Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH IMUNOLOGI

DEFISIENSI IMUN

OLEH:

SARTIKA (917312906201.005)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
KENDARI
2019
Kata Pengantar

Puji syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan.
Ringkasan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam
pemahaman tentang proses dari “Defisiensi Imun”. Saya sepenuhnya menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam menyusun makalah ini, maka
dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak atas ide
dan sarannya, serta menilai dan memeriksa makalah ini. Akhirnya, semoga makalah
ini mendapatkan keridhaan dari Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi saya
sendiri dan kepada semua pembaca.

Kendari, 19 Juli 2019

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar.............................................................................................. 1

Bab 1: Pendahuluan

A. Latar Belakang................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3

C. Tujuan................................................................................................ 4

Bab 2: Pembahasan

A. Definisi Defisiensi Imun......................................................................... 5

B. Pembagian Defisiensi Imun.................................................................... 9

2.1. Defisiensi Imun Non Spesifik............................................................ 9

2.2. Sistem Imun Spesifik......................................................................... 15

2.3. Defisiensi Imun Didapat/Sekunder................................................... 18

C. Diagnosis................................................................................................ 24

D. Pengobatan............................................................................................. 28

Bab 3: Penutup

A. Kesimpulan......................................................................................... 36

Daftar Pustaka............................................................................................... 37
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Integritas system imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap


infeksi mikoba dan produk toksiknya. Defek salah satu komponen system
imun dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif
disebut penyakit defesiensi imun. Secara umum, penyakit defesiensi umum
dapat dibagi menjadi kongenital (bawaan) dan didapat. Defesiensi umum
kongenital atau primer merupakan defek genetic yang meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan
anak, tetapi kadang secara klinis baru ditemukan pada usia lanjut. Defesiensi
imun didapat atau sekunder timbul akibat malnutrisi, kanker yang menyebar,
pengobatan dengan imunosupresan, infeksi sel system imun yang nampak
jelas pada infeksi virus HIV, yang merupakan penyebab AIDS.

Pada tahun 1953 untuk pertama kali Bruton menemukan


hipogamaglobulinemia pada anak usia 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis
dan arthritis lutut sejak usia 4 tahun yang disertai dengan serangan-serangan
otitis media, sepsis pneumokok dan pneumonia. Analisa elektroforesis protein
serum tidak menunjukkan respons imun imun terhadap imunisasi dengan
tifoid dan difteri. Defesiensi umum tersebut merupakan salah jenis defesiensi
jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai
usia dan ditentukan oleh factor genetic atau timbul sekunder karena factor
lain.
B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan defisiensi imun?

2. Apa saja pembagian defisiensi imun?

3. Bagaimana diagnosis penyakit defisiensi imun?

4. Bagaimana cara pengobatan penyakit defisiensi imun?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan defisiensi imun

2. Untuk mengetahui apa saja pembagian defisiensi imun

3. Untuk mengetahui bagaimana diagnosis penyakit defisiensi imun

4. Untuk mengetahui bagaimana cara pengobatan penyakit defisiensi imun


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi difesiensi imun

Integritas system imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap


infeksi mikroba dan produk toksiknya. Defek salah satu komponen system
imun dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif
disebut penyakit defisiensi imun.

Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen system imun
tidak aktif, kemampuan system imun untuk merespon pathogen berkurang
pada baik golongan muda dan golongan tua, respon imun berkurang pada usia
50 tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan alcohol dan narkoba
adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan
nutrisi adalah akibat yang paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di
Negara berkembang. Diet kekurangan ataupun cukup protein berhubungan
dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibody, IgA, dan produksi sitokin, defisiensi nutrisi seperti zinc,
selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9)
juga mengurangi respon imun.

Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti


severe combined immunodeficiency, atau terinfeksi virus dan juga didapat
dari chronic granilomatus disease ( penyakit yang menyebabkan kemampuan
fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang). Contohnya AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) dan beberapa tipe kanker.
Penyakit defisiensi sebagai salah satu dari sekelompok penyakit yng
disebabkan oleh kerusakan system kekebalan. Gangguan imunodefisiensi
sekolomok dimana bagian dari system kekebalan tubuh hilang atau rusak.
Akibatnya, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dapat terganggu.

Adanya defisiensi imun harus dicurigai apabila ditemukan tanda –


tanda klinis sebagai berikut:

1. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya


tergantung dari komponen system imun yang defektif.

2. Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis


kanker tertentu.

3. Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit


atau aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas non spesifik dan
spesifik.

4. Yang merupakan paradox adalah bahwa imunodefisiensi tertentu


berhubungan dengan peningkatan insidens autoimunitas.
Mekanismenya tidak jelas. Diduga berhubungan dengan defisiensi sel
Tr.

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada


organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar
dengan mengindentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.
Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang
luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus
sampai cacing parasit. Serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dari jaringan agar
tetap dapat berfungsi seperti biasa.
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen
sistem Imun tidak aktif, kemampuan sistem Imun untuk merespon
patogen berkurang pada baik golongan muda dan golonga tua, respon
imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena
penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari
fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat
paling umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara
berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan
gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin, Defisiensi nutrisi
seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C,E, B6 dan asam
folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun

Difisiensi imun juga dapat didapat dari chronic granulomatus


disease (penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk
menghancurkan fagosit berkurang), contohnya: Aids dan beberapa tipe
kanker.

b. Autoimunitas

Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang


disebut autoimunitas. Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan
tepat antara diri sendiri dan orang lain yang menyerang dari bagian
tubuh.

c. Hipersensitivitas

Adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri.


Mereka terbagi menjadi 4 kelas (tipe I-IV) yaitu:

1. Reaksi anafilaksi
2. Reaksi sitotoksik

3. reaksi imun kompleks

4. reaksi toep lamba

B. Sistem Imun

Sistem Imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk


mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
dapat di timbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Imunitas atau
kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh
patogen serta sel tumor. Imunitas atau sistem imun tubuh manusia terdiri dari
imunitas alami atau system imunnon spesifik dan imunitas adaptif atau system
imun spesifik.

Sistem imun non-spesifik telah berfungsi sejak lahir, merupakan


tentara terdepan dalam sistem imun, meliputi level fisik yaitu pada kulit,
selaput lendir, dan silia, kemudian level larut seperti pada asam lambung atau
enzim.
Sistem imun spesifik ini meliputi sel B yang membentuk antibodi dan
sel T yang terdiri dari sel T helper, sel T sitotoksik, sel T supresor, dan sel T
delayed hypersensitivity. Salah satu cara untuk mempertahankan sistem imun
berada dalam kondisi optimal adalah dengan asupan gizi yang baik dan
seimbang. Kedua sistem imun ini bekerja sama dengan saling melengkapi
secara humoral, seluler, dan sitokin dalam mekanisme yang kompleks dan
rumit.
1. Imunitas Alami atau Non spesifik
Sistem imun alami atau sistem imun nonspesifik adalah respon
pertahanan inheren yang secara nonselektif mempertahankan tubuh dari invasi
benda asing atau abnormal dari jenis apapun dan imunitas ini tidak diperoleh
melalui kontak dengan suatu antigen. Sistem ini disebut nonspesifik karena
tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Selain itu sistem imun ini
memiliki respon yang cepat terhadap serangan agen patogen atau asing, tidak
memiliki memori immunologik, dan umumnya memiliki durasi yang singkat.
Sistem imun non spesifik terdiri atas pertahanan fisik/mekanik seperti
kulit, selaput lendir, dan silia saluran napas yang dapat mencegah masuknya
berbagai kuman patogen kedalam tubuh; sejumlah komponen serum yang
disekresikan tubuh, seperti sistem komplemen, sitokin tertentu, dan antibody
alamiah; serta komponen seluler,seperti sel natural killer (NK).
a. Sistem Komplemen adalah komponen immunitas bawaan lainnya yang
penting. Aktivasi sistem komplemen mengasilkan suatu reaksi biokimia
yang akan melisiskan dan merusak sel asing atau sel tak berguna. Tanpa
aktivasi, komponen dari sistem komplemen bertindak sebagai proenzim
dalam cairan tubuh.
b. Sitokin dan Kemokin (Cytokine and chemokine) adalah polipeptida
yang memiliki fungsi penting dalam regulasi semua fungsi sistem imun.
Sitokin dan kemokin menghasilkan hubungan kompleks yang dapat
mengaktifkan atau menekan respon inflamasi. Contoh sitokin yang
berperan penting dalam merespon infeksi bakteri yaitu :Interleukin-1 (IL-1)
dan tumor necrosis factor-a (TNF-a).
c. Antibodi alamiah (immunoglobulin) didefinisikan sebagai antibodi pada
individu normal dan sehat yang belum distimulasi oleh antigen
eksogen.Antibodi alamiah berperan penting sebagai pertahanan lini
pertama terhadap patogen dan beberapa tipe sel, termasuk prakanker,
kanker, sisa pecahan sel, dan beberapa antigen.
d. Natural Killer Cells (Sel Natural Killer) diketahui secara morfologi mirip
dengan limfosit ukuran besar dan dikenal sebagai limfosit granular besar.
Sekitar 10–15% limfosit yang beredar pembuluh darah tepi adalah sel NK.
Sel NK berperan penting pada respon dan pengaturan imun bawaan. Sel
NK mengenal dan melisiskan sel terinfeksi patogen dan sel kanker. Sel NK
melisiskan sel dengan melepaskan sejumlah granul sitolitik di sisi interaksi
dengan target. Komponen utama granul sitolitik adalah perforin. Sel NK
juga menghasilkan sitokin dan kemokin yang digunakan untuk membunuh
sel target, termasuk IFN-γ, TNF-a, IL-5, dan IL-13. Sistem imun yang ada
pada tubuh dapat kita lihat dari sel darah kita.
2. Sistem Imun Adaptif (adaptive immunity system)
Imunitas ini terjadi setelah pamaparan terhadap suatu penyakit infeksi,
bersifat khusus dan diperantarai oleh oleh antibody atau sel limfoid. Imunitas
ini bisa bersifat pasif dan aktif.
a. Imunitas pasif, diperoleh dari antibody yang telah terbentuk sebelumnya
dalam inang lain.
b. Imunitas aktif, resistensi yang di induksi setelah kontak yang efektif denga
antigen asing yang dapat berupa infeksi klinis atau subklinis, imunisasi,
pemaparan terhadap produk mikroba atau transplantasi se lasing.
Sistem Imun Adaptif atau sistem imun nonspesifik mempunyai
kemampaun untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Sistem
imun adaptif memiliki beberapa karakteristik, meliputi kemampuan untuk
merespon berbagai antigen, masing-masing dengan pola yang spesifik;
kemampuan untuk membedakan antara antigen asing dan antigen sendiri; dan
kemampuan untuk merespon antigen yang ditemukan sebelumnya dengan
memulai respon memori yang kuat. Terdapat dua kelas respon imun spesifik :
a. Imunitas humoral (Humoral immunity), Imunitas humoral ditengahi oleh
sekelompok limfosit yang berdiferiensasi di sumsum tulang, jaringan
limfoid sekunder yaitu meliputi limfonodus, limpa dan nodulus limfatikus
yang terletak di sepanjang saluran pernafasan, pencernaan dan urogenital.
b. Imunitas selular (cellular immunity), Sel T mengalami perkembangan dan
pematangan dalam organ timus. Dalam timus, sel T mulai berdiferensiasi
dan memperoleh kemampuan untuk menjalankan fungsi farmakologi
tertentu. Berdasarkan perbedaan fungsi dan kerjanya, sel T dibagi dalam
beberapa subpopulasi, yaitu sel T sitotoksik (Tc), sel T penindas atau
supresor (Ts) dan sel T penolong (Th). Perbedaan ini tampak pula pada
permukaan sel-sel tersebut. Untuk mengetahui cara kerja sel T penindas
atau sel T pembunhuh dapat kita lihat pada tabel dibawah ini.

Tabel Perbedaan sifat sistem imun non spesifik dan spesifik


Non spesifik Spesifik
Resistensi Tidak berubah oleh infeksi Membaik oleh infeksi berulang
Spesifitas Umumnya efektif terhadap semuaSpesifik untuk mikroorganisme
mikroorganisme. yang sudah mensintesis
sebelumnya
Sel yang Fagosit Limfosit
penting Sel NK

Sel K
Molekul Lizosim Antibody sitokin
yang Komplemen
penting
Protein fase akut

Interferon ( sitokin )
Sel yang didominasi sel polimorfonuklear didominasi selT dan sel B
berada di
dalamnya
Sifat bersifat general/ umum bersifat memori / diperlukan pajan
pertama dan efektik untuk pajanan
berikutnya dengan antigen yang
sama
Cara kerja cara kerja cepat cara kerja kualitas meningkat
karena memiliki sifat memory

a. Antigen dan Antibodi


1. Antigen
Antigen merupakan bahan asing yang merupakan target yang akan
dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. Antigen ditemukan di permukaan
seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak
bereaksi terhadap selnya sendiri. Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan
sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun. Antigen biasanya berbentuk
protein atau polisakarida. Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem
perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus
pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksibakteri dan virus, serta menghancurkan
sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah,
kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor,
dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
Pada umumnya, antigen-antigen dapat di klasifikasikan menjadi dua jenis
utama, yaitu antigen eksogen dan antigen endogen.antigen eksogen adalah
antigen-antigen yang disajikan dari luar kepada hospes dalam bentuk
mikroorganisme,tepung sari,obat-obatan atau polutan.Antigen ini
bertanggungjawab terhadap suatu spektrum penyakit manusia, mulai dari
penyakit infeksi sampai ke penyakit-penyakit yang dibenahi secara immologi,
seperti pada asma. Antigen endogen adalah antigen yang terdapat didalam tubuh
dan meliputi antigen-antigen berikut:antigen senogeneik (heterolog), antigen
autolog dan antigen idiotipik atau antigen alogenik (homolog). Antigen
senogeneik adalah antigen yang terdapat dalam aneka macam spesies yang
secara filogenetik tidak ada hubungannya, antigen-antigen ini penting untuk
mendiagnosa penyakit. Kelompok-kelompok antigen yang paling banyak
mempunyai arti klinik adalah kelompok-kelompok antigen yang digunakan
untuk membedakan satu individu spesies dengan individu spesies yang sama.
Pada manusia determinan antigen semacam ini terdapat pada sel darah merah,sel
darah putih trombosit, protein serum, dan permukaan sel-sel yang menyusun
jaringan tertentu dari tubuh, termaksud antigen-antigen histokompatibilitas.
Antigen ini dikenal antigen polomorfik, karena adanya dua atau lebih bentuk-
bentuk yang berbeda secara genetik didalam populasi.ciri – ciri antigen yang
menentukan imunogenitas dalam respon imun :
a. Keasingan,yaitu imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing
terhadap hospes
b. Ukuran molekul
c. Kekompleksian kimia dan struktural
d. Penentu antigen ( epilop )
e. Konstitusi genetik inang
f. Dosis, jalur, dan saat pemberian anti gen.
2. Antibodi
Antibodi adalah protein yang dapat ditemukan pada darah atau kelenjar
tubuhvertebrata lainnya, dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk
mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda asing seperti bakteri dan virus.
Mereka terbuat dari sedikit struktur dasar yang disebut rantai. Tiap antibodi
memiliki dua rantai berat besar dan dua [rantai ringan]. Antibodi diproduksi oleh
tipe sel darah yang disebut sel B. Terdapat beberapa tipe yang berbeda dari rantai
berat antibodi, dan beberapa tipe antibodi yang berbeda, yang dimasukan kedalam
isotype yang berbeda berdasarkan pada tiap rantai berat mereka masuki. Lima
isotype antibodi yang berbeda diketahui berada pada tubuh mamalia, yang
memainkan peran yang berbeda dan menolong mengarahkan respon imun yang
tepat untuk tiap tipe benda asing yang berbeda yang ditemui. Antibodi adalah
molekul immunoglobulin yang bereaksi dengan antigen spesifik yang menginduksi
sintesisnya dan dengan molekul yang sama; digolongkan menurut cara kerja
seperti agglutinin, bakteriolisin, hemolisin, opsonin, atau presipitin. Antibodi
disintesis oleh limfosit B yang telah diaktifkan dengan pengikatan antigen pada
reseptor permukaan sel. Antibodi biasanya disingkat penulisaanya menjadi Ab.
(Dorlan).
Antibodi terdiri dari sekelompok protein serum globuler yang disebut
sebagai immunoglobulin (Ig). Sebuah molekul antibody umumnya mempunyai dua
tempat pengikatan antigen yang identik dan spesifik untuk epitop (determinan
antigenik) yang menyebabkan produksi antibody tersebut. Masing-masing molekul
antibody terdiri atas empat rantai polipeptida, yaitu dua rantai berat (heavy chain)
yang identik dan dan dua rantai ringan (light chain) yang identik, yang
dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk membentuk suatu molekul berbentuk
Y. Pada kedua ujung molekul berbentuk Y itu terdapat daerah variabel (V) rantai
berat dan ringan. Disebut demikian karena urutan asam amino pada bagian ini
sangat bervariasi dari satu antibodi ke antibodi yang lain.Daerah V rantai berat dan
daerah V rantai ringan secara bersama-sama membentuk suatu kontur unik tempat
pengikatan antigen milik antibodi.Interaksi antara tempat pengikatan antigen
dengan epitopnya mirip dengan interaksi enzim dan substratnya: ikatan
nonkovalen berganda terbentuk antara gugus-gugus kimia pada masing-masing
molekul(Campbell).

C. Pembagian defisiensi imun

A. Defisiensi imun non-spesifik

1. Defisiensi komplemen

Defisiensi komponen atau fungsi komplemen berhubungan dengan


peningkatan insidens infeksi dan penyakit autoimun seperti LES. Komponen
komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis,
pencegah penyakit autoimun dan elaminasi kompleks antigen dan antibody.
Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat seperti infeksi
bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit
autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.

a. Defisiensi komplemen congen

Biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau penyakit


kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis
1. Defisiensi inhibitor esterase C1

Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter, penyakit


yang di tandai dengan edem local sementara tetapi seringkali. Defek tersebut
menimbulkan aktivasi C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang
meningkatkan permeabilitas kapilar. C2a an C4a juga dilepas yang
merangsang sell mast melepas histamine di daerah trauma yang berperan pada
edem local. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan menimbulkan
edem laring yang fatal.

2. Defisiensi C2 dan C4

Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit berupa LES,


mungkin disebabkan karena kegagalan eleminasi kompleks imun yang
komplemen

3. Defisiensi C3

Defisiensi C3 dapat menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama


yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik seperti streptokok dan
stafikok. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi.
Kompleks antigen-antibodi-C3b tidak diendapkan di membrane dan terjadi
gangguan opsoninasi.

4. Defisiensi C5

Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang


berhubungan dengan gangguan kemotaksis.

5. Defisiensi C6, C7, dan C8


Defisiensi C6, C7, dan C8 meningkatkan kerentanan terhadap
septikemi meningokok dan gonokok. Lisis melalui jalur komplemen
merupakan mekanisme control utama dalam imunitas terhadap neseria.

b. Defisiensi komplemen fisiologik

Hanya dapat ditemukan pada neonates yang menyababkan kadar C3,


C5, dan factor B yang masih rendah

c. Defisiensi komplemen didapat

Disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan


malnutrisi protein atau kalori. pada anemia sel sabit ditemukan gangguan
aktivasi komplemen yang meningkatkan resiko infeksi salmonella dan
pneumokok.

1.Defisiensi Clq,r,

Defisiensi Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun,


terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi
bakteri, serta tidak memiliki inhibiton esterase C1. Akibatnya ialah efek C1
terhadap C4 atau C2 berjalan terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan
seperti plasmin dan peptide yang vasoaktif.

2. Defisiensi C4

Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.

3. Defisiensi C2

Defisiensi C2 merupakan defisiensi komplemen yang paling sering


terjadi. Defisiensi tersebut tidak menunjukkan gejala seperti yang telah
dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada penderita LES.
4. Defisiensi C3

Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren.


Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.

5 . Defisiensi C5-

Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan


yang meningkat terhadap infeksi terutama neseria.

6. Defisiensi C9

Defisiensi C9 sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita tersebut


tidak menunjukkan gejala atau tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis
yang masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun terjadi secara
perlahan.Mmmmm2

2.Defisiensi interferon dan lisozim

a. Defisiensi interferon congenital dapat menimbulkan infeksi


mononucleosis yang fatal.

b. Defisiensi interferon dan lisozim dapat ditemukan pada


malnutrisi protein/kalor

3. Defisiensi sel NK

a. Defisiensi sel NK congenital telah ditemukan pada penderita


dengan osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA, dan
kekerapan auto antibody biasanya meningkat.

b. Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atai


radiasi.

4. Defisiensi system fagosit


Fagosit dapat menghancurkan mirkoorganisme dengan atau tanpa
bantuan komplemen. Defisiensi fagosit sering disertai dengan indeksi
berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung
dengan jumlah neutrofil yang menurun. Resiko infeksi meningkat bila jumlah
fagosit turun sampai di bawah 500/mm3.

a. Defisiensi kuantitatif

Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penuruna


produksi atau peningkatan destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat
disebabkan oleh pemberian depresan sumsum tulang (kemotrapi pada kanker),
leukemia, kondisi genetic yang menimbulkan defek dalam perkembangan
semua sel progenitor dalam sumsum tulang termasuk precursor myeloid
(disgenesis reticular).

b. Defisiensi kualitatif

Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis,


menelan/memakan dan membunuh mikroba intraseluler.

B. Defisiensi imun spesifik

1. Defisiensi kongenitial atau primer

Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh bakteri.


Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang
rekuren. Defisiensi fagosit disertai oleh ketidakmampuan untuk memakan dan
menghancurkan pathogen, biasanya timbul dengan infeksi bakteri rekuren.

a. Defisiensi imun primer sel B

Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B. Berbagai


akibat dapat ditemukan seperti tidak adanya satu kelas atau subkelas Ig atau
semua Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG lebih mudah menjadi
sakit dibanding dengan yang hanya menderita defisiensi kelas Ig tertentu saja.

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah analisa jumlah


dan fungsi sel B, imunoelektroforesis dan evaluasi kuantitatif untuk
menentukn kadar berbagai kelas dan subkelas Ig.

b. Defiseiensi imun primer sel T

Penderita dengan defisiensi sel T congenital sangat rentan terhadap


infeksi virus, jamur, dan protozoa. Oleh karena sel T juga berpengaruh
terhadao aktifasi dan proliferasi sel B, maka defisiensi sel T disertai pula
dengan gangguan produksi Ig yang nampak dari tidak adanya respons
terhadap vaksinasi.

2. Defisiensi imun spesifik fisiologik

a. Kehamilan

Defisiensi imun selular dapat ditemukan pada kehamilan. Keadaan ini


mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan
allograft dengan antigen paternal. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya
peningkatan aktivitas sel T atau efek supresif factor humoral yang dobentuk
trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh
estrogen. IgG diangkut melewati plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil
10 minggu.

c. Usia tahun

System imun pada anak usia satu tahub pertama sampai usia 5
tahun masih belum matang. Meskipun neonates menunjukkan jjumlah sel T
yang tinggi, sebuanya berupa sel naïf dan tidak memberikan respons yang
adekuat terhadap antigen. Antibody janin disintesis pada awal minggu ke 20,
tetapi kadar IgG dewasa baru mencapai pada usia sekitar 5 tahun. Pada usia
beberapa bulan pertama, bayi bergantung pada IgG ibu.

Susu ibu juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan
mencegah infeksi paru dan saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman
botolm 60x lebih beresiko untuk menderita pneumonia pada usia 3 bulan.
Bayi premature lebih mudah mendapat infeksi oleh karena lebih sedikit
menerima immunoglobulin selama akhir akhir kehamilan.

d. Usia lanjut

Golongan usia lanjut lebih sering mendapat infeksi disbanding usia


muda, dikarenakan terjadinya atrofi timus dengan fungsi yang menurun.
Akibat involusi timus, jumlah sel T naïf dan kualitas respons sel T semakin
berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin sulit untuk
berkembang. Penyakit autoimun yang sering timbul pada usia lanjut
disebabkan oleh penurunan aktivitas sel T. Pada usia 60 tahun, jaringan timus
hampir seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hampir
hilang.

A. Defisiensi imun didapat atau sekunder

Defisiensi ini mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi
akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun
sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.

A. Infeksi

Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Jumlah sel T dalam


sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Hal
yang sama dapat terjadi setelah imunisasi dengan campak. Pada beberapa
keadaan, infeksi virus dan bakteri dapat menekan system imun. Kehilangan
imunitas selular terjadi pada penyakit campak, mononucleosis, hepatitis,
virus, sifilis, bruselosis, lepra, tuberculosis militer, dan parasit.

B. Obat, trauma, tindakan kateterisasi, dan bedah

Obat sering menimbulkan defisiensi sekunder. Tindakan kateterisasi


dan bedah dapat mnimbulkan imunokompromais. Antibiotic dapat menekan
system imun. Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat
mengganggu kemotaksis neutrofil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular.
Kloramfenikol dapat menekan respons antibody, sedangkan rifampisin dapat
menekan baik imunitas humoral maupun selular. Jumlah neutrofil yang
berfungsi sebagai fagosit sapat menurun akibat pemakaian obat kemotrapi,
analgesic, antihistamin, antitiroid, antiknvulsi, penenang dan antibiotic.
Steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel T inflamasi.

C. Penyinaran

Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan


dosis rendah dapat menekan akticitas sel Ts secara selektif.

D. Penyakit berat

Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit


menyerang jaringan limfoid seperti penyakit Hodgkin, myeloma multiple,
leukemia, dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan system imun dan
menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan dibetes menimbulkan defek
fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Immunoglobulin juga dapat
menghilang melalui usus pada diare.

E. Kehilangan immunoglobulin

Defisiensi immunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kehilangan


protein yang berlebihan seperi pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom
nefrotik terjadi kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti,
sedangkan IgM tetap normal. Pada diare (limfangiektasi intestinal, protein
losing enteropaty) dan luka bakar terjadi kehilangan protein.

F. Agamaglobulinemia dengan timoma

Agamaglobulinemia dengan timoma di sertai dengan menghilangnya


sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah dapat pula
menyertai agamaglubolinemia

Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif


daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun
merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti severe combined
immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti
sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus
HIV.

A. Antibody microbial dalam pemeriksaan defisiensi imun

Penemuan antibody microbial telah digunakan dalam diagnosis


infeksi. Antibodi tersebut biasanya ditemukan dengan esai ELISA. Antibody
terhadap S. pneumonia ditemukan pada hampir semura orang dewasa sehat,
tetapi tidak pada indicidu dengan defisiensi imun primer. Antibodi terhadap
antigen virus yang umum juga dapat digunakan bila ditemukan ada riwayat
terpajan dengan virus. Demikian juga, bila seseorang diimunosasi, sebaiknya
diperiks untuk antibody terhadap toksoid tetanus, toksoid difteri, dan virus
polio. Bila kadar antibody rendah, sebaikmua individu dites dengan imunisasi
terhadap antigen mati dan responsnya dievaluasi 4-6 minggu kemudian.

B. Pemeriksaan in vitro
Sel B dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan
antibody terhadap CD19, CD20, dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow
cytometry yang dapat menggunakan antibody monoclonal terhadap CD23
atau CD2, CD5, CD7, CD4, dan CD8.

Tes in vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan fungsi


bakterisidal, reduksi NBT atau stimulasi produksi superoksida yang
memberikan nilai enzim oksidatif yang berhubungan dengan fagositosis aktif
dan aktivitas bakterisidal.

D. Penyebab Defisiensi Imun

a. Defek genetik

Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal


ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal
khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked
agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T)
Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misal common variable
immunodeficiency)

b. Obat atau toksin

Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)Antikonvulsan (fenitoin)

c. Penyakit nutrisi dan metabolic

Malnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein losing enteropathy (misal


limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau
transkobalamin II) Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati
Akrodermatitis)

d. Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)

e. Infeksi Imunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )


Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)

1.Defisiensi komplemen

Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap


penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif.
Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi
jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan
rusaknya kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun.

Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan


dikaitkan dengan sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4
atau C2 mempunyai lupus-like syndrome, seperti ruam malar, artralgia,
glomerulonefritis, demam atau vaskulitis kronik dan infeksi piogenik rekuren.
Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat tidak ditemukan. Adanya
defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini menurunkan kemampuan
individu untuk eliminasi kompleks imun.

Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder,


contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan
risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi
yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis.

Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau


properdin dengan infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai
infeksi gonokokus rekuren, terutama septikemia dan artritis, atau meningitis
meningokukos rekuren.
Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen
diturunkan yang paling sering dan penyebab angioedema herediter.

2. Defisiensi imun sekunder

Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan


penyebab primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi
yang menurun atau katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang
dipercepat.

Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia


dan hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau
melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya imunoglobulin
melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih
dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga
dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit inflamatorius aktif seperti
penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.

Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein


menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem
imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada
imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan
nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori
yang cukup.

Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap


infeksi. Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan
dengan hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah
berat dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin
berhubungan dengan defek pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit
Hodgkin biasanya berhubungan dengan kerusakan yang nyata dari imunitas
seluler, namun imunoglobulin serum masih normal sampai fase akhir
penyakit.

Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien
dengan keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit
membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat
imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit
dan polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien
dengan obat untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul
infeksi oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari
defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.

3. Infeksi HIV

Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.

Infeksi HIV menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun alamiah


dan didapat. Gangguan yang paling jelas adalah pada imunitas selular, dan
dilakukan melalui berbagai mekanisme yaitu efek sitopatik langsung dan tidak
langsung. Penyebab terpenting kurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV
adalah efek sitopatik langsung. Beberapa efek sitopatik langsung dari HIV
terhadap sel T CD4+ antara lain:

Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma


dan budding partikel virus, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
membran plasma dan masuknya sejumlah besar kalsium yang akan
menginduksi apoptosis atau lisis osmotik akibat masuknya air. Produksi virus
dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein dalam sel sehingga
menyebabkan kematian sel.

DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam
jumlah besar bersifat toksik terhadap sel tersebut.

Membran plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan


sel T CD4+ yang belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan
membentuk multinucleated giant cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan
kematian sel-sel T yang bergabung tersebut. Fenomena ini banyak diteliti in
vitro, dan syncytia jarang ditemukan pada pasien AIDS.

E. Pengobatan

A. Garis umum

Pengobatan dengan penderita defisiensi imun ntara lain adalah dengan


menggunakan antibiotikantiviral yang tepat, pemberiaan pooled human
immunoglobulin yabg teratur. Transplantasi sumsum tulang dari donor dan
resipien yang memiliki hubungan genetic yang cocok telah dilakukan dengan
hasil yang baik pada beberapa kasus. Transplantasi timus fetal telah pula
dilakukan pada aolasi timus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat
transplantasi yaitu bila jaringan transplantasi menyerang sel pejamu-graft
versus-host (GVH) reaction. Iradiasi kenenjar getah bening total kadang
memberikan hasil yang lebih baik dibanding iradiasi seluruh tubuh dalam
mengontrol reaksi GVH.

B. Tujuan pengobatan

Tujuan pengobatan umumnya adalah untuk mengurangi kejadian dan


dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengan penyakit menular, memantau
penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotic/antiviral yang benar,
imunisasi aktif atau pasif memungkinkan dan memperbaiki komponen system
imun yang defektif dengan transfer pasif atau transplantasi.

C. Pemberian globulin gama

Globulin gama diberikan kepada penderita dengan defisiensi Ig


tertentu (tidak pada defisiensi IgA)

D. Pemberian sitokin

Pemberian infuse sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF, dan IFN-y


kepada subyek dengan penyakit tertentu.

E. Transfuse

Transfuse diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subyek dengan


defiesiensi fagosit dan pemberian transfeksi dengan gen adonesin deaminase
(ADA) untuk mengobati ACID.

F. Transplantasi

Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan
untuk memperbaiki kompetensi imun.

G. Obat antivirus

Ada beberapa strategi yang dapat di gunakan dalam pengembangan


obat efektif. Inhibitor protease virus sekarang digunakan untuk mencegah
proses protein precursor menjadi kapsid virus matang dan protein core. Terapi
dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terduru atas oritease
inhibitor dengan 2 inhibitor reserve transcriptase yang terpisah. Hal itu
digunakan untuk menurunkan kadar RNA virus dalam plasma menjadi sanat
rendah untuk lebih dari satu tahun. Perlu pengamatan terhadap kemungkinan
terjadinya resistensi. Resistensi terhadap inhibitor protease dapat terjadi
setelah pemberian beberapa hari. Resistensi terhadap zidivudin (azidotimidin)
dapat terjadi setelah pemerian beberapa bulan. Untuk resistensi terhadap
zudovudin, diperlukan 3 sampai 4 mutasi dalam reverse trankriptase virus,
tetaapi satu mutasi saja sudah dapat mnimbulkan resistensi terhadap inhibitor
protease.

H. Vaksinasi

Pengembangan waksin untuk penyebaran AIDS merupakan penelitian


yang di prioritaskan para ahli imunologi. Dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS
masih belum dapat dikembangkan.

I. Terapi genetic

Terpi gen somatic menunjukkan harapan dalam terapi penyakit


genetic. Prosedur tersebut antara lain dilakukan dengan menyisipkan gen
normal ke populasi sel yang terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan
bahwa limfosit T perifer mempunyai kemampuan terbatas untuk
berproliferasi. Untuk pengobatan jangka panjang akan diperlukan penyisipan
gen ke sel asal sumsum tulang yang pleuripoten. Namun hal tersebut masih
sulit untuk dilakukan dan diperlukan studi lebih lanjut.

J. Terapi potensial

AIDS disebabkan oleh berbagai virus varian retrovirus HIV yang


tergolong virus lenti, oleh karena menimbulkan penyakit dengan
perkembangan lambat. Virus merupakan virus RNA yang memiliki enzim
unik, reverse transciptase yang diperlukan untuk sintesis dsDNA spesifik dari
genom viral RNA. DNA baru diintegrasikan dalam genom sel terinfeksi dan
banyak yang tetap laten dalam sel. Bila diaktifkan, DNA digunakan sebagai
tempat RNA yang diperlukan untuk memproduksi virus. Virus dilepas
dipermukaan sel dan envelop virus dibentuk dari membrane sel pejamu,
diubah oleh ini sersi glikoprotein virus.

Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan


klinisnya maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada
dasarnya pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi,
atau kausal.

Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan


memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha
pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan terhadap defisiensi komponen imun,
misalnya dengan memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum
hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin spesifik. Kebutuhan
tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai dengan
kondisi klinis.

Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya,


beberapa memang bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang
diberikan antara lain adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal,
produk mikroba (BCG), produk biologik (timosin), komponen darah atau
produk darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks dan levamisol.

Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab


defisiensi imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi,
suplemen gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain). Defisiensi imun primer
hanya dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang) atau
rekayasa geneti

1.Tatalaksana defisiensi antibodi


Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement
therapy) merupakan keharusan pada anak dengan defek produksi antibodi.
Preparat dapat berupa intravena atau subkutan. Terapi tergantung pada
keparahan hipogamaglobulinemia dan komplikasi. Sebagian besar pasien
dengan hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/kg/bulan
imunoglobulin untuk mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi,
khususnya penyakit kronik pada paru dan usus. Imunoglobulin intravena
(IVIG) merupakan pilihan terapi, diberikan dengan interval 2-3 minggu.
Pemantauan dilakukan terhadap imunoglobulin serum, setelah mencapai kadar
yang stabil (setelah 6 bulan), dosis infus dipertahankan di atas batas normal.

2.Tatalaksana defek imunitas seluler

Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk


SCID tidak hanya melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan
profilaksis. Untuk mencegah infeksi maka bayi dirawat di area dengan
tekanan udara positif. Pada pasien yang terbukti atau dicurigai defek sel T
harus dihindari imunisasi dengan vaksin hidup atau tranfusi darah. Vaksin
hidup dapat mengakibatkan infeksi diseminata, sedangkan tranfusi darah
dapat menyebabkan penyakit graft-versus-host.

Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih hidup merupakan


sarana satu-satunya untuk perbaikan respons imun. Transplantasi sumsum
tulang merupakan pilihan terapi pada semua bentuk SCID. Terapi gen sedang
dikembangkan dan diharapkan dapat mengatasi defek gen.

2.Tatalaksana pada penderita HIV

Pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi
pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa,
tatalaksana psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam
kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi harus
mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang
berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV
adalah, selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk
vaksin hidup. Tetapi bila simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan
BCG sebaiknya dihindari.

Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset


mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu
mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel
CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan
paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada
homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu
Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja
pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini
digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV
plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti
HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang
virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.

Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+ yang terinfeksi
dan sebagian kecil oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan
untuk menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi untuk beberapa
tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase.
Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat
dengan waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa
virus diproduksi oleh sel yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T
CD4+ yang merupakan reservoir utama (93 – 97% dari seluruh sel T) dan
sumber virus.
Fase penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu
menyebabkan jumlah virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang
deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir virus dalam makrofag.
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di
sel T memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang
dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan
reservoir virus ini.

imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan produk darah intravena.


Ini berisi IgG menggenang (imunoglobulin (antibodi) G) diekstraksi dari
plasma lebih dari seribu donor darah. IVIG’s terakhir antara 2 minggu dan 3
bulan efek. Hal ini terutama digunakan sebagai pengobatan dalam tiga
kategori utama:

▪ kekebalan kekurangan seperti agammaglobulinemia X-linked,


hypogammaglobulinemia (defisiensi imun primer), dan diperoleh
dikompromikan kondisi kekebalan (defisiensi imun sekunder) menampilkan
tingkat antibodi yang rendah.

▪ autoimmune penyakit mis Immune trombositopenia ITP dan penyakit


inflamasi misalnya Kawasaki penyakit. Infeksi akut.

IVIG diberikan sebagai terapi plasma protein pengganti (IgG) untuk


pasien kekurangan kekebalan tubuh yang telah menurun atau dihapuskan
kemampuan produksi antibodi. Pada pasien kekurangan kekebalan tubuh,
IVIG diberikan untuk mempertahankan tingkat antibodi yang cukup untuk
mencegah infeksi dan menganugerahkan kekebalan pasif. Pengobatan
diberikan setiap 3-4 minggu. Dalam kasus pasien dengan penyakit autoimun,
IVIG diberikan dengan dosis tinggi (biasanya 1-2 gram IVIG per kg berat
badan) untuk mencoba mengurangi keparahan penyakit autoimun seperti
dermatomiositis. IVIG berguna dalam beberapa kasus infeksi akut seperti
infeksi HIV pediatrik dan sindrom Guillain-Barre.
Mekanisme yang tepat di mana IVIG menekan peradangan berbahaya belum
definitif dibentuk namun diyakini melibatkan reseptor Fc penghambatan.
IVIG dapat bekerja melalui model multi-langkah dimana bentuk disuntikkan
pertama IVIG jenis kompleks kekebalan pada pasien. Setelah imun kompleks
ini terbentuk, mereka berinteraksi dengan mengaktifkan reseptor Fc pada sel
dendritik yang kemudian menengahi anti -inflamasi efek membantu untuk
mengurangi keparahan penyakit autoimun atau negara inflamasi. IVIG juga
blok reseptor antibodi pada sel-sel kekebalan tubuh (makrofag), yang
menyebabkan kerusakan menurun oleh sel-sel, atau peraturan dari fagositosis
makrofag. IVIG juga dapat mengatur respon imun dengan mereaksikan
dengan sejumlah reseptor membran pada sel-sel T, sel B, dan monosit yang
berkaitan dengan autoreactivity dan induksi toleransi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa defisiensi


imun atau immunodefisiensi adalah salah satu gangguan imunitas, dimana system
kekebalan tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena satu atau lebih
komponen system imun tidak aktif. Defisiensi imun dibagi atas tiga bagian yaitu,
defisiensi imun non spesifik, system imun spesifik, dan defisiensi imun didapat /
sekunder. Diagnosisnya bisa dilakukan dengan pemeriksaan defisiensi imun
(antibody microbial) dan pemeriksaan in vitro. Sedangkan pengobatannya bisa
dilakukan dengan berbagi cara, diantaranya adalah memberikan penjelasan secara
garis umum dan tujuan pengobatannya, pemberian globulin gama, pemberian
sitokin, tranfusi, transplantasi, obat antivirus, vaksinasi, terapi genetic, dan terapi
potensial.

Sebelum dilakukan pengobatan, sebaiknya dilakukan dahulu


penanganan lanjutan seperti pemeriksaan hemoglobin, pemeriksaan darah
tepi, menghitung trombosit, menghitung jumlah leukosit total. Pengobatan ini
dilakukan untuk mengurangi kejadian dan dampk infeksi seperti menjauhi
subjek dengan penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi.SARAN

B. Saran
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
yang diharapkan, karena masih terbatasnya pengetahuan penulis. Olehnya itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Makalah
ini perlu dikaji ulang agar dapat sempurna dan makalah ini harus digunakan
sebagaimana mestinya

Daftar Pustaka

Radji, Maksum, 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT. ISFI.

Baratawidjaja, G. Karnen dan Rengganis, Iris, 2010. Imunologi Dasar Edisi ke-9.
Jakarta. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai