Anda di halaman 1dari 29

“ASPEK HUKUM

DALAM PEKERJAAN KEFARMASIAN”

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS UHAMKA


Oleh:
Drs Amir Hamzah Pane, Apt, SH, MH, MM
Advocate, Health, Medical and Pharmaceutical Counsellor At Law
PENGANTAR
• Peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi. Artinya dalam
sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan permainan bahasa. Apa
yang ada dalam undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa yang
berkomunikasi, untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan apa isi dari
yang disampaikan tersebut, apa yang menjadi pengganggu dan penghalang dalam
melakukan komunikasi atau bagaimana sistem komunikasi dapat dikembangkan.
• Dengan memahami bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem
komunikasi, maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna peraturan
perundang-undangan untuk memahami definisi (definitie) dan pengertian-
pengertian (begrip) yang diatur dan dinyatakan dalam peraturan perundang-
undangan dimaksud.
• Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam dogmatika
hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang
dimaksudkan untuk mengatur prilaku warga masyarakat, maka harus dibuat
jelas prilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
• Maksud dari penetapan definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah
pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap
keadaan melaksanakan apa yang diatur sebuah peraturan perundang-undangan. Hal
itu mengakibatkan bahwa banyak undang-undang, sebelum pengaturan yang
sesungguhnya, memberi batasan pengertian (definisi yuridis) terlebih dahulu tentang
pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu.
UU No. 36 tahun 2009
Perkembangan Defenisi Yuridis Pekerjaan Kefarmasian, tentang Kesehatan.
Apotek, Praktik Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian Pekerjaan Kefarmasian
tidak didefinisikan. Istilah
yang digunakan adalah
Praktik Kefarmasian
UU No. 23 tahun 1992 (Pasal 108 ayat 1), yang
tentang Kesehatan: meliputi pembuatan
Pekerjaan Kefarmasian termasuk pengendalian
adalah pembuatan mutu sediaan farmasi,,
termasuk pengendalian pengamanan,
mutu sediaan farmasi, pengadaan,
pengamanan penyimpanan dan
pengadaan, pendistribusian obat,
UU No. 7 tahun 1963 penyimpanan dan pelayanan obat atas
tentang Farmasi: distribusi obat, resep dokter, pelayanan
Pekerjaan Kefarmasian, pengelolaan obat, informasi obat; serta
yaitu pembuatan, pelayanan obat atas pengembangan obat dan
pengolahan, peracikan, resep dokter, pelayanan obat tradisional harus
pengubahan bentuk, informasi obat, serta dilakukan oleh tenaga
Pasal 1 ayat (1) huruf pencampuran, pengembangan obat, kesehatan yang
(b) Ordonansi Obat penyimpanan dan bahan obat, dan obat mempunyai keahlian dan
Keras. St. 1937 No. penyerahan obat atau tradisional (Pasal 63 kewenangan sesuai
41: Apoteker adalah bahan obat ayat 2). Pasal ini dengan peraturan
mereka yang sesuai menjadi dasar PP 51/ perundang-undangan
dengan peraturan- 2009 tentang Pekerjaan
peraturan yang Kefarmasian. Defenisi
berlaku mempunyai Pekerjaan Kefarmasian
wewenang untuk sama dengan yang
menjalankan Praktek dinyatakan dalam UU
Peracikan Obat di No. 23 tahun 1992
Indonesia sebagai tentang Kesehatan
seorang Apoteker
sambil memimpin
sebuah Apotek
A. UU NO. 23 TAHUN 1993 TENTANG KESEHATAN DAN PP 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN
KEFARMASIAN
 PEKERJAAN KEFARMASIAN.
Adalah Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional
B. PERMENKES 922/MENKES/PER/X/1993
 Apotek adalah suatu tempat, tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
perbekalan farmasi kepada masyarakat
 Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker
C. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1332/MENKES/SK/X/2002
 Apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat
 Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan Sumpah Jabatan Apoteker,
mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker
D. PERMENKES NO. 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK
 Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker
 Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
 Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker
 Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi dan Analis Farmasi
E. PP 51 TAHUN 2009 TENTANG TENAGA KEFARMASIAN
 FASILITAS KEFARMASIAN: Adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
 FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN: Adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat , atau praktik
bersama.
 TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN: Adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian , yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi /
Asisten Apoteker.
 PELAYANAN KEFARMASIAN: Adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien
 FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN: Adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, atau Praktik
Bersama.
 APOTEK: Adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker
F. UU NO. 36 TAHUN 2016 TENTANG TENAGA KESEHATAN PASAL 11.
 TENAGA KEFARMASIAN: Jenis Tenaga Kefarmasian terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian
G. PERMENKES 889/MENKES/PER/V/2011 DAN PERMENKES 31/MENKES/PER/2016
 TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN: Adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan Pekerjaan
Kefarmasia, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/ Asisten Apoteker
H. PERMENKES NO. 80 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN ASISTEN TENAGA KESEHATAN.
 Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdika diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang
Diploma Tiga
 Asisten Tenaga Kesehatan terdiri atas: Asisten Perawat; Asisten Tenaga Kefarmasian, Asisten Dental, dst
PERKEMBANGAN RUANG LINGKUP, TUGAS DAN KEWENANGAN APOTEKER

UU No. 29/ 2004 Pasal 35, ayat (1) huruf (i) dan (j):
Kewenangan Dokter/ Dokter Gigi dalam Pengelolaan
Obat
Dokter dan Dokter
Gigi (UU No. 29/
2004 tentang Praktik
Kedokteran; UU No.
36/ 2009 tentang
Kesehatan)) Bidan (UU No. 36/
2014 tentang Tenaga
Kesehatan dan
Media Online Permenkes No. 28/
2017 tentang Praktik
Bidan)
APOTEKER Pasal 36: Kewenangan Bidan
Dalam Pengelolaan Obat

Perawat (UU No. 36/


2014 tentang Tenaga
Kesehatan; UU No.
38/ 2014 tentang
Toko Obat  Pasal 30 ayat (1) huruf j
Keperawatan;
 Pasal 33 DAN 35 UU 38/ 2014:
Permenkes No. 17/ Kewenangan Perawat dalam
2013 tentang Praktik Pengelolaan Obat.(Pelayanan
Perawat Kefarmasian scr terbatas)
KETENTUAN YANG HARUS DIIKUTI DALAM MENJALANKAN PROFESI

ETIKA
STANDAR
PROFESI
DISIPLIN ILMU

APOTEKER, PERTANYAAN: Bagaimana


TENAGA TEKNIS Aturan Tentang Pelimpahan
KEFARMASIAN, Wewenang?
ASISTEN TTK

STANDAR
STANDAR
PELAYANAN PROSEDUR
OPERASINAL
DASAR HUKUM PEKERJAAN KEFARMASIAN

UMUM
1. Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
(1) Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan bidang keahlian yang dimiliki
2. Pasal 24
(1) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23
harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak
pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi
profesi
3. Pasal 1 angka (1) UU No. 36 tentang Tenaga Kesehatan:
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
4. Pasal 11
(1) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a. tenaga medis
b. tenaga psikologi klinis
c. tenaga keperawatan
d. tenaga kebidanan
e. tenaga kefarmasian
f. dst, sampai huruf (m)
(6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
APOTEKER
A. STANDAR KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA.
1. Praktik kefarmasian secara professional dan etik
2. Optimalisasi penggunaan sediaan farmasi
3. Dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan
4. Pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
5. Formulasi dan produksi sediaan farmasi
6. Upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat
7. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
8. Komunikasi efektif
9. Ketrampilan organisasi dan hubungan interpersonal
10. Peningkatan kompetensi diri
B. STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK: PERMENKES NO. 73 TAHUN 2016.
 Pasal 2: Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).
C. STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT: PERMENKES NO. 72 TAHUN 2016
 Pasal 2: Tujuan Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit: Sama dengan Tujuan
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
D. PERMENKES NO. 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK.
 Pasal 19.
Setiap apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus bekerja sesuai dengan standar
profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak
pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.
 Pasal 22
(1) Pasien berhak meminta salinan resep
(2) Salinan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disahkan oleh Apoteker
(3) Salinan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai aslinya sesuai dengan
ketentuan peratutan perundang-undangan
 Pasal 23
(1) Resep bersifat rahasia
(2) Resep harus disimpan dengan baik paling singkat 5 (lima) tahun
(3) Resep atau salinan resep hanya dapat diperlihatkan kepada dokter penulis resep,
pasien yang bersangkutan atau yang merawat pasien, petugas kesehatan atau petugas
lain yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
 Pasal 26: Mengatur tentang Pengalihan Tanggung Jawab jika Apoteker Pemegang SIA
meninggal dunia.

PERTANYAAN:
Bagaimana pengaturan pelimpahan wewenang melakukan pelayanan kefarmasian dan atau
pekerjaan kefarmasaian?
 Secara horizontal: Dengan sesama Apoteker (Delegatif atau Mandatory)
 Secara vertikal: Dengan Tenaga Teknis Kefarmasian (Delegatif atau Mandatory)
PELIMPAHAN TINDAKAN (KETENTUAN UMUM).

UNDANG UNDANG NO. 36 TENTANG TENAGA KESEHATAN.


Pasal 65:
(1) Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan
tindakan medis dari tenaga medis
(2) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima
pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker
(3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan ketrampilan yang telah dimiliki
oleh penerima pelimpahan
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap berada di bawah pengawasan pemberi
pelimpahan
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar
pelaksanaan tindakan
PERLINDUNGAN HUKUM APOTEKER SEBAGAI TENAGA
KESEHATAN DALAM MENJALANKAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
A. BERDASARKAN UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
 Pasal 27 ayat (1).
Tenaga Kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya
 Pasal 29.
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Penjelasan Pasal: Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak.
 Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat
B. BERDASARKAN UU NO. 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN
 Pasal 57
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi. Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional
d. Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai agama
 Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau
kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
 Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan,
perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan
KETENTUAN PIDANA TERKAIT PEKERJAAN KEFARMASIAN
 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 196:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/ atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaata,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah)
Pasal 197:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ tau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198:
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam psal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah)
 Undan-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga
Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalm pasal 64 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun
Pasal 84
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap
Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
 Pasal 85
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa
memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
(2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki STR Sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
 Pasal 86
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
(2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
TANGGUNG JAWAB

PELANGGARAN DI BIDANG KESEHATAN

ETIK DISIPLIN HUKUM

MK ETIK MK DISIPLIN PIDANA PERDATA ADMINISTRASI

OGANISASI KONSIL TKI LAPORAN GUGATAN LAPORAN


PROFESI
SANKSI TUNTUTAN
SANKSI
- PERINGATAN P E N G A D I L A N
- WAJIB DIKLAT
- SEMENTARA
- REKOM CABUT: P U T U S A N
- TETAP
STR ATAU SIP
- PECAT
PIDANA GANTI RUGI CABUT IZIN
ETIKA
1. Pengertian:
• Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak) – KBBI Ed. IV
• Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
• Nlai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
2. Faktor-faktor yang melandasi etika: Nilai; Norma, Sosial Budaya; Agama; Kebijakan
(Policy)
3. Tipe-tipe Etik: Bio Etik; Clinical Ethics/ Etik Klinik; Midwifery Ethics/ Etik Kebidanan
4. Peraturan yang mengatur tanggung jawab Etika dimuat dalam Kode Etik Organisasi
Profesi masing-masing (IDI, PDGI, IAI, IBI, PPNI, dll)
4. Persidangan dan penetapan sanksi etik dilakukan/ ditetapkan oleh Majels
Kehormatan Etik Organisasi Profesi masing-masing
5. Pelanggaran Etik berat dapat dijatuhkan sanksi pemecatan sebagai anggota
Organisasi Profesi terkait
DISIPLIN.
Pengertian:
Adalah aturan-aturan dan/ atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
pelayanan yang harus diikuti (dokter, dokter gigi, Apoteker, Bidan, Perawat)
HUKUM
Pengertian Umum:
Keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan
bersama, keseluruhan peraturan tenang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi
Pembagian Hukum:
1. Hukum Publik.
• Hukum Tata Negara, mengatur susunan, pemerintahan dan wewenang
negara berikut bagian-bagiannya. Hukum ini mengatur pula hak-hak
dasar warga negara
• Hukum Tata Usaha Negara, kadang juga disebut Hukum Pemerintahan
(administrasi negara) mencakup berbagai aturan, yang ditetapkan bagi
alat-alat perlengkapan negara, bagaimana menjalankan bermacam-
macam tindakan dalam bidang pemerintahan
• Hukum Pidana, menguraikan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana
karena dilakukan dalam keadaan yang memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu
2. Hukum Privat: Mengatur hubungan antara orang satu sama lain. Orang
disini adalah subjek hukum. Selanjutnya Subjek Hukum dapat berupa
Badan hukum. Hukum Privat terbagi:
• Hukum Perdata, atau hukum sipil, atau hukum yang mengatur hubungan
hukum antara orang dengan oran lain, termasuk didalamnya Hukum
Keluarga, Hukum Waris, dll
• Hukum Privat Internasional
HUKUM KESEHATAN

• Hukum Kesehatan memusatkan perhatiannya pada pelayanan


kesehatan dan menghampiri masalahnya dari berbagai sudut
pandangan hukum, baik dalam kerangka undang-undang maupun di
luar undang-undang.
• Hubungan antara Peminta dan Pemberi pelayanan kesehatan pada
awalnya terletak dalam bidang hukum perdata.
• Akan tetapi tekanan hukum pidana muncul apabila di dalam
hubungan tersebut terselip unsur kesalahan. Jika dalam proses
hubungan hukumnya terdapat pelanggaran penerapan disiplin
keilmuan, maka hukum disiplin akan mengaturnya.
• Demikian juga jika terdapat pelanggaran dalam aspek administrasi
dan aspek etik. Sanksi administrasi dan sanksi etik akan
mengaturnya.
TENTANG PHARMACEUTICAL MALPRACTICE (MALPRAKTIK
FARMASI) DAN ATURAN HUKUMNYA DI INDONESIA
 Dalam aturan yuridis formil di Indonesia tidak ditemukan istilah malpraktik.
Namun dalam kenyataannya, malpraktik, khususnya malpraktik medik adalah
terminologi yang sangat intens digunakan dalam tataran praktis (dalam gugatan
dan/ atau laporan polisi tentang adanya dugaan tindak pidana kelalaian), dan
dalam kajian teoritis

 Secara teoritis, malpraktik dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori:

1. Malpraktik Pidana
Yaitu jika seseorang yang melakukan tindakan medik, atau pekerjaan
kefarmasian, perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana,
merupakan perbuatan tercela, dan dilakukan dengan sikap bathin yang
salah, ada unsur kesengajaan, kecerobohan, atau kealpaan/ kelalaian.
a. Malpraktik Pidana dengan unsur kesengajaan:
 Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia
Kebidanan yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang
sekarang , maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam
ratus rupiah
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu .
 Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP tentang Abortus
Provocatus. Pasal 346 KUHP mengatakan: Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
 Pasal 348 KUHP.
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun
 Pasal 349 KUHP.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pada pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan pada pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan pada pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan
b. Malpraktik Pidana Karena Ceroboh
 Pasal 347 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan dan
mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut,
dikenakan penjara paling lama lima belas tahun
 Pasal 349 KUHP.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pada pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan pada pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan pada pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga
dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam
mana kejahatan dilakukan
c. Malpraktik Medik Pidana karena kelalaian/ alpa.
Pasal 359 sampai pasal 361 KUHP, yaitu pasal-pasal terkait
dengan lalainya seseorang yang menyebabkan orang lain mati
atau luka-luka berat
 Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun
 Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-lka sedemikian rupa sehingga menimbulkan
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan, jabatan
atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah
 Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana
ditambah sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya
untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan
dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan.
CATATAN:
 Pertanggungjawaban Hukum pada Malpraktik Pidana bersifat
pribadi/ individual
 Tanggung jawab hukum tidak dapat dialihkan kepada orang lain,
ataupun kepada Badan Hukum lain, misalnya Rumah Sakit..

2. Malpraktik Administratif
Seorang Tenaga Kesehatan, misalnya Dokter, Apoteker, Bidan atau
Perawat dapat dinyatakan melakukan Malpraktik Administratif jika
yang bersangkutan melanggar Hukum Administrasi, antara lain jika
dalam menjalankan profesinya tidak memiliki STR dan Surat Izin
Praktik. Dalam batas tertentu, STR dan Surat Izin Praktik yang
sudah kedaluarsa juga dapat dikatakan melanggar Hukum
Administrasi dimaksud.
3. Malpraktik Medik Perdata
Terdiri atas:
a. Wan Prestasi.
Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan pemberi
layanan kesehatan terbagi dalam dua jenis perikatan, yaitu: (1).
Perikatan memasang tekad (inspanningsverbintenis); dan (2).
Perikatan membawa hasil (resultaatverbintenis).

Gugatan wan prestasi harus mampu membuktikan bahwa:


 yang memberikan pelayanan kesehatan tidak memberikan
pelayanan yang memadai atau kurang memasang tekadnya
menurut ukuran-ukuran profesi yang berlaku sehingga timbul
kerugian (inspanningsverbintenis)
 Yang memberikan pelayanan kesehatan tidak mampu
memberikan hasil yang dijanjikan, terlepas ada tidaknya upaya
dan tekad (resultaatverbintenis).
b. Perbuatan Melawan Hukum
Barang siapa berdasarkan perbuatan melawan hukum bersalah
mengakibatkan kerugian, wajib mengganti kerugian tersebut.

Tindakan atau kelalaian yang dikategorikan sebagai Perbuatan


Melawan Hukum adalah:
 Melanggar hak orang lain
 Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri
 Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut
 Tidak sesuai dengan kepatutan dan kecermatan sebagai
persyaratan tentang diri dan benda orang-seorang dalam
pergaulan hidup

Dengan demikian, pemberi pelayanan kesehatan (dokter, rumah


sakit, Apoteker, bidan, perawat) dapat digugat secara perdata
dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena melalaikan
kewajiban serta ketidakpatutan dalam pelayanan kesehatan yang
diberikannya, sehingga penerima pelayanan kesehatan menderita
kerugian
JIKA TENAGA KESEHATAN (DOKTER, APOTEKER, BIDAN
ATAU PERAWAT) DILAPORKAN KE POLISI, ATAU DIGUGAT
DI PENGADILAN, APA YANG HARUS DILAKUKAN?
1. Periksa terlebih dahulu apakah dalam menjalankan profesinya sudah
dilengkapi dengan syarat-syarat administratif (STR dan SIP)
2. Pahami legal standing (posisinya sebagai subjek hukum) dalam laporan
polisi atau dalam gugatan perdata tersebut: Apakah sebagai profesi yang
melakukan praktik mandiri, di rumah sakit, atau yang sedang
mendapatkan mandat dalam melaksanakan pekerjaannya; serta pahami
situasi pada saat melakukan praktik profesinya: apakah dalam situasi
normal, gawat darurat, dan seterusnya.
3. Pahami tahapan proses penyelesaian sengketa seperti yang dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan, antara lain:
harus melewati proses mediasi, penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
dan seterusnya.
4. Pahami apakah sengketa yang terjadi disebabkan karena masalah etik,
penerapan disiplin keilmuan, atau karena aspek administratif.
5. Carilah pendampingan dari Penasihat Hukum yang memahami Hukum
Kesehatan agar Polisi, Jaksa, dan Hakim memahami bahwa profesi
Tenaga Kesehatan dilindungi oleh UU dibidang Kesehatan.
SEKIAN
TERIMA KASIH
Email: amir_hamzah_pane@yahoo.co.id
HP: 08161347368

Anda mungkin juga menyukai