Anda di halaman 1dari 28

TOKSIKOLOGI OBAT DAN PENANGANAN

KERACUNAN UMUM

Di Susun Oleh:
Kelompok 3 :

1. Lilik Nurhayati (2023080024P) 8. Hijrah Saputra (2023080031P)


2. Rachmi Khoironi (2023080025P) 9. Iin Suryani (2023080032P)
3. Ama Mubarokhah (2023080026P) 10. Esti Anggraeini (2023080033P)
4. Mas’ud (2023080027P) 11. Very Kumala Dewi (2023080034P)
5. Novita Amaliyah (2023080028P) 12. Fiyayah Mufarihah (2023080035P)
6. Astri Riantari (2023080029P) 13. Didik (2023080036P)
7. Komala Dewi (2023080030P)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GRESIK
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah Nya
kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “toksikologi Obat dan
Penangan Keracunan Obat” untuk memenuhi tugas mata kuliah falsafah dan Teori
Keperawatan. Makalah ini menjelaskan tentang teori kenyamanan serta
menganalisis secara kritis dan pendekatan dalam proses asuhan keperawatan.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang ada
sehingga makalah dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat berarti bagi kami. Besar harapan kami semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan serta memberi manfaat bagi pembaca.

Gresik, 15 September 2023

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................6
2.1 Definisi Toksikologi Obat...............................................................................................6
2.2 Model Masuk Dan Daya Keracunan .........................................................................7
2.3 Klasifikasi Daya Keracunan ...........................................................................................12
2.4 Keracunan Obat Spesifik ............................................................................................... 12
2.5 Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis ............................................................. 18
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 27
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 27
3.2 Saran .................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 28

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun,
meskipun hanya sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh
diri dengan mengkonsumsi obat secara overdosis oleh remaja maupun orang
dewasa. Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat atau produk rumah
tangga yang toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir,
sebagai hasil dari kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk
pencegahan keracunan.
Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis
yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik
dan hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam
menangani korban.
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang efek
merugikan dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Bahan – bahan yang
terkandung pada jenis obat – obatan, baik obat modern maupun obat
tradisional. Sebagian dari masyarakat Indonesia lebih cenderung
mengkonsumsi obat-obatan tanpa mengetahui ada dan tidaknya efek toksik
dari obat yang dikonsumsi. hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan
masyarakat umum tentang adanya efek toksik yang dapat ditimbulkan dari
mengkonsumsi obat selain itu juga dikarenakan minimnya jenis obat –
obatan yang telah diteliti dan diketahui kadar toksisitasnya.
Uji toksisitas sangatlah diperlukan untuk menilai keamanan
suatu obat. hal ini dilakukan untuk menghindari adanya efek negatif yang
timbul bagi kesehatan, baik efek secara langsung maupun di masa depan.
Salah satu organ pada tubuh manusia yang sangat penting adalah hepar,
hepar memiliki fungsi untuk memetabolisme semua jenis bahan obat serta
bahan-bahan asing yang masuk ke tubuh manusia, sehingga apabila terjadi
proses sekresi melalui empedu, maka akan terjadi efek toksik di dalam hepar
yang disebabkan penumpukan xenobiotik di dalam hepar.
Dal hal ini terapi antidote merupakan tatacara yang secara khusus
ditujukan untuk membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau
menyembuhkan efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya

4
lebih lanjut. Berarti, sasaran terapi antidot adalah pengurangan intensitas efek
toksik (Donatus,1997). Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan
diambil, sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi
tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat
timbulnya gejala- gejala toksik dan saat penderita siap menjalankan terapi.
Karena pengetahuan ini diperlukan untuk memprakirakan dominasi tahapan
nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal bahan berbahaya diprakirakan
sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan penghambatan absorpsi sudah
tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan penghambatan
distribusi atau peningkatan eliminasinya. Misalnya sekarang, bagaimana
tatacara pelaksanaannya masing masing strategi tersebut (Donatus, 1997).
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode
yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas
ialah metode umum yang adapat diterapkan terhadap sebagian besar zat
beracun. Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat
beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia
(Donatus,1997).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa definisi dari toksikologi obat?
2. Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
3. Apa saja klasifikasi daya keracunan?
4. Apa saja yang termasuk keracunan obat spesifik?
5. Bagaimana penatalaksanaan keracunan dan overdosis?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dari toksikologi obat
2. Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat
3. Mengetahui klasifikasi daya keracunan
4. Mengetahui apa saja keracunan obat spesifik
5. Mengetahui penatalaksanaan keracunan dan overdosis

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi Obat


Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai
kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai
bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat
juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek
tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas
berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek
berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya
itu terjadi. Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap,
diabsorpsi, menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh
dalam jumlah yang relatif kecil dapat mengakibatkan cedera dari
tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan zat yang
bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan
kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan,
intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat
seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif. Sedangkan
definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi
yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan
gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan
repon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan

6
dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang
dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh
bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.

Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di

maksudkan untuk di gunakan dalam menentukan diagnosis,

mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit

atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada

manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh

manusia (Anief, 1991).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih


banyak juga orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat
dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai
obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit
dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah
digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka
akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita
tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena
dosis berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari
gangguan metabolisme atau ekskresi.

2.2 Model Masuk Dan Daya Keracunan

Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi,


menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah
yang relative kecil dapat mengakibatkan cederadari tubuh dengan
adanya rekasi kimia (Brunner & Suddarth, 2001). Arti lain dari
racun adalah suatu bahan dimana ketika diserap oleh tubuh
organisme makhluk hidup akan menyebabkan kematian atau
perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui pencernaan,

7
hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun
dapat seketika itu juga, cepat, lambat, atau secara kumulatif.
Keracunan dapat diartikan sebagaisetiap keadaan yang menunjukkan
kelainan multisystem dengan keadaan yang tidak jelas (Arif
Mansjor, 1999). Keracunan melalui inhalasi ( pengobatan dengan
cara memberikanobat dalam bentuk uap kepada si sakit langsung
melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan
materi toksik, baik kecelakaan dank arena kesengajaanmerupakan
kondisi bahaya kesehatan.
Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih
tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan.
Pasien tidak bermaksud bunuhdiri tetapi hanya untuk mencari
perhatian saja.
b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa
berakhir dengankematian atau pasien dapat sembuh bila
salah tafsir dengan dosis yang dipakai.
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor
kesengajaan.
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang
dengan sengaja meracuni orang lain.

2. Mulai waktu terjadi


a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama

setelah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setalah

pemajanan berkali-kali dalam dosis relative kecil ciri khasnya

adalah zat penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan

8
waktu paruh lebih panjang sehingga terjadi akumulasi.

Keracunan ini diakibatkan oleh keracunan bahan-bahan

kimia dalam dosis kecil tetapi terus menerus dan efeknya baru

dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu, bulan, atau

tahun). Misalnya, menghirup uap benzene dan senyawa

hidrokarbon terkklorinasi (spt. Kloroform, karbon tetraklorida)

dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan menimbulkan

penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal akan

menimbulkan kerusakan dalam darah.

b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering

mengenai banyak orang (pada keracunan dapat mengenai

seluruh keluarga atau penduduk sekampung ) gejalanya seperti

sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma.

Keracunan ini juga karena pengaruh sejumlah dosis tertentu

yang akibatnya dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu

pendek. Contoh, keracunan fenol menyebabkan diare dan gas

CO dapat menyebabkan hilang kesdaran atau kematian dalam

waktu singkat.

3. Menurut alat tubuh yang terkena


Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang
terkena, contohnya racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.
4. Menurut jenis bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang
sama, misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan
sebagainya.

Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar

9
kimiawi), melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon,
kalajengking, dan laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan yaitu
keracunan yang disebabkan oleh perubahan kimia (fermentasi) dan
pembusukan karena kerja bakteri (daging busuk) pada bahan makanan,
misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung asam sianida (HCn),
jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang maupun kepiting, dan
keracunan juga dapat disebabkan karena penyalahgunaan zat yang terdiri
dari penyalahgunaan obat stimultan (Amphetamine), depresan (Barbiturate),
atau halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.

Racun yang serig menyebabkan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan


keracunan dan simptomatisnya: hidung
asam kuat (nitrit, hidroklorid,
sulfat)

Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan (gelap) pada kulit wajah


dan leher

Asenik (metal arsenic, mercuri, Umumnya seperti diare


tembaga, dll)

Atropine (belladonna), Dilatas pupil


skopolamin

Basa kuat (potassium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan


hidung

Asam karbolik (fenol) Bau seperti disfektan

Karbon monoksida Kulit merah cerry terang

Sianida Kematian yang cepat, kulit


merah, dan bau yang sedap

Keracunan makanan Muntah, nyeri perut

Nikotin Kejang-kejang ”konvulsi”

Opiat Kontraksi pupil

10
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih

Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”

Strikin Kejang “konvulsi”, muka dan


leher kebiruan “gelap”

Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita sadar
dan tahu bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun,
sedangkan untuk bahaya pada kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat
kimia yang masuk kedalam tubuh.
Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang
setiap hari kita konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan.
Namun, jika kita terlalu banyak mengkonsumsinya, maka akan
membahayakan kesehatan kita. Demikian juga obat yang lainnya, akan
menjadi sangat bermanfaat pada dosis tertentu, jangan terlalu banyak
ataupun sedikit lebih baik berdasarkan resep dokter.
Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh
melewati tiga saluran, yakni:
a. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini
sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung
menggunakan mulut atau makan dan minum di laboratorium.
b. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah
aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.
c. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
d. pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus
keracunan yang terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan
efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H2S, uap
Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah dan terdistribusi ke
seluruh organ-organ tubuh.
e. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
f. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).

11
2.3 Klasifikasi Daya Keracunan
Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan
lain-lain.
1. Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen
Oranye,Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat
3. Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4. Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)

Dalam obat obatan, Kriteria T oksik Dosis


penggolongan daya
racun yaitu:
1. Super T oksik > 1 5 G /KG B B
2. Toksik E kstrim 5 – 1 5 G /KG B B
3. Sangat T oksik 0,5 – 5 G /KG B B
4. Toksisitas S edang 50 – 5 00 M G/KG B B
5. Sedikit T oksik 5 – 5 0 M G/KG B B

2.4 Keracunan Obat Spesifik


1. Asetaminofen
Efek toksik :
a. Keracunan akut
 Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis,
pucat, depresi SSP
 - Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen
RUQ, hematomegali ringan)
1.Prothrombine time mamanjang
2. Bilirubin serum meningkat
3. Aktivitas transaminase meningkat
4. Gangguan fungsi ginjal
b. Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
1. Prothrombine time mamanjang > 2x
2. Bilirubin serum > 4 mg/dl
3. pH < 7,3
4. Kreatinin serum > 3,3
c. Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada
penderita alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal yang
berat, disertai dehidrasi, icterus, koaguloathi, hipoglikemi, dan ATN.

12
Terapi :
a. Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif
b. Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
 Antidote : N-acetylcysteine p.o yang dilarutkan dalam cairan (bukan
alcohol, bukan susu) dengan perbandinagn 3:1 Loading dose : 140
mg/kgBB. Maintenance dose 70 mg/kgBB tiap 4 jam (dapat diulang
sampai 17x). efek samping : mual, muntah, epigastric discomfort.
 Antiemetic (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)
 Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
 Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati
2. Obat Anti Kolinergik
Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan
kronik dalam 1-3 hari setelah pemberian terapi dimulai.
Efek Toksik :
a. Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,
gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)
b. Letargi
c. Depresi nafas
d. Koma
e. Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi
pupil, kulit &
f. mukosa menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya nadi, tensi,
respirasi, dan
g. suhu.
h. Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke
terjadinyarhabdomiolisis
i. dan hipertermi
j. Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
k. Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval DT
dengan
l. takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a) Korban aktif
b) Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c) Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidote :
physostigmine (inhibitorasetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v. dalam
2-5 menit (dosis dapat diulang)
d) Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma,
gangguan konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.

3. Benzodiazepine
Efek Toksik
a. Eksitasi paradoksal
b. Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c. Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan
d. kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)

13
Terapi over dosis benzodiazepine
a) Karbon aktif
b) Respiratory support bila perlu
c) Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang
diinginkan atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi replase,
dapat diulang dengan interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3
mg/jam. Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan
trisiklik antidepresan, atau penderita ketergantungan benzodiazepine.
Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.
4. Blocker
Efek toksik :
Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c. Efek toksik pada SSP : kejang
d. Kulit : pucat & dingin
e. Jarang : bronkospasme dan edema paru
f. Hiperkalemi
g. Hipoglikemi
h. Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi
nafas)
i. EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar,
asistol
j. Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de
pointes
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
c. Pada keracunan berat :
1. Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus
2. Calcium
3. Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
4. Pacu jantung (internal/eksternal)
5. IABP
a) Pada kejadian bronkospasme : inhalasi -agonis, epinefrin s.c.,
aminofilin i.v.
b) Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain, Mg,
overdrive pacing
c) Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol : dapat
dilakukan prosedur ekstrakorporeal

5. Calcium Channel Blocker (CCB)


Efek toksik :
mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP

14
b. Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c. Kejang
d. Hipotensi iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard edema paru
e. EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan
interval QT (terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark,
asistol
f. Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g. Hiperglikemi
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi simptomatis :
1) atropin
2) Calcium, dosis inisial : CaCl 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30 cc
i.v.
3) dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x). i. Bila terjadi relaps
setelah dosis inisial, diberikan infus calcium kontinu : 0,2 cc/kgBB/jam
sampai maksimal 10cc/jam.
4) isoproterenol
5) glukagon (dosis seperti pada overdosis -blocker)
6) electrical pacing (internal/eksternal)
d. Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan

6. Karbon Monoksida
Efek toksik :
a. Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat,
peroksidasi lemak, dan pembentukan radikal bebas.
b. Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c. Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,
d. Kekakuan, dan pingsan
e. Mual, muntah, diare
f. Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
g. Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung,
dan hipotensi
h. Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat yang
tertekan
i. Creatin kinase serum meningkat
j. Laktat dehidrogenase serum meningkat
k. Nekrosis otot mioglobinuria gagal ginjal
l. Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai
edema papil atau atrofi optic
m. Metabolik asidosis
n. Menurunnya saturasi O (dinilai dari CO-oxymetry)
o. Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna
merah ceri)
p. Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele
neuropsikiatrik (perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan, buta, tuli,
inkoordinasi, dan parkinsonism) dalam 1-3 minggu setelah paparan

15
7. Glikosida Jantung
Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin
denyut jantung yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau
terdapat irama jantung yang ireguler dengan konsisten.

Efek toksik :
a. Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b. Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
c. EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus bradikardi,
berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature, bigemini, VT, VF
d. Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT dengan
AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat 3) atau adanya bi
directional VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya keracunan glikosida
jantung
e. Muntah
f. Konfusi, delirium
g. Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h. Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i. Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia

Terapi :
a) Karbon aktif dosis berulang
b) Koreksi K, Mg, Ca
c) Koreksi hipoksia
d) Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine,
epinefrin, dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15
mg/kg), serta isoproterenol
e) Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan
amiodaron
f) Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-
specific Fabfragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial antidot
(40 mg) dapat menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada keracunan
akut diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-15 vial.
g) Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5
mEq/lt (walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.
h) Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)
i) Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)

8. Obat-obatan golongan NSAID


Efek toksik :
a. Mual, muntah, nyeri perut
b. Mengantuk, sakit kepala
c. Glikosuri, hematuri, proteinuria
d. Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
e. Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat
f. Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi
nafas,

16
g. kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering mengakibatkan :
h. asidosis metabolic.
i. Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang
j. Ketoprofen dan naproxen : kejang

Terapi :
a) Karbon aktif dosis berulang
b) Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat
berguna.

SALISILAT (termasuk aspirin)


Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna ungu.
Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150 mg/kgBB) :
a. Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea dehidrasi dan menurunnya
fungsi ginjal
b. Demam, tinitus, letargi, konfusi
c. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi ekskresi
bikarbonat melalui urine
d. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan
ketosis
e. Alkalemia dan asiduria paradoksal
f. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g. Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h. Prothrombin time memanjang
i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps
kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat ini
terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan
alkalosis/asidosis respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :


a) Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah
terjadi dalam 12-24 jam
b) Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya
dilakukan lavase lambung dan irigasi seluruh usus
c) Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar
lambung
d) Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar
glukosanya terus dipantau
e) Saline i.v. sampai beberapa liter
f) Suplemen glukosa
g) Oksigen
h) Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic
i) Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
j) Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi
diuresis: edema otak/paru, gagal ginjal
k) 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan
infus saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
l) Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans cairan
m) Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat
mendekati/>100 mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan

17
kontraindikasi/kegagalan prosedur di atas

2.5 Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis


a. Prinsip umum.
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda
vital, mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun,
pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk,
banyaknya racun,selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat
keracunan. Pengetahuan farmakodinamik dan farmakokinetik substansi
penyebab keracuan amatlah penting.
Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama
adalah dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang terarah dan singkat Juga disarankan pemasangan i.v. line dan
monitoring jantung, khususnya pada penderita keracunan per oral serius atau
penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan
terjadi secara lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan toksikologi darah dan urin, serta dilakukan
pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi. Selama absorpsi dan distribusi
berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi dibandingkan kadar
di jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan toksisitasnya. Namun bila
metabolit racun tinggi kadarnya dalam darah dan lebih toksik dibanding
bentuk asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau methanol), maka diperlukan
intervensi tambahan (antidot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral
dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama
dibutuhkan bila terdapat keracunan peroral yang menyebabkan lambatnya
pengosongan lambung dan motilitas usus dimana disolusi, absorpsi, dan
distribusi racun dengan sendirinya juga lebih lambat. Pada racun yang dalam
tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih
lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai
dengan terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada
penemuan klinis dan laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul
efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap bertahan lebih
lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan pada dosis terapi. Prioritas
pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua
pasien yang simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan
saturasi oksigen, monitoring jantung, dan observasi kontinu. Pemeriksaan
laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada
kasus koma maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v.
(kecuali bila kadarnya normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat
berguna juga.
Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya
percepatan eliminasi racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan
konfirmasi laboratoris. Dialisis intestinal dengan pemberian karbon aktif
berulang biasanya aman dan dapat mempercepat eliminasi. Terapi diuresis
dan khelasi hanya mempercepat eliminasi sejumlah kecil racun, serta

18
memiliki potensi komplikasi. Metode ekstrakorporeal efektif untuk
mengeluarkan banyak racun, tetapi biaya dan resikonya juga besar, sehingga
penggunaanya terbatas pada.keracunan berat. Selama fase resolusi,
perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan sampai
abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena bahan-bahan
kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari jaringan,
maka kadarnya dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan
sehingga tidak berkorelasi dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar
prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan dapat menyebabkan
peningkatan balik racun dalam darah setelah selesainya prosedur ini. Bila
metabolit racun yang menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita
yang telah asimtomatis tetap harus diberikan terapi karena masih terdapat
potensi toksik kadarnya metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol,
dan methanol)

b. Perawatan Suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis
fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta
mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak
& paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit
thromboembolik, dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok
berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU adalah sebagai berikut:
1. Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi,
abnormalitas konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)
2. Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi
percepatan eliminasi racun
3. Penderita dengan kemunduran klinis progresif
4. Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada
pelayanan kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD,
tergantung dari lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang diperlukan
(observasi klinis intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan pernafasan).
Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan pemeriksaan
kontinu untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai tidak mungkin
lagi dilakukan upayaupaya lebih lanjut.

c. Penatalaksanaan Problem Respirasi


Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat
penting untuk dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena
komplikasi ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena
penilaian klinis fungsi respirasi sering tidak akurat, perlunya oksigenasi dan
ventilasi paling baik ditentukan dari pemeriksaan oksimetri
atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat
dipercaya untuk menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan intubasi
profilaksis pada penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara,
maupun yang tidak mampu duduk atau minum tanpa dibantu. Ventilasi
mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan untuk
memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia,
asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas

19
neuromuskuler. Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-
kardiak. Edema paru kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan
penderita abnormalitas konduksi jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner
penting untuk mengetahui etiologi dan dapat langsung sebagai terapi.
Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran
ekstrakorporeal (oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass
kardiopulmoner), ventilasi parsial cairan (perfluorokarbon), dan terapi oksigen
hiperbarik.

d. Terapi Kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk
pemulihan tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang
tidak responsif dengan ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin, epinefrin
atau dopamine dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan tindakan
intraaortic balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi venoarterial atau
kardiopulmoner. Pada keracunan -blocker dan calcium channel blocker,
efektif diberikan glukagon dan kalsium. Terapi antibodi antidigoxin dan
pemberian Mg diindikasikan untuk kasus keracunan glikosida jantung yang
berat.
SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu
disebabkan karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara
menyeluruh. Kebanyakan kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang
dan hanya memerlukan observasi atau sedasi nonspesifik dengan
benzodiazepin. Sedangkan SVT tanpa hipertensi pada umumnya merupakan
akibat sekunder dari vasodilatasi atau hipovolemia, dan berespon dengan
pemberian cairan. Terapi spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang
berhubungan dengan instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG
dijumpai iskemia. Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi
dengan kombinasi dan blocker (labetalol), calcium channel blocker
(verapamil atau diltiazem), atau kombinasi blocker – vasodilator (esmolol
dan nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk penderita keracunan
antikolinergik, terapi terpilihnya adalah pemberian physostigmine.
Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila diberikan
lidokain dan fenitoin. Namun pemberian blocker dapat berbahaya, kecuali
bila aritmia jelas disebabkan karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi
kelas IA, IC, dan III merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada VT karena
antidepresan trisiklik dan karena obat-obatan membran aktif (karena efek
elektrofisiologik yang mirip), tetapi pemberian sodium bicarbonate dapat
membantu.
Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT,
pemberian Mg sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau
pacemaker ) akan membant. Rekaman EKG invasive (esofagel atau
intracardiak), dibutuhkan untuk menentukan dari mana takikardia kompleks
lebar berasal (ventricular atau supraventricular ). Bila penderita secara
hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja daripada diterapi dengan obat
yang potensial proaritmia. Aritmia dapat resisten terhadap terapi sampai
keseimbangan asam-basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan suhu
dikoreksi.

20
e. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah
ke hipertermia,asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan
harus diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor
katekolamin (pada keracunan simpatomimetik atau halusinogen dan putus
obat) atau kejang akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau
kejang karena reseptor glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi
dengan peningkatan efek GABA seperti dengan pemberian : benzodiazepin
dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat ini sekaligus lebih efektif karena
masing-masing bekerja dengan efek yang berlainan. Benzodiazepin
meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat memanjangkan lamanya waktu
pembukaan saluran klorida dalam merespon GABA.
Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA
memerlukan piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA. Kejang
yang berasal dari destabilisasi membran (keracunan blocker antidepresan
siklik) akan memerlukan anti konvulsan membran aktif seperti fenitoin
sebagaimana yang meningkatkan GABA.
Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidine),
pemberian agen yang aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan
berguna. Pada keracunan antikolinergik dan sianida, diperlukan terapi antidot
spesifik. Sedangkan kejang yang terjadi sekunder akibat iskemi, edema, atau
abnormalitas metabolik, harus dikoreksi dari penyakit dasarnya. Pada kejang
refrakter diindikasikan upaya paralisis neuromuskuler. Monitoring EEG dan
terapi berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan neurologik permanen.
Keadaan suhu yang ekstrim, abnormalitas metabolik, disfungsi hati & ginjal,
dan komplikasi sekunder harus diterapi sesuai standar.

f. Pencegahan Absorbsi Racun


1. Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan
prosedur mana yang akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun
tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan terjadi kemudian,
availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta beratnya
keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan
sukarelawan menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase
lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu keracunan.
Tidak cukup data untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan
hal-hal tsb. pada keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.
Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang
disarankan adalah lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan
lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan sampai timbul
gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita akan sembuh dari
keracunan dengan semata-mata perawatan suportif yang baik, namun
komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya aspirasi,
dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini dilakukan
secara selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan
bilamana toksisitas diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek
toksik maksimal sudah terlewati tanpa efek signifikan
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya &
komplikasinya lebih sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai,

21
dibandingkan ipecac atau lavase lambung. Karbon aktif merupakan
metoda dekontaminasi gastrointestinal yang terpilih untuk sebagian
besar kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai suspensi dalam
air, baik sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per oral melalui
botol susu pada bayi atau melalui cangkirsedotan, atau NGT berkaliber
kecil. Dosis yang direkomendasikan : 1 gr/kgBB dengan 8 ml pelarut
untuk tiap gram karbon aktif. Untuk memperbaiki rasanya, dapat
ditambahkan pemanis (sorbitol), atau penambah rasa (ceri, coklat, atau
cola) dalam suspensinya. Karbon menyerap racun dalam lumen usus,
sehingga memungkinkan kompleks karbon-toksin dievakuasi melalui
feses. Kompleks tsb. dapat juga dikeluarkan dari lambung dengan
induksi muntah atau lavase. Secara in vitro, karbon menyerap >= 90%
dari sebagian besar jenis racun bila diberikan dalam jumlah10x lipat
berat racun.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam
sianida yang terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa
anorganik lainnya, tidak diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi
binatang dan sukarelawan, karbon ratarata akan menyerap 73%
ingestan bila diberikan dalam 5 menit setelah pemberian ingestan,
menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan 36% dalam 1 jam.
Karbon paling tidak sama efektifnya dengan sirup ipecac atau
lavase lambung. Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan
pemberian karbon aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja;
pemberian karbon aktif sebelum dan sesudah lavase lebih efektif lagi.
Namun kenyataannya pada penderita keracunan yang diberikan
karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare
atau konstipasi. Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-
obatan yang diberikan per oral. Komplikasi pemberian karbon aktif
meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas, aspirasi, muntah,
obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif : penderita
dengan keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan
mengaspirasi secara bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui
tube orogastrik No.28 (French) pada anak dan No. 40 pada dewasa.
Kecuali pada bayi, tap cairan dapat dilakukan. Penderita dalam posisi
Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk mencegah aspirasi
(kecuali bila sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira sama
dengan ipecac. Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi (terjadi
pada >10% penderita), khususnya pada lavase yang kurang benar.
Komplikasi serius berupa lavase trakheal, perforasi esofagus dan
gaster, terjadi kira-kira pada hampir 1% penderita. Karenanya dokter
harus melakukan sendiri pemasangan tube lavage dan
mengkonfirmasi letaknya dan pasien juga harus kooperatif atau diberi
sedasi bila perlu selama prosedur.
Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan
korosif atau petroleum distilate peroral karena bisa saja terjadi
perforasi gastroesofageal dan aspiration induced hydrocarbon
pneumonitis. Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan
pembersih usus yang mengandung elektrolit dan polietilen glikol

22
(Golytely, Colyte) peroral atau dengan tube gastric dengan
kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada dewasa,
sampai diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi
duduk. Irigasi seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur
dekontaminasi yang lain. Irigasi usus dapat dilakukan pada penderita
yang tertelan benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas
lambat atau tablet salut dan agen yang tidak dapat diserap oleh karbon
aktif misalnya (logam berat). Kontraindikasi irigasi usus pada penderita
obstuksi usus, ileus, hemodinamik yang tidak stabil, dan jalan nafas
yang tidak terlindungi.
Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan
sulfat, serta sodium sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol),
merangsang evakuasi rektal dari isi lambung dan usus. Katartik yang
paling efektif ialah sorbitol dengan dosis 1-2 gram/kgBB. Katartik
tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan dan sebaiknya
tidak digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya
adalah untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif. Efek
samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang
muntah.Komplikasi dosis katartik yang berulang berupa
hipermagnesemia dan diare yang hebat. Katartik dikontraindikasi kan
pada penderita keracunan bahan korosif peroral dan pada penderita
yang sedang diare. Katartik yang mengandung magnesium tidak boleh
dipakai pada penderita gagal ginjal. Dilusi (minum air sebanyak 5
cc/kgBB atau cairan jernih lainnya) harus dilakukan sesegera mungkin
dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa). Namun dilusi
juga meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi)
dari kapsul, tablet, dan bahan padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak
digunakan pada keracunan karena bahan-bahan ini. Pada keadaan
yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau pembedahan untuk
mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan tertelan benda asing
yang potensial toksik, dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract,
keracunan logam berat dalam jumlah yang potensial mematikan (arsen,
besi, merkuri, thalium) atau bahan yang bersatu dengan isi lambung
atau bezoar (barbiturat, glutetimid, logam berat, lithium, meprobamat,
preparat lepas lambat). Penderita yang menjadi toksik karena kokain
akibat kebocoran dari banyak bungkus obat yang ditelan
membutuhkan intervensi bedah segera.
2. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau
cairan jernih lainnya yang dapat diminum merupakan terapi inisial
untuk eksposur topikal (kecuali logam alkali, kalsium oksida, fosfor).
Untuk irigasi mata dipilih salin sedangkan ntuk dekontaminasi kulit
paling baik dilakukan triple wash (air-sabun-air). Paparan racun melalui
inhalasi harus diobati dengan udara segar atau oksigen.

g. Percepatan eliminasi racun


Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang
nyata atau yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan
resiko terapi.

23
1. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat eliminasi
substans yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara mengikatnya dalam usus
lalu diekskresikan melalui empedu, disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal,
atau difusi pasif kedalam lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi
enterokapiler). Dosis yang direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam,
diberikan untuk mencegah regurgitasi pada pasien dengan motilitas
gastrointestinal yang berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat
eliminasi hampir semua substansi. Efektifitas farmakokinetiknya mendekati
seperti hemodialisis untuk beberapa agen (misalnya fenobarbital, teofilin).
Terapi dosis multipel ini tidak efektif dalam mempercepat eliminasi dari
klorpropamid, tobramisin, atau bahan yang tidak bisa diserap oleh karbon.
Komplikasinya berupa obstruksi usus, pseudoobstruksi, dan infark usus
nonoklusif pada penderita-penderita dengan motilitas usus yang rendah.

2. Diuresis paksa dan perubahan pH urin


Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah
reabsorpsi renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus
dan sekresi aktif tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul
yang tidak\ terion dibandingkan yang dapat terion, racun-racun yang asam
(pKa rendah) akan diionisasi dan terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya
racun-racun yang sifatnya basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin
yang asam.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida,
kalsium, fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH. Diuresis basa (pH
urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam) mempercepat eliminasi dari
herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal, fluorida,
metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat. Kontraindikasi diuresis
paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan edema otak.
Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin,
kokain, anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine,
simpatomimetik, antidepresan trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya
banyak dilarang karena potensial terjadi komplikasi dan efektifitas kliniknya
tidak banyak

h. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal

Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin,


hemofiltrasi, plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk
mengeluarkan toksin dari aliran darah.
Kandidat untuk terapi-terapi ini adalah :
1. Penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis
walaupun sudah diberi terapi suportif yang agresif;
2. Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan,
ireversibel, atau fatal;
3. Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
4. Penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi
alami seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;

24
5. Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang
berat

Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM


rendah(<500 Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume
distribusi kecil (< 1 liter/kgBB), eliminasi memanjang (waktu paruh panjang),
dan memiliki bersihan dialisis yang tinggi relatif terhadap bersihan total dari
badan. Berat molekul, kelarutan dalam air, atau ikatan dengan protein, tidak
mengurangi efektivitas metode ekstrakorporeal yang lainnya.
Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat,
bromida, chloral hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium,
methanol, procainamide, teofilin, salisilat, dan mungkin logam berat.
Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan beberapa
racun, namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas asam-basa
dan elektrolit.
Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan :
karbamazepin, kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat,
ethchlorvynol, glutethimide, meprobamat, methaqualone), paraquat, fenitoin,
prokainamid, teofilin, dan valproat. Baik metode dialisis maupun metode
hemoperfusi, sama-sama memerlukan akses vena sentral dan antikoagulan
sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi sementara. Hemoperfusi juga
dapat mengakibatkan hemolisis, hipokalsemia, dan trombositopenia. Dialisis
peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi metode ini
dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal lainnya,
baik karena terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya
pada bayi). Tranfusi ganti mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi
eritrosit (seperti
pada methemoglobinemia, atau arsen–induced hemolysis).
i. Tekhnik eliminasi lainnya
Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi.
Pengeluaran karbon monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian
oksigen hiperbarik.
1. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir
racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia),
mengantagonis efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang
berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :
asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker,
CCB, CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena
induksi obat, etilen glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen
hipoglikemik, INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan
gigitan/bisa binatang tertentu.
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar
juga potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan
identifikasi yang benar keracunan spesifik atau sindromnya.

2. Pencegahan Paparan Ulang


Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa
yang pernah terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi

25
penggunaan obat dan bahan kimia yang aman (sesuai yang tertera pada
labelnya). Penderita yang menurun kesadarannya harus dibantu dalam
meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh petugas kesehatan membu-
tuhkan pendidikan khusus bagi mereka. Penderita harus diingatkan untuk
menghindari lingkungan yang terpapar bahan kimia penyebab keracunan.
Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga harus diberi laporan bila
terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem- pat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya
terbaik adalah membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/ minuman
tsb. Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik,
disposisi, dan follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah
yang terbatas dan dimonitor kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon
terapinya.

26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena
dosis berlebih ataun penumpukkan zat dalam darah akibat dari
gangguan metabolisme atau ekskresi.
b. Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1) Cara terjadinya terdiri dari:
a) Self poisoning
b) Attempted Suicide
c) Accidental poisoning
d) Homicidal poisoning
2) Mulai waktu terjadi
a) Keracunan kronik
b) Keracunan akut
3) Menurut alat tubuh yang terkena
4) Menurut jenis bahan kimia
c. Klasifikasi daya racun

Dalam obat obatan, Kriteria T oksik Dosis


penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/Kg/BB
2. Toksik ekstrim 5-15 G/Kg/BB
3. Sangat toksik 0,5-5 G/Kg/BB
4. Toksisitas sedang 50 -500 MG/Kg/BB
5. Sedikit toksik 4-50 MG/Kg/BB

d. Keracunan obat spesifik diantaranya : Asetaminofen, Obat Anti


Kolinergik, Benzodiazepine,-Blocker, Calcium Channel Blocker
(CCB), Karbon Monoksida, Glikosida Jantung, Obatobatan
golongan NSAID.
e. Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-
tanda vital, mencegah
f. absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun,
pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.

3.2 Saran

Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk


kebaikan kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih
baik lagi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.

Donatus, I. A., 1997. Toksikologi Pangan, Edisi Pertama, Toksikologi


Jurusan Kimia Farmasi. Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning and Drug Overdosage in
Harrison’s Principles of Internal Medicine Vol. 2, 16thedition,
International Edition, McGraw Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang:
IKIP Semarang. Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi
Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel, Skeet. 1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan
dan Pertolongan Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Press B, Immaduddin. 2008. Bahan Kimia Beracun atau Toksik.
(http://imadanalyzeartikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan-
kimia- beracun- atau toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC

28

Anda mungkin juga menyukai