetapi juga oleh analog nukelotide dan non nukleoside.

20
BAB III
PEMBAHASAN

Defisiensi imun ialah fungsi system imun yang meurun atau tidak berfungsi dengan
baik. Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi dua golongan, yaitu defisiensi
kongenital dan defisiensi imun dapatan. Difesiensi imun congenital atau defisiensi imun
primer disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari system
fagosit dan komplemen atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit. Sedangkan
Defisiensi imun dapatan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain infeksi virus yang dapat
merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-obat sitotoksik dan kortikosteroid, serta
akibat penyakit kanker seperti pengakit Hodgkin, leukemia, myeloma, limfositik kronik dal
lain-lain. Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki
satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi
meningkat. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang
mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola
bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur,
trauma, atau pengobatan.
Salah satu contoh penyakit defisiensi imun adalah HIV. HIV adalah suatu penyakit yang
di sebabkan oleh virus HIV (human Immunodefeciency Imun). AIDS adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Infeksi HIV
menyebabkan terganggunya sistem imun spesifik dan non spesifik. Gangguan yang paling
jelas adalah pada imunitas seluler dan dilakukan melalui berbagai mekanisme yaitu efek
sitopatik langsung dan tidak langsung. Penyebab terpenting kurangnya sel T CD4+ pada
pasien HIV adalah efek sitopatik langsung. Beberapa efek sitopatik langsung dari HIV
terhadap sel T CD4+ antara lain:
 Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma dan dinding partikel,
yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma dan masuknya sejumlah
besar kalsium yang akan menginduksi apoptosis atau lisis asmotik akibat masuknya air.
Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein dalam sel sehingga
menyebabkan kematian sel.
 DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam jumlah besar bersifat
toksik terhadap sel tersebut.
 Membrane plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4+ yang
belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan membentuk multinucleated giant

21
cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan kematian sel-sel T yang bergabung tersebut.
Fenomena ini banyak diteliti oleh I vitro dan syncytia jarang ditemukan pada penderita
AIDS.
Beberapa jenis virus dapat menganggu respons imun dengan menekan fungsi sistem imun
atau dengan menginfeksi sel sistem imun. Contohnya adalah AIDS. AIDS adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan
di Afrika Tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan
virus lenti yang menginfeksi sel CD4 T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk
HIV.

22
BAB IV
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
A. Imunodefisiensi adalah penyakit yang disebabkan menurunya atau gagalnya salah satu
atau lebih komponen sistem imun. Imunodefisiensi spesifik dapat melibatkan kelainan
pada sel T atau sel B yang merupakan komponen sistem imun spesifik, sedangkan
kelompok Imunodefisiensi lain adalah Imunodefisiensi non-spesifik yang melibatkan
komponen-komponen sistem imun yang terutama terdiri atas sistem fagosit dan
komplemen.
B. Defisiensi imun kongenital atau primer merupakan defek genetik yang meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi
kadang secara klinik baru ditemukan pada usia lebih lanjut. Defiesiensi imun didapat atau
sekunder timbul akibat malnutrisi, kanker yang menyebar, pengobatan dengan imuno
supresan., infeksi sel sistem imun yang nampak jelas pada infeksi virus HIV yang
merupakan sebab AIDS.
C. Pengobatan defisiensi imun antara lain yaitu pemberian globulin gama, pemberian sitokin,
transfusi, transplantasi, obat antivirus, vaksinasi, terapi genetik, dan terapi potensial.

23
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Garna baratawijaya, karnen., rengganis,Iris. 2014. Imunologi Dasar. Edisi 11. Jakarta : balai
penerbit FKUI
Mansjoer, Arif. 2004. Kapita Selekta Kedokteraan . Edisi 3. Jilid 2. Jakarta :
Mediaesculapius.
Price, Sylvia. A. 20004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Sarwono.1996. Buku Ajar Penyakit Dalam.Jilid pertama, Edisi Ketiga.Jakarta : FKUI
Wong, Donna. L. 2004. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai