Anda di halaman 1dari 25

11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Firman S P
Sisa tugas yang ngga tau mau diapain lagi. semoga bermanfaat, dan mohon maaf
masih banyak kesalahan.

TOKSIKOLOGI OBAT DAN
PENANGANAN KERACUNAN
UMUM
Juli 03, 2017

Brebes, Jawa Tengah


MAKALAH TOKSIKOLOGI
TOKSIKOLOGI OBAT DAN
PENANGANAN KERACUNAN UMUM
 

DISUSUN OLEH :
Nova Riyani                            (E0014047)
Restu Putri Utami                   (E0014050)
Siti Lailatul Karimah               (E0014053)
Supatmi                                   (E0014056)
Tingkat III.B

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 1/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2017
KATA PENGANTAR

Puji  syukur  kami  panjatkan  kehadirat Tuhan  Yang  Maha  Esa  karena  dengan  rahmat,
karunia,  serta  taufik  dan  hidayah­Nya  kami  dapat  menyelesaikan  makalah  tentang
“Toksikologi Obat dan Penanganan Keracunan Umum”. Dan juga kami berterima kasih pada
Ibu Devi Ika K.S, M.Sc selaku dosen mata kuliah Ilmu Resep yang telah memberikan tugas
ini.
Kami sangat berharap  makalah  ini  dapat  berguna  dalam  rangka  menambah  wawasan
serta  pengetahuan.Kami  juga  menyadari  sepenuhnya  bahwa  di  dalam  makalah  ini  terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga  makalah  sederhana  ini  dapat  dipahami  bagi  siapapun  yang
membacanya.Sekiranya  laporan  yang  telah  disusun  ini  dapat  berguna  bagi  kami  sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata­kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Slawi, April 2017

                                                                                                        Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2            Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3            Tujuan....................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1         Definisi Toksikologi Obat  ........................................................... 4
2.2         Model Masuk dan Daya Keracunan ............................................. 5
2.3         Klasifikasi Daya keracunan .......................................................... 9
2.4         Keracunan Obat Spesifik .............................................................. 10
http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 2/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

2.5         Penatalaksanaan keracunan dan Overdosis .................................. 19

BAB III PENUTUP
3.1         Kesimpulan.................................................................................... 33
3.2         Saran.............................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 35

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Keracunan  akut  terjadi  lebih  dari  sejuta  kasus  dalam  setiap  tahun,  meskipun  hanya
sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan mengkonsumsi
obat  secara  overdosis  oleh  remaja  maupun  orang  dewasa.  Kematian  pada  anak  akibat
mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang toksik telah berkurang secara nyata
dalam  20  tahun  terakhir,  sebagai  hasil  dari  kemasan  yang  aman  dan  pendidikan  yang
efektif untuk pencegahan keracunan.
Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis yang cepat
dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan hati­hati pada korban
yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani korban.
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari  tentang efek merugikan dari
bahan kimia terhadap organisme hidup. Bahan – bahan yang terkandung pada jenis obat –
obatan, baik obat modern  maupun  obat  tradisional.  Sebagian  dari  masyarakat Indonesia
lebih  cenderung  mengkonsumsi  obat­obatan  tanpa  mengetahui  ada  dan  tidaknya  efek
toksik  dari  obat  yang  dikonsumsi.  hal  ini  dikarenakan  masih  kurangnya  pengetahuan
masyarakat  umum  tentang  adanya  efek  toksik  yang  dapat  ditimbulkan  dari
mengkonsumsi obat selain itu juga dikarenakan minimnya jenis obat – obatan yang telah
diteliti dan diketahui kadar toksisitasnya.
Uji  toksisitas  sangatlah  diperlukan  untuk  menilai  keamanan  suatu  obat.  hal  ini
dilakukan untuk menghindari adanya efek negatif yang timbul bagi kesehatan, baik efek
secara  langsung  maupun  di  masa  depan.  Salah  satu  organ  pada  tubuh  manusia  yang
sangat  penting  adalah  hepar,  hepar  memiliki  fungsi  untuk  memetabolisme  semua  jenis
bahan  obat  serta  bahan­bahan  asing  yang  masuk  ke  tubuh  manusia,  sehingga  apabila
terjadi proses sekresi melalui empedu, maka akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang
disebabkan penumpukan xenobiotik di dalam hepar.
Dal  hal  ini  terapi  antidote  merupakan  tatacara  yang  secara  khusus  ditujukan  untuk
membatasi  intensitas  (kekuatan)  efek  toksik  zat  kimia  atau  menyembuhkan  efek  toksik
zat  kimia  atau  menyembuhkan  efek  toksik  yang  ditimbulkannya,  sehingga  bermanfaat
dalam  mencegah  timbulnya  bahaya  lebih  lanjut.  Berarti,  sasaran  terapi  antidot  adalah
pengurangan  intensitas  efek  toksik  (Donatus,1997).  Perlu  dicatat,  strategi  terapi  antidot
mana  yang  akan  diambil,  sepenuhnya  bergantung  pada  pengetahuan  atau  informasi

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 3/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

tentang  rentang  waktu  antara  saat  pemejanan  bahan  berbahaya,  saat  timbulnya  gejala­
gejala  toksik  dan  saat  penderita  siap  menjalankan  terapi.  Karena  pengetahuan  ini
diperlukan  untuk  memprakirakan  dominasi  tahapan  nasib  bahan  berbahaya  di  dalam
tubuh.  Misal  bahan  berbahaya  diprakirakan  sudah  terabsorpsi  sempurna,  maka  tindakan
penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan
penghambatan  distribusi  atau  peningkatan  eliminasinya.  Misalnya  sekarang,  bagaimana
tatacara pelaksanaannya masing masing strategi tersebut (Donatus, 1997).
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode yang tak
khas  atau  metode  yang  khas.  Dimaksud  dengan  metode  tak  khas  ialah  metode  umum
yang adapat diterapkan terhadap sebagian besar zat beracun. Metode khas ialah metode
yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya
tersedia (Donatus,1997).

1.2.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a.    Apa definisi dari toksikologi obat?
b.    Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
c.    Apa saja klasifikasi daya keracunan?
d.   Apa saja yang termasuk keracunan obat spesifik?
e.    Bagaimana penatalaksanaan keracunan dan overdosis?

1.3.   Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui definisi dari toksikologi obat
b.      Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat
c.       Mengetahui klasifikasi daya keracunan
d.      Mengetahui apa saja keracunan obat spesifik
e.       Mengetahui penatalaksanaan keracunan dan overdosis

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 4/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Toksikologi Obat
Secara  sederhana  dan  ringkas,  toksikologi  dapat  didefinisikan  sebagai  kajian  tentang
hakikat  dan  mekanisme  efek  berbahaya  (efek  toksik)  berbagai  bahan  kimia  terhadap
makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif
tentang  berat  dan  kekerapan  efek  tersebut  sehubungan  dengan  terpejannya  (exposed)
makhluk tadi.
Toksisitas  merupakan  istilah  relatif  yang  biasa  dipergunakan  dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa
satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif,
kecuali  jika  pernyataan  tersebut  melibatkan  informasi  tentang  mekanisme  biologi  yang
sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya.
Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek
zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya
zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit,
atau  dihasilkan  di  dalam  tubuh  dalam  jumlah  yang  relatif  kecil  dapat  mengakibatkan
cedera  dari  tubuh  dengan  adanya  reaksi  kimia.  Racun  merupakan  zat  yang  bekerja  pada
tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan
kesehatan  atau  mengakibatkan  kematian.  Racun  dapat  diserap  melalui  pencernaan,
hisapan,  intravena,  kulit,  atau  melalui  rute  lainnya.  Reaksi  dari  racun  dapat  seketika  itu
juga, cepat, lambat atau secara kumulatif. 10
Sedangkan  definisi  keracunan  atau  intoksikasi  menurut  WHO  adalah  kondisi  yang
mengikuti  masuknya  suatu  zat  psikoaktif  yang  menyebabkan  gangguan  kesadaran,
kognisi,  persepsi,  afek,  perlaku,  fungsi,  dan  repon  psikofisiologis.  Sumber  lain
menyebutkan  bahwa  keracunan  dapat  diartikan  sebagai  masuknya  suatu  zat  kedalam
tubuh yang dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai
dapat menyebabkan kematian.
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di gunakan
dalam  menentukan  diagnosis,  mencegah,  mengurangi,  menghilangkan,  menyembuhkan
penyakit  atau  gejala  penyakit,  luka  atau  kelainan  badaniah  atau  rohaniah  pada  manusia
atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang yang
menderita  akibat  keracunan  obat.  Oleh  karena  itu,  dapat  dikatakan  bahwa  obat  dapat
bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai
obat  apabila  tepat  digunakan  dalam  pengobatan  suatu  penyakit  dengan  dosis  dan  waktu
http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 5/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang
berlebih  maka  akan  menimbulkan  keracunan.  Dan  bila  dosisnya  kecil  maka  kita  tidak
akan memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).
Toksisitas  atau  keracunan  obat  adalah  reaksi  yang  terjadi  karena  dosis  berlebih  atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.

2.2  Model Masuk Dan Daya Keracunan
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit, atau
dihasilkan  di  dalam  tubuh  dalam  jumlah  yang  relative  kecil  dapat  mengakibatkan
cederadari tubuh dengan adanya rekasi kimia (Brunner & Suddarth, 2001). Arti lain dari
racun  adalah  suatu  bahan  dimana  ketika  diserap  oleh  tubuh  organisme  makhluk  hidup
akan menyebabkan kematian atau perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui
pencernaan,  hisapan,  intravena,  kulit,  atau  melalui  rute  lainnya.  Reaksi  dari  racun  dapat
seketika  itu  juga,  cepat,  lambat,  atau  secara  kumulatif.  Keracunan  dapat  diartikan
sebagaisetiap  keadaan  yang  menunjukkan  kelainan  multisystem  dengan  keadaan  yang
tidak  jelas  (Arif  Mansjor,  1999).  Keracunan  melalui  inhalasi  (  pengobatan  dengan
cara  memberikanobat  dalam  bentuk  uap  kepada  si  sakit  langsung  melalui  alat
pernapasannya  (hidung  ke  paru­paru))  dan  menelan  materi  toksik,  baik  kecelakaan  dank
arena kesengajaanmerupakan kondisi bahaya kesehatan.
Jenis­jenis keracunan menurut (FK­UI, 1995) yaitu :
1.      Cara terjadinya terdiri dari:
a.       Self poisoning
Pada  keadaan  ini  pasien  memakan  obat  dengan  dosis  yang  berlebih  tetapi
dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan. Pasien tidak bermaksud
bunuhdiri tetapi hanya untuk mencari perhatian saja.
b.      Attempted Suicide
Pada  keadaan  ini  pasien  bermaksud  untuk  bunuh  diri,  bisa  berakhir
dengankematian  atau  pasien  dapat  sembuh  bila  salah  tafsir  dengan  dosis  yang
dipakai.
c.       Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor kesengajaan.
d.      Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni
orang lain.
2.      Mulai waktu terjadi
a.       Keracunan kronik
Keracunan  yang  gejalanya  timbul  perlahan  dan  lama  setelah  pajanan.  Gejala
dapat timbul secara akut setalah pemajanan berkali­kali dalam dosis relative kecil
ciri khasnya adalah zat penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh
lebih  panjang  sehingga  terjadi  akumulasi.  Keracunan  ini  diakibatkan  oleh
keracunan bahan­bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus menerus dan efeknya
baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu, bulan, atau tahun). Misalnya,
menghirup  uap  benzene  dan  senyawa  hidrokarbon  terkklorinasi  (spt.  Kloroform,

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 6/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

karbon  tetraklorida)  dalam  kadar  rendah  tetapi  terus  menerus  akan  menimbulkan
penyakit  hati  (lever)  setelah  beberapa  tahun.  Uap  timbal  akan  menimbulkan
kerusakan dalam darah.
b.      Keracunan akut
Biasanya  terjadi  mendadak  setelah  makan  sesuatu,  sering  mengenai  banyak
orang  (pada  keracunan  dapat  mengenai  seluruh  keluarga  atau  penduduk
sekampung  )  gejalanya  seperti  sindrom  penyakit  muntah,  diare,  konvulsi  dan
koma. Keracunan ini juga karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang akibatnya
dapat  dilihat  atau  dirasakan  dalam  waktu  pendek.  Contoh,  keracunan  fenol
menyebabkan diare dan gas CO dapat menyebabkan hilang kesdaran atau kematian
dalam waktu singkat.
3.      Menurut alat tubuh yang terkena
Pada  jenis  ini,  keracunan  digolongkan  berdasarkan  organ  yang  terkena,  contohnya
racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.
4.      Menurut jenis bahan kimia
Golongan  zat  kimia  tertentu  biasanya  memperlihatkan  sifat  toksik  yang  sama,
misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan sebagainya.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi), melalui
tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking, dan laba­laba) dan gigitan
ular,  melalui  makanan  yaitu  keracunan  yang  disebabkan  oleh  perubahan  kimia  (fermentasi)
dan  pembusukan  karena  kerja  bakteri  (daging  busuk)  pada  bahan  makanan,  misalnya  ubi
ketela (singkong) yang mengandung asam sianida (HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun
pada  udang  maupun  kepiting,  dan  keracunan  juga  dapat  disebabkan  karena  penyalahgunaan
zat  yang  terdiri  dari  penyalahgunaan  obat  stimultan  (Amphetamine), depresan (Barbiturate),
atau halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.

Racun yang sering menyebabkan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan


keracunan dan simptomatisnya: hidung
Asam kuat (nitrit, hidroklorid,
sulfat)
Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan *gelap* pada kulit wajah dan
leher
Asenik (metal arsenic, mercuri, Umumnya seperti diare
tembaga, dll)
Atropine (belladonna), Dilatasi pupil
Skopolamin
Basa kuat (potassium, Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
hidroksida) hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah, dan
bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 7/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Opiat Kontraksi pupil


Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Striknin Kejang “konvulsi”, muka dan
leher kebiruan “gelap”

Jika  kita  sehari  –  hari  bekerja,  atau  kontak  dengan  zat  kimia,  kita  sadar  dan  tahu
bahkan  menyadari  bahwa  setiap  zat  kimia  adalah  beracun,  sedangkan  untuk  bahaya  pada
kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat kimia yang masuk kedalam tubuh.
Seperti  garam  dapur,  garam  dapur  merupakan  bahan  kimia  yang  setiap  hari  kita
konsumsi  namun  tidak  menimbulkan  gangguan  kesehatan.  Namun,  jika  kita  terlalu  banyak
mengkonsumsinya,  maka  akan  membahayakan  kesehatan  kita.  Demikian  juga  obat  yang
lainnya,  akan  menjadi  sangat  bermanfaat  pada  dosis  tertentu,  jangan  terlalu  banyak  ataupun
sedikit lebih baik berdasarkan resep dokter.
Bahan­bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga saluran,
yakni:
a.       Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per­oral atau ingesti. Hal ini sangat
jarang  terjadi  kecuali  kita  memipet  bahan­bahan  kimia  langsung  menggunakan
mulut atau makan dan minum di laboratorium.
b.      Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah aniline,
nitrobenzene, dan asam sianida.
c.              Melalui  pernapasan  (inhalasi).  Gas,  debu  dan  uap  mudah  terserap  lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan yang
terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat pada jalan
pernapasan.  Sedangkan  HCN,  CO,  H2S,  uap  Pb  dan  Zn  akan  segera  masuk  ke
dalam darah dan terdistribusi ke seluruh organ­organ tubuh.
d.      Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
e.       Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).

2.3  Klasifikasi Daya Keracunan
Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat­sangat toksik, sedikit toksik dan lain­lain.
1.            Super  Toksik  :  Struchnine,  Brodifacoum, Timbal,  Arsenikum,  Risin,  Agen  Oranye,
Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2.      Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat
3.      Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4.      Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)

Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis


penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 8/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB


5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB

2.4  Keracunan Obat Spesifik 
1.      Asetaminofen
Efek toksik :
a.       Keracunan akut
­          Bia terjadi dalam 2­4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis, pucat,
depresi SSP
­                    Bila  sudah  24­48  jam:  tanda­tanda  hepatotoksis  (nyeri  abdomen  RUQ,
hematomegali ringan)
  Prothrombine time mamanjang
  Bilirubin serum meningkat
  Aktivitas transaminase meningkat
  Gangguan fungsi ginjal
b.      Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
  Prothrombine time mamanjang > 2x
  Bilirubin serum > 4 mg/dl
  pH < 7,3
  Kreatinin serum > 3,3
c.       Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada penderita alkoholik,
dapat  sekaligus  terjadi  insufiensi  hati  &  ginjal  yang  berat,  disertai  dehidrasi,
icterus, koaguloathi, hipoglikemi, dan ATN.

Terapi :
a.       Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif
b.      Keracunan dalam 8­10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
    Antidote  :  N­acetylcysteine  p.o  yang  dilarutkan  dalam  cairan  (bukan  alcohol,
bukan  susu)  dengan  perbandinagn  3:1  Loading  dose  :  140  mg/kgBB.
Maintenance  dose  70  mg/kgBB  tiap  4  jam  (dapat  diulang  sampai  17x).  efek
samping : mual, muntah, epigastric discomfort.
  Antiemetic (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)
  Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
  Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati
2.      Obat Anti Kolinergik
Keracunan  akut  terjadi  dalam  1  jam  setelah  overdosis.  Keracunan  kronik  dalam  1­3
hari setelah pemberian terapi dimulai.
Efek Toksik :
a.  Manifestasi  SSP  :  agitasi,  ataksia,  konfusi,  delirium,  halusinasi,
           

gangguan pergerakan (choreo­athetoid dan gerakan memetik)
b.      Letargi
c.       Depresi nafas

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 9/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

d.      Koma
e.       Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil, kulit &
mukosa  menjadi  kering,  retensi  urine,  menimgkatnya  nadi,  tensi,  respirasi,  dan
suhu.
f.        Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabdomiolisis
dan hipertermi
g.      Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h.            Overdosis AH2  (astemizol  dan  terfenadin)  :  pemanjangan  interval  DT  dengan
takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a.       Korban aktif
b.      Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c.       Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d.            Agitasi  yang  tidak  terkontrol  dan  delirium,  antidote  :    physostigmine
(inhibitorasetilkolin­esterase).  Dosis  :  1­2  mg  i.v.  dalam  2­5  menit  (dosis  dapat
diulang)
e.              Kontraindikasi  physostigmine  :  penderita  dengan  kejang,  koma,  gangguan
konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.
3.      Benzodiazepine
Efek Toksik
a.       Eksitasi paradoksal
b.      Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c.  Koma  dan  depresi  nafas  (pada  ultra­short  acting    benzodiazepin  dan
           

kombinasi benzodiazepine­depresan SSP lainnya)
Terapi over dosis benzodiazepine
a.       Karbon aktif 
b.      Respiratory support bila perlu
c.       Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)
Dosis  :  0,1  mg  i.v.  dengan  interval  1  menit  sampai  dicapai  efek  yang  diinginkan
atau  mencapai  dosis  kumulatif  (3  mg).  bila  terjadi  replase,  dapat  diulang  dengan
interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3 mg/jam.
Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan trisiklik antidepresan,
atau penderita ketergantungan benzodiazepine.
Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.
4.      ­Blocker
Efek toksik :
Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.
a.       Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b.      ­blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c.       Efek toksik pada SSP : kejang
d.      Kulit : pucat & dingin
e.       Jarang : bronkospasme dan edema paru
f.       Hiperkalemi

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 10/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

g.      Hipoglikemi
h.      Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi nafas)
i.        EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar, asistol
j.        Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de pointes
Terapi :
a.       Karbon aktif
b.      Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
c.       Pada keracunan berat :
1.      Glukagon; dosis inisial : 5­10 mg dilanjutkan1­5 mg/jam via infus
2.      Calcium
3.      Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
4.      Pacu jantung (internal/eksternal)
5.      IABP
a)            Pada  kejadian  bronkospasme  :  inhalasi  ­agonis,  epinefrin  s.c.,
aminofilin i.v.
b)            Pada  sotalol­induced  ventricular  tachyarrhythmia  :  lidokain,  Mg,
overdrive pacing
c)            Pada  overdosis  atenolol,  metoprolol,  nadolol,  dan  sotalol  :  dapat
dilakukan prosedur ekstrakorporeal
5.      Calcium Channel Blocker (CCB)
Efek toksik :
mulai terjadi dalam 2­18 jam, berupa :
a.       Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b.      Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c.       Kejang
d.      Hipotensi  iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard  edema paru
e.              EKG  :  berbagai  derajat  AV  block,  QRS  lebar  dan  pemanjangan  interval  QT
(terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark, asistol
f.       Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g.      Hiperglikemi
Terapi :
a.       Karbon aktif
b.      Pada bradikardi simptomatis :
1)      atropin
2)            Calcium,  dosis  inisial  :  CaCl2  10%  10cc  atau  Ca  glukonas  10%  30  cc  i.v.
dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x).
i. Bila terjadi relaps setelah dosis inisial, diberikan infus calcium kontinu
                                                                     

: 0,2 cc/kgBB/jam sampai maksimal 10cc/jam.
3)      isoproterenol
4)      glukagon (dosis seperti pada overdosis ­blocker)
5)      electrical pacing (internal/eksternal)
c.       Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 11/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

d.       Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha­usaha untuk mengembalikan
metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas miokard dengan : regular
insulin  dosis  tinggi  (0,1  –  0,2  U/kgBB  bolus  i.v.  diikuti  dengan  0,1  –  1
U/kgBB/jam,  bersama  dengan  glukosa  25  gr  bolus,  diikuti  infus  glukosa  20%  1
gr/kgBB/jam, serta kalium).
e.       Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan cairan.
f.       Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)
g.      Pada shock refrakter : I A B P.
6.      Karbon Monoksida
Efek toksik :
a.              Hipoksia  jaringan,  dengan  :  metabolisme  anaerob,  asidosis  laktat,  peroksidasi
lemak, dan pembentukan radikal bebas.
b.      Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c.       Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,
d.      Kekakuan, dan pingsan
e.       Mual, muntah, diare
f.       Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
g.            Gangguan  kardiovaskuler  :  nyeri  dada  iskemik,  aritmia,  gagal  jantung,  dan
hipotensi
h.      Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat­tempat yang tertekan
i.        Creatin kinase serum meningkat
j.        Laktat dehidrogenase serum meningkat
k.      Nekrosis otot  mioglobinuria  gagal ginjal
l.                Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai edema
papil atau atrofi optic
m.    Metabolik asidosis
n.      Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO­oxymetry)
o.      Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna merah ceri)
p.            Penderita  yang  sampai  tidak  sadar  beresiko  mengalami  sekuele  neuropsikiatrik
(perubahan  kepribadian,  gangguan  kecerdasan,  buta,  tuli,  inkoordinasi,  dan
parkinsonism) dalam 1­3 minggu setelah paparan
7.      Glikosida Jantung
Dicurigai  keracunan  bila  pada  penderita  yang  mendapatkan  digoksin  denyut  jantung
yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau terdapat irama jantung yang ireguler
dengan konsisten.
Efek toksik :
a.          Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b.          Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel­sel konduksi; meningkatnya
after depolarization
c.                    EKG  :  bradidisritmia,  triggered  takidisritmia,  sinus  aritmia,  sinus  bradikardi,
berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature, bigemini, VT, VF
d.          Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT  dengan AV
block derajat 2;   AF dengan AV block derajat 3) atau adanya  bi­directional VT )

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 12/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

sangat sugestif untuk menilai adanya keracunan glikosida jantung
e.          Muntah
f.           Konfusi, delirium
g.          Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h.          Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i.            Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia
Terapi :
a.       Karbon aktif dosis berulang

b.      Koreksi K, Mg, Ca

c.       Koreksi hipoksia

d.      Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine, epinefrin, dan
dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15 mg/kg), serta isoproterenol

e.       Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan amiodaron

f.       Pada disritmia yang life­threatening : terapi antidot dengan digoxin­specific Fab­

fragmen  antibodies  i.v.  dalam  >15­30  menit.  Tiap  vial  antidot  (40  mg)  dapat

menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada keracunan akut diperlukan 1­4 vial;

pada kronik 5­15 vial.
g.            Pada  keracunan  akut  yang  berat  dengan  kadar  kalium  serum  >=  5,5  mEq/lt

(walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.

h.      Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)

i.        Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)
8.      Obat­obatan golongan NSAID
Efek toksik :
a.       Mual, muntah, nyeri perut
b.      Mengantuk, sakit kepala
c.       Glikosuri, hematuri, proteinuria
d.      Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
e.       Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat
f.              Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi nafas,
kejang,  kolaps  kardiovaskular.  Fenilbutazon  relatif  sering  mengakibatkan  :
asidosis metabolic.
g.      Ibuprofen  : asidosis metabolik, koma, dan kejang
h.      Ketoprofen dan naproxen : kejang
Terapi :
a.       Karbon aktif dosis berulang
b.      Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.
SALISILAT (termasuk aspirin)
Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna ungu.

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 13/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Efek toksik (mulai terjadi dalam 3­6 jam setelah overdosis >= 150 mg/kgBB) :
a.              Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea   dehidrasi  dan  menurunnya  fungsi
ginjal
b.      Demam, tinitus, letargi, konfusi
c.              Pada  awalnya  terjadi  alkalosis  respiratorik  dengan  kompensasi  ekskresi 
 bikarbonat melalui urine
d.      Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan ketosis
e.       Alkalemia dan asiduria paradoksal
f.       Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g.      Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h.      Prothrombin time memanjang
i.                Pada  keracunan  berat  dapat  terjadi  :  koma,  depresi  nafas,  kejang,  kolaps
 kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non­kardiak & kardiak). Saat ini terjadi
asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan alkalosis/asidosis respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :
a.              Karbon  aktif  dosis  berulang  masih  berguna  walaupun  keracunan  sudah  terjadi
dalam 12­24 jam
b.      Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya dilakukan lavase
lambung dan irigasi seluruh usus
c.       Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar lambung
d.      Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar glukosanya terus
dipantau
e.       Saline i.v. sampai beberapa liter
f.       Suplemen glukosa
g.      Oksigen
h.      Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic
i.        Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
j.                Alkalinisasi  urine  (sampai  pH  8)  dan  diuresis  saline.  Kontraindikasi  diuresis:
edema otak/paru, gagal ginjal
k.            50­150  mmol  bikarbonat  (+  kalium)  yang  ditambahkan  pada  1  lt  cairan  infus
saline­dekstrose dengan kecepatan 2­6 cc/kgBB/jam
l.        Monitor kadar elektrolit, calcium, asam­basa, pH urine, dan balans cairan
m.        Hemodialisis  dilakukan  pada  intoksikasi  berat  (kadar  salisilat  mendekati/>100
mg/dl  setelah  overdosis  akut,  atau  bila  ditemukan  kontraindikasi/kegagalan
prosedur di atas

2.5  Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis
a.    Prinsip umum.
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda­tanda vital, mencegah
absorpsi  racun  lebih  lanjut,  mempercepat  eliminasi  racun,  pemberian  antidot  spesifik,  dan
mencegah paparan ulang.

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 14/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Terapi  spesifik  tergantung  dari  identifikasi  racun,  jalan  masuk,  banyaknya  racun,
selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan farmakodinamik
dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan amatlah penting.
Selama  fase  pretoksik,  sebelum  onset  keracunan,  prioritas  pertama  adalah
dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan singkat
Juga  disarankan  pemasangan  i.v.  line  dan  monitoring  jantung,  khususnya  pada  penderita 
keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara lambat
atau  akan  terjadi  kerusakan  ireversibel,  sebaiknya  dilakukan  pemeriksaan  toksikologi  darah
dan  urin,  serta  dilakukan  pemeriksaan  kuantitatif  bila  ada  indikasi.  Selama  absorpsi  dan
distribusi  berlangsung,  kadar  racun  dalam  darah  akan  lebih  tinggi  dibandingkan  kadar  di
jaringan,  sehingga  tidak  berhubungan  dengan  toksisitasnya.  Namun  bila    metabolit  racun   
tinggi kadarnya dalam darah dan lebih toksik dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen
glikol, atau methanol), maka diperlukan intervensi tambahan (antidot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4­6 jam,
dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila terdapat keracunan per
oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas usus dimana disolusi,
absorpsi,  dan  distribusi  racun  dengan  sendirinya  juga  lebih  lambat.  Pada  racun  yang  dalam
tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya efek
puncak,  penatalaksanaan  berdasarkan  pada  penemuan  klinis  dan  laboratorium.    Setelah
overdosis, akan segera timbul efek­efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap
bertahan  lebih  lama  dibandingkan  bila  obat  tersebut  diberikan  pada  dosis  terapi.  Prioritas
pertama  untuk  dilakukan  adalah  resusitasi  dan  stabilisasi.  Terhadap  semua  pasien  yang
simtomatis  harus  dilakukan    pemasangan  i.v.  line,  penentuan  saturasi  oksigen,  monitoring
jantung,  dan  observasi  kontinu.  Pemeriksaan  laboratorium  dasar,  EKG,  dan  x­ray  dapat
berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma maupun
kejang,  harus  dipertimbangkan  pemberian  glukosa  i.v.  (kecuali  bila  kadarnya  normal),
naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
Harus  dipikirkan  manfaat  dan  resikonya  bila  dilakukan  upaya  percepatan  eliminasi
racun.  Syaratnya  adalah  diagnosis  pasti  dengan  konfirmasi  laboratoris.  Dialisis  intestinal
dengan  pemberian  karbon  aktif  berulang  biasanya  aman  dan  dapat  mempercepat  eliminasi.
Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat eliminasi sejumlah kecil racun, serta memiliki
potensi komplikasi.   Metode ekstrakorporeal efektif untuk mengeluarkan banyak racun, tetapi
biaya dan resikonya juga besar, sehingga penggunaanya terbatas pada.keracunan berat.
Selama  fase  resolusi,  perawatan  suportif  dan  monitoring  harus  kontinu  dilakukan
sampai  abnormalitas  klinis,  laboratoris,  maupun  EKG  membaik.  Karena  bahan­bahan  kimia
dalam  darah  lebih  dulu  dieliminasi  dibandingkan  yang  dari  jaringan,  maka  kadarnya  dalam
darah  selalu  lebih  rendah  dari  kadarnya  di  jaringan  sehingga  tidak  berkorelasi  dengan
toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan dapat
menyebabkan  peningkatan  balik  racun  dalam  darah  setelah  selesainya  prosedur  ini.  Bila
metabolit  racun  yang  menyebabkan  efek  toksiknya,  maka  pada  penderita  yang  telah

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 15/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

asimtomatis  tetap  harus  diberikan  terapi  karena  masih  terdapat  potensi  toksik  kadarnya
metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
b.   Perawatan suportif
Tujuan  dari  terapi  suportif  adalah  adalah  untuk  mempertahankan  homeostasis
fisiologis  sampai  terjadi  detoksifikasi  lengkap,  dan  untuk  mencegah  serta  mengobati
komplikasi  sekunder  seperti  aspirasi,  ulkus  dekubitus,  edema  otak  &  paru,  pneumonia,
rhabdomiolisis,  gagak  ginjal,  sepsis,  penyakit  thromboembolik,  dan  disfungsi  organ
menyeluruh  akibat  hipoksia  atau  syok  berkepanjangan.  Indikasi  untuk  perawatan  di  ICU
adalah sebagai berikut:
1.      Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas konduksi
jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)
2.            Penderita  yang  perlu  monitoring  ketat,  antidot,  maupun  terapi  percepatan
eliminasi racun
3.      Penderita dengan kemunduran klinis progresif
4.      Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita  keracunan  ringan  sampai  sedang  dapat  dikelola  pada  pelayanan  kesehatan
umum,  intermediate  care  unit,  diobservasi  di  UGD,  tergantung  dari  lamanya  kejadian
keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis intermiten vs kontinu, monitoring
jantung dan pernafasan).
Penderita  percobaan  bunuh  diri  membutuhkan  observasi  dan  pemeriksaan  kontinu
untuk  mencegah  mereka  melukai  diri  sendiri,  sampai  tidak  mungkin  lagi  dilakukan  upaya­
upaya lebih lanjut.

c.    Penatalaksanaan problem respirasi
Intubasi  endotrakheal  untuk  mencegah  aspirasi  isi  lambung  amat  penting  untuk
dilakukan  pada  penderita  :  depresi  SSP  atau  kejang,  karena  komplikasi  ini  dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi sering tidak
akurat,  perlunya  oksigenasi  dan  ventilasi  paling  baik  ditentukan  dari  pemeriksaan  oksimetri
atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat dipercaya untuk menilai
perlunya  intubasi.  Paling  baik  dilakukan  intubasi  profilaksis  pada  penderita  yang  tidak
mampu  berespon  terhadap  suara,  maupun  yang  tidak  mampu  duduk  atau  minum  tanpa
dibantu.
Ventilasi  mekanik  diperlukan  pada  penderita  depresi  nafas,  hipoksia,  dan  untuk
memfasilitasi  sedasi  terapeutik  atau  paralysis  untuk  mencegah  hipertermia,  asidosis,  dan
rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas neuromuskuler.
Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non­kardiak. Edema paru kardiak
biasanya  pada  penderita  depresi  SSP  dan  penderita  abnormalitas  konduksi  jantung
Pengukuran  tekanan  arteri  pulmoner  penting  untuk  mengetahui  etiologi  dan  dapat  langsung
sebagai terapi.
  Pada  gagal  nafas  berat  yang  reversibel,  dilakukan  pengukuran  ekstrakorporeal  (
oksigenasi  membran,  perfusi  venoarterial,  bypass  kardiopulmoner),  ventilasi  parsial  cairan
(perfluorokarbon), dan terapi oksigen hiperbarik.

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 16/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

d.   Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk pemulihan tuntas ketika
racun  sudah  dieliminasi.  Bila  terjadi  hipotensi  yang  tidak  responsif  dengan  ekspasi  volume,
dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine dosis tinggi.
Pada  gagal  jantung  berat  yang  reversibel,  dapat  dilakukukan  tindakan  intraaortic
balloon  pump  counterpulsation,  dan  tehnik  perfusi  venoarterial  atau  kardiopulmoner.  Pada
keracunan ­blocker dan calcium  channel  blocker,  efektif    diberikan  glukagon  dan  kalsium.
Terapi antibodi antidigoxin dan pemberian Mg diindikasikan untuk kasus keracunan glikosida
jantung yang berat.
SVT  yang  berkaitan  dengan  hipertensi  dan  eksitasi  SSP  hampir  selalu  disebabkan
karena  agen  yang  mengakibatkan  eksitasi  fisiologik  secara  menyeluruh.  Kebanyakan
kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan hanya memerlukan observasi  atau sedasi
nonspesifik  dengan  benzodiazepin.  Sedangkan  SVT  tanpa  hipertensi  pada  umumnya
merupakan  akibat  sekunder  dari  vasodilatasi  atau  hipovolemia,  dan  berespon  dengan
pemberian  cairan.  Terapi  spesifik  diindikasikan  untuk  kasus  berat  atau  yang  berhubungan
dengan instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia.
Untuk  penderita  dengan  hiperaktivitas  simpatik,  terapi  dengan  kombinasi    dan  
blocker  (labetalol),  calcium  channel  blocker  (verapamil  atau  diltiazem),  atau  kombinasi  
blocker – vasodilator (esmolol dan nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk penderita
keracunan antikolinergik, terapi terpilihnya adalah pemberian physostigmine.
Pada  VT  (ventricular  tachyarrhytmia)  umumnya  aman  bila  diberikan  lidokain  dan
fenitoin. Namun pemberian  blocker dapat berbahaya, kecuali bila aritmia jelas disebabkan
karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi kelas IA, IC, dan III merupakan kontraindikasi
untuk diberikan pada VT karena antidepresan trisiklik dan karena obat­obatan membran aktif
(karena  efek  elektrofisiologik  yang  mirip),  tetapi  pemberian  sodium  bicarbonate  dapat
membantu.
  Penderita  dengan  torsade  de  pointes  dan  pemanjangan  interval  QT,  pemberian  Mg
sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau pacemaker) akan membant.
Rekaman  EKG  invasive  (esofagel  atau  intracardiak),  dibutuhkan  untuk  menentukan
dari mana takikardia kompleks lebar berasal (ventricular atau supraventricular).
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja daripada diterapi
dengan  obat  yang  potensial  proaritmia.  Aritmia  dapat  resisten  terhadap  terapi  sampai
keseimbangan asam­basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan suhu   dikoreksi.
e.    Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke hipertermia,
asidosis  laktat,  dan  rhabdomiolisis  dengan  komplikasinya,  dan  harus  diterapi  secara  agresif.
Kejang  akibat  stimulasi  berlebihan  reseptor  katekolamin  (pada  keracunan  simpatomimetik
atau halusinogen dan putus obat) atau kejang akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan
INH)  atau  kejang  karena  reseptor  glisin  (keracunan  strichnin),  paling  baik  diterapi  dengan
peningkatan  efek  GABA  seperti  dengan  pemberian  :  benzodiazepin  dan  barbiturat.  Terapi
dengan ke­2 obat ini sekaligus lebih efektif karena masing­masing bekerja dengan efek yang
berlainan.  Benzodiazepin  meningkatkan  frekuensi,  sedangkan  barbiturat  memanjangkan
lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon GABA.
http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 17/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Kejang  yang  disebabkan  INH,  yang  menghambat  sintesis  GABA  memerlukan


piridoksin  dosis  tinggi  yang  memfasilitasi  sintesis  GABA.  Kejang  yang  berasal  dari
destabilisasi  membran  (keracunan    blocker  antidepresan  siklik)  akan  memerlukan  anti
konvulsan membran aktif seperti fenitoin sebagaimana yang meningkatkan GABA.
Pada  keracunan  dopaminergik  sentral  (seperti  phencyclidine),  pemberian  agen  yang
aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan berguna. Pada keracunan antikolinergik dan
sianida,  diperlukan  terapi  antidot  spesifik.  Sedangkan  kejang  yang  terjadi  sekunder  akibat
iskemi,  edema,  atau  abnormalitas  metabolik,  harus  dikoreksi  dari  penyakit  dasarnya.  Pada
kejang  refrakter  diindikasikan  upaya  paralisis  neuromuskuler.  Monitoring  EEG  dan  terapi
berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan neurologik permanen. Keadaan suhu yang
ekstrim,  abnormalitas  metabolik,  disfungsi  hati  &  ginjal,  dan  komplikasi  sekunder  harus
diterapi sesuai standar.    

f.     Pencegahan  Absorpsi  Racun
1.    Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu  tidaknya  dilakukan  dekontaminasi  gastrointestinal  dan  prosedur  mana
yang  akan  dipakai,  tergantung  dari  :  waktu  sejak  racun  tertelan,  toksisitas  bahan
yang  telah  &  akan  terjadi  kemudian,  availabilitas,  efikasi,  dan  kontraindikasi  dari
prosedur; serta beratnya keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan
sukarelawan menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase lambung, dan
sirup  ipecac  menurun  sesuai  jangka  waktu  keracunan.  Tidak  cukup  data  untuk
menunjang/mengekslusi  manfaat  penggunaan  hal­hal  tsb.  pada  keracuan  yang
sudah lebih dari 1 jam.
Rata­rata  waktu  terapi  dekontaminasi  gastrointestinal  yang  disarankan  adalah
lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari
sejak racun tertelan sampai timbul gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita
akan  sembuh  dari  keracunan  dengan  semata­mata  perawatan  suportif  yang  baik,
namun  komplikasi  dari  dekontaminasi  gastrointestinal  khususnya  aspirasi,  dapat
memanjangkan  proses  ini.  Karena  itu  prosedui  ini  dilakukan  secara  selektif  dan
bukan  rutin.  Prosedur  ini  jelas  tidak  diperlukan  bilamana  toksisitas  diperkirakan
minimal  atau  waktu  terjadinya  efek  toksik  maksimal  sudah  terlewati  tanpa  efek
signifikan.
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya & komplikasinya lebih
sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai, dibandingkan ipecac atau lavase
lambung.  Karbon  aktif    merupakan  metoda  dekontaminasi  gastrointestinal  yang
terpilih  untuk  sebagian  besar  kasus  keracunan.  Karbon  aktif  disiapkan  sebagai
suspensi  dalam  air,  baik  sendiri  atau  dengan  suatu  katartik.  Diberikan  per  oral
melalui  botol  susu  pada  bayi  atau  melalui  cangkirsedotan,  atau  NGT  berkaliber
kecil.  Dosis  yang  direkomendasikan  :  1  gr/kgBB  dengan  8  ml  pelarut  untuk  tiap
gram  karbon  aktif.  Untuk  memperbaiki  rasanya,  dapat  ditambahkan  pemanis
(sorbitol), atau penambah rasa (ceri, coklat, atau cola) dalam suspensinya.
Karbon menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan kompleks
karbon­toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat juga dikeluarkan dari

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 18/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

lambung dengan induksi muntah atau lavase. Secara in vitro, karbon menyerap >=
90%  dari  sebagian  besar  jenis  racun  bila  diberikan  dalam  jumlah10x  lipat  berat
racun.
Bahan  kimia  yang  terionisasi  (asam  &  basa  mineral),  garam  sianida  yang
terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya, tidak
diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan, karbon rata­
rata akan menyerap 73% ingestan bila diberikan dalam 5 menit setelah pemberian
ingestan,  menyerap  51%  bila  diberikan  dalam  30  menit,  dan  36%  dalam  1  jam.
Karbon  paling  tidak  sama  efektifnya  dengan  sirup  ipecac  atau  lavase  lambung.
Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan pemberian karbon aktif lebih efektif
daripada  karbon  aktif  saja;  pemberian  karbon  aktif  sebelum  dan  sesudah  lavase
lebih  efektif  lagi.  Namun  kenyataannya  pada  penderita  keracunan  yang  diberikan
karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi.
Karbon  aktif  juga  menghambat  penyerapan  obat­obatan  yang  diberikan  per  oral.
Komplikasi  pemberian  karbon  aktif  meliputi  :  obstruksi  mekanik  dari  jalan  nafas,
aspirasi,  muntah,  obstruksi  usus,  dan  infeksi.  Kontraindikasi  karbon  aktif  :
penderita dengan keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi secara
bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui tube orogastrik No.28 (French) pada
anak  dan  No.  40    pada  dewasa.  Kecuali  pada  bayi,  tap  cairan  dapat  dilakukan.
Penderita  dalam  posisi  Trendelenburg    dan  left  lateral  decubitus  untuk  mencegah
aspirasi  (kecuali  bila  sudah  dipasang  ETT).  Efektivitas  lavase  kira­kira  sama
dengan ipecac.
Komplikasi  lavase  tersering  adalah  aspirasi    (terjadi  pada  >10%  penderita),
khususnya  pada  lavase  yang  kurang  benar.  Komplikasi  serius  berupa  lavase
trakheal, perforasi esofagus dan gaster, terjadi kira­kira pada hampir 1% penderita.
Karenanya  dokter  harus  melakukan  sendiri  pemasangan  tube  lavage  dan
mengkonfirmasi letaknya  dan pasien juga harus kooperatif atau diberi sedasi bila
perlu selama prosedur.
Kontraindikasi  lavage  lambung  adalah  pada  keracunan  bahan  korosif  atau
petroleum  distilate  peroral  karena  bisa  saja  terjadi  perforasi  gastroesofageal  dan
aspiration induced hydrocarbon pneumonitis.
Irigasi  usus  dilakukan  dengan  cara  memberikan  cairan  pembersih  usus  yang
mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan
tube gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak­anak dan 2 liter/jam pada
dewasa,  sampai  diperoleh  cairan  rectum  yang  jernih.  Pasien  harus  dalam  posisi
duduk.  Irigasi  seluruh  usus  mungkin  sama  efektifnya  dengan  prosedur
dekontaminasi yang lain. Irigasi usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan
benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas lambat atau tablet salut dan agen
yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif misalnya (logam berat).
Kontraindikasi  irigasi  usus  pada  penderita  obstuksi  usus,  ileus,  hemodinamik
yang tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 19/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Garam­garam  katartik  (disodium  fosfat,  magnesium  sitrat    dan  sulfat,  serta


sodium  sulfat),  atau  golongan  sakarida  (manitol,  sorbitol),  merangsang  evakuasi
rektal dari isi lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan
dosis  1­2  gram/kgBB.  Katartik  tunggal  tidak  mencegah  absorpsi  bahan  yang
tertelan  dan  sebaiknya  tidak  digunakan  untuk  dekontaminasi  usus.  Penggunaan
utamanya adalah untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif.
Efek  samping  katartik  berupa  kram  perut,  mual,  dan  kadang­kadang
muntah.Komplikasi  dosis  katartik  yang  berulang  berupa  hipermagnesemia  dan
diare  yang  hebat.  Katartik  dikontraindikasi  kan  pada  penderita  keracunan  bahan
korosif  peroral  dan  pada  penderita  yang  sedang  diare.  Katartik  yang  mengandung
magnesium tidak boleh dipakai pada penderita gagal ginjal.
Dilusi  (minum  air  sebanyak  5  cc/kgBB  atau  cairan  jernih  lainnya)  harus
dilakukan sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam­basa).
Namun  dilusi  juga  meningkatkan  kecepatan  disolusi  (dengan  sendirinya  absorpsi)
dari  kapsul,  tablet,  dan  bahan  padat  lainnya,  sehingga  sebaiknya  tidak  digunakan
pada keracunan karena bahan­bahan ini.
Pada  keadaan  yang  jarang,  diperlukan  tindakan  endoskopik  atau  pembedahan
untuk  mengeluarkan  racun,  seperti  misalnya  keracunan  tertelan  benda  asing  yang
potensial toksik, dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract, keracunan logam
berat dalam jumlah yang potensial mematikan (arsen, besi, merkuri, thalium) atau
bahan yang bersatu dengan isi lambung atau bezoar (barbiturat, glutetimid, logam
berat, lithium, meprobamat, preparat lepas lambat). Penderita yang menjadi toksik
karena  kokain  akibat  kebocoran  dari  banyak  bungkus  obat  yang  ditelan
membutuhkan intervensi bedah segera.
2.    Dekontaminasi pada tempat­tempat lain
Bilasan segera dan berulang­ulang dengan air, saline, atau cairan jernih lainnya
yang  dapat  diminum  merupakan  terapi  inisial  untuk  eksposur  topikal  (kecuali
logam  alkali,  kalsium  oksida,  fosfor).  Untuk  irigasi  mata  dipilih  salin  sedangkan
untuk  dekontaminasi  kulit  paling  baik  dilakukan  triple  wash  (air­sabun­air).
Paparan racun melalui inhalasi harus diobati dengan udara segar atau oksigen.

g.    Percepatan eliminasi racun
Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang nyata atau yang
diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan resiko terapi.
1.    Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang  dapat mempercepat eliminasi substansi
yang  sebelumnya  diabsorpsi  dengan  cara  mengikatnya  dalam  usus  lalu
diekskresikan melalui empedu, disekresikan oleh sel­sel gastrointestinal, atau difusi
pasif kedalam lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler). Dosis yang
direkomendasikan  0,5­1  gram/kgBB  tiap  2­4  jam,  diberikan  untuk  mencegah
regurgitasi  pada  pasien  dengan  motilitas  gastrointestinal  yang  berkurang.  Secara

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 20/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

eksperimen  terapi  ini  mempercepat  eliminasi  hampir  semua  substansi.  Efektifitas


farmakokinetiknya  mendekati  seperti  hemodialisis  untuk  beberapa  agen  (misalnya
fenobarbital,  teofilin).  Terapi  dosis  multipel  ini  tidak  efektif  dalam  mempercepat
eliminasi  dari  klorpropamid,  tobramisin,  atau  bahan  yang  tidak  bisa  diserap  oleh
karbon.  Komplikasinya  berupa  obstruksi  usus,    pseudoobstruksi,  dan  infark  usus
nonoklusif pada penderita­penderita dengan motilitas usus yang rendah.
2.    Diuresis paksa dan perubahan pH urin
Diuresis  dan  iontrapping  melalui  perubahan  pH  urin  dapat  mencegah
reabsorpsi renal dari racun yang  mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus dan
sekresi aktif tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul yang tidak
terion dibandingkan yang dapat terion, racun­racun yang asam (pKa rendah) akan
diionisasi  dan  terkumpul  dalam  urin  yang  basa.  Sebaliknya  racun­racun  yang
sifatnya basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.
Diuresis  salin  dapat  mempercepat  ekskresi  renal  dari  alkohol,  bromida,
kalsium, fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3­6 cc/kgBB/jam) mempercepat
eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal, fluorida,
metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi  diuresis  paksa  meliputi  gagal  jantung  kongestif,  gagal  ginjal,
dan  edema  otak.  Parameter  asam­basa,  cairan,  dan  elektrolit  harus  dimonitor
dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin, kokain,
anestetik  local,  phencyclidine,  kinidin,  kinin,  strychnine,  simpatomimetik,
antidepresan trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya banyak dilarang karena
potensial terjadi komplikasi dan efektifitas kliniknya tidak banyak.
h.   Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal
Dialisis  peritoneal,  hemodialisis,  hemoperfusi  karbon  atau  resin,  hemofiltrasi,
plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk mengeluarkan toksin dari aliran darah.
Kandidat untuk terapi­terapi ini adalah :
1.            Penderita  dengan  keracunan  berat  yang  mengalami  deteriorasi  klinis  walaupun
sudah diberi terapi suportif yang agresif;
2.       Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan, ireversibel,
atau fatal;
3.      Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
4.            Penderita  yang  dalam  tubuhnya    tidak  mampu  dilakukan  detoksifikasi  alami
seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;
5.      Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang berat
                      Agen  yang  akan  dieliminasi  dengan  cara  dialisis  harus  memiliki  BM
rendah(<500 Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume distribusi
kecil (< 1 liter/kgBB),  eliminasi  memanjang (waktu paruh panjang), dan memiliki
bersihan dialisis yang tinggi relatif terhadap bersihan total dari badan. Berat molekul,
kelarutan dalam air, atau ikatan dengan protein, tidak mengurangi efektivitas metode
ekstrakorporeal yang lainnya.

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 21/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

           Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat, bromida,
chloral  hydrate,  ethanol,  etilen  glikol,  isopropyl  alcohol,  lithium,  methanol,
procainamide, teofilin, salisilat, dan mungkin logam berat.
           Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan beberapa
racun,  namun  metode  ini  tidak  sekaligus  mengoreksi  abnormalitas  asam­basa  dan
elektrolit.
           Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan : karbamazepin,
kloramfenikol,  disopiramid,  dan  sedatif­hipnotik  (barbiturat,  ethchlorvynol,
glutethimide,  meprobamat,  methaqualone),  paraquat,  fenitoin,  prokainamid,  teofilin,
dan valproat.
           Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama­sama memerlukan
akses  vena  sentral  dan  antikoagulan  sistemik,  serta  dapat  menyebabkan  hipotensi
sementara.  Hemoperfusi  juga  dapat  mengakibatkan  hemolisis,  hipokalsemia,  dan
trombositopenia.
                      Dialisis  peritoneal  dan  transfusi  ganti  lebih  kurang  efektivitasnya,  tetapi
metode  ini  dapat  digunakan  bila  tidak  dapat  dikerjakan  prosedur  ekstrakorporeal
lainnya,  baik  karena  terdapat  kontraindikasi,  maupun  secara  tehnis  sulit  (misalnya
pada bayi).
           Tranfusi ganti mengeluarkan racun­racun yang mempengaruhi eritrosit (seperti
pada methemoglobinemia, atau arsen–induced hemolysis).
i.      Tehnik eliminasi lainnya
Logam  berat  dapat  lebih  cepat  dieliminasi  dengan  khelasi.  Pengeluaran  karbon
monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.
1.    Pemberian antidot
Antidot  bekerja  berlawanan  dengan  efek  racun  dengan  :  menetralisir  racun
(reaksi  antigen­antibodi,  khelasi,  atau  membentuk  ikatan  kimia),  mengantagonis
efek  fisiologis  racun  (mengaktivasi  kerja  sistem  saraf  yang  berlawanan,
memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus  keracunan  yang  memerlukan  antidot  spesifik  adalah  keracunan  :
asetaminofen,  agen  antikolinergik,    antikoagulan,  benzodizepin,  ­blocker,  CCB,
CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat,
etilen  glikol,  fluorida,  logam  berat,  hydrogen  sulfida,  agen  hipoglikemik,  INH,
metHb­emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.
Antidot  mengurangi  morbiditas  dan  mortalitas,  namun  sebagian  besar  juga
potensial  toksik.  Penggunaan  antidot  agar  aman  membutuhkan  identifikasi  yang
benar keracunan spesifik atau sindromnya.
2.    Pencegahan Paparan Ulang
Keracunan  merupakan  penyakit  yang  dapat  dicegah.  Orang  dewasa  yang
pernah terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat
dan  bahan  kimia  yang  aman  (sesuai  yang  tertera  pada  labelnya).  Penderita  yang
menurun  kesadarannya  harus  dibantu  dalam  meminum  obatnya.  Kesalahan  dosis
obat    oleh  petugas  kesehatan  membu­tuhkan  pendidikan  khusus  bagi  mereka.
Penderita  harus  diingatkan  untuk  menghindari  lingkungan  yang  terpapar  bahan

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 22/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

kimia  penyebab  keracunan.  Departemen  Kesehatan  dan  instansi  terkait  juga  harus
diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem­ pat kerja.
Pada anak­anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah
membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/ minuman  tsb.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi,
dan  follow­up.  Bila  mereka  diberi  resep  obat  harus  dengan  jumlah  yang  terbatas
dan dimonitor kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.
BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a.              Toksisitas  atau  keracunan  obat  adalah  reaksi  yang  terjadi  karena  dosis  berlebih  atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.
b.      Jenis­jenis keracunan menurut (FK­UI, 1995) yaitu :
1.      Cara terjadinya terdiri dari:
a)      Self poisoning
b)      Attempted Suicide
c)      Accidental poisoning
d)     Homicidal poisoning
2.      Mulai waktu terjadi
a)      Keracunan kronik
b)      Keracunan akut
3.      Menurut alat tubuh yang terkena
4.      Menurut jenis bahan kimia
c.       Klasifikasi daya racun
Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis
penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 4        – 50 MG/KG BB

d.      Keracunan obat spesifik diantaranya : Asetaminofen, Obat Anti Kolinergik, Benzodiazepine,
­Blocker,  Calcium  Channel  Blocker  (CCB),  Karbon  Monoksida,  Glikosida  Jantung,  Obat­
obatan golongan NSAID.
e.              Tujuan  terapi  keracunan  dan  overdosis  adalah  mengawasi  tanda­tanda  vital,  mencegah
absorpsi  racun  lebih  lanjut,  mempercepat  eliminasi  racun,  pemberian  antidot  spesifik,  dan
mencegah paparan ulang.

4.1  SARAN

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 23/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

Penyusun  mengharapkan  kritik  dan  saran  dari  pembaca  untuk  kebaikan  kedepannya
agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anief,  M.  (1991).  Apa  yang  Perlu  Diketahui  Tentang  Obat.  Yogyakarta:  Gajah  Mada
University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Donatus,  I.  A.,  1997.  Toksikologi  Pangan,  Edisi  Pertama,  Toksikologi  Jurusan  Kimia
Farmasi. Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning  and  Drug  Overdosage  in  Harrison’s  Principles
of Internal Medicine Vol. 2, 16thedition, International Edition, McGraw Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang: IKIP Semarang.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel,  Skeet.  1995.Buku  Tindakan  Paramedis  Terhadap  Kegawatan  dan  Pertolongan
Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Press  B,  Immaduddin.  2008.  Bahan  Kimia  Beracun  atau  Toksik.
(http://imadanalyzeartikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan­kimia­  beracun­
atau toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC

Masukkan komentar Anda...

Postingan populer dari blog ini

Kolinergik dan Antikolinergik
Maret 22, 2016

Brebes, Jawa Tengah

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 24/25
11/23/2019 TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN KERACUNAN UMUM

MAKALAH KIMIA MEDISINAL KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK …

BACA SELENGKAPNYA

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Juli 03, 2017

Brebes, Jawa Tengah

MAKALAH PENGANTAR FARMASI KOMUNITAS DAN KLINIK …

BACA SELENGKAPNYA

UJI STERILITAS, PIROGEN, DAN UJI PIROGEN
Juli 03, 2017

Brebes, Jawa Tengah


MAKALAH TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI STERIL UJI STERILITAS,
PIROGEN, DAN UJI PIROGEN …

BACA SELENGKAPNYA

Diberdayakan oleh Blogger

Gambar tema oleh Galeries

Arsip

Laporkan Penyalahgunaan

http://sidfirman82.blogspot.com/2017/07/toksikologi­obat­dan­penanganan.html 25/25

Anda mungkin juga menyukai