Anda di halaman 1dari 3

DOKTER DISPENSING

Sumber : sisicia, agustus 2010. https://sisicia.wordpress.com/2010/08/09/dokter-


dispensing

Dispensing masih menjadi pro dan kontra sampai sekarang. Mereka yang kontra
mengganggap dispensing menyebabkan keuntungan ekonomi yang tidak wajar bagi dokter.
Tidak hanya dari masyarakat, bahkan kalangan apoteker juga menganggap dokter telah
merebut lahan mereka.

Di samping pihak yang kontra, tentu masih ada pihak yang berpendapat bahwa dispensing ini
adalah suatu bentuk solusi terhadap beberapa masalah yang timbul dalam penyediaan obat.
Alasan dokter melakukan praktek dispensing antara lain :

Tidak adanya apotek di sekitar praktek dokter tersebut

Memastikan pasien mendapat obat yang diresepkan

Memastikan pasien mendapat informasi yang tepat.

One stop service

Sejak tahun 1240, bidang farmasi dipisahkan secara resmi dari bidang kedokteran dengan
dikeluarkannya dekrit oleh raja Jerman Frederick II. Dekrit itu antara lain menyatakan,
seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau melakukan bentuk
eksploitasi apa pun terhadap penderita melalui hubungan bisnis penjualan obat. Pemisahan
antara dokter dan apoteker merupakan konsep pengobatan modern yang berlaku saat ini
sebagaimana berlaku di berbagai negara di dunia, yakni dokter menulis resep dan apoteker
menyiapkan obat serta menyerahkannya pada pasien.

Dispensing berasal dari kata dispense yang dapat berarti menyiapkan, menyerahkan, dan
mendistribusikan dalam hal ini adalah obat. Fenomena dokter dispensing sebenarnya bukan
hal baru di dunia kesehatan Indonesia. Praktek ini telah berlangsung sedemikian lama dan
menjadi kebiasaan. Hal yang tidak disadari oleh pasien bahwa sebenarnya praktek tersebut
melanggar hukum jika di lingkungan tersebut terdapat apotek yang dapat dijangkau. Pada
masa lalu, praktek ini dapat dimaklumi karena jumlah apotek yang sangat terbatas. Saat ini
peraturan yang berlaku menyatakan bahwa praktek dispensing hanya boleh dilakukan pada
kondisi yang sangat spesifik misalnya di daerah yang sangat terpencil. Hal ini dicantumkan
dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 35 ayat (1)
huruf i dan j (Anonim, 2004). Berdasarkan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, yang termasuk pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Anonim, 2009).
Dengan adanya PP ini, maka dispensing merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian.
Praktek dispensing juga dapat membuka celah bagi oknum dokter untuk memberikan obat
tertentu tanpa berdasarkan pertimbangan klinis yang benar karena tidak adanya pengawasan
dari pihak ketiga. Kondisi ini makin diperburuk oleh industri farmasi yang menjalin
hubungan bisnis dengan sebagian oknum dokter untuk meresepkan suatu jenis obat dengan
merek tertentu. Praktek ini seharusnya dihentikan karena praktek dispensing dokter adalah
ilegal dan dapat merugikan pasien

Adanya dokter dispensing obat ini merugikan pasien dari segi biaya dan pelayanan. Dari segi
biaya menyebabkan harga obat lebih mahal. Jadi sebenarnya paradigma yang menyatakan
fenomena dokter dispensing dapat mempermurah harga obat itu merupakan hal yang tidak
benar.

Adanya fenomena ini juga menyebabkan pasien kehilangan haknya untuk mendapatkan
asuhan kefarmasian. Tanpa adanya asuhan kefarmasian, tidak ada sistem yang mengelola dan
memonitor dampak obat secara efektif. Pasien juga kehilangan haknya untuk mendapatkan
informasi dan mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan asuhan kefarmasian
yang berperan dalam pencegahan kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang
berlebih (drug overuse), penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak
diinginkan.

Praktek dokter dispensing secara nyata menyalahi moral atau etika di dunia farmasi maupun
kedokteran itu sendiri. Dengan adanya praktek dokter dispensing tersebut, farmasis tidak
dapat melaksanakan tugasnya untuk memberikan asuhan kefarmasian.

Untuk mengatasi fenomena dokter dispensing dibutuhkan suatu pembentukan aturan yang
baru untuk mengatur secara jelas terkait batasan tugas dan wewenang tiap-tiap tenaga
kesehatan dalam suatu aturan yang khusus dan terperinci, sehingga tidak menimbulkan
penafsiran yang keliru dari berbagai pihak.

Perlu profesionalisme dari apoteker, dalam hal ini apoteker juga diharapkan untuk selalu
ada di apotek karena ketidakhadiran apoteker akan terus menjadi alasan bagi dokter untuk
tetap melaksanakan dispensing akibat kurang berperannya apoteker di apotek dalam
memberikan informasi obat pada pasien. Bagi pihak yang melanggar ketentuan, patut diberi
sanksi, berupa sanksi administratif yakni sanksi berupa teguran sampai dengan pencabutan
ijin praktek atau usaha.

Perlu kerjasama antara apoteker / farmasis dan dokter, dalam hal ini dokter harus
memahami betul bahwa dispensing obat adalah pekerjaan kefarmasian dan yang memiliki
kewenangan untuk melakukannya adalah apoteker dibantu tenaga teknis kefarmasian. Dokter
harus dengan senang hati dan terbuka mau memberikan informasi yang tepat kepada farmasis
jika farmasis bertanya tentang penyakit pasien dan informasi apa yang sebaiknya diberikan
kepada pasien mengenai penyakit dan khasiat obat karena satu obat dapat mempunyai khasiat
yang bermacam-macam. Apoteker/farmasis juga tidak boleh gengsi atau malu untuk bertanya
kepada dokter mengenai penyakit pasien sehingga dapat memberikan informasi yang tepat
kepada pasien mengenai penyakit dan khasiat obat.

Perlu penegakan Pharmaceutical Care yang merupakan pemberlakuan segitiga hubungan


antara dokter, apoteker dan pasien. Dokter mendiagnosa penyakit pasien, memberikan resep,
kemudian apoteker/farmasis memberikan asuhan kefarmasian kepada pasien yaitu
memberikan informasi yang tepat mengenai khasiat obat, cara penggunaan obat, hal-hal apa
saja yang harus dihindari atau dilakukan oleh pasien terkait dengan pengobatan pasien,
mengelola dan memonitor dampak obat secara efektif sehingga dapat mencegah
kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang berlebih (drug overuse),
penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak diinginkan, serta dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.

Terima kasih buat Vivi, Risha, Dyah, dan Erza yang ikut menyusun report ini sehingga
menjadi report yang sangat menyeluruh. Maaf tidak bisa hadir saat menyusunan power point.

Anda mungkin juga menyukai