Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian


serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka
dituntut juga kemampuan dan kecakapan para petugas dalam rangka mengatasi
permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian
kepada masyarakat. Dengan demikian pada dasarnya kaitan tugas pekerjaan Farmasis
dalam melangsungkan berbagai proses kefarmasian, bukannya sekedar membuat
obat, melainkan juga menjamin, memberikan informasi efek dan penggunaan obat,
serta meyakinkan bahwa produk kefarmasian yang diselenggarakan adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari proses penyembuhan penyakit yang diderita pasien
(Pharmasetical Care). Mengingat kewenangan keprofesian yang dimilikinya, maka
dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan prosedur-prosedur kefarmasian demi
dicapainya produk kerja yang memenuhi syarat ilmu pengetahuan kefarmasian,
sasaran jenis pekerjaan yang dilakukan serta hasil kerja akhir yang seragam, tanpa
mengurangi pertimbangan keprofesian secara pribadi.

Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang kefarmasian


melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat
kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya semacam otoritas
dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga
kesehatan lainnya. Farmasi sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi,
telah diakui secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang
obat, mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya
sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien.

1
Salah satu bentuk kegiatan Pharmasetical care dalam Evaluasi Penggunaan Obat
DAN Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah :

a) IdentifikasiEPO dan MESO


b) Mengkoordinir pelaksanaan dan analisis hasil, termasuk upaya pemastian
obat dan pencegahan.
c) Menyebarluaskan hasil, serta evaluasi.

Menurut WHO (World Health Organization), efek samping suatu obat adalah
segala sesuatu khasiat obat tesebut yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang
dimaksud pada dosis yang dianjurkan.Di dalam menggunakan obat, terdapat kerja
utama, efek samping dan kerja tambahan (kerja sekunder). Obat-obatan kerja utama
dan dan efek samping obat adalah pengertian yang sebetulnya tidak mutlak, karena
kebanyakan obat memiliki lebih dari satu khasiat farmakologi.

Berdasarkan aspek medis, penggunaan obat-obatan untuk tujuan terapi


haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Atas dasar indikasi pemakaian yang tepat;

2. Tepat dalam dosis;

3. Tepat dalam waktu pemberian;

4. Lama jangka waktu pemberian obat tergantung tujuan pemberian obat;

5. Tidak ada kontra indikasi atau hipersensitif.

Untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan ketelitian dalam memberikan


dan mengelola obat tentunya harus diawasi dan di evaluasi, pada makalah ini saya
akan membahas mengenai Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) dan Monitoring
penggunaan Obat (MESO)

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas muncul berbagai permasalahan. Namun yang


akan dibahas didalam penulisan makalah ini yaitu hal-hal apa saja yang terkait dalam
melakukan Evaluasi penggunaan obat dan monitoring efek samping obat?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang terkait dalam
melakukan Evaluasi penggunaan obat dan Monitoring efek samping obat.

D. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini yaitu dapat mengetahui hal-hal yang terkait dalam
melakukan Evaluasi penggunaan obat danmonitoring efek samping obat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. EVALUASI PENGGUNAAN OBAT

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu preoses


jaminan mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus- menerus, dan diotorisasi rumah
sakit, ditujukan untuk memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, aman,
dan efektif. Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis
harus juga diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari
definisi ini, definisi EPO diatas difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif.

Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus


2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antarpribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis
akurat, efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih
singkat.

Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk meningkatkan


pelayanan pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah penting, unsur-
unsur dasar berikut yang harus diperhatikan:

1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat
diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.

4
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan
menganalisis penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara
sistematik untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin.
Secara ideal, kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif.
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan enggunakan
criteria yang abash secara klinik
5. Solusi masalah.
6. Menyanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau
meniadakan masalah.
7. Memantau solusi masalah dan keefektifan.
8. Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi,
tindakan yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa
pengaturan atau edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan rumah
sakit.

Antara Apoteker dan Dokter diperlukan kerjasama untuk memastikan penggunaan


obat yang optimal. Tanggungjawab melaksanakan proses EPO secara khas
didelegasikan pada suatu komite dari staf medik. Komite / panitia yang dapat
melakukan fungsi ini diuraikan sebagai berikut :

Panitia ini bertanggung jawab untuk mengatur semua aspek dari siklus obat dalam
rumah sakit, mulai dari pengadaan sampai ke evaluasi, dank arena susunan panitia ini
terdiri atas gabungan dari professional pelayanan kesehatan, panitia ini sering
ditrunjuk bertanggung jawab untuk memimpin EPO. Dalam beberapa rumah sakit,
tanggung jawab ini didelegasikan pada suatu subkomite dari PFT.

Fokus dari PPI ini adalah surveilan dan pengendalian infeksi. Panitia ini kadang-
kadang diberi tangguna jawab untuk mengevaluasi penggunaan obat (EPO)

5
antibiotika. Karena lingkup EPO mencakup semua kategori obat adalah tidak tepat
untuk memisahkan EPO antibiotika dari kegiatan EPO lainnya.

Beberapa rumah sakit memilih bekerja melalui panitia SMF yang ada (misalnya SMF
pediatric, bedah, penyakit dalam, dll.) dalam pelaksanaan EPO.

Beberapa rumah sakit membentuk suatu panitia khusus dengan tanggung jawab
khusus untuk EPO. Keanggotaan dan hubungan pelaporan dari panitia harus
diresmikan (diformalkan) dalam struktur organisasi rumah sakit.

Akuntabilitas dan kewenangan untuk mengevaluasi pelayanan medik sering


didelegasikan pada suatu PAM, suatu panitia tetap dari staf medik terorganisasi.
Pengkajian pelayanan medik oleh berbagai dokter lain, pada umumnya disebut
“pengkajian kelompok ahli yang sama” (peer revew). Direkomendasikan agar
perwakilan profesi kesehatan lainnya termasuk apoteker, diangkat dalam panitia ini.

Kebanyakan rumah sakit mempunyai panitia jaminan mutu sentral, panitia ini jarang
berpartisipasi langsung dalam pengkajian masalah dan fase tindakan EPO, tetapi
dapat mengatur keefektifan program.

Setiap rumah sakit wajib mendesain suatu sistem yang dapat bekerja paling baik
dengan gabungan khas dari personel, kebijakan, dan protocol. Harus diputuskan
andividu atau kellompok yang dapat merencanakan paling efektif untuk penggunan
obat yang optimal, mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan obat,
menganalisis data, merekomendasikan tindakan, dan solusi maslah berkenaan
penggunaan obat. Seorang anggota penting dari EPO adalah seorang apoteker yang
komunikatif dan bertanggung jawab.

Proses penetapan dan pemeliharaan suatu program EPO dapat rumit dan
membuat frustasi, walaupun pengembangan dari berbagai langkah tertentu dapat
berubah-ubah, pendekatan berikut dapat membantu mengonsepsikan dan melakukan
EPO sebagai suatu kegiatan jaminan mutu.

6
Tim EPO / Panitia EPo dibentuk oleh pimpinan rumah sakit atas usul PFT,
Komite Medik dan / atau kelompok jaminan mutu. Penganggung jawab EPO
biasanya diserahkan kepada Panitia EPO, dikebanyakan rumah sakit, PFT adalah
kelompok yang logis untuk mengelola kegiatan EPO. Penunjukkan PFT sebagai
penganggung jawab EPO, mempunyai keuntukngan karena merupakan panitia dari
staf medik dan IFRS / Apoteker terwakili; disamping itu, PFT mempunyai hubungan
pelaporan langsung dengan pimpinan SMF dan pemimpin komite medik, serta
memikul tanggung jawab yang melekat untuk mengawasi semua aspek penggunaan
obat di dalam rumah sakit. Beberapa rumah sakit dapat membentuk komite EPO staf
medik (yang didalamnya terdapat apoteker) atau menempatkan EPO dalam komite
jaminan mutu. Kepada siapapun tanggung jawab itu diserahkan, harus merupakan
suatu kelompok yang benar-benar disegani di rumah sakit dan memiliki perwakilan
IFRS serta kewenangan yang cukup untuk memberikan legitimasi pada program.
EPO ini juga merupakan salah satu kegiatan jaminan mutu dan IFRS dapat
membangun serta memelihara kemitraan yang baik sekali.

Mengidentifikasi Obat Tertentu untuk Dipantau dan Dievaluasi

Penetapan atau golongan obat untuk dipantau dalam suatu program EPO
seharusnya tidak sulit, pada dasarnya ada tiga kategori standar besar obat-obat yang
digunakan di rumah sakit, yaitu :

Mekanisme lain yang mungkin ialah mekanisme SMF untuk mengidentifikasi


obat-obantan yang akan dievaluasi, berdasarkan pendapat SMF individu dalam rumah
sakit, antara lain :

Beberapa obat atau golongan obat yang dievaluasi, mungkin serupa diantara
berbagai SMF dan dapat merupakan dasar untuk evaluasi awal.

Mekanisme lain ialah mekanisme yang memberi peringkat obat guna


dievaluasi dengan mengembangkan suatu matriks EPO. Obat-obatan sumbu lain di

7
daftar karakteristiknya. (sebagai contoh : volume tinggi, resiko tinggi atau cenderung
bermasalah). Suatu obat yang memenuhi ketiga karakteristik tersebut, akan
mempunyai nilai numeric total 3 (tiga). Hal yang sama suatu obat yang hanya
“volume tinggi” dan tidak berisiko timggi, atau tidak cenderung bermasalah, akan
diberikan nilai numerik 1 (satu). Obat obatan dengan nilai numerik paling tinggi
adalah obat yang dinilai pertama. Setiap peroses yang digunakan untuk
mengidentifikasi obat agar dieevaluasi, harus di dokumentasikan guna memenuhi
persyaratan dokumentasi dari suatu proses yang sistematik.

Sebagai ringkasan, obat obatan yang dievaluasi harus dipilih berdasarkan satu
atau lebih alasan berikut.

Definisi criteria penggunaan obat adalah berbagai unsur / syarat penggunaan


obat tertentu yang ditetapkan terlebih dahulu, digunakan sebagai acuan untuk
mengevaluasi atau mengukur komponen mutu pelayanan / penggunaan obat tertentu.
Atau disebut juga bagwa criteria penggunan obat adalah pernyataan berbagai unsur
nyata (tangible) dan dianggap penting pada penggunaan obat yang optimal.

Penggunaan criteria eksplisit atau criteria tertulis, memungkinkan


pembandingan yang objektif dari terapi obat nyata terhadap karakteristik penggunaan
obat yang optimal.

Kriteria / standar penggunaan obat digunakan untuk mengukur mutu


penggunaan obat. Aspek lain dari penggunaan untuk setiap obat tertentu, membantu
menetapkan ketepatan atau ketidaktepatan penggunaan obat, walaupun tidak ada
aturan tertulisuntuk criteria, persyaratan criteria penggunaan obat antara lain :

Mungkin tidak layak maupun tidak diinginkan untuk menkaji setiap pasien selama
pengkajian masalah. Waktu dan pembiayaan penelusuran dan mengevaluasi setiap
rekaman mungkin menjadi penghalang. Olehkarena itu, suatu keputusan harus dibuat

8
untuk menyeleksi suatu populasi yang tepat untuk mengevaluasi melalui teknik
sensus atau teknik smple.

a. Sensus

Populasi yang mencakup semua pasien yang relevan adalah suatu sensus. Suatu
evaluasi berbasis sensus akan menyajikan ukuran yang paling benar dari pelayanan
pasien karena setiap pasien yang dipengaruhi akan dievaluasi. Suatu sensus mungkin
perlu mempelajari masalah yang jarang terjadi (tetapi karena akibat yang serius dan
mungkin sekali, telah dipilih untuk evaluasi). Proses evaluasi prospektif dan
konkuren dapat menggunakan suatu sensus sehingga tiap terapi obat pasien dapat
dikaji.

b. Sampel

Sampling (pengambilan sampel) adalah untuk memperoleh kesimpulan yang


layak, tentang karakteristik penggunaan obat dari terapi satu kelompok pasien
perwakilan dalam suatu rumah sakit. Untuk membat kesimpulan yang abash dari
sampel tentang mutu penggunaan obat di dalam rumah sakit, adalah penting untuk
memilih suatu sampel yang tepat.

Ada dua teknik sampling digunakan dalam mengkaji kasus pasien, mencakup
sampling kelompok (cluster sampling) dan sampling sistematik.

1) Sampling Kelompok
Adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel, berupa kelompok dari
beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri atas beberapa unit yang lebih
kecil. Jumlah unsur dari masing-masong kelompok dapat sama dan berbeda.
Kelompok-kelompok tersebut dapat dipilih dengan metode acak sederhana
maupun acak sistematis dengan pengacakan pada kelompok pertamanya saja
(misalnya semua pasien yang menerima albumin selama bulan Mei).
2) Sampling Sistematik

9
Adalah metode untuk mengambil sampel secara sistematis dengan interval
(jarak) tertentu dari suatu kerangka sampel yang telah diurutkan. Dengan
demikian, tersedianya suatu populasi sasaran yang tersusun, merupakan
prasarat penting bagi dimungkinkannya pelaksanaan pengambilan sampel
dengan metode acak sistematis.

Pengumpulan data dapat diselesaikan melalui salah satu dari proses pengkajian
retrospektif, konkuren, atau prspektif. Data terapi obat secara rutin tersedia untuk
pengkajian dalam rumah sakit, misalnya :

Dengan criteria yang benar-benar baik ditetapkan, proses untuk menyari


(ekstrak) data pelayanan pasien yang tepat adalah relative sederhana da cepat.
Walaupun hamper setiap kategori personel pelayanan kesehatan dapat didelegasikan
untuk mengumpulkan informasi adalah sangat tepat untuk melibatkan semua apoteker
dalam proses ini, terutama dengan kerangka waktu prospektif dan konkuren.
Apoteker sudah terbiasa mengetahui sifat fisik dan farmakologi obat, berbagai factor
fasien, dapat memengaruhi kerja obat, dan status penyakit. Selanjutnya diharapkan
bahwa seorang apoteker memiliki motivasi professional untuk mengidentifikasi dan
mengatsi masalah penggunaan obat.

Setelah dikumpulkan, data harus diordanisasikan dengan cara yang sesuai untuk
mengidentifikasi pola penggunaan obat dalam rumah sakit. Beberapa rumah sakit
menganggap bahwa adalah berguna untuk mengorganisasikan data penggunaan obat
menurut dokter, SMF pelayanan atau bagian, dan pasien tertentu. Informasi ini
memungkinkan untuk mengambil tindakan perbaikan tertentu jika diperlukan
(misalnya, suatu surat dari ketua PFT kepada seorang dokter tentang penilisan order /
resep yang tidak tepat).

Data hendaknya dievaluasi menggunakan suatu pendekatan tim oleh individu


atau panitia yang bertanggung jawab untuk program EPO. Walaupun criteria tertetu
untuk penggunaan dapat tidak dipenuhi dalam situasi tertentu, adalah tidak berarti

10
bahwa penggunan tidak tepat. Panitia EPo atau PFT dapat berpendapat, bahwa
pelanggaran criteria adalah minor dan tidak ada tindakan perbaikan yang
dirtekomendasikan. Dalam kasus lain rekomendasi untuk tindakan perbaikan harus
diformulaiskan.

Sangat pital untuk mengembangkan suatu suasana yang akan membantu


keberhasilan program EPO. Tanpa suatu atmosfir kerja sama dan kepercayaan,
kegiatan audit dapat dengan mudah mengarah ke dalam suatu perebutan kekuasaan
atau suatu tindakan polisi terhadap propesional oleh kelompok ahli lain. Utnuk
mengadakan atmosfer yang kondusip, disarankan berbagai komponen yang sangat
diperlukan yaitu :

Apabila atmosfer kepercayaan dan kerahasiaan diadakan, adalah mungkin


memperluas pengguaan dan pemanfaatan metode EPO terhadap banyak masalah
dalam rumah sakit.

Beragam tindakan dapat dilakukan, bergantung pada situasi dan besarnya


masalah. Suatu mekanisme sederhana untuk memulai tindakan perbaikan adalah durat
ketua PFT kepada ketua SMF atau praktisi individu, adapun surat itu mencakup :

Suatu tindakan / langkah perbaikan yang eefktif dan biasanya dikehendaki adalah
melalui edukasi. Apoteker dapat memainkan peranan penting dalam pengadaan
edukasi berkelanjutan melalui seminar.

Program EPO memberi suatu kesempatan yang baik sekali untuk memasukkan
kegiatan EPO dan kebijakan PFT, ke dalam pelayanan farmasi klinis sehari-hari.
Misalnya praktisi dapat menggunakan kriteria untuk suatu obat tertentu yang disetujui
oleh PFT setiap hari.

11
B. MONITORING EFEK SAMPING OBAT

Efek Samping Obat/ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap


suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang
biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit
atau untuk modifikasi fungsi fisiologik.. Melakukan monitoring efek samping obat
yaitu memantau baik secara langsung maupun tidak langsung terjadinya efek samping
obat, meminimalkan efek samping yang timbul dan menghentikan atau penggantian
obat jika efek samping memperparah kondisi pasien. Pasien juga berhak melaporkan
terjadinya efek samping obat kepada farmasis di apotek atau rumah sakit agar
dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau menghilangkan efek samping
tersebut. Pemantauan dimaksudkan untuk memastikan terapi obat yang tepat.

Aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemakaian obat adalah:

1. Efektivitas
2. Keamanan
3. Mutu
4. Rasional
5. Harga

-Aspek keamanan tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping obat
(E.S.O).

Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran dilakukan


untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada
kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti
menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan
pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek
keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah

12
Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam
sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.

World Health Organization (WHO) dalam hal ini telah berupaya untuk
menghimpun data tentang efek samping obat dari seluruh Negara di dunia. WHO
kemudian menyebarluaskan informasi yang dihasilkan setelah data tersebut diolah
oleh para ahli pharmaco vigilance di Pusat Monitoring Efek Samping Obat di
Uppsala, Sweden.

Selama proses pemantauan, masalah sering timbul termasuk kontraindikasi pada


penggunaan obat, ketidak tepatan pemberian dosis, toksisitas obat, kesalahan
pemberian obat, ketidaktepatan terapi atau masalah lain. Apoteker harus waspada
mengidentifikasi suatu masalah, jika timbul dan untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya masalah, jika timbul dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
masalah demikian sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan. Selama pemantauan
rutin, masalah akan menjadi jelas, jika apoteker memberi perhatian penuh.

MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary


reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang
dikenal sebagai Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat
beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring
ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare
provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare).

Dalam pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO) mencakup beberapa hal
berikut ini:

1. Siapa yang melaporkan?

Yang memiliki kewenangan untuk melaporkan terjadinya efek samping obat yakni
tenaga kesehatan yang meliputi :

13
a) Dokter
b) Dokter spesialis
c) Dokter gigi
d) Apoteker
e) Bidan
f) Perawat, dan
g) Tenaga kesehatan lain.

Dalam proyek global WHO ini yang melaporkan efek samping obat adalah
dokter yang menangani pasien. Ada form khusus yang di isi sehingga nantinya data
yang terkumpul cukup baik untuk dianalisis. Artinya, dapat ditentukan dengan
ketepatan tinggi apakah suatu gejala yang terjadi berhubungan dengan obat tertentu.
Formulir yang telah diisi oleh dokter ditandatangani dan dikirimkan (gratis) ke Pusat
MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta.
Formulir tersebut akan dianalisis oleh sekelompok pakar yang diangkat oleh Kepala
BPOM untuk kurun waktu tertentu. Hasil analisis akan dikirim ke Uppsala untuk
disatukan dengan hasil MESO dari Negara di seluruh dunia, sehingga didapat angka
kejadian efek samping tertentu. Hasil akhir ini akan dikirim kembali oleh Tim pakar
di Uppsala kepada tim pakar di pusat MESO di tiap Negara untuk selanjutnya
disebarluaskan kepada yang berkepentingan, sampai kepada para dokter di negara
tersebut.

2. Apa yang perlu dilaporkan?

Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik
efek samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang
sudah pasti merupakan suatu ESO (ADR). Kejadian Tidak Diinginkan/KTD (Adverse
Events/AE) adalah adalah kejadian medis yang tidak diinginkan yang terjadi selama
terapi menggunakan obat tetapi belum tentu disebabkan oleh obat tersebut.

3. Bagaimana cara melapor dan informasi apa saja yang harus dilaporkan?

14
Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam formulir
pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan pelaporan KTD atau
ESO, sejawat tenaga kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga
pasien. Untuk melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat
diperoleh dari catatan medis pasien. Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu
KTD atau ESO dengan menggunakan formulir kuning, adalah sebagai berikut:

4. Karakteristik laporan efek samping obat yang baik.

Karakteristik suatu pelaporan spontan (Spontaneous reporting) yang baik,


meliputi beberapa elemen penting berikut:

a. Diskripsi efek samping yang terjadi atau dialami oleh pasien, termasuk waktu
mula gejala efek samping (time to onset of signs/symptoms).
b. Informasi detail produk terapetik atau obat yang dicurigai, antara lain: dosis,
tanggal, frekuensi dan lama pemberian, lot number, termasuk juga obat bebas,
suplemen makanan dan pengobatan lain yang sebelumnya telah dihentikan
yang digunakan dalam waktu yang berdekatan dengan awal mula kejadian
efek samping.
c. Karakteristik pasien, termasuk informasi demografik (seperti usia, suku dan
jenis kelamin), diagnosa awal sebelum menggunakan obat yang dicurigai,
penggunaan obat lainnya pada waktu yang bersamaan, kondisi ko-morbiditas,
riwayat penyakit keluarga yang relevan dan adanya faktor risiko lainnya.
d. Diagnosa efek samping, termasuk juga metode yang digunakan untuk
membuat/menegakkan diagnosis.
e. Informasi pelapor meliputi nama, alamat dan nomor telepon.
f. Terapi atau tindakan medis yang diberikan kepada pasien untuk menangani
efek samping tersebut dan kesudahan efek samping (sembuh, sembuh dengan
gejala sisa, perawatan rumah sakit atau meninggal).
g. Data pemeriksaan atau uji laboratorium yang relevan.

15
h. Informasi dechallenge atau rechallenge (jika ada).
i. Informasi lain yang relevan.

5. Kapan Melaporkan?

Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan kejadian efek


samping obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO atau segera
setelah adanya kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan keluhan pasien yang
sedang dirawatnya.

6. Analisis Kausalitas

Analisis kausalitas merupakan proses evaluasi yang dilakukan untuk menentukan


atau menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek samping yang terjadi atau
teramati dengan penggunaan obat oleh pasien.

Badan Pengawas Obat dan Makanan akan melakukan analisis kausalitas laporan
KTD/ESO. Sejawat tenaga kesehatan dapat juga melakukan analisis kausalitas per
individual pasien, namun bukan merupakan suatu keharusan untuk dilakukan. Namun
demikian, analisis kausalitas ini bermanfaat bagi sejawat tenaga kesehatan dalam
melakukan evaluasi secara individual pasien untuk dapat memberikan perawatan
yang terbaik bagi pasien.

Tersedia beberapa algoritma atau tool untuk melakukan analisis kausalitas terkait
KTD/ESO. Pendekatan yang dilakukan pada umumnya adalah kualitatif sebagaimana
Kategori Kausalitas yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO),
dan juga gabungan kualitatif dan kuantitatif seperti Algoritma Naranjo.

Di dalam formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum tabel


Algoritma Naranjo, yang dapat sejawat tenaga kesehatan manfaatkan untuk

16
melakukan analisis kausalitas per individu pasien. Berikut diuraikan secara berturut-
turut Kategori Kausalitas WHO dan Algoritma Naranjo.

a. Kategori Kausalitas WHO

Certain

a. Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari waktu
kejadian dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat (Event or
laboratory test abnormality with plausible time relationship to drug intake)
b. Tidak dapat dijelaskan bahwa efek samping tersebut merupakan
perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh penggunaan obat lain
(Cannot be explained by disease or other drugs).
c. Respon terhadap penghentian penggunaan obat dapat terlihat (secara
farmakologi dan patologi (Response to withdrawal plausible
(pharmacologically, pathologically))
d. Efek samping tersebut secara definitive dapat dijelaskan dari aspek
farmakologi atau fenomenologi (Event definitive pharmacologically or
phenomenologically (An objective and specific medical disorder or
recognised pharmacological phenomenon))
e. Rechallenge yang positif (Positive rechallenge (if necessary)

Probable

a. Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari waktu
kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat
(Event or laboratory test abnormality with reasonable time relationship to
drug intak)
b. Tidak tampak sebagai perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh
obat lain (Unlikely to be atributed to disease or other drugs)

17
c. Respon terhadap penghentian penggunaan obat secara klinik dapat diterima
(Response to withdrawal clinically reasonable)
d. Rechallenge tidak perlu (Rechallenge not necessary)

Possible

a. Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari waktu
kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat
(Event or laboratory test abnormality with reasonable time relationship to
drug intake)
b. Dapat dijelaskan oleh kemungkinan perkembangan penyakit atau disebabkan
oleh obat lain (Could also be explained by disease or other drugs)
c. Informasi terkait penghentian obat tidak lengkap atau tidak jelas (Information
on drug withdrawal lacking or unclear)

Unlikely

a. Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari
hubungan waktu kejadian dan penggunaan obat adalah tidak mungkin (Event
or laboratory test abnormality with a time relationship to drug intake that
makes a connection improbable (but not impossible))
b. Perkembangan penyakit dan akibat penggunaan obat lain dapat memberikan
penjelasan yang dapat diterima (Diseases or other drugs provide plausible
explanations)

Conditional / Unclassified

a. Terjadi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal (Event or laboratory
test abnormality)
b. Data yang lebih lanjut diperlukan untuk dapat melakukan evaluasi yang baik
(More data for proper assessment needed)

18
c. Atau data tambahan dalam proses pengujian (Or additional data under
examination)

Unassessable / Unclassifiable

a. Laporan efek samping menduga adanya efek samping obat (A report


suggesting an adverse reaction)
b. Namun tidak dapat dinilai karena informasi yang tidak lengkap atau cukup
atau adanya informasi yang kontradiksi (Cannot be judged because of
insufficient or contradictory information)
c. Laporan efek samping obat tidak dapat ditambahkan lagi informasinya atau
tidak dapat diverifikasi (Report cannot be supplemented or verified)

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap


respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping
Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.

MESO bertujuan:

a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan;
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO;
d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki; dan
e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.

Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:

a. Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);


b. Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO;
c. Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim Farmasi dan
Terapi;
e. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

20
Faktor yang perlu diperhatikan:

a. Kerjasama dengan Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

B. SARAN

Saran yang ingin disampaikan penulis melalui penulisan makalah ini yaitu
Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam meminimalkan terjadinya
medication error. Memberikan pelayanan kefarmasian secara paripurna dengan
memperhatikan faktor keselamatan pasien, antara lain dalam proses pengelolaan
sediaan farmasi, melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi,
memberikan pendidikan dan konseling serta bekerja sama erat dengan pasien dan
tenaga kesehatan lain merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Untuk dapat berperan secara profesional dalam pelayanan
kefarmasian diperlukan dukungan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.
Oleh sebab itu sangat penting bagi seorang apoteker yang akan memberikan
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) untuk membekali diri sebaik-baiknya
dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient


Safety), Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta.

Badan POM RI, 2012, Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi
Tenaga Kesehatan, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang


Standar Peelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.

Purwantyastuti, 2010, Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Majalah Kedokteran


Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai