DEFISIENSI IMUN
OLEH:
SARTIKA (917312906201.005)
Puji syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan.
Ringkasan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam
pemahaman tentang proses dari “Defisiensi Imun”. Saya sepenuhnya menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam menyusun makalah ini, maka
dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak atas ide
dan sarannya, serta menilai dan memeriksa makalah ini. Akhirnya, semoga makalah
ini mendapatkan keridhaan dari Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi saya
sendiri dan kepada semua pembaca.
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar.............................................................................................. 1
Bab 1: Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3
C. Tujuan................................................................................................ 4
Bab 2: Pembahasan
C. Diagnosis................................................................................................ 24
D. Pengobatan............................................................................................. 28
Bab 3: Penutup
A. Kesimpulan......................................................................................... 36
Daftar Pustaka............................................................................................... 37
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen system imun
tidak aktif, kemampuan system imun untuk merespon pathogen berkurang
pada baik golongan muda dan golongan tua, respon imun berkurang pada usia
50 tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan alcohol dan narkoba
adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan
nutrisi adalah akibat yang paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di
Negara berkembang. Diet kekurangan ataupun cukup protein berhubungan
dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibody, IgA, dan produksi sitokin, defisiensi nutrisi seperti zinc,
selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9)
juga mengurangi respon imun.
b. Autoimunitas
c. Hipersensitivitas
1. Reaksi anafilaksi
2. Reaksi sitotoksik
B. Sistem Imun
Sel K
Molekul Lizosim Antibody sitokin
yang Komplemen
penting
Protein fase akut
Interferon ( sitokin )
Sel yang didominasi sel polimorfonuklear didominasi selT dan sel B
berada di
dalamnya
Sifat bersifat general/ umum bersifat memori / diperlukan pajan
pertama dan efektik untuk pajanan
berikutnya dengan antigen yang
sama
Cara kerja cara kerja cepat cara kerja kualitas meningkat
karena memiliki sifat memory
1. Defisiensi komplemen
2. Defisiensi C2 dan C4
3. Defisiensi C3
4. Defisiensi C5
1.Defisiensi Clq,r,
2. Defisiensi C4
3. Defisiensi C2
5 . Defisiensi C5-
6. Defisiensi C9
3. Defisiensi sel NK
a. Defisiensi kuantitatif
b. Defisiensi kualitatif
a. Kehamilan
c. Usia tahun
System imun pada anak usia satu tahub pertama sampai usia 5
tahun masih belum matang. Meskipun neonates menunjukkan jjumlah sel T
yang tinggi, sebuanya berupa sel naïf dan tidak memberikan respons yang
adekuat terhadap antigen. Antibody janin disintesis pada awal minggu ke 20,
tetapi kadar IgG dewasa baru mencapai pada usia sekitar 5 tahun. Pada usia
beberapa bulan pertama, bayi bergantung pada IgG ibu.
Susu ibu juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan
mencegah infeksi paru dan saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman
botolm 60x lebih beresiko untuk menderita pneumonia pada usia 3 bulan.
Bayi premature lebih mudah mendapat infeksi oleh karena lebih sedikit
menerima immunoglobulin selama akhir akhir kehamilan.
d. Usia lanjut
Defisiensi ini mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi
akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun
sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.
A. Infeksi
C. Penyinaran
D. Penyakit berat
E. Kehilangan immunoglobulin
B. Pemeriksaan in vitro
Sel B dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan
antibody terhadap CD19, CD20, dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow
cytometry yang dapat menggunakan antibody monoclonal terhadap CD23
atau CD2, CD5, CD7, CD4, dan CD8.
a. Defek genetik
d. Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)
1.Defisiensi komplemen
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien
dengan keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit
membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat
imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit
dan polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien
dengan obat untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul
infeksi oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari
defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.
3. Infeksi HIV
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.
DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam
jumlah besar bersifat toksik terhadap sel tersebut.
E. Pengobatan
A. Garis umum
B. Tujuan pengobatan
D. Pemberian sitokin
E. Transfuse
F. Transplantasi
Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan
untuk memperbaiki kompetensi imun.
G. Obat antivirus
H. Vaksinasi
I. Terapi genetic
J. Terapi potensial
Pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi
pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa,
tatalaksana psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam
kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi harus
mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang
berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV
adalah, selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk
vaksin hidup. Tetapi bila simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan
BCG sebaiknya dihindari.
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+ yang terinfeksi
dan sebagian kecil oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan
untuk menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi untuk beberapa
tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase.
Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat
dengan waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa
virus diproduksi oleh sel yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T
CD4+ yang merupakan reservoir utama (93 – 97% dari seluruh sel T) dan
sumber virus.
Fase penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu
menyebabkan jumlah virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang
deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir virus dalam makrofag.
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di
sel T memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang
dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan
reservoir virus ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
yang diharapkan, karena masih terbatasnya pengetahuan penulis. Olehnya itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Makalah
ini perlu dikaji ulang agar dapat sempurna dan makalah ini harus digunakan
sebagaimana mestinya
Daftar Pustaka
Baratawidjaja, G. Karnen dan Rengganis, Iris, 2010. Imunologi Dasar Edisi ke-9.
Jakarta. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.