Anda di halaman 1dari 29

FARMAKOLOGI SISTEM PENCERNAAN

Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Hans Kristian Owen


122010101053
Abdurrozzaq
122010101086
Ferdian Nugroho
142010101001
Annisa Sarfina Djunaey
142010101003
Nikmatul Maula Nur Rahmadani
142010101006
Desy Pratiwi Widjajana
142010101015
Ferry Fitria Ayu Andika
142010101019
Hasbi Maulana Arsyad
142010101033
Amalia Nur Zahra
142010101041
Tria Yudinia
142010101047
Billy Jusup Kurniawan
142010101052
Nihayah Lukman
142010101072
13.
Rahmad Adi Prasetyo
142010101091
14.
Lusi Padma S. M
142010101096
15.
Haryo Kunto Wibowo
142010101105

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

OBAT PADA SISTEM PENCERNAAN ATAS


1. PENURUN SEKRESI ASAM LAMBUNG
Sel parietal mengandung reseptor untuk gastrin, histamin (
(muskarinik dan

), dan asetilkolin

). Pengeluaran asam pada lambung dapat terjadi karena penyatuan

asetilkolin, gasrtrin, dan histamin di sel parietal.


Pada saat asetilkolin dan gastrin berikatan dengan reseptornya di sel parietal, maka
kalsium sitosolik meningkat. Hal tersebut menyebabkan aktifnya protein kinase yang
merangsang sekresi asam dari
/
ATPase (pompa proton) pada permukaan kalanikular.
Selain itu di dekat sel parietal terdapat sl endokrin khusus usus yang disebut sel
enterochromaffin-like (ECL). Sel tersebut juga memiliki reseptor untuk gastrin dan
asetilkolin, serta menjadi sumber utama pelepasan histamin. Histamin kemudian berikatan
dengan reseptor

pada sel parietal dan mengaktifkan adenilil siklase yang meningkatkan

adenosin monofosfat siklik (cAMP) intrael. cAMP mengaktifkan protein kinase yang
merangsang sekseri asam oleh
1) Antasida

ATPase.

Antasid merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorida lambung
untuk membentuk garam dan air. Antasid dibagi menjadi dua golongan yaitu antasid
sistemik dan antasid nonsistemik. Antasid sistemik adalah antasid yang dapat diabsorbsi
oleh usus, contohnya natrium bikarbonat, sedangkan antasid nonsistemik hampir tidak
diabsorbsi oleh usus, contohnya sediaan magnesium hidroksida, alumunium hidroksida,
dan kalsium karbonat.
Mekanisme kerja antasida bersifat kompleks. Mekanisme yang diusulkan adalah
pencegahan difusi balik ion hidrogen di mukosa GI. Umumnya diterima bahwa
meningkatkan pH lambung sekitar 4 mencegah stres ulkus, yang diduga diperantarai oleh
difusi asam kembali.
Tindakan lain antasida adalah untuk mencegah konversi pepsinogen lambung
menjadi pepsin bentuk aktif. Ini adalah enzim proteolitik diperkirakan memediasi cedera
jaringan pada penyakit ulkus. Pepsinogen mengalami inaktivasi ireversibel pada pH 5.
Dengan demikian mungkin diperlukan untuk meningkatkan pH sampai 5 untuk mencapai
manfaat maksimal dari antasida.

Antasida juga dapat meningkatkan sitoproteksi di lambung, memberikan manfaat


terapeutik dengan menonaktifkan garam empedu yang diperkirakan refluks dari
duodenum ke lambung dan memainkan beberapa peran dalam penyakit asam lambung
(Tolman, 2000).
Indikasi

Antasida yang diminum untuk meredakan sakit maag, gejala utama penyakit
gastroesophageal refluks, ataupun gangguan asam pencernaan. Pengobatan dengan
antasida dan hanya ditujukan untuk gejala ringan saja. Pengobatan ulkus akibat
keasaman yang berlebihan mungkin memerlukan antagonis reseptor H2 atau pompa
proton untuk menghambat asam, dan mengurangi iritasi lambung.

Natrium bikarbonat
NaHC

+ HCl

NaCl +

+C

Natrium bikarbonat bereaksi cepat dengan HCl membentuk Karbon dioksida ,


air, dan Nal. Pembentukan karbon dioksida menimbulkan peregangan lambung dan
sendawa. Alkali yang tidak bereaksi diserap dengan cepat sehingga berpotensi
meyebabkan alkalosis metabolik bila diberikan dalam dosis tinggi atau kepada
penderita insufisiensi ginjal. Penyerapan natrium klorida dapat mengekserbasi

retensi cairan pada penderita gagal jantungm hipertensi, dan insufisiensi ginjal.
Kalsium karbonat
Kalsium karbonat kurang larut dan bereaksi lebih lambat daripada natrium
bikarbonat dengan HCl yang membentuk karbon dioksida da CaCl2. Seperti natrium
bikarbonat, kalsium karbonat dapat menimbulkan sendawa atau alkalosis metabolik.
Kalsium karbonat turut digunakan untuk berbagai indikasi lainnya di luar sifat
antasidnya. Dosis natrium bikarbonat atau kalsium bikarbonat yang berlebiha, bila
diberikan bersma produk susu yang mengandung kalsium dapat menyebabkan

hiperkalsemia, insufisiensi ginjal, dan alkalosis metabolik (sindrom susu alkali).


Magnesium hidroksida dan Aluminium hidroksida
Sediaan yang mengandung magnesium hidroksida atau aluminium hidroksida
bereaksi lambat dengan HCl untuk membentuk magnesium klorida atau aluminium
klorida dan air. Karena gas tidak dihasilkan, sendawa tidak terjadi. Alkalosis

metabolik juga jarang terjadi karena reaki netralisasi bberjlaan dengan efisien.
Karena garam magneisum yang tidak diserap dapat menyebabkan diare osmotik, dan
garam aluminium menyebabkan konnnstipasi, agen-agen ini umumnya diberikan
bersama sediaan khusus untuk memperkecil dampak terhadap fungsi usus. Baik
magnesium ataupun aluminium dieksresi melalui ginjal, sehingga penderita
insufisiensi ginjal tidak boleh menggunakan obat ini untuk waktu yang lama.
Dosis
Antasida adalah obat maag yang paling sering dikonsumsi di Indonesia.
Antasida tersedia dalam sediaan sirup maupun tablet. Antasida juga tersedia sebagai
obat generik maupun obat paten.
Magnesium hidroksida dalam bentuk tablet tersedia dalam ukuran dosis 311
mg, sedangkan dalam bentuk sirup tersedia dalam ukuran dosis 400 mg/5 ml, 800
mg/5 ml, dan 2400 ml/10 ml. Antasida lainnya, yakni aluminium hidroksida, dalam
bentuk tablet tersedia dalam ukuran dosis 80 mg, sedangkan dalam bentuk sirup
tersedia dalam ukuran 320 mg/5 ml. Magnesium hidroksida dan aluminium
hidroksida tersebut sering ditemukan dalam bentuk tablet maupun sirup campuran
keduanya.
Dosis untuk sakit maag ialah 2-4 tablet magnesium hidroksida sehari, atau 515 ml sirup magnesium hidroksida sehari terbagi dalam 3-4 kali minum, atau 5-30
ml aluminium hidroksida sehari terbagi dalam 3 kali minum.
Sebagian besar obat-obat antasida tidak dianjurkan untuk anak-anak yang
berada di bawah usia 12. Antasida yang mengandung kalsium dan digunakan untuk
jangka waktu yang lama tidak dianjurkan untuk anak-anak karena mereka dapat
mengganggu tingkat kalsium yang diserap ke dalam tubuh dan dibawa melalui aliran
darah. Tingkat yang tepat dari kalsium sangat penting untuk kesehatan tulang dan
perkembangan anak. Penggunaan jangka panjang dari antasida yang mengandung
kalsium juga dapat menyebabkan tingkat alkali tubuh menjadi tidak seimbang dan
abnormal, sehingga gejalanya kelemahan otot dan kram.
Ada juga sejumlah kasus menghubungkan penggunaan jangka panjang dari
antasida yang mengandung magnesium dan aluminium dengan rakhitis, gangguan
perkembangan pada bayi yang menyebabkan pelunakan dan melemahnya tulang.Obat

antasida yang mengandung aluminium tidak boleh digunakan pada anak dengan
penyakit ginjal dan pada bayi.

Efek samping

Efek samping yang terjadi ada seseorang bisa bervariasi. Efek samping yang
umumnya terjadi adalah sembelit, diare, dan kentut terus-menerus. Penggunaan
berlebihan dari antacid dapat menyebabkan acid rebound, yaitu peningkatan produksi
asam lambung, sehingga memperparah sakit maag.Berkurangnya keasaman perut
dapat menyebabkan mengurangi kemampuan untuk mencerna dan menyerap nutrisi
tertentu, seperti zat besi dan vitamin B. Kadar pH yang rendah di perut biasanya
membunuh bakteri yang tertelan, tetapi antasida meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi karena kadar pHnya naik. Hal ini juga bisa mengakibatkan berkurangnya
kemampuan biologis dari beberapa obat. Misalnya, ketersediaan hayati ketokonazol
(anti jamur) berkurang pada pH lambung yang tinggi (kandungan asam
rendah).Peningkatan pH dapat mengubah kemampuan biologis obat lain, seperti
tetrasiklin dan amfetamin. Ekskresi obat-obatan tertentu juga dapat terpengaruh.
Perpaduan tetracycline dengan aluminium hidroksida dapat menyebabkan mual,
muntah, dan ekskresi fosfat, sehingga kekurangan fosfat.
Obat antasida dapat dikombinasikan dengan obat-obatan seperti simeticone dan
alignates. Beberapa antasida mengandung bahan tambahan yang disebut simeticone.
Kombinasi ini membantu meringankan gejala perut kembung (angin).
Obat-obatan antasida juga dapat berisi kelompok obat-obatan lain, yang disebut
alignates. Alignates membentuk lapisan pelindung pada permukaan perut yang
mencegah asam yang mengalir ke kerongkongan .Natrium alginat ditemukan di
sebagian besar obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan
dan penyakit gastroesophageal reflux.

2) Proton Pump Inhibitor (PPI)


PPI merupakan obat penghambat sekresi asam lambung. Mekanisme kerjanya
mengontrol sekresi asam lambung dengan cara menghambat pompa proton yang
mentransfer ion hidrogen keluar dari sel parietal lambung. Contoh obat penghambat

pompa proton (Proton Pump Inhibitor) antara lain : Omeprazol, lansoprazol,


esomeprazol, pantoprazol, dan rabeprazol. Pemberian obat PPI setidaknya 30-60 menit
sebelum makan, dianjurkan pagi hari. Obat ini secara spesifik menghambat sekresi asam
lambung yang tidak mempengaruhi fungsi fisiologis normal saluran cerna. PPI memblok
sekresi asam lambung dengan cara menghambat pompa H+K+ATPase dalam membran
sel parietal. Transporter H+/K+ ATPase terdapat pada membran sel parietal lambung
dan terlibat dalam sekresi asam lambung. Pompa ini merupakan suatu antiport,
mengkatalisis transport ion H+ keluar dari sel parietal menuju ke rongga lambung,
bertukar dengan in K+ yang masuk ke dalam sel. Pompa ini disebut pompa proton dan
merupakan target aksi obat yang sangat menarik. H2O di dalam sel parietal akan terurai
menjadi H+ dan OH-. Hidroksida akan berikatan dengan CO2 membentuk HCO3dengan bantuan enzim karbonik anhidrase (CA). HCO3- akan dikeluarkan ke cairan
intersisial bertukar dengan ion Cl- dengan bantuan antiport HCO3-/Cl-. Ion Clselanjutnya akan keluar menuju rongga lambung melalui suatu kanal Cl-. Sementara, ion
H+ juga akan keluar rongga lambung bertukar dengan ion K+ dengan bantuan H+/K+
ATPase. Di rongga lambung, ion H+ dan Cl- akan berinteraksi membentuk HCl atau
asam lambung. Omeprazol (PPI) bekerja menghambat aksi pompa H+/K+ATPase,
sehingga ion H+ tidak bisa keluar, dan akibatnya HCl tidak terbentuk. Secara klinis dosis
tunggal 20 mg PPI (khususnya omeprazol) dapat menghasilkan penurunan keasaman
intragastrik yang konsisten selama 24 jam.
PPI merupakan

turunan

benzimidazole

(tepatnya

alfa-piridilmetilsulfinil

benzimidazol), dengan substituen yang berbeda-beda pada gugus piridin atau pada
gugus benzimidazol, dengan sifat-sifat farmakologinya yang sama.
PPI merupakan suatu prodrug, yang memerlukan aktivasi di lingkungan asam.
Senyawa-senyawa ini memasuki sel parietal melalui darah, dan karena sifat basa
lemahnya akan berakumulasi dalam kanalikuli sel parietal pensekresi asam. Pada sel
parietal terjadi aktivasi senyawa ini melalui proses yang dikatalisasi proton (H+)
menghasilkan pembentukan sulfenamida tiofilat atau asam sulfenat.
Bentuk yang teraktivasi ini kemudian bereaksi melalui pembentukan ikatan
kovalen dengan gugus sulfahidril dari sistein di bagian ekstasel H+/K+ATPase. Agar
dapat menghambat produksi asam, penting untuk berikatan dengan sistein 813, yang
bersifat irreversibel untuk molekul pompa tersebut.
PPI memiliki efek yang yang sangat besar terhadap produksi asam. Jika diberikan
dalam dosis yang cukup, contohnya 20 mg omeprazol sehari untuk 7 hari, produksi

asam harian dapat dikurangi hingga lebih dari 95%. Sekresi asam akan kembali normal
setelah PPI yang baru dimasukkan ke dalam membran lumen.
PPI tidak stabil pada pH rendah. Bentuk sediaan oral (pelepasan tertunda) tersedia
dalam bentuk granul salut enterik ter-enkapsulasi dalam cangkang gelatin (omeprazol
dan lansoprazol) atau sebagai tablet salut enterik (pantoprazol dan rabeprazol). Granulgranul ini hanya dapat melarut pada pH basa, sehingga mencegah penguraian obat oleh
asam di esofagus dan lambung.
PPI diabsorbsi dengan cepat, banyak terikat pada protein, dan dimetabolisme
secara ekstensif di hati oleh sistem sitokrom P450 (CYP2C19 dan CYP3A4). Metabolit
sulfatnya dieksresikan di urin atau feses. Waktu paruh plasmanya sekitar 2 jam, tetapi
durasi kerjanya lebih panjang. Pada pasien gagal ginjal kronis (GGK) dan sirosis hati
tidak menyebabkan akumulasi obat bila diberikan dosis sekali sehari. Sedangkan pada
pasien dengan penyakit hati, mengurangi klirens lansoprazol secara signifikan,
sehingga penurunan dosis perlu dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit hati
yang parah.
Kebutuhan akan asam untuk mengaktivasi obat-obat ini di dalam sel parietal
memiliki beberapa konsekuensi penting. Obat-obat harus digunakan bersamaan atau
sebelum makan, karena makanan akan menstimulasi produksi asam di sel-sel parietal;
sebaliknya pemberian bersamaan dengan obat pensupresi asam lainnya seperti
antagonis reseptor H-2 dapat mengurangi efikasi PPI. Karena tidak semua pompa atau
semua sel parietal berfungsi pada saat yang bersamaan, maka dibutuhkan beberapa
dosis obat agar menghasilkan supresi sekresi asam yang maksimal. Dengan dosis sekali
sehari, untuk mencapai tingkat penghambatan yang tetap (steady-state) membutuhkan
waktu 2-5 hari, yang mempengaruhi sekitar 70% pompa. Pencapaian tingkat
penghambatan yang tetap dapat dipercepat dengan pemberian dosis yang lebih sering
(misal 2 kali sehari). Karena ikatan metabolit aktif obat dengan pompa bersifat
irreversible, penghambatan produksi asam akan berlangsung selama 24-48 jam atau
lebih, hingga enzim baru disintesis kembali. Oleh karena itu, durasi kerja obat-obat ini
tidak secara langsung berkaitan dengan waktu paruh dalam plasma.
Dalam lingkungan asam, di dalam sel parietal dikonversi kebentuk aktif yang
menghambat produksi asam lambung. Dengan pencegahan sekresi asam dari sel parietal
ke dalam lambung dapat menurunkan kadar inflamasi dan memberikan kemudahan untuk
proses penyembuhan. Dosis untuk mengurangi resiko iritasi saluran cerna akibat
pemakaian obat-obat obat anti inflamasi non streoid (OAINS) adalah 20 mg sehari

dengan frekuensi satu kali sehari ( Ganiswara, 1995). Pada penggunaan jangka panjang
omeprazol perlu diwaspadai efek sustained hypochlorhydria dan hipergastrinemia.
PPI juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang
kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya (Pasricha dan
Hoogerwefh, 2008).
PPI menghambat aktivitas beberapa enzim sitokrom P450 di hati dan karenanya
dapat menurunkan klirens benzodiazepin, warfarin, fenitoin dan banyak obat lainnya.
Dilaporkan bahwa terjadi toksisitas ketika disulfiram diberikan bersamaan dengan PPI.
PPI biasanya menyebabkan beberapa efek samping yaitu mual, nyeri abdomen,
konstipasi, flatulensi, dan diare. Selain itu juga dilaporkan terjadi miopati subakut,
artralgia, sakit kepala, serta ruam-ruam pada kulit.
Pengobatan kronis dengan omeprazol menurunkan absorbsi vitamin B12, tetapi
data yang ada tidak cukup membuktikan apakah hal ini mengarah pada defisiensi yang
relevan secara klinis atau tidak, hal ini masih harus dibuktikan.
Hipergastrinemia (>500 ng/liter) muncul pada sekitar 5-10% pengguna omeprazol
jangka panjang. Gastrin merupakan faktor tropik bagi sel-sel epitel dan secara teoretis
muncul kekhawatiran bahwa pengingkatan kadar gastrin dapat memicu pertumbuhan
berbagai macam tumor di saluran gastrointestinal. Pada tikus yang diberi PPI jangka
panjang ditemukan adanya perkembangan hiperplasia sel mirip enterokromafin dan
tumor karsinoid gastrik akibat hipergastrinemia yang terus berlangsung.
Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya
komplikasi yang sama jika digunakan pada manusia. Terdapat data yang bertentangan
mengenai risiko dan implikasi klinis hiperplasia sel mirip enterokromafin pada pasien
yang diterapi dengan PPI jangka panjang. Obat-obat ini memiliki sejarah penggunanan
di seluruh dunia lebih dari 15 tahun, dan belum pernah muncul masalah serius berkaitan
dengan keamanan obat ini. Oleh karena itu, sampai saat ini tidak ada alasan untuk
meyakini bahwa munculnya hipergastrinemia dapat dijkadikan pemicu untuk
menghentikan terapi, atau bahwa kadar gastrin harus selalu dipantau pada pasien yang
diterapi dengan PPI jangka panjang. Namun, berkembangnya kondisi hipergastrinemia
menimbulkan kecenderungan bagi pasien untuk mengalami hipersekresi asam lambung
kembali setelah terapi dihentikan. PPI tidak dikaitkan terhadap risiko teratogenik serius
jika digunakan pada trisemester pertama kehamilan, namun pengawasan harus selalu
dilakukan.

3) Histamine-2 receptor antagonist


Empat antagonis H2 yang beredar di USA adalah : simetidin, ranitidin, famotidin,
dan nizatidin. Reseptor Histamin tipe 2 yang terletak di otot polos saluran cerna
sedangkan reseptor Histamin tipe 1 berhubungan dengan sel mast, yang berperan dalam
reaksi alergi. Oleh sebab ini, antagonis H 1 dikenal juga sebagai anti-alergi.Kerja
antagonis reseptor H2 yang paling penting adalah mengurangi sekresi asam lambung.
Obat ini menghambat sekresi asam yang dirangsang histamin, gastrin, obat-obat
kolinomimetik dan rangsangan vagal. Volume sekresi asam lambung dan konsentrasi
pepsin juga berkurang (Katzung, 2002). Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada
reseptor H2 sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang mengeluarkan asam
lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel (Tarigan, 2001). Simetidin, ranitidin dan
famotidin kecil pengaruhnya terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter
esophagus yang lebih bawah. Sementara terdapat perbedaan potensi yang sangat jelas
diantara efikasinya dibandingkan obat lainnya dalam mengurang sekresi asam.
Kurang efektif dalam menurunkan sekresi asam lambung di malam hari.
Digunakan juga untuk sindrom Zollinger-Ellison (kompleks di mana terdapat satu atau
lebih bentuk tumor di pankreas atau di bagian atas duodenum, dimana tumor tsb
menghasilkan hormone dalam jumlah besar shg terjadi hipersekresi asam pada
lambung). Pemberian obat pada malam hari diperkirakan merupakan penentu terpenting
pada kecepatan penyembuhan ulkus duodenum. Direkomendasikan diberikan
setidaknya 2 kali sehari (2dd) atau dosis tunggal (1dd) pada saat jam tidur sama
efektifnya.Pada pasien sindrom Zollinger-Ellison sering dibutuhkan dosisi lebih tinggi
s/d 2400 mg/hari.
Simetidin merupakan inhibitor enzim pada metabolism hati, sehingga dapat
menyebabkan peningkatan kadar dan toksisitas obat tertentu spt warfarin, teofilin,
diazepam dan fenitoin. Penggunaan obat-obat tersebut dengan kombinasi simetidine,
perlu diperhatikan, bila perlu dosis obat tersebut diturunkan.Absorpsi simetidine
menurun karena sukralfat (obat ulcer peptic yang sering diresepkan bersamaan dengan
simetidin). Pengatasannya dengan cara minum simetidin 2 jam sebelum minum
sukralfat
Nizatidin memacu aktifitas kontraksi asam lambung, sehingga memperpendek
waktu pengosongan lambung (Katzung, 2002). Efek samping sangat kecil antara lain
agranulasitosis, ginekomastia, konfusi mental khusus pada usia lanjut, dan gangguan

fungsi ginjal dijumpai terutama pada pemberian simetidin. Simetidin sebaiknya jangan
diberikan bersama warfarin, teofilin, siklokarpon, dan diazepam (Tarigan, 2001).
2. PELINDUNG MUKOSA LAMBUNG
Mukosa gastroduodenum mengembangkan sejumlah mekanisme pertahanan untuk
mencegah efek merugikan dari asam dan pepsin. Mukus dan tight junction antar sel epitel
menghambat difusi balik asam dan pepsin. Sekresi bikarbonat epitel membentuk gradien pH
di dalam lapisan mukosa dengan pH berkisar 7 di permukaan mukosa hingga 1-2 di lumen
lambung. Aliran darah membawa bikarbonat dan nutrien vital ke sel-sel di permukaan.
Bagian epitel yang cedera harus cepat diperbaiki dengan restitusi, yaitu suatu proses ketika
migrasi sel dari sel sel leher kelenjar menambah erosi kecil untuk mempertahankan
kebutuhan epitel. Prostaglandin mukosa memiliki peran dalam merangsang sekresi mukus
dan bikarbonat serta aliran darah mukosa. Berikut ini terdapat sejumlah obat yang dapat
memperkuat mekanisme pertahanan mukosa untuk mencegah dan mengobati gangguan
asam peptik.
1) Sukralfat
Kimia dan farmakokinetik
Sukralfat adalah suatu garam sukrosa yang berikatan dengan alumunium
hidroksida bersulfat dengan alumunium hidroksida bersulfat. Di air atau larutan asam,
bahan ini membentuk suatu pasta kental tahan lama yang secara selektif mengikat ulkus
atau erosi hingga 6 jam. Sukralfat memiliki kelarutan terbatas, terurai menjadi ukrosa
sulfat (bermuatan negatif kuat) dan garam alumunium. Kurang dari 3% obat ini utuh dan
alumunium diserap di saluran usus, sisanya diekskresikan melalui feses.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja pasti dari sukralfat belum diketahui. Namun, dipercayai bahwa
sukrosa sulfat yang bermuatan negatif berikatan dengan protein-protein bermuatan
positif di dasar ulkus atau erosi, membentuk suatu sawar fisik yang mencegah kerusakan
kaustik lebih lanjut serta merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin mukosa.
Pemakaian klinis
Sukralfat diberikan dalam dosis 1 g empat kali sehari pada lambung yang kosong
(minimal satu jam sebelum makan). Sukralfat yang diberikan sebagai bubur melalui
selang nasogastrik dapat mengurangi insiden perdarahan saluran cerna atas yang
signifikan secara klinis pada pasien sakit berat yang dirawat di unit perawatan intensif
mekipun obat ini sedikit kurang efektif daripada antagonis H 2 intravena. Sukralfat masih
digunakan oleh banyak dokter untuk mencegah perdarahan terkait stres karena
kekhawatiran bahwa terapi inhibisi asam (antasid, antagonis H2, dan inhibitor popmpa
proton) dapat meningkatkan resiko pneumonia nosokomial.

Efek samping dan interaksi obat


Pada dasarnya sukralfat tidak diserap sehingga tidak menimbulkan efek samping
sistemik. Konstipasi terjadi pada 2% pasien karena garam alumunium. Oleh karena
sejumlah alumunium terserap, obat ini jangan digunkan dalam jangka panjang oleh
pasien dengan insufisiensi ginjal. Obat ini dapat mengikat obat lain sehingga dapat
mengganggu penyerapan obat.
2) Analog Prostaglandin
Kimia dan farmakokinetik
Mukosa saluran cerna manusia membentuk sejumlah prostaglandin, prostaglandin
utama adalah prostaglandin E dan F. Misoprostol merupakan suatu analog metal PGE 1
yang telah disetujui untuk digunakan pada penyakit gastrointestinal. Setelah pemberian
oral, obat ini cepat diserap dan dimetabolisme menjadi asam bebas yang aktif secara
metabolis. Waktu paruh obat ini adalah 30 menit, sehingga obat ini harus diberikan 3-4
kali sehari. Obat ini diekskresikan di urin tetapi tidak diperlukan pengurangan dosis pada
pasien dengan insufisiensi ginjal.
Farmakodinamik
Misoprostol memiiki efek menghambat asam dan melindungi mukosa. Obat ini
dipercaai merangsang secret mucus dan bikarbonat serta meningkatkan aliran darah
mukosa. Selain itu, misoprostol berikatan dengan reseptor prostaglandin di sel parietal,
mengurangi produksi cAMP yang dirangsang oleh histamin serta menyebabkan inhibisi
sedang terhadap asam.
Pemakaian klinis
Tukak peptik terjadi sekitar 10-0% pasien yang mendapat terapi NSAID jangka
panjang. Misoprostol dapat mengurangi insiden tukak imbas NSAID hingga kurang dari
3% dan insiden penyulit tukak sebesar 50%. Pengguanaan misoprostol belum secara luas
karena efek samping yang tinggi dan pemberian obat yang berkali-kali dalam sehari.
Inhibitor pompa proton mungkin sama efektifnya dengan misoprotol untuk indikasi ini.
Efek samping dan interaksi obat
Diare dan nyeri kram perut terjadi pada 10-20% pasien yang mengonumsi obat ini.
Oleh karena misoprostol merangsag uterus, obat ini jangan diberikan kepada ibu hamil
dan wanita subur kecuali mereka menunjukkan uji kehamilan negatif dan menggunakan
kontrasepsi efektif.
3) Senyawa Bismut
Kimia dan farmakokinetik
Ada dua senyawa bismut : bismut subsalisilat, suatu sediaan non-resep yang
mengandung bismut dan salisilat, serta kalium bismut subsirat. Di AS, bismut subsirat
tersedia hanya sebagai suatu produk kombinasi dengan resep yang juga mengandung
produk kombinasi dengan resep yang mengandung metronidazol dan tetrasiklin untuk

mengobati H. pylori. Bismut subsalisilat mengalami penguraian cepat dilambung


sehingga memungkinkan penyerapan salisilat. Lebih dari 99% bismut muncul di feses.
Meskipun minimal <1% bismut diabsorpsi, bismut tersimpan di banyak jaringan dan
ekskresi ginjalnya lambat. Salisilat (seperti aspirin) cepat diserap dan diekskresikan di
urin.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja bismut secara pasti belum diketahui. Bismut melapisi tukak dan
erosi, menciptakan suatu lapisan protektif terhadap asam dan pepsin. Obat ini juga
mungkin merangsang prostaglandin, mukus, dan bikarbonat. Bismut subsalisilat
mengurangi frekuensi dan liukiditas tinja pada diare infeksi akut, karena inhibisi sekresi
prostaglandin dan klorida oleh salisilat. Bismut memiliki efek antimikroba langsung dan
mampu mengikat enterotoksin sehingga obat ini bermanfaat dalam mencegah dan
mengobati diare pelancong (traveller diarrhea). Senyawa bsimut memiliki antimikroba
langsung terhadap H. pylori.
Pemakaian klinis
Meskipun tidak memiliki uji-uji klinis perbandingan, senyawa bismut non resep
(misal Pepto-Bismol, Kaopectate) digunakan secara luas untuk terapi non-spesifik
dispepsia dan diare akut. Bismut subsalisilat juga digunakan untuk mencegah diare
pelancong (30 mL atau 2 tablet empat kali sehari).
Senyawa bismut digunakan dalam regimen 4 obat untuk eradiksi infeksi bakteri H.
pylori. Satu regimen mengandung inhibitor pompa proton (dua kali sehari) yang
dikombinasikan dengan bismut subsalisilat (2 tablet, masing-masing 262 mg), tetrasiklin
(250-500 mg), dan metronidazol (500 mg) yang diberikan selama empat kali dalam 1014 hari. Regimen lainnya terdiri dari inhibitor pompa proton (dua kali sehari)
dikombinasikan dengan tiga kapsul formula resep kombinasi (tiap kapsul mengandung
bismut subsirat 140 mg, metronidazol dua kali sehari selama 14 hari). Regimen terapi
triple standar (yi,inhibitor pompa proton, klaritomisin, dan amoksisilin atau metronidazol
dua kali sehari selama 14 hari) umumnya lebih disukai sebagai terapi lini pertama karena
pemberiannya dua kali sehari. Terapi empat obat berbasis bismut sering digunakan
sebagai lini kedua.
Efek samping
Semua sediana bismut memiliki profil keamanan yang sangat baik. Bismut
menyebabkan tinja berwarna hitam yang tidak berbahaya, tetapi dapat disangka
perdarahan gastrointestinal. Sediaan cair dapat meneybabkan lidah berawarna hitam,
tetapi tidak membahayakan. Bismut seharusnya digunakan hanya dalam waktu singkat

dan hindari pada pasien insufisiensi ginjal.

Pemakaian yang berkepanjangan dapat

menyebabkan toksisitas bismut berupa ensefalopati meskipun jarang ditemui. Namun,


toksisitas ini belum pernah dilaporkan pada pemakaiaan subsalisilat atau bismut sitrat.
Bismut subsalisilat dosis tinggi dapat menyebabkan toksisitas salisilat.
4) STIMULAN
Antiemetik / Antimuntah
Muntah (emesis) dapat dianggap sebagai suatu cara perlindungan alamiah dari
tubuh terhadap zat-zat merangsang dan beracun yang ada dalam makanan. Namun
demikian, seringkali muntah merupakan gejala penyakit, misalnya kanker lambung,
penyakit Meniere, mabuk darat, dan pada masa hamil. Tidak jarang muntah merupakan
efek samping yang tidak enak dari obat-obatan, seperti onkolitika, obat Parkinson,
digoksin, dan sebagai akibat radioterapi kanker. Dalam semua hal terakhir ini, muntah
dapat diatasi dengan obat-obat antimual (Antiemetika).
Mual dan muntah adalah suatu sensasi muntah yang mendahului proses muntah.
Mual dan muntah adalah gejala penyakit yang dapat di timbulkan bermacam macam
penyebab antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Karena gerakan (motion sickness) : mabuk perjalanan


Infeksi dan gangguan saluran pencernaan
Intoleransi makan
Gangguan dan cidera persyarafan
Pembiusan dan pembedahan
Kehamilan
ESO dari penggunaan obat tertentu
Gangguan meabolisme
Gejala dari penyakit tertentu sehingga merangsang pusat muntah

Mekanisme Dan Penyebab


Pusat muntah terletak di medulla oblongata yang juga mengatur fungsi jantung,
pernafasan, air liur/saliva dan vasomotor. Pusat muntah dapat distimulasi dengan 4
perngsangan yang berbeda:
a)

Serat

aferen

N.vagus

(kaya

akan

serotonin

dan

5-hydroxy-tryptamine)

N.splanchnicus bagian dalam yang dapat distimulasi oleh iritasi peritoneum, infeksi
atau perut yang menggembung.
b) Sistem vestibular yang bisa dirangsang oleh infeksi. Serabut syaraf ini banyak
c)

mengandung histamin, dan reseptor musakrinik.


Higher CNS centers yang distimulasi oleh gangguan penglihatan, penciuman dan
emosional dapat menyebabkan muntah.

d) Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) yang terletak di luar sawar darah otak (BBB)
seperti pada area postrema dari medulla. Daerah ini memilki reseptor kimia yang
dapat distimulasi oleh obat-obatan, zat-zat kemoterapi, racun, hipoksia, uremia,
terapi radiasi. Area postrema ini kaya akan reseptor 5-hydroxy-tryptamine dan
dopamine, opioid, dan asetikolin, substansi P.
Banyak faktor yang dapat merangsang pusat muntah diantaranya:
1. Gangguan pada saluran cerna

Gastritis yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri

Stenosi pylori, pada bayi muntah merupakan indikasi untuk dilakukan tindakan
bedah secepatnya.

Bowel obstruction

Acute abdomen and/or peritonitis

Ileus

Pankreatitis, kolesistitis, apendisitis, hepatitis.

Pada anak-anak, dapat disebabkan oleh alergi terhadap protein pada susu sapi

Konsumsi alkohol yang berlebihan.

Pergerakan seperti pada motion sickness yang terjadi akibat stimulasi berlebihan
dari kanal labirin pada telinga.

Menieres disease

Perdarahan serebral

Nyeri atau sakit kepala yang unilateral

Tumor otak, yang dapat malfungsi dari reseptor kimia di otak.

Hidrocephalus, peningkatan tekanan intracranial.

Hiperkasemia, tingginya kadar kalsium dalam darah.

Uremia, biasanya terjadi akrena gangguan ginjal

Insufisiensi adrenal

Hipoglikemia

2. Gangguan pada sistem sensorik dan otak

3. Gangguan metabolisme
4. Kehamilan

Hiperemesis, Morning sickness

5. Interaksi obat

Alkohol , efek muntah yang ditimbulkan biasanya terjadi sesudah keadaan mabuk
karena banyak meminum alohol.

Pemakaian opium juga dapat menyebabkan muntah.

Obat-obatan kemoterapi

Penghambat reuptake serotonin yang selektif

Antiemetik adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi atau


menghilangkan rasa mual dan muntah.
Tujuan keseluruhan dari terapi antiemetik adalah untuk mencegah atau
menghilangkan mual dan muntah, seharusnya tanpa menimbulkan efek samping. Terapi
antiemetik diindikasikan untuk pasien dengan gangguan elektrolit akibat sekunder dari
muntah, anoreksia berat, memburuknya status gizi atau kehilangan berat badan.
Penggunaan antiemetik
Obat antiemetik diberikan kepada pasien dengan keluhan sebagai berikut:
oMabuk jalan (motion sickness) --- Disebabkan oleh pergerakan kendaraan darat, laut
maupun udara dengan akibat stimulasi berlebihan di labirin yang kemudian
merangsang pusat muntah melalui chemo reseptor trigger one (CTZ).
oMabuk kehamilan (morning sickness) --- Pada kasus ringan sebaiknya dihindari agar
tidak berakibat buruk pada janin, sedangkan pada kasus berat dapat dipakai
golongan antihistamin atau fenotiazin (prometazin) yang kadang dikombinasikan
dengan vitamin B6, penggunaannya sebaiknya dibawah pengawasan dokter.
oMual atau muntah yang disebabkan penyakit tertentu, seperti pada pengobatan dengan
radiasi atau obat-obat sitostatika.
Penggolongan antiemetik

Antagonis reseptor 5-hydroxy-tryptamine yang menghambat reseptor serotonin di


Susunan Syaraf Pusat (SSP) dan saluran cerna.. Obat ini dapat digunakan untuk

pengobatan post-operasi, dan gejala mual dan muntah akibat keracunan. Beberapa
contoh obat yang termasuk golongan ini adalah :
Dolasetron
Granisetron
Ondansetron
Tropisetron
Palonosetron (Aloxi, antagonis5HT3 yang terbaru)

Antagonis Dopamine , yang bekerja di otak yang biasanya digunakan untuk


pengobatan muntah pada neoplasma otak, mengurangi efek muntah dari
kemoterapi, opioids, keracunan obat dan anastesi umum. Contoh obat golongan ini
adalah :
Domperidone
Droperidol, Haloperidol, Chlorpromazine, Promethazine, Prochlorperazine. Obat
ini biasanya jarang digunakan karena efek ekstrapiramidal yang luas dan efek
sedatif.
Metoclopramide , bekerja di saluran cerna sebagai prokinetik dan digunakan
untuk pengobatan gangguan saluran cerna tetapi tidak cocok untuk pasien
sesudah opersi dan keracunan obat.

Antihistamin (Antagonis reseptor H1 histamine ). Obat ini efektif untuk berbagai


kondisi seperti motion sickness, ataupun mual dan muntah pada ibu hamil. Obatobat dari golongan ini meliputi :
Cyclizine
Diphenhydramine
Dimenhydrinate
Meclizine
Promethazine (Pentazine, Phenergan, Promacot)
Hydroxyzine

Steroid
Dexamethasone, biasanya diberikan dalam dosis rendah. Mekanisme kerja dari
steroid dalam pengobatan muntah masih belum jelas

Benzodiazepines
Midazolam , biasanya digunakan untuk pengobatan mual dan muntah akibat
operasi.

Cannabinoids, biasanya terapi kedua yang digunakan pada pasien mual dan muntah
akibat keracunan yang tidak peka terhadap obat yang lain
Cannabis
Marinol

OBAT PADA SISTEM PENCERNAAN BAWAH

1. LAKSATIF
Definisi
Laksatif atau urus-urus atau pencahar ringan adalah obat yang berkhasiat untuk
memperlancar pengeluaran isi usus. Disebut juga sebagai aperientsdan aperitive.
Mekanisme Kerja
Mekanisme laksatif yang sepenuhnya masih belum jelas, namun secara umum dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Sifat hidrofilik atau osmotiknya menyebabkan terjadinya penarikan air dengan akibat
massa, konsistensi, dan transit feses yang bertambah.
b. Laksatif bekerja secara langsung maupun tak langsung pada mukosa kolon dalam
menurunkan absorbs NaCl dan air.
c. Laksatif dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorbs garam
dan air yang selanjutnya mengubah waktu transit feses.
Klasifikasi
a. Laksatif Pembentuk Massa (Bulk Laxatives)
Bulk laxative digunakan bila diet tinggi serat tidak berhasil menangani konstipasi.
Obat golongan ini merupakan obat yang berasal dari alam atau dibuat secara
semisintetik, seperti metilselulosa, natrium karboksimetilselulosa, kalsium polikarbofil,
dan psyllium, yang merupakan polisakarida atau derivate selulosa yang dapat menyerap
air ke lumen kolon dan meningkatkan massa feses dengan menarik air dan membentuk
suatu hidrogel sehingga terjadi peregangan dinding saluran cerna dan merangsang gerak
peristaltik. Hal tersebut akan menstimulasi motilitas dan mengurangi waktu transit feses
di kolon. Rasa kembung dan frekuensi flatus mungkin meningkat, namun laksatif cukup
aman digunakan dalam jangka panjang. Pada penggunaan laksatif ini, asupan cairan yang
adekuat sangat diperlukan, jika tidak, dapat menimbulkan dehidrasi. Pada pasien yang
tidak bereaksi terhadap terapi tunggal Bulk Laxatives, pilihan selanjutnya adalah dengan
menambahkan laksatif jenis lain. Setiap jenis laksatif memiliki mekanisme tersendiri.
Berikut akan dijelaskan macam-macam laksatif pembentuk massa:
1. Metilselulosa
Obat ini diberikan secara oral, tidak diabsorbsi melalui saluran cerna sehingga
diekskresi melalui tinja. Dalam cairan usus, metilselulosa akan mengembang
membentuk gel emolien atau larutan kental yang dapat melunakkan tinja. Residu
yang tidak dicerna merangsang peristaltik usus secara refleks. Efek pencahar
diperoleh setelah 12-24 jam, dan efek maksimal setelah beberapa hari pengobatan.

Obat ini tidak menimbulkan efek sistemik, tetapi pada beberapa pasien bisa terjadi
obstruksi usus atau esophagus. Oleh karena itu, multiselulosa tidak boleh diberikan
pada pasien dengan kelainan mengunyah.
Metilselulosa digunakan untuk melembekkan feses pada pasien yang tidak
boleh mengejan, misalnya pasien dengan hemoroid. Sediaan terdapat dalam bentuk
bubuk atau granula 500 mg, tablet atau kapsul 500 mg. Dosis anak 3-4 kali 500
2.

mg/hari, sedangkan dosis dewasa 2-4 kali 1,5 g/hari.


Natrium Karboksimetilselulosa
Obat ini memiliki sifat-sifat yang sama dengan metilselulosa, hanya saja tidak
larut dalam cairan lambung dan bisa digunakan sebagai antasida. Sediaan dalam
bentuk tablet 0,5 g dan 1 g, atau kapsul 650 mg dengan dosis dewasa adalah 3-6

3.

g/hari.
Psilium (Plantago)
Psilium sekarang telah digantikan dengan preparat yang lebih murni dan
ditambahkan musiloid, yaitu merupakan substansi hidrofilik yang membentuk
gelatin bila bercampur dengan air. Dosis yang dianjurkan 1-3 kali 3-3,6 g/hari dalam
250 ml air atau sari buah. Pada penggunaan kronik, psilium dapat menurunkan

4.

kadar kolesterol darah karena mengganggu absorbsi asam empedu.


Agar-agar
Merupakan koloid hidrofil, kaya akan hemiselulosa yang tidak dicerna dan
tidak diabsorbsi. Agar-agar yang biasa dibuat merupakan pencahar massa yang muda

5.

didapat. Dosis dewasa yang dianjurkan adalah 4-16 g/hari.


Polikarbofil dan Kalsium Polikarbofil
Merupakan poliakrilik resin hidrofilik yang tidak diabsorbsi, lebih banyak
mengikat air dari pencahar pembentuk massa lainnya. Polikarbofil dapat mengikat
air 60-100 kali dari beratnya sehingga memperbanyak massa tinja. Preparat ini
mengandung natrium dalam jumlah kecil. Dalam saluran cerna kalsium polikarbofil
dilepaskan ion Ca2+, sehingga tidak boleh diberikan pada pasien dengan
pembatasan asupan kalium. Dosis dewasa 1-2 kali 1000 mg/ hari, disertai air minum
250 ml.

b. Laksatif Emolien
Laksatif ini sering digunakan sebagai adjuvan dari bulk atau stimulant laxatives.
Laksatif ini dapat ditolerensi tubuh dengan baik. Obat yang termasuk golongan ini
memudahkan defekasi dengan jalan melunakkan feses tanpa merangsang peristaltik usus,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Obat yang termasuk golongan ini adalah
dioktilnatrium sulfosuksinat, paraffin, dan minyak zaitun.
1. Dioktilnatrium Sulfosuksinat

Cara kerja dioktilnatrium sulfosuksinat adalah dengan menurunkan tegangan


sehingga memepermudah peneterasi air dan lemak ke dalam masa tinja. Tinja
menjadi lunak setelah 24-48 jam.
Sediaan dalam tablet 50-300 mg, suspensi 4 mg / ml. Dosis untuk anak 10-40
mg / hari, sedangkan dosis untuk dewasa adalah 50-500 mg / hari. Penggunaan bisa
mengakibatkan efek samping berupa kolik usus, bahkan muntah dan diare.
2.

Dioktilnatrium sulfosuksinat juga bersifat hepatotoksik.


Parafin Cair (Mineral Oil)
Parafin cair adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari minyak bumi.
Setelah minum obat ini, maka tinja akan menjadi lunak disebabkan berkurangnya
reabsorbsi air dari tinja. Parafin cair tidak dicerna di dalam usus dan hanya sedikit
yang diabsorbsi. Yang diabsorbsi ditemukan pada limfonosi mesenterik, hati, dan
limpa.
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 15-30 ml/hari. Kebiasaan
menggunakan parafin cair akan mengganggu absorbsi zat larut lemak, misalnya
absorbsi karoten menurun 50%, juga absorbsi vitamin A dan D akan menurun.
Absorbsi vitamin K menurun akibat hipoprotrombinemia; dan juga dilaporkan
terjadinya pneumonia lipid. Obat ini juga memiliki efek samping berupa pruritus ani,
menyulitkan

3.

penyembuhan

pascabedah

anorektal,

dan bisa

menyebabkan

perdarahan. Jadi untuk penggunaan kronik, obat ini tidak aman.


Minyak Zaitun
Minyak zaitun yang dicerna akan menurunkan sekresi dan motilitas lambung
dan juga bisa merupakan sumber energi. Dosis yang dianjurkan sebanyak 30

mg/hari.
c. Laksatif Perangsang (Stimulant)
Laksatif golongan ini mengalami hidrolisis di usus oleh enzim enterosit atau flora di
kolon. Efek primer laksatif ini berpengaruh pada perubahan transport elektrolit pada
mukosa intestinal dan secara umum bekerja selama beberapa jam. Dalam klasifikasinya,
Schiller memasukan laksatif jenis ini ke dalam kelas secretagogues dan agen yang
berefek langsung pada epitel, syaraf, atau sel otot polos.
Laksatif perangsang bekerja dengan merangsang mukosa, saraf intramural, atau otot
polos sehingga meningkatkan peristaltis dan sekresi lendir usus. Banyak di antara laksatif
perangsang bekerja untuk mensistesis prostaglandin dan siklik AMP, di mana hal ini
akan meningkatkan sekresi elektrolit. Penghambatan sintesis prostaglandin dengan
indometasin menurunkan efek berbagai obat ini terhadap sekresi air. Difenilmetan dan
antrakinon kerjanya terbatas hanya pada usus besar sehingga terdapat masa laten 6 jam

sebelum timbul efek pencahar. Minyak jarak, hanya bekerja pada usus halus memiliki
masa laten 3 jam. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis laksatif perangsang.
1. Minyak Jarak (Castrol Oil-Oleum Ricini)
Berasal dari biji Ricinus communis, merupakan suatu trigliserida asam
risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus halus minyak jarak
dihidrolisis menjadi gliserol dan asam risinoleat oleh enzim lipase. Asam risinoleat
merupakan bahan aktif. Minyak jarak juga bersifat emolien. Sebagai pencahar, obat
ini tidak banyak lagi digunakan karena banyak obat lain yang lebih aman.
Dosis untuk dewasa adalah 15-60 mL, sedangkan untuk anak-anak adalah 515 mL. Efek samping dari minyak jarak antara lain kolik, dehidrasi dengan
gangguan elektrolit, confussion, denyut nadi tidak teratur, kram otot, rash kulit, dan
kelelahan. Minyak jarak dianjurkan diberikan pagi hari waktu perut kosong. Jika
dosisnya ditambah, tidak akan menambah efek pencahar, dan efek pencahar akan
2.

terlihat setelah 3 jam.


Difenilmetan
Derivate difenilmetan yang sering digunakan adalah bisakodil. Beberapa
derivate difenilmetan adalah sebagai berikut.
Fenolftalein
Diberikan per oral dan mengalami absorbsi kira-kira 15% di usus halus.
Efek fenolftalein dapat bertahan lama karena mengalami sirkulasi enterohepatik.
Sebagian besar fenolftalein diekskresi melalui tinja, sebagian lagi diekskresikan
di ginjal dalam bentuk metabolitnya. Jika diberikan dalam dosis besar, akan
ditemukan dalam bentuk utuh dalam urin, dan pada suasana alkali akan
menyebabkan urin dan tinja berwarna merah. Ekskresi melalui ASI sangat kecil
sehingga tidak akan mempengaruhi bayi yang sedang disusui.
Sediaan dalam bentuk tablet 125 mg, dosis 60-100 mg. Fenolftalein relatif
tidak toksik untuk pengobatan jangka pendek, tetapi dosis yang berlebihan akan
meningkatkan kehilangan elektrolit. Bisa menyebabkan reaksi alergi. Efek
pencahar akan terlihat setelah 6-8 jam. Namun, penggunaan fenilptalein sudah

dilarang karena bersifat karsinogen


Bisakodil
Pada penelitian pada tikus, bisakodil mampu dihidrolisis menjadi difenol
di usus bagian atas. Difenol yang diabsorbsi mengalami konjugasi di hati dan
dinding usus. Metabolit akan diekskresi melalui empedu, dan selanjutnya
mengalami rehidrolisis menjadi difenol yang akan merangsang motilitas usus
besar.

Sediaan berupa tablet bersalut enteral 5 mg dan 10 mg. Sediaan


supositoria 10 mg. Dosis dewasa 10-15 mg, dosis anak 5-10 mg. Efek samping
berupa kolik usus dan perasaan terbakar pada penggunaan rektal. Efek pencahar
akan terlihat setelah 6-12 jam, sedangkan pada pemberian rektal efek pencahar
terlihat setelah setengah sampai satu jam. Pada pemberian oral, bisakodil
diabsorbsi kira-kira 5% dan diekskresi bersama urin dalam bentuk glukuronid,
tetapi ekskresi utama adalah di dalam tinja.
Oksifenisatin Asetat
Bagaimana respon tubuh terhadap oksifenisatin asetat mirip dengan

bisakodil. Efek pencaharnya tidak melebihi bisakodil. Obat ini jarang


digunakan karena dapat menimbulkan hepatitis dan ikterus.
Sediaan berupa tablet 5 mg atau sirup 5 mg / 5 ml, supositoria 10 mg.
Dosis dewasa oral 4-5 mg, per rektal 10 mg. Sedangkan untuk anak per oral 1-2
mg. Efek samping bisa berupa hepatitis, ikterus, dan reaksi alergi. Efek
3.

pencahar setelah 6-12 jam kemudian.


Antrakinon
Efek pencahar golongan ini bergantung pada antrakinon yang dilepaskan dari
ikatan glikosidanya. Efek pencahar antrakinon timbul setelah 6 jam. Setelah
pemberian oral sebagian akan diabsorbsi dalam bentuk glikosidanya. Sebagian
glikosida dihidrolisis oleh enzim flora usus menjadi antrakinon dan bekerja sebagai
pencahar di kolon. Efek antrakinon yang tidak diinginkan adalah efek pencahar
yang berlebihan. Zat aktif bisa ditemukan pada ASI sehingga bisa mempengaruhi
bayi yang disusui. Melanosis kolon bisa terjadi, namun bisa menghilang dengan
penghentian pemakaian obat selama 4-12 bulan.
Kaskara Sagrada
Berasal dari kulit pohon Rhamnus purshiana. Sediaan dalam bentuk
sirup, eliksir, tablet 125 mg. Dosis 2-5 mL, dosis 100-300 mg. Efek samping
adalah pigmentasi mukosa kolon. Zat aktif bisa ditemukan pada ASI. Efek

pencahar bisa telihat setelah 8-12 jam.


Sena
Berasal dari daun atau buah Cassia acutifolia atau Cassia angustifolia,
terdapat zat aktif senosida A dan B. Sebagian antrakinon yang diabsorbsi akan
diekskresi melalui ginjal dengan warna kuning sampai merah bila suasana urin
alkali.
Sediaan berupa sirup dan eliksir, dosis 2-4 ml. Sediaan juga da dalam
bentuk tablet 280 mg, dosis 0,5-2 g. Efek samping pada penggunaan lama

akan menyebabkan kerusakan neuron mesenterik. Efek pencahar akan terliaht

setelah 6 jam.
Dantron (Dihidroksiantrakinon)
Dantron leboh banyak mengandung antrakinon bebas daripada bentuk
glikosidanya. Sediaan dalam tablet 75 mg, dosis 75-150 mg. Efek pencahar

akan terlihat seteah 6-8 jam.


d. Laksatif Osmotik
Laksatif yang termasuk golongan ini adalah garam-garam anorganik (yang tersusun
oleh magnesium) dan alkohol organik atau gula seperti laktulosa dan polyethylene glycol
(PEG). . Laksatif jenis ini bekerja dengan cara mempertahankan air tetap berada dalam
saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada dinding usus, yang kemudian
merangsang pergerakan usus (peristaltik). Laksatif jenis ini adalah preparat yang sangat
lambat diserap bahkan tidak diserap, sehingga terjadi sekresi air ke dalam intestinum
untuk mempertahankan isotonisitas yang sama dengan plasma. Beberapa pilihan laksatif
salin adalah garam-garam seperti magnesium hidroksida, magnesium sulfat, magnesium
sitrat, sodium fosfat, dan sodium sulfat. Beberapa jenis laksatif osmotic adalah sebagai
berikut.
1. Garam Magnesium (MgSO4 atau Garam Inggris)
Diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan dieksresikan melalui ginjal. Bila
fungsi ginjal terganggu, garam magnesium berefek sistemik menyebabkan dehidrasi,
kegagalan fungsi ginjal, hipotensi, dan paralisis pernapasan. Jika terjadi hal-hal
tersebut, maka harus diberian kalsium secara intravena dan melakukan napas buatan.
Garam magnesium tidak boleh diberikan pada pasien gagal ginjal.
Sediaan yang ada misalnya adalah magnesium sulfat dalam bubuk, dosis
dewasa 15-30 g; efek pencahar terlihat setelah 3-6 jam. Magnesium oksida dosis
dewasa 2-4 g; efek pencahar terlihat seteah 6 jam.
Walaupun garam magnesium bekerja secara lokal di traktus gastrointestinal,
efek farmakologisnya pun mungkin disebabkan oleh pelepasan hormon seperti
kolesistokinin suatu hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi
cairan.atau pengaktifan sintesa nitrit oksida. Senyawa ini dapat diminum ataupun
2.

diberikan secara rektal.


Laktulosa
Merupakan suatu disakarida semisintetik yang tidak dipecah oleh enzim usus
dan tidak diabsorbsi di usus halus. Laktulosa tersedia dalam bentuk sirup. Obat ini
diminum bersama sari buah atau air dalam jumlah cukup banyak. Dosis
pemeliharaan harian untuk mengatasi konstipasi sangatlah bervariasi, biasanya 7-10
g dosis tunggal maupun terbagi.

Kadang-kadang dibutuhkan dosis awal yang lebih besar, misalnya 40 g dan


efek maksimum laktulosa mungkin terlihat setelah beberapa hari. Untuk keadaan
hipertensi portal kronis dan ensefalopati hepar, dosis pemeliharaan biasanya 3-4 kali
20-30 g (30-45 ml) laktulosa sehari; dosis ini disesuaikan dengan defekasi 2-3 kali
sehari dan tinja lunak, serta pH 5,5. Laktulosa juga dapat diberikan per rektal.
Laktulosa adalah jenis gula yang tidak banyak diserap, seperti galaktosafruktosa disakarida. Tubuh manusia kekurangan enzim fruktosidase, karbohidrat
yang tidak terserap merupakan substrat bagi proses fermentasi bakteri kolon yang
akan diubah menjadi hidrogen, metana, karbon dioksida, air, asam dan asam lemak
rantai pendek. Selain sebagai agen osmotic, produk-produk ini juga menstimulasi
motilitas dan sekresi intestinum. Rasa kembung, tidak nyaman di perut, dan flatus
yang sering merupakan efek samping yang sering dikeluhkan oleh pasien saat
menggunaan laksatif jenis ini.
2. ANTI DIARE
Penggunaan obat anti diare :

Hati hati untuk pemberian pada pasien yang sudah tua terutama diphenoxylate atau

difenoxin karena mengandung athropine atau antikolinergik.


Pemberian obat antidiare pada anak dibawah 2 tahun tidak aman.
Pengunaan antimotilitas dipertimbangkan sesuai causa diare.
Penambahan serat fiber dapat membantu terapi diare.

Obat diare terbagi atas antimotilitas, antisekretori, dan absorben.


1) Antimotilitas
A. Lopramide
Cara kerja :
Menghambat gerakan peristaltik secara langsung pada otot sirkular dan
longitudinal dinding usus.
Menahan pengeluaran air dan elektrolit pada usus.
Indikasi : diare akut maupun kronik
Kontra indikasi : disentri akut, ulseratif kolitis akut, bacterial enterocolitis dan
kolitis pseudomembran, ibu hamil trisemester pertama dan menyusui dilarang.
Efek samping : nyeri abdominal, mual-muntah, mulut kering, mengantuk,
pusing, ruam kulit, dan megakolon toksik
Dosis
:
1-2mg 2-3x / hari dengan dosis maksimal 16mg / hari
B. Difenoksilat
(Difenoksilat
HCl,
Cara kerja :

Atropin

Sulfat)

Memicu antikolinergik efek yang membuat penurunan sekret di usus dan


melambatkan gerak peristaltik.
Indikasi : diare akut maupun kronik, terapi tambahan saat rehidrasi
Kontra indikasi : diare karena bakteri / virus, kolilitis, yellow fever
Efek samping : euforia, parestesia, edema angioneurotik dan reaksi alergi
lainnya, megakolon toksik, ileus paralitikum, intoleransi saluran pencernaan.
Dosis

5mg 2-4x / hari

2) Absorben
A.

Kaolin Pektin
Cara kerja:
Merubah
viskositas

feses

menjadi

lebih

kental.

Mengikat toksin bakteri terutama enterotoksin dan dapat berikatan dengan


garam empedu.
Indikasi : diare

akibat

keracunan

makanan

atau

toksin

bakteri

Kontra indikasi : konstipasi, obstruksi usus


Efek samping : penurunan penyerapan obat dan makanan, pendarahan
B.

Dosis : Attapulgit
Cara kerja :
Mengabsorpsi nutrisi, racun, obat dan cairan pada saluran pencernaan.
Indikasi : keracunan zat kimia dalam pencernaan
Kontra indikasi : konstipasi, obstruksi usus
Efek samping : penurunan penyerapan obat dan makanan
Dosis : 300mg 1x

3) Antisekretori
Bismuth Subsalisilate
Cara kerja :
Peningkatan

absorpsi

air

dan

elektrolit

(antisekretori),

penghambat

sintesis

prostaglandin sehingga terjadi efek antiinflamasi dan penurunan motilitas usus


Menyerap toksin dari E. Coli
Indikasi : diare akibat bakteri toksin bakteri, ulkus peptikum
Kontra indikasi : gangguan ginjal, pasien kondisi lemah atau pemulihan pasca sakit
Efek samping : lidah / wajah menjadi kehitaman
Dosis : 1000mg 4x / hari

3. TERAPI PENYAKIT RADANG USUS


Penyakit radang usus (inflammator bowel disease; IBD) merupakan sejumlah kondisi
radang usus idiopatik kronis. IBD menyebabkan gejala-gejala yang signifikan, yaitu diare,
nyeri abdomen, perdarahan, dan kehilangan berat badan. IBD juga berkaitan dengan
sekolompok manifestasi ekstraintestinal, termasuk spondilitis ankilosa, sclerosing
cholangitis, iritis, pioderma gangrenosum, dan eritema nodosum. IBD dibagi menjadi dua
subtipe urama: kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Ciri kolitis ulseratif adalah radang
mukosa kolon berkelanjutan yang bermula dari lubang anus dan meluas secara proksimal
untuk tingkat yang bervariasi (contohnya, proktitis, kolitis bagian kiri, atau pankolitis).
Sebaliknya, penyakit Crohn memiliki karakteristik berupa ladang transmural pada semua
bagian saluran GI, tetapi paling sering ditemukan pada daetah yang dekat dengan katup
ileosekum. Radang pada penyakit Crohn tidak selalu berkelanjutan, sering terdapat " ship
area" pada mukosa yang relatif normal.
Terapi IBD bertujuan untuk meringankan respons radang secara keseluruhan; namun,
tidak ada senyawa yang dapat mencapai tujuan tersebut, dan respons tiap pasien terhadap
pemberian obat sangat terbatas dan tidak dapat diperkirakan. Tujuan spesifik farmakoterapi
IBD meliputi pengendalian keparahan akut penyakit tersebut, pemeliharaan keadaan tanpa
gejala, dan penanganan komplikasi spesifik seperti fistula. Obat tertentu cocok untuk satu
atau dua tujuan ini. Sebagai contoh, glukokortikoid yang tetap menjadi pilihan terapi untuk
flare sedang-hingga-parah, namun tidak tepat untuk penggunaan jangka pinjang karena efek
samping.
Selama beberapa tahun, glukokortikoid dan sulfasalazin merupakan terapi medis
utama untuk IBD. Saat ini, obat-obaran yang digunakan pada keadaan imun/ inflamasi,
seperti azatioprin dan sihlosporin, digunakan untuk terapi IBD. Senyawa-senyawa biologis
telah dikembangkan yang dapat menarget langkah tunggal dalam reaksi bertahap sistem
imun.
a) TERAPI BERBASIS 5-ASA
Telapi lini-pertama untuk kolitis ulseratif ringan- hingga-sedang biasanya
melibatkan mesalamin. Contoh umum untuk golongan obat ini adalah sulfasalazin yang
strukturnya terdiri dari 5-ASA yang berhubungan. Sulfalazin merupakan salah satu
contoh obat oral pertama yang dihantarkan secara efektif di bagian distal saluran GI.
Ikitan azo pada sulfasalazin mencegah absorpsi pada lambung dan usus halus, serta tiap
komponen tersebut tidak dibebaskan untuk absorpsi hingga bakteri di kolon
memuruskan ikatan tersebut. Saat ini, 5-ASA dikenal sebagai obat, dengan sedikit (jika

ada) kontribusi dari sulfapiridin. Walaupun mesalamin merupakan salisilat, efek


terapeutiknya tidak berkaitan dengan penghambatan siklo-oksigenase; bahkan, NSAID
tradisionil dapat memperparah IBD. Mekanisme kerja mesalamin yang belum dapat
diidentifikasi, walaupun banyak efek pada fungsi imun dan infamasi telah ditunjukkan.
b) GLUKOKORTIKOID
Banyak efek glukokortikoid pada respons peradangan dan telah didokumentasi
dengan baik (lihat Bab 59). 'Walaupun glukokortikoid dikenal sangat efektif dalam
mengatasi eksaserbasi akut, banyak tantangan dan kekeliruan dalam penggunaanya
untuk mengobati penyakit Crohn atau kolitis ulseratif, dan hanya digunakan untuk
mengobati IBD sedang-hingga-parah. Dampak penggunaan steroid pada terapi penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif sama, sehingga akan dibahas secara bersamaan. Tiap pasien
IBD memiliki respons yang berbeda terhadap glukokortikoid dan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelas umum, yaitu: responsif terhadap steroid, bergantung pada steroid,
dan tidak reponsif terhadap steroid. Pasien yang tergolong responsive terhadap steroid
mengalami perbaikan klinis umumnya setelah l-2 minggu, dan tetap pada keadaan
tanpa gelala, walaupun steroid dikurangi dan dihentikan. Pasien yang tergolong
bergantung pada steroid juga merespons terhadap glukokortikoid, namun akan
mengalami ke- kambuhan gejala ketika dosis steroid dikurangi. Pasien yang tergolong
tidak responsif terhadap steroid tidak mengalami perbaikan klinis bahkan dengan
penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dalam waktu yang lama. Sekitar 40% pasien
IBD termasuk ke dalam kelompok yang responsif terhadap steroid, 30-40% sedikit
merespons, atau menjadi bergantung pada steroid, dan 15- 20% pasien tidak merespons
terhadap terapi steroid. Glukokortikoid terkadang digunakan dalam jangka waktu yang
lama untuk mengendalikan gejala pada pasien yang tergolong bergantun g pada steroid,
namun gagal dalam merespons glukokorrikoid dengan remisi jangka panjang
(misalnya, penyakit kambuh) harus segera mempertimbangkan terapi alternatif,
termasuk imunosupresan dan inflihsimab. Gluko- kortikoid tidak efektif dalam
mempertahankan remisi pada penyakit Crohn atau kolitis ulseratif; oleh karena itu, efek
sampingnyayan g si gnifi kan dapat menin gkatkan penekanan pada pembatasan durasi
c)

dan dosis kumulatif steroid untuk terapi IBD.


SENYAWA IMUNOSUPRESAN
o Derivat Tiopurin
Derivat tiopurin yang bersifat sitoroksik, digunakan untuk mengobati pasien
dengan IBD parah atau pasien yang resisten ter- hadap steroid, atau bergantung pada
steroid. Anti- metabolit tiopurin ini mengganggu biosintesis purin, dan menghambat

proliferasi sel. Keduanya merupakan prodrug Azatioprin akan diubah meniadi


merkaptopurin, yang kemudian akan dimetabolisme menjadi nukleotida 6-tioguanin
yang diduga merupakan gugus aktif. Obat-obat ini umumnya dapat menggantikan
satu sama lain dengan penyesuaian dosis yang tepat, biasanya azatioprin (2-2,5
mg/kg) atau meikaptopurin (1,5 mg/kg). Kedua obat ini memiliki efektivitas yang
sama untuk pengobatan penyakit Crohn, atau kolitis ulseratif, serta dapat
mempertahankan remisi pada kedua penyakit; kedua obat tersebut juga dapat
mencegah ( atau, lebih umum, menunda) kekambuhan penyakit Crohn setelah
dilakukan reseksioperasi. Akhirnya, kedua obat ini berhasil digunakan untuk
mengobati fistula pada penyakit Crohn. Respons klinis terhadap azatioprin atau
merkaptopurin membutuhkan waktu beberapa minggu atau bulan, sehingga obatobat dengan onset kerja yang lebih cepat (contohnya, mesalamin, glukokortikoid,
dan infliksimab) lebih dipilih untuk keadaan akut.
o Metotrelisat
Metotreksat biasanya hanya digunakan untuk pasien IBD yang resisten
terhadap steroid, atau bergantung pada steroid. Pada penyakit Crohn, obat inidapat
menginduksi dan memperlahankan remisi, umumnya dengan respons yang lebih
cepat daripada merkaptopuin atau azatioprin. Studi tentang peran metotreksat pada
kolitis ulseratif sangat terbatas. Penggunaan metotreksat untuk terapi IBD berbeda
dengan penggunaan untukterapi penyakit autoimun lain. Dosis yang lebih tinggi
(contohnya, 15-25 mg/minggu) diberikan secara parenteral merupakan halyang
paling penting. Pemberian secara parenteral meningkatkan efikasi sebab absorpsl
metotreksat dalam dosis tinggi di usus tidak dapat diprediksi.
o Siklosporin
Siklosporin efektif untuk mengobati kolitis ulseratif parah yang gagal
/xerespons terapi glukokortikoid secara memadai. Antara 50% dan 80% pasienpasien yang sakit parah ini terjadi perbaikan seaara signifikan (umumnya dalam 7
hari) dengan pemberian siklosporin secara intra- vena (2-4 mg/kg/hari), kadangkadang dapat menghindari kolektomi darurat. Pemantauan yang ketat terhadap kadar
siklosporin harus dilakukan untuk menjaga kadar terapeutik dalam darah total 300400 ng/mL. Siklosporin oral kurang efektif untuk terapi peme- liharaan lBD. Hal ini
mungkin karena absorpsl dl usus yang terbatas, Dalam kondisi ini, terapi jangka
panjang dengan Nronn (formulasi mikroemulsi siklosporin dengan dengan
bioavailabilitas oral yang lebih baik) akan lebih efektif. Siklospoin dapat digunakan
untuk mengobati komplikasi penyakit Crohn berupa fisfula. Respons fer- hadap

siklosporin intravena cepat dan signifikan; akan tetap| kekambuhan seing terjadi
dalam terapi dengan siklosporin oral, dan strategi pengobatan lainnya dibutuhkan
untuk mempertahankan penutupan fistula. Oleh sebab itu, inhibitor kalsineurin
umumnya digunakan untuk mengobati masalah khusus selama jangka pendek
sementara mengurangi terapi jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai