Anda di halaman 1dari 18

ANTIDOTUM DAN TERAPI ANTIDOTUM

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Toksikologi

Disusun oleh :

Nama : Lia Rahayu Ningtias

NIM : (P17334119021)

Kelas : DIII-2A

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

PROGRAM STUDI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Antidotum dan Terapi Antidotum” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai antidotum, terapi antidotum, dan
mekanisme kerja antidotum.
Dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan hormat dan terimakasih
kepada para Dosen pengampu mata kuliah Toksikologi, yang telah memberikan banyak
bimbingan dan masukan yang bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini serta
semua pihak yang telah ikut serta membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata - kata yang
kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.

Bandung, 08 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................17

3.1 Pengertian Antidotum dan Terapi Antidotum ..........................................................17

3.2 Klasifikasi Antidotum ...............................................................................................23

3.3 Mekanisme Kerja Antidotum ...................................................................................25

BAB IV PENUTUPAN..................................................................................................31

4.1 Kesimpulan ...............................................................................................................31

4.2 Saran .........................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek toksik atau efek
berbahaya dari suatu zat kimia terhadap jaringan biologi. Zat kimia yang
potensial toksik sangat banyak terdapat di lingkungan manusia, menyebabkan
pembahasan toksikologi menjadi sangat luas. Keracunan adalah masuknya zat ke
dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat
menyebabkan kematian. Semua zat dapat menjadi racun bila diberikan dalam
dosis yang tidak seharusnya. Berbeda dengan alergi, keracunan memiliki gejala
yang bervariasi dan harus ditindaki dengan cepat dan tepat karena penanganan
yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan hanya akan memperparah
keracunan yang dialami penderita.
Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal, berdasarkan wujudnya,
zat yang dapat menyebabkan keracunan antara lain : zat padat (obat-obatan,
makanan), zat gas (CO2), dan zat cair (alkohol, bensin, minyak tanah, zat kimia,
pestisida, bisa/ racun hewan). Racun racun tersebut masuk ke dalam tubuh
manusia melalui beberapa cara, diantaranya :
1. Melalui kulit
2. Melalui jalan napas (inhalasi)
3. Melalui saluran pencernaan (mulut)
4. Melalui suntikan
5. Melalui mata (kontaminasi mata)
Banyaknya zat kimia yang dapat menimbulkan efek toksik, namun
sebagian besar tidak tersedia antidotumnya, sehingga jika terjadi keracunan
olehnya hanya dilakukkan tindakan simtomatik untuk meminimalkan resiko.
Secara umum, terapi antidotum didefinisikan sebagai tata cara yang ditujukkan

4
5

untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau menyembuhkannya


sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka makalah ini secara khusus membahas


permasalahan sebagai berikut :
1) Apa itu antidotum dan terapi antidotum ?
2) Apa saja jenis – jenis antidotum ?
3) Bagaimana mekanisme kerja antidotum?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian makalah ini


adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui pengertian antidotum dan terapi antidotum
2) Untuk mengetahui klasifikasi antidotum
3) Untuk mengetahui mekanisme kerja antidotum

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Kedua manfaat tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
untuk menambah wawasan pembaca mengenai antidotum dan mekanisme
kerjanya dalam bidang toksikologi klinik.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut.
(1) Bagi praktisi, hasil penulisan diharapkan mampu menambah wawasan
mengenai antidotum dan mekanisme kerja antidotum.
(2) Bagi penelitian, hasil penulisan diharapkan mampu menjadi informasi
tambahan mengenai antidotum dalam toksikologi klinik.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Antidotum dan Terapi Antidotum

A. Antidotum
The International Programme of Chemical Safety secara luas
mendefinisikan antidotum sebagai agen terapeutik yang melawan aksi toksik
obat ataupun zat toksin. Secara umum, antidotum telah dilihat sebagai agen
yang memodifikasi kinetika zat beracun atau mengganggu efeknya di situs
reseptor. Hal ini mungkin sebagai akibat dari pencegahan penyerapan,
pengikatan, dan penetralan racun secara langsung, menimbulkan efek yang
buruk terhadap efek organ akhirnya, atau penghambatan konversi ke
metabolit yang lebih beracun. Keamanan bahan kimia ditentukan oleh indeks
terapeutiknya atau rasio (TD50 / ED50), yaitu rasio dosis toksik (TD) atau
dosis mematikan (LD) dengan dosis efektif (ED). Berdasarkan ini, antidotum
juga telah didefinisikan sebagai agen yang meningkatkan dosis mematikan
rata - rata toksin.
Antidotum tidak terutama mempengaruhi penyerapan sistemik atau
penghilangan agen beracun dari tubuh. Antidotum memiliki peran yang
sangat kecil dalam pengelolaan sebagian besar keracunan, penggunaannya
terbatas pada indikasi tertentu. Dalam kebanyakan kasus keracunan,
perawatan dan pemantauan suportif yang efektif akan memastikan hasil yang
baik. Beberapa antidotum telah berperan dalam penyakit lain (misalnya
insulin, atropin), tetapi bila digunakan dengan dosis yang jauh lebih tinggi
mungkin diperlukan untuk memperbaiki gangguan fisiologi akibat
keracunan.
Banyak antidotum jarang digunakan, cenderung habis dan mahal. Oleh
karena itu pengawasan penggunaannya (misalnya pelatihan dan
protokolisasi) penting untuk memastikan bahwa antidotum digunakan secara

6
7

tepat sehubungan dengan perencanaan dan pemantauan stok, penyimpanan,


dan akses. Untuk pusat medis yang memilih untuk menyimpan antidotum,
tingkat persediaan yang disarankan didasarkan pada dosis yang dibutuhkan
untuk merawat satu pasien 100 kg selama 8 jam dan selama 24 jam
[Diadaptasi dari Dart RC, dkk., Annals of Emergency Medicine, 2009; 54
(3): 386-394]. Pusat medis yang mungkin berharap untuk menerima banyak
pasien dalam satu insiden harus menyimpan antidotum dalam jumlah yang
lebih besar atau memiliki prosedur transfer obat yang efektif dan efisien
untuk mendapatkan pasokan antidotal tambahan dengan cepat.
Untuk pasien di lokasi perifer, seringkali lebih aman dan lebih murah
untuk memberikan antidotum ke pasien. Pada pasien yang sakit kritis,
resusitasi harus diprioritaskan daripada terapi antidotal. Namun, antidotum
tertentu mungkin bermanfaat dalam serangan jantung dan selama resusitasi. 
Penggunaan antidot didasarkan pada analisis manfaat-risiko yaitu :
 Dapat menjadi sulit mengingat kurangnya bukti efektivitas klinis untuk
banyak penawar dan relatif jarang penggunaannya.
 Sifat agen toksik mungkin tidak pasti pada saat diperiksa.
B. Terapi Antidotum
Penatalaksanaan terapi keracunan pada umumnya disebut terapi
antidotum, yakni tata cara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi
intensitas efek toksik zat beracun atau untuk menyembuhkan efek toksik
yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah bahaya
selanjutnya. Terapi antidotum dapat dilakukkan untuk agen yang:
 Tersedia antidotumnya
 Menyebabkan toksisitas yang signifikan, yang melebihi potensi bahaya
antidotumnya.
 Tidak dapat dikelola dengan resusitasi standar, perawatan suportif, dan
pemantauan.
 Tidak dapat didekontaminasi dengan aman dan efektif sebelum absorbsi.
 Tidak cocok untuk eliminasi yang ditingkatkan.
8

Beberapa asas umum yang mendasari terapi antidotum tersebut meliputi


sasaran, strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidotum. Sasaran terapi
antidotum adalah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik zat
beracun. Strategi dasar terapi antidotum meliputi penghambatan absorpsi,
distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi dan atau penaikan ambang
toksik zat beracun dalam tubuh. Penerapan strategi terapi keracunan
diterapkan, utamanya bergantung pada perkiraan rentang waktu dari saat
masuknya racun, gejala – gejala toksik timbul, sampai pasien siap menjalani
terapi. Informasi rentang waktu diatas dapat diperoleh selama proses
anamnesis pada pasien (bila mungkin) atau orang yang membawanya. Selain
informasi rentang waktu, pilihan strategi terapi juga dipertimbangkan dari
hasil pemeriksaan klinik maupun laboratorik yang diperoleh (Donatus,
2001).
 Terapi antidotum dapat dilakukan secara umum (tidak khas atau non
spesifik) dan secara khusus (spesifik).
1. Terapi Antidotum non spesifik
Suatu terapi keracunan yang bermanfaat hampir pada semua kasus
keracunan, melalui cara-cara seperti memacu muntah, bilas lambung dan
memberikan zat absorben. Cara lain adalah mempercepat eliminasi dengan
pengasaman dan pembasaan urin dan diuresis paksa atau hemodialisis.
a) Menghambat absorpsi zat racun
Dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan cara :
1. Membersihkan atau mencuci kulit yang terkontaminasi zat toksik
dilakukan dengan air mengalir, dan jika zat mengenai pakaian maka
pakaiannya ditanggalkan
2. Mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah absorpsi dan
memberikan pencahar. Untuk mengeluarkan racun yang sudah masuk ke
dalam lambung dapat dilakukan dengan pemberian norit (arang aktif),
memuntahkan, atau memberi pencahar atau bilas lambung.
b) Pemberian Norit (arang aktif)
9

1. Diberikan pada kasus keracunan karena dapat mengabsorpsi zat racun


dalam saluran pencernaan.
2. Norit masih efektif hingga 2 jam dari racun tertelan dan lebih lama lagi
pada keracunaan obat sediaan lepas lambat atau keracunan obat-obat
yang bersifat kolinergik.
3. Dosis nya sangat tergantung dari jumlah zat toksin yang tertelan, dosis
minimum 30 gram, pada orang dewasa adalah 50 g dapat diulang setiap
4-6 jam.
4. Norit dapat menyerap zat seperti salisilat, acetaminophen, karbamazepin,
dapson, teofilin, quinin dan obat-obat antidepresan.
5. Pemberian norit dapat dikombinasikan dengan bilas lambung
6. Tidak boleh diberikan bersama dengan sirup ipekak atau susu karena
dapat mengurangi efektifitas norit.
c) Mengeluarkan racun dari lambung
1. Harus mempertimbangkan zat yang tertelan, tingkat keracunan, dan
sudah berapa lama zat racun tertelan
2. Bilas lambung diragukan kegunaannya bila dilakukan 1-2 jam setelah
racun tertelan
3. Bahaya dari bilas lambung adalah teraspirasinya lambung, karena itu
tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengantuk atau koma kecuali
jika reflek batuk sangat baik atau saluran napas dapat dilindungi dengan
pipa endotrakea.
4. Pipa lambung tidak boleh dimasukkan pada keracunan zat korosif.
d) Pemberian pencahar/Katartik
1. Digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari saluran
gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah mencapai usus
halus.
2. Pemberian sorbitol direkomendasikan pada penderita yang tidak ada
gangguan jantung
3. Magnesium sulfat dapat digunakan pada penderita yang tidak ada
gangguan ginjal
10

4. Pemberian magnesium sulfat sering kali diberikan setelah pemberian


arang aktif, dosis yang sering dipakai adalah 5-15 g yang diberikan
dengan segelas air. Efek katartiknya dimulai dari 0.5-2 jam setelah
pemberian
5. Magnesium sulfat dikontraindikasikan pada pasien obstruksi usus, mual,
muntah dan gangguan ginjal.
e) Percepatan Eliminasi
1. Dapat dilakukan dengan cara meningkatkan ekskresi melalui
pengasaman atau pembasaan urin dan diuresis paksa.
2. Pengasaman urin (penurunan pH urin) dilakukan dengan pemberian zat
seperti ammonium klorida atau vitamin C akan mengurangi  reabsorpi
zat atau obat yang bersifat basa lemah seperti amfetamin.
3. Pembasaan urin melalui pemberian natrium bikarbonat akan mengurangi
reabsorpsi pada obat/zat yang bersifat asam lemah seperti aspirin dan
fenobarbital.
4. Hemodialisis efektif jika zatnya sudah terabsorpsi dan berada pada cairan
sistemik dan tidak mempunyai volume distribusi terlalu besar atau obat
tidak terdistribusi secara ekstensif pada jaringan. Salisilat, methanol,
etilen glikol, paraquat dan litium eliminasinya dapat ditingkatkan dengan
cara hemodialisis.
2. Terapi Antidotum Spesifik

Suatu terapi antidotum yang hanya efektif untuk zat-zat tertentu.


Antidotum spesifik dikelompokkan menjadi : antidotum yang bekerja
secara kimiawi, bekerja secara farmakologi dan yang bekerja secara
fungsional.
11

2.2 Klasifikasi Antidotum

1. Antidotum yang bekerja dengan menurunkan tingkat toksin


12

2. Antidotum yang bekerja di situs pengikatan toksin

3. Antidotum yang bekerja dengan menurunkan metabolit toksik


13

4. Antidotum yang bekerja dengan menangkal efek berbahaya dari racun


Menangkal efek berbahaya dari toksin dapat dilakukan dengan dua cara,
baik dengan mengurangi efek toksin atau dengan antagonisme langsung dari
kerja obat. Atropin, digunakan dalam keracunan organofosfor, adalah contoh
antidotum yang digunakan untuk melawan dan mengurangi beberapa efek
muskarinik racun.
Beberapa vitamin digunakan untuk melawan efek obat atau racun secara
langsung. Contohnya termasuk vitamin K untuk overdosis warfarin,
piridoksin34 untuk overdosis isoniazid (INH), dan asam folinat untuk
toksisitas metotreksat. Piridoksin berikatan dengan INH, menggantikan
penyimpanan piridoksin, dan memfasilitasi produksi asam γ-amino butirat
(GABA) yang membantu dalam mengendalikan kejang.
5. Antidotum yang digunakan dalam praktek klinis
Adapun antidotum hanya tersedia untuk beberapa obat dan racun.
Antidotum yang paling sering digunakan adalah Asetilsistein untuk
keracunan parasetamol dan naloxon untuk keracunan opioid. Berikut tabel
antidotum lain yang juga digunakan dalam praktek klinis :

RACUN ANTIDOTUM
B blocker Glukagon
Antikoagulan oral Vitamin k1 (phytomenadion)
Digoxin Digoxin spesific antibodies (digibind)
Etilen glikol / methanol Etanol/4-methylpyrazol
14

Sianida Tiosulfat/dicobalt
Organofosfat Atropin/oximes
Besi Desferrioxamines
Logam berat EDTA, DMSA, DMPS
Parasetamol N-asetilsistein
Opioid Naloxon
Sulfonilurea Okreotida
Antidepresam trisiklik Sodium bikardabonat

2.3 Mekanisme Kerja Antidotum

Ketika seseorang memikirkan antidotum, orang biasanya


mempertimbangkan yang bekerja melalui mekanisme logis yang berbeda seperti
nalokson dan flumazenil yang berfungsi sebagai antagonis reseptor kompetitif
atau vitamin K untuk overdosis warfarin untuk mengatasi penghambatan enzim.
Antidotum, bagaimanapun, memiliki arti yang lebih luas dalam hal mengubah
efek toksin. Dua variabel utama yang mempengaruhi efek berbahaya dari toksin
pada tubuh, yaitu dosis dan lamanya paparan toksin. Ini pada gilirannya
tergantung pada jenis toksin, dosis, cara pemberian, jeda waktu presentasi ke
rumah sakit, dan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, dan eliminasi).

Dengan demikian, empat mekanisme dasar (Gbr. 1) memandu terapi


antidotal dalam toksikologi yang mengakibatkan perubahan beban toksin dan
durasi paparan dan meningkatkan ambang batas toksisitas korban. Hal tersebut
dilakukkan dengan cara menurunkan tingkat aktif toksin, memblokir tempat
kerja toksin, menurunkan metabolit toksik, dan menangkal efek toksin.
15

Antidotum bekerja dengan empat mekanisme utama yaitu :

(A) Tindakan langsung pada toksin melibatkan pengikatan spesifik dan


nonspesifik serta eliminasi yang ditingkatkan. Pengikatan spesifik dapat dicapai
dengan chelation (misalnya logam berat), imunoterapi (misalnya digoxin), dan
terapi bioscavenger (misalnya senyawa organophosphorus (OP)). Pengikatan
nonspesifik terjadi dengan penggunaan arang aktif dan terapi intralipid
(misalnya, anestesi lokal lipofilik (LA) dan obat non-LA). Penghapusan toksin
yang ditingkatkan dapat difasilitasi melalui alkalisasi urin (misalnya, salisilat,
fenobarbital) dan hemadsorpsi dengan menggunakan resin atau arang.

(B) Tindakan pada tempat pengikatan toksin dapat dicapai dengan


penghambatan kompetitif enzim (misalnya, etanol atau fomepizole untuk
keracunan metanol dan etilen glikol) atau dengan blokade kompetitif dari
reseptor (misalnya, nalokson untuk overdosis opioid dan flumazenil untuk
overdosis benzodiazepin.

(C) Mengurangi metabolit toksik dapat dilakukan dengan mengikat (mis., N-


acetyl cysteine (NAC) seperti pada overdosis parasetamol) dan konversi menjadi
metabolit yang kurang toksik (mis., Natrium tiosulfat untuk keracunan sianida.
(D) Menangkal efek : obat-obatan seperti atropin melawan efek muskarinik
keracunan OP. High-dose insulin euglycemic therapy (HIET) digunakan untuk
Calcium Channel Blocker (CCB) dan overdosis β-blocker (BB). Antagonisme
16

langsung aksi toksin adalah mekanisme untuk toksisitas INH (piridoksin),


warfarin (vitamin K), dan metotreksat (asam folinat).
BAB III

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

The International Programme of Chemical Safety secara luas


mendefinisikan antidotum sebagai agen terapeutik yang melawan aksi toksik
obat ataupun zat toksin. Secara umum, antidotum telah dilihat sebagai agen
yang memodifikasi kinetika zat beracun atau mengganggu efeknya di situs
reseptor. Penatalaksanaan terapi keracunan pada umumnya disebut terapi
antidotum, yakni tata cara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi
intensitas efek toksik zat beracun atau untuk menyembuhkan efek toksik
yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah bahaya
selanjutnya.  Terapi antidotum dapat dilakukan secara umum (tidak khas
atau non spesifik) dan secara khusus (spesifik).
Antidotum yang paling sering digunakan adalah Asetilsistein untuk
keracunan parasetamol dan naloxon untuk keracunan opioid. Antidotum
bekerja dengan empat mekanisme utama yaitu :
1) Tindakan langsung pada toksin melibatkan pengikatan spesifik dan
nonspesifik serta eliminasi yang ditingkatkan.
2) Tindakan pada tempat pengikatan toksin dapat dicapai dengan
penghambatan kompetitif enzim atau dengan blokade kompetitif dari
reseptor.
3) Mengurangi metabolit toksik dapat dilakukan dengan mengikat dan
konversi menjadi metabolit yang kurang toksik.
4) Menangkal efek dengan obat-obatan ataupun antagonisme langsung aksi
toksin.

4.2 Saran

Pelatihan dan protokolisasi antidotum penting untuk memastikan bahwa


antidotum digunakan secara tepat sehubungan dengan perencanaan dan
pemantauan stok, penyimpanan, dan akses.

17
DAFTAR PUSTAKA

 Admin. (2018). Terapi Antidotum.


http://kumpulanartikelfarmasi.com/2018/06/terapi-antidotum/. Diakses pada
tanggal 08 Maret 2021.
 Alwahida. (2018). Makalah Antidotum dan Penanganan Keracunan.
https://www.scribd.com/document/393920766/Makalah-Antidotum-Dan-
Penanganan-Keracunan. Diakses pada tanggal 08 Maret 2021.
 Chacko, B, Peter, J. (2019). Antidotes in Poisoning.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6996653/. Diakses pada tanggal
08 Maret 2021.
 Rodhika, R. (2018). Studi Penggunaan Antidotum Pada Pasien Intoksikasi
Insektisida Golongan Organofosfat.
http://repository.unair.ac.id/10228/3/3.%20BAB%20I
%20PENDAHULUAN.pdf. Diakses pada tanggal 08 Maret 2021.
 Safitrih, L. (2015). Skripsi Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di
Indonesia. http://repository.ump.ac.id/266/3/Laila%20Safitrih_BAB%20II.pdf.
Diakses pada tanggal 08 Maret 2021.
 Tonapa, W. (2013). Laporan Resmi Praktikum Toksikologi “Antidotum”.
https://www.academia.edu/9739460/LAPORAN_RESMI_PRAKTIKUM_TOK
SIKOLOGI_ANTIDOTUM_. Diakses pada tanggal 08 Maret 2021.

18

Anda mungkin juga menyukai