Anda di halaman 1dari 42

KEFARMASIAN DAN

TANGGUNG JAWAB
HUKUMNYA DALAM
PELAYANAN KESEHATAN

Disusun Oleh :
Desy Radhiyah
Indra saputra
Najib Albana Daulay
 

Pembimbing :
Dr.Redyanto Sidi,S.H.,M.H.,C.Med.,C.Parb
01
BAB I
Pendahuluan
LATAR BELAKANG

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu pelayanan dasar yang harus diberikan dan dijamin oleh pemerintah kepada seluruh
warganya. Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang disebutkan bahwa “Setiap orang berhak
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.

Hak kesehatan ini secara umum mengandung dua hak dasar yaitu hak atas pelayanan kesehatan dan hak untuk menentukan
nasib sendiri . Sehingga setiap warga negara memiliki hak yang sama, tanpa diskriminasi, adil dan merata atas pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan secara umum telah ada dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
Tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut dengan UU Tenaga Kesehatan).
Tenaga kefarmasian merupakan bagian dari tenaga kesehatan yang melakukan
pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan sediaan farmasi atau pekerjaan
farmasi karena sesuai dengan keterampilan, kompetensi dan kewenangan yang
diberikan perundang-undangan .

Berdasarkan Pasal 1 butir 1 PP Tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan


bahwa, “Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
kelompok tenaga kesehatan yang telah memiliki undangundang sendiri sebagai dasar hukum
profesinya

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004


01 Tenaga medis yang menghimpun dokter dalam
03
menjalankan praktik diatur dalam tentang
Praktik Kedokteran (selanjutya disebut dengan
UU Praktik Kedokteran). Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2019

03 Dan bidan dalam menjalankan profesinya


02
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014
berdasarkan Tentang Kebidanan (selanjutnya
disebut dengan UU Kebidanan).
Profesi perawat menjalankan profesinya
berdasarkan tentang keperawatan (selanjutnya
disebut dengan UU Keperawatan)
Pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian dipengaruhi oleh pengaturan
pelayanan kefarmasian yang saling bertentangan dan konsistensi peraturan yang
dibuat pemangku kebijakan.
Pengaturan kefarmasian yang dilakukan oleh Menteri kesehatan sering kali
berubah sehingga mengakibatkan permasalahan baru. Perubahan yang sering
terjadi terkait pengaturan kefarmasian tersebut dapat menimbulkan kebingungan
tenaga kefarmasian dalam implementasi di lapangan.
Perubahan ini juga dapat menimbulkan tidak terjaminya kefarmasian
sehingga perlindungan hukum bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian juga tidak terlindungi dengan baik.
TUJUAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui kedudukan Kefarmasian dalam
Peraturan perundang – undangan dan
Tanngungjawab hukum kefarmasian dalam
pelayanan kesehatan
02
BAB II
Pembahasan
KEDUDUKAN
KEFARMASIAN DALAM
PERATURAN PERUNDANG
UDANGAN.
1. KEFARMASIAN

Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,


pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, dan
bahan obat. Farmasi merupakan profesi kesehatan yang meliputi kegiatan di bidang
penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan, informasi obat dan distribusi
obat.
Farmasi adalah prfesi kesehatan yang menghubungkan kesehatan ilmu dengan ilmu kimia
dan dibebankan dengan memastikan penggunaan yang aman dan efektif dari obat farmasi .
Kata ini berasal dari bahasa yunani : Pharmakon, yang berarti "obat" atau "obat" (bentuk
awal dari kata tersebut adalah mycenaean yunani pa-ma-ko, dibuktikan dalam B linear script
suku kata ) .
Apotek Kata berasal dari akar kata farmasi yang merupakan istilah yang digunakan sejak abad-17 15.
Selain tanggung jawab farmasi, farmasi menawarkan nasihat medis umum dan berbagai layanan yang
sekarang dilakukan semata-mata oleh praktisi spesialis lain, seperti bedah dan kebidanan. 3 The Pharma
(seperti yang dimaksud) sering dioperasikan melalui toko ritel yang, di samping bahan untuk obat-obatan,
tembakau dijual dan obat-obatan paten. Para pharmas juga menggunakan herbal lainnya tidak terdaftar.
Dalam penyelidikan bahan herbal dan bahan kimia, pekerjaan farmasi yang dapat dianggap sebagai
pelopor dari ilmu-ilmu modern kimia dan farmakologi, sebelum perumusan metode Ilmiah
Sejarah industri farmasi modern dimulai 1897
ketika Felix Hoffman menemukan cara
menambahkan dua atom ekstra karbon dan
lima atom ekstra karbon dan lima atom ekstra
hidrogen ke adlam sari pati kulit kayu willow.
farmasi adalah bagian dari ilmu kesehatan yang mendalami masalah terkait obat. Dulu,
seorang farmasis berorientasi untuk membuat sediaan (seperti sirup, tablet, kapsul,dan salep)
obat sehingga diharapkan engan obat tersebut, dapat menyembuhkan penyakit atau paling
tidak megurangi rasa sakit atau menghambat progresifitas penyakit.
Ahli farmasi berlomba-lomba dalam menemukan obat baru atau memodifikasi obat sehingga
dapat memberikan efek penyembuhan yang lebih baik dari obat lain.
Seorang pasien menjadi "lebih sakit" akibat menggunakan obat-obatan tersebut. Kenapa?
Banyak hal yang menyebabkan hal itu.
Cipolle, 1998- meerangkan dalam bukunya bahwa ada 7 kategor masalah terkait obat, yaitu
membutuhkan tambahan terapi obat, terapi obat yang tidak perlu, terapi salah obat, dosis
terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, reaksi obat yang merugikan, dan kepatuhan
Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, “Pills, Profits and Politics”,
menyatakan bahwa

Pharmasi 1 Pharmasi 3
01 03
Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam
membantu dokter menuliskan resep rasional. Membanu mencegah penggunaan obat yang salah,
melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang
jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai irrasional
“bagaimana,kapan,mengapa” penggunaan obat baik dengan
atau tanpa resep dokter

Pharmasi 2
02 Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakart dalam
hal produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling
besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat,
yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai
“penasehat” yang berpengalaman.
Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992)
menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari
pada hanyasebagai sumber informasi obat. Di Inggris, sejak tahun 1962, dimulai
suatu era baru dalam pendidikan farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula
menjadi bagian dari MIPA, berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri
secara utuh.rofesi farmasi berk embang ke arah “patient oriented”, memuculkan
berkembangnya Ward Pharmacy (farmasi bangsal) atau Clinical Pharmacy
(Farmasi klinik).
Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep “Pharmaceutical Care” yang
membawa para praktisi maupun p ara “profesor” ke arah “wilayah” pasien. Secara
global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah akarnya semula yaitu
sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien. Apoteker diharapkan setidak-
tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat baik bagi masyarakat maupun
profesi kesehatan lain baik di rumah sakit, di apotek atau dimanapun apoteker
berada
Farmasi masa depan Tidak bisa kita pungkiri bahwa pendidikan tinggi farmasi
mengambil peran yang sangat vital dalam menghasilkan lulusan farmasi yang
berkompeten.
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan
produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya, pendidikan
tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker sebagai
penanggung jawab apotek, dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian
maka apoteker atau dikenal pula dengan sebutan farmasis, telah dapat menempati
bidang pekerjaan yang makin luas.
Permenkes Nomor 74 PP 51 Tahun
01 Tahun 2016
menyatakan pelayanan kefarmasian meliputi dua kegiatan, yaitu
03 2009
pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan farmasi klinik yang menyatakan bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada
harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan peralatan fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker harus menerapkan
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan standar pelayanan kefarmasian.
risiko terjadi efek samping obat untuk keselamatan pasien.

Peraturan Pemerintah Nomor Permenkes Nomor 72


02 51 Tahun 2009 04 Tahun 2016

tentang pekerjaan kefarmasian antara lain menyebutkan bahwa menyatakan rumah sakit adalah institusi pelayanan
pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan kesehatan perorangan secara paripurna yang
untuk itu. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
Permenkes Nomor 74 Peraturan Menteri

01 03
Kesehatan Nomor 72 Tahun
Tahun 2016 2016

dinyatakan pusat kesehatan masyarakat yang selanjutnya pelayanan kefarmasian merupakan suatu
disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan langsung dan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk
Undangundang Dasar Negara meningkatkan mutu kehidupan pasien

02 Republik Indonesia Tahun 1945

melalui pembangunan Nasional


yang berkesinambungan.
Gugatan untuk meminta pertanggung jawaban
seorang apoteker itu bersumber pada dua dasar
hukum, pertama berdasarkan prestasi
(Contractual liability)

Pertama
Pasal 1239 KUH Perdata dan,
kedua berdasarkan perbuatan
melawan hukum
(onrechmatigedaad)
kedua
Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam
pelayanan di apotek, perbuatan
melawan hukum terjadi apabila telah
terjadi kesalahan atau kelalaian yang
menyebabkan kerugian
No. 35 Tahun 2014
Standar pelayanan kefarmasian di
apotek diatur dalam peraturan
menteri kesehatan

No. 51 Tahun 2009


pekerjaan kefarmasian diatur dalam
Peraturan Pemerintah
2.TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN
 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung
jawab diartikan sebagai kewajiban dalam menanggung segala
sesuatunya bila terjadi keteledoran maupun kesalahan dapat
dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Menurut Kamus
hukum, tanggung jawab diartikan menjadi suatu akibat atas
konsekuensi kebebasan seseorang tentang perbuatannya yang
berkaitan dengan etika dan moral dalam berperilaku
01 undang undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan


termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat
serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 51


02 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan
Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta pengembangan Obat, bahan
Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
1. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi
masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial
(sociopharmacoeconomy).
2. Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu,
diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.
3. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah
terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan Obat sebagai komoditi
kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai
pengelola Obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian
informasi untuk mendukung penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan
Obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.
Dasar hukum ketetapan tenaga kefarmasian

Pasal 108 ayat (1)

Pasal 11 ayat (6) disebutkan bahwa, “Praktik kefarmasian meliputi pembuatan

UU termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,


pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
Tenaga Kesehatan yang bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
disebutkan bahwa, “Jenis peraturan perundang-undangan.”
Tenaga Kesehatan yang
termasuk dalam kelompok
tenaga kefarmasian terdiri atas
apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian.”
Apoteker harus mengetahui informasi tentang setiap
obat sebelum diberikan kepada pasien untuk
mencegah terjadinya kesalahan.
Melaksanakan pemberian obat secara benar dan sesuai
instruksi dokter, mendokumentasikan dengan benar
dan memonitor efek samping obat merupakan
tanggung jawab tenaga kesehatan khususnya
apoteker yang terlibat dalam pemberian obat.
Jika obat tidak diberikan seperti yang seharusnya
maka kejadian medication error dapat terjadi Ada
dua tipe medication error

01 02
adalah kesalahan administrasi obat , Medication
pertama kesalahan terhadap penyiapan error adalah suatu kesalahan dalam proses
obat yang terdiri dari salah dosis, salah pengobatan yang masih berada dalam pengawasan
obat, salah pasien, salah waktu, salah dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau
formulir obat, salah larutan dan wadah konsumen, dan seharusnya dapat dicegah
obat yang tidak diberi label
Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian
medication eror adalah kejadian yang merugikan pasien akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan,
yang sebetulnya dapat dicegah.
FASE KEJADIAN
MEDICATION EROR

01 fase prescribing
Pada fase
fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang
03 transcriibng
diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien Pada fase transcriibng, error terjadi pada saat
atau kontraindikasi, tidak tepat obat, tidak tepat dosis pembacaan resep untuk proses dispensing
dan tidak tepat aturan pakai.

fase dispensing fase administration


02 04
fase administration adalah error yang terjadi pada
fase dispensing terjadi pada saat proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan
penyimpanan hingga penyerahan petugas apotek dan pasien atau keluarganya

resep oleh petugas apotek


FAKTOR PENYEBAB MEDICATION EROR
1
Komunikasi yang buruk, baik secara tertulis
(resep) maupun secara lisan (antara pasien,
dokter, dan apoteker)

4 Kurang edukasi kepada pasien

2 Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem


komputerisasi, sistem penyimpanan obat, dan lain
sebagainya)

3 Sumber daya manusia (kurang pengetahuan,


pekerjaan yang berlebihan)
5 Peran pasien dan keluarganya
kurang
3. PELAYANAN KESEHATAN

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Puskesmas
merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang menyelenggarakan upaya kesehatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini
menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia
termasuk Puskesmas
1. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas,
yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat
pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi
pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat

2. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk


mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu
Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi
pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical
care).
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2
(dua) kegiatan

01 02
Bahan Medis Habis Pakai dan
yaitu kegiatan yang bersifat kegiatan pelayanan farmasi klinik.
manajerial berupa pengelolaan Kegiatan tersebut harus didukung
Sediaan Farmasi oleh sumber daya manusia dan
sarana dan prasarana
01 fase prescribing
Pada fase
fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang
03 transcriibng
diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien Pada fase transcriibng, error terjadi pada saat
atau kontraindikasi, tidak tepat obat, tidak tepat dosis pembacaan resep untuk proses dispensing
dan tidak tepat aturan pakai.

fase dispensing fase administration


02 04
fase administration adalah error yang terjadi pada
fase dispensing terjadi pada saat proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan
penyimpanan hingga penyerahan petugas apotek dan pasien atau keluarganya

resep oleh petugas apotek


Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:

PERTAMA
01 KETIGA
Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
03
Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan
lain dan kepatuhan pasien yang terkait dalam
Pelayanan Kefarmasian

KEDUA KEEMPAT
02 04
Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam
Memberikan Pelayanan Kefarmasian rangka meningkatkan penggunaan Obat secara
yang dapat menjamin efektivitas, rasional
keamanan dan efisiensi Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai
Pelayanan farmasi klinik meliputi

Pengkajian dan pelayanan


Monitoring Efek Samping Obat
01
Resep
05 (MESO)

Pelayanan Informasi Obat Pemantauan Terapi Obat


02 (PIO)
06
(PTO)

KONSELING
03 07
Evaluasi Penggunaan Obat

04 Visite Pasien (khusus Puskesmas


rawat inap)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Pasal 1 disebutkan bahwa
ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
a) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada unit pelayanan berupa ruang
farmasi.
b) Ruang farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab.
c) Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Apoteker sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dibantu oleh Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga kesehatan lainnya
berdasarkan kebutuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d) Dalam hal Puskesmas belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan
Kefarmasian secara terbatas dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian di bawah pembinaan dan
pengawasan Apoteker yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
e) Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi: pengelolaan
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan pengkajian dan pelayanan resep, pelayanan
informasi Obat, dan monitoring efek samping Obat.
Ruang farmasi di puskesmas seharusnya memiliki apoteker
sebagai penanggung jawabnya. Hal ini berdasarkan Pasal
20 PP Pekerjaan Kefarmasian, yang dinyatakan bahwa,“
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.” Oleh karena itu, ketentuan perubahan pada
Pasal 6 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 20 PP Pekerjaan
Kefarmasian.
03
BAB III
Penutup
Penutup
Tenaga kefarmasian merupakan bagian dari kelompok
tenaga kesehatan yang memiliki kedudukan yang kuat dan
jelas dalam peraturan perundang-undangan. Kedudukan
tenaga kefarmasian kuat karena berdasarkan UU Tenaga
Kesehatan diakui sebagai tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan dalam melakukan pelayanan
kefarmasian sedangkan jelas karena ruang lingkup
pelayanan kefarmasian telah diatur dalam UU Kesehatan.
Terima
Kasih !!!

Anda mungkin juga menyukai