Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TUGAS PENGANTAR FARMASI KLINIK


DRUG USE EVALUATION AND
DRUG USE REVIEW

OLEH
KELOMPOK 5
ANGGOTA :
RISA HESTIA 1211011015
ORINDIA SUARMIN 1211013024
GHEA ROFIFAH 1311011028
YOSI OKTAVIA 1311011082

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat serta
kemudahan yang telah diberikan kepada kita semua sehingga atas izin-Nya
Makalah ini dapat disusun dengan lancar dan terselesaikan.
Kepada Bapak Dedy Almasdy. Dr. (Clin Pharm). MSi, Apt penulis
ucapkan terima kasih, karena telah memberi kesempatan kepada kami untuk
menulis makalah yang berjudul Drug Use Evalution and Drug Use Reviews .
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya untuk
menambah pengetahuan baik tentang analisis sensitivitas maupun analisis
farmakoekonomi itu sendiri
Penulis menyadari Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang.
Wassalamualaikum wr. wb

Padang, 23 maret 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................2


Daftar Isi .........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................4
BAB II ISI........................................................................................................5
2.1 Drug Use Evalution (DUE)........................................................................5
2.2 Drug Use Reviews (DUR...........................................................................11
BAB III PENUTUP..........................................................................................24
3.1 Kesimpulan ................................................................................................24
3.2 Saran...........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................25

3
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Salah satu masalah penting yang dihadapi unit pelayanan kesehatan
adalah rasionalitas penggunaan obat. WHO mendefinisikan penggunaan obat
rasional bila pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan
dosis yang sesuai, rentang waktu yang sesuai, dan dengan harga terendah. WHO
memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan,
diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat, dan separuh dari pasien
menggunakan obat secara tidak tepat. Penggunaan obat yang tidak tepat akan
menimbulkan banyak masalah. Masalah-masalah tersebut diantaranya meliputi
segi efektivitas, efek samping, interaksi, ekonomi, penyalahgunaan obat dan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Oleh karena itu, dalam
penggunaan obat diperlukan pertimbangan yang tepat agar penggunaannya efektif
dan efesien.
Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit sangat diperlukan untuk
memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien. Salah satu kegiatan
farmasi klinik yang ditujukan untuk menjamin mutu penggunaan obat yang tepat
dan rasional adalah Evaluasi Penggunaan Obat. Evaluasi Penggunaan Obat
merupakan suatu program jaminan mutu yang terstruktur dan terus menerus
dilakukan, serta secara organisatoris diakui yang ditujukan untuk menjamin
bahwa obat digunakan secara tepat, aman, dan efektif.
Kriteria obat yang menjadi prioritas untuk dievaluasi adalah obat yang
sering digunakan di rumah sakit; obat tersebut menyebabkan reaksi obat
merugikan atau berinteraksi dengan obat lain, makanan, dan pereaksi diagnostik;
obat bersifat toksik atau menyebabkan ketidaknyamanan saat digunakan; dan obat
tersebut dapat menyebabkan resistensi bila tidak digunakan dengan tepat.
Beberapa fakor yang perlu diperhatikan adalah indikator peresepan, indikator
pelayanan, dan indikator fasilitas.

1.2 Rumusan Masalah


Apa itu evaluasi penggunaan obat?
Apa saja obat-obat yang dievaluasi?
Bagaimana tahap-tahap pelaksanaan evaluasi penggunaan obat?
Bagaimana desain studi evaluasi penggunaan obat?
Apa saja tanggung jawab Apoteker dalam program evaluasi penggunaan obat?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui evaluasi
penggunaan obat meliputi karakter obat-obat yang dievaluasi, tahap-tahap
pelaksanaan evaluasi penggunaan obat, desain studi dan tanggung jawab Apoteker
dalam program evaluasi penggunaan obat untuk menjamin bahwa obat digunakan
secara tepat, aman, dan efektif.

4
BAB II
Isi

2.1 Drug use evaluation (DUE)/Evaluasi Penggunaan Obat(EPO)


1. Definisi
Program evaluasi penggunaan obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu
proses jaminan mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi
rumah sakit, ditujukan untuk memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan
aman, tepat, dan efektif.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis
harus juga diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari
definisi ini. Definisi program EPO tersebut di atas difokuskan pada penggunaan
obat secara kualitatif.

Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :


1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antarpribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis
akurat, efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih
singkat.

Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk meningkatkan


pelayanan pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah penting,
unsur-unsur dasar berikut yang harus diperhatikan :
1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang
dapat diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan
menganalisis penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara
sistematik untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin.
Secara ideal, kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan
menggunakan kriteria yang absah secara klinik
5. Solusi masalah.
6. Mencanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau
meniadakan masalah.
7. Memantau solusi masalah dan keefektifan.
8. Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi,
tindakan yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa
pengaturan atau edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan rumah sakit.

5
2. Standar untuk Melakukan EPO

Pelaksana Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


EPO dilakukan oleh staf medik sebagai suatu proses yang terus-menerus,
terencana dan sistematik, berbasis kriteria untuk memantau dan mengevaluasi
penggunaan obat profilaksis, terapi, dan empirik untuk membantu memastikan
bahwa obat-obat tersebut diberikan dengan tepat, aman, dan efektif. Proses ini
mencakup pengumpulan dan pengkajian rutin informasi, untuk mengidentifikasi
kesempatan menyempurnakan penggunaan obat, dan untuk mengatasi masalah
dalam penggunaannya.

Obat yang Dievaluasi


Pemantauan dan evaluasi obat terus menerus yang diseleksi berdasarkan satu
atau lebih alasan berikut:
1. Didasarkan pada pengalaman klinik, diketahui dan dicurigai bahwa obat
menyebabkan ROM atau berinteraksi dengan obat lain dalam suatu cara yang
menimbulkan suatu resiko kesehatn yang signifikan.
2. Obat digunakan dalam pengobatan berbagai reaksi, disebabkan umur,
ketidakmampuan, atau karakteristik metabolik yang unik
3. Obat telah ditetapkan melalui program pengendalian infeksi rumah sakit atau
kegiantan jaminan mutu lain, untuk memantau, mengevaluasi, dan
4. Obat adalah salah satu yang paling sering ditulis.

Proses untuk Memantau dan Mengevaluasi Penggunaan Obat


1. Dilakukan oleh staf medik dan bekerja sama dengan IFRS, bagian keperawatan,
staf manajemen, administratif, bagian lain/pelayanan, dan berbagai individu.
2. Didasarkan pada penggunaan kriteria objektif yang merefleksikan pengetahuan
mutakhir, pengalaman klinik, dan pustaka yang relevan.
3. Dapat mencakup penggunaan mekanisme penapisan untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi lebih intensif berbagai masalah atau kesempatan untuk
penyempurnaan penggunaan suatu obat atau golongan obat tertentu.

3. Kerangka untuk EPO


Kerja sama antara dokter dan apoteker sangat diperlukan untuk memastikan
penggunaan obat yang optimal. Untuk memberi kewenangan dan struktur pada
suatu program EPO, tanggung jawab untuk melakukan proses EPO secara khas
didelegasikan pada suatu komite dari staf medik. Komite/panitia yang dapat
melakukan fungsi ini diuraikan dibawah ini

Komite Farmasi dan Terapi


Panitia ini bertanggung jawab untuk mengatur semua aspek dari siklus obat dalam
rumah sakit, mulai dari pengadaan sampai ke evaluasi, dan karena susunan panitia
ini terdiri atas gabungan dari profesional pelayanan kesehatan, panitia ini sering
ditunjuk bertanggung jawab untuk memimpin EPO. Dalam beberapa rumah sakit,
tanggung jawab ini didelegasikan pada suatu komite dari KFT.

6
Panitia Pengendalian Infeksi
Fokus dari PPI ini adalah surveilan dan pengendalian infeksi. Panitia ini kadang-
kadang diberi tanggung jawab uintuk mengevaluasi penggunaan obat (EPO)
antibiotika. Karena lingkup EPO mencakup semua kategori obat adalah tidak tepat
untuk memisahkan EPO antibiotika dari kegiatan EPO lainnya.

Panitia Staf Medik Fungsional (SMF)


Beberapa rumah sakit memilih bekerja melalui panitia SMF yang ada (misalnya,
SMF pediatrik, bedah, penyakit dalam, dll) dalam pelaksanaan EPO.

Panitia EPO
Beberapa rumah sakit membentuk suatu panitia khusus dengan tanggung jawab
khusus untuk EPO. Keanggotaan dan hubungan pelaporan dari panitia harus
diresmikan (diformalkan) dalam struktur organisasi rumah sakit.

Panitia Audit Medik (PAM)


Kewenangan dan akuntabilitas untuk mengevaluasi pelayanan medik sering
didelegasikan pada suatu PAM, suatu panitia tetap dari staf medik terorganisasi.
Pengkajian pelayanan medik oleh berbagai dokter lain, pada umumnya disebut
pengkajian kelompok ahli yang sama (Peer Review). Direkomendasikan agar
perwalian profesi kesehatan lainnya termasuk apoteker, diangkat dalam panitia
ini.

Panitia Jaminan Mutu


Untuk memadukan semua proses jaminan mutu yang terjadi di seluruh rumah
sakit, kebanyakan rumah sakit mempunyai Panitia Jaminan Mutu sentral. Panitia
ini jarang berpartisipasi langsung dalam pengkajian masalah dan fase tindakan
EPO, tetapi dapat mengatur keefektifan program.
Tidak ada suatu cara tunggal yang lebih diinginkan dari pengorganisasian kegiatan
EPO. Setiap rumah sakit wajib mendesain suatu sistem yang dapat bekerja paling
baik dengan gabunagn khas dari personel, kebijakan, dan protokol. Harus
diputuskan individu atau kelompok yang dapat merencanakan paling efektif untuk
penggunaan obat yang optimal, mengidentifikasikan masalah yang berkaitan
dengan obat, menganalisis data, merekomendasikan tindakan, dan solusi masalah
berkenaan penggunaan obat. Tentu saja, seorang anggota penting dari EPO adalah
seorang apoteker yang komunikatif dan bertanggung jawab.

4. Pelaksanaan EPO
EPO dapat dengan mudah divisualisasikan sebagai kegiatan jaminan mutu.
Penetapan dan pemeliharaan suatu program EPO sangat rumit. Walaupun
pengembangan dari berbagai langkah tertentu dapat berubah-ubah, pendekatan
berikut dapat membantu mengkonsepsikan dan melakukan EPO sebagai suatu
kegiatan jaminan mutu.
1. Membentuk tim EPO dan menunjuk penanggung jawab
2. Mengkaji data pola penggunaan obat secara menyeluruh (secara
kuantitatif)
3. Mengidentifikasi obat dan golongan obat-obat tertentu untuk dipantau dan
dievaluasi

7
4. Mengembangkan kriteria penggunaan obat (KPO)
5. Mengumpulkan dan mengorganisasikan data
6. Mengevaluasi penggunaan obat dengan mengacu pada KPO
7. Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan
penggunaan obat
8. Mengkaji keefektifan tindakan yang diambil dan membuktikan
penyempurnaan.
9. Mengkomunikasikan informasi kepada individu dan kelompok yang tepat
di dalam rumah sakit.

5. Desain Studi EPO


Evaluasi retrospektif melakukan evaluasi penggunaan obat setelah dikonsumsi;
secara khas, evaluasi retrospektif dilakukan setelah seorang pasien telah
menyelesaikan suatu rangkaian terapi, dan setelah dibebaskan dari rumah sakit.
Pada umumnya menggunakan rekam medic sebagai suatu sumber utama karena
rekaman ini adalah dokumentasi gabungan pelayanan yang dialami oleh pasien,
termasuk hasil berikutnya.
Pengkajian konkuren adalah suatu pengkajian kontemporer atau perawatan
sekarang yang sedang diberikan kepada pasien. Suatu evaluasi konkuren memberi
peluang untuk melakukan tindakan perbaikan ketika pasien masih tinggal dalam
rumah sakit.
Evaluasi prospektif adalah suatu evaluasi dengan maksud mungkin untuk
pelayanan yang akan datang dan direncanakan bagi pasien. Evaluasi prospektif
mempunyai keuntungan untuk mengubah terapi obat sebelum pasien
menerimanya. Suatu contoh yang baik dari proses evaluasi prospektif adalah suatu
protokol atau criteria tertulis tertentu untuk penggunaan suatu obat tertentu.
Evaluasi ini menyatakan secara tidak langsung mengevaluasi sebelum penulisan,
dispensing, atau sebelum pemberian obat, dan mengantisipasi hasil dari tindakan
itu.

Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan


penggunaan obat
Tindak lanjut dari PFT
Suatu mekanisme sederhana untuk memulai tindakan perbaikan adalah suatu
ketua PFT kepada ketua SMF atau praktisi individu. Adapun surat itu
1. Harus sangat spesifik, harus menidentifikasikan kasus atau data tertentu
yang terhadapnya tindakan perbaikan dianjurkan;
2. Dengan jelas menyatakan maksud pelaksanaan EPO dan mengapa itu
penting bagi rumah sakt dan bagi staf medic;
3. Harus spedifiknpada rencana tindakan perbaikan, yaitu: Siapa yang
menerapkan perubahan? Apa sebenarnya yang diubah, dan bagaimana
itu diselesaikan?;
4. Dalam beberapa rumah sakit, ketua/kepala tiap SMF yang terlibat kasus
dan gagal memenuhi kriteria penggunaan obat, diminta membicarakan
kasus tertentu dalam kegiatan jaminan mutu SMF bulanan;
5. PFT menganjurkan dalam suratnya, bahwa kasus tertentu ini dikaji
dalam pertemuan SMF dan bahwa kepala SMF dapat mengambil
tindakan disiplin atau edukasi yang mungkin perlu.

8
Tindakan Edukasi
Apoteker dapat memainkan peran penting dalam pengadaan edukasi berkelanjutan
melalui seminar, surat berita, diskusi pada pertemuan laporan pagi, penyajian
formal pada kunjungan besar ke ruang pasien, dan penyajian informal pada
kunjungan pelayanan pasien harian. IFRS dapat memilih sasaran tertentu misalnya
suatu obat tertentu, golongan obat tertentu, atau dokter spesialis tetentu, SMF atau
pelayanan tertentu.

RENCANA TINDAKAN PERBAIKAN

Kerangka waktu untuk tindakan


Tindakan perbaikan pada taraf tertentu, bergantung pada kerangka waktu yang
dipilih untuk mengkaji masalah dalam terapi obat.

Strategi untuk bertindak


Berbagai metode mungkin berguna dalam rencana tindakan perbaikan yaitu
Edukasi
Salah satu rencana tindakan yang paling umum dalam jaminan mutu adalah
penyajian suatu program edukasi berkelanjutan, difokuskan pada masalah yang
diidentifikasi.
Pembatasan Penggunaan Obat
Rencana tindakan yang lain untuk mempengaruhi kepatuhan pada criteria
penggunaan obat adalah pembatasan penggunaan obat. Hal ini merupakan rencana
tindakan biasa, untuk menyempurnakan penggunaan antibiotic dalam rumah sakit.
Sistem pengendalian demikian dapat mengubah praktik penulisan obat
Perubahan sistem
1. Perpanjangan IFRS selama 24 jam
2. Mengadakan laboratorium farmakokinetik klinik, atau minimal adanya
seorang apoteker spesialis farmakokinetik klinik yang aktif dalam pelayanan
konsultasi farmakokinetik; dan
3. Mengembangkan, menyempurnakan atau merevisi kebijakan dan prosedur
tertentu;
4. Penerapan pelayanan farmasi klinik untuk mendukung penggunaan obat yang
bermutu, juga dapat merupakan tindakan yang tepat
Intervensi prospektif atau konkuren
Strategi lain untuk tindakan adalah mengidentifikasi dan memperbaiki
penyimpangan penggunaan obat yang optimal secara prospektif atau secara
konkuren. Apotek klinik secara khas memenuhi syarat untuk melakukan
pengkajian prospektif dan konkuren. Proses pengkajian prospektif dan konkuren
menggunakan kriteria penggunaan obat tertulis yang secara klinik abash untuk
mengkaji regimen terapi.
Pengkajian tindakan yang diambil dan penyempurnaan dokumen
Setelah tindakan koreksi dilakukan untuk solusi masalah atau untuk
penyempurnaan penggunaan obat, suatu mekanisme harus ada untuk mengkaji
keefektifan tindakan koreksi yang dilakukan sehingga benar-benar mengubah

9
terapi sebagaimana dimaksudkan. Hal ini memerlukan suatu reevaluasi obat atau
golongan obat yang sebelumnya telah dievaluasi. Jika tidak ada masalah yang
terdeteksi dengan suatu obat tertentu, evaluasi obat tersebut dhentikan dari proses
pengkajian dan diganti dengan obat sasaran lainnya. Obat bermasalah tetap dalam
dalam daftar sasaran sampai masalah diatasi.
Mengkomunikasikan informasi relevan kepada kepada individu yang tepat
Komunikasi yang efektif adalah penting untuk suatu program EPO yang berhasil.
Suatu rencana dan jenis informasi yangt jelas, harus diuraikan secara tepat kepada
individu/kelompok yang menerima. Semua hasil program EPO harus
dikomunikasikan melalui berbagai saluran yang ditetapkan oleh kebijakan rumah
sakit.

KESULITAN YANG MUNGKIN


Yang paling sulit adalah apabila program tidak mempunyai otoritas. Suatu
program EPO yang bekerja bebas (independen) dari staf medik, kemungkinan
besar akan tidak efektif. Staf medik harus terlibat agar program mempunyai
legitimasi (hak kekuasaan).
Kekurangan dalam pengorganisasian terbukti mengganggu program. Tanpa suatu
ketetapan yang jelas peranan berbagai individu program akan kacau. Kebijakan
dan prosedur harus terdokumentasi, agar proses organisasi terdokumentasi secara
jelas dan tidak ada kebingungan tentang siapa yang mempunyai tanggung jawab
apa
Pengoperasian program EPO dengan komunikasi yang buruk akan menyebabkan
program gagal. Adalah penting bahwa setiap orang yang terlibat, mengerti proses
EPO dan itu adalah penting untuk rumah sakit, staf medik dan IFRS. Seorang
coordinator untuk kegiatan EPO harus ditunjuk dan bertanggung jawab untuk
semua komunikasi. Diskusi tetap tentang kegiatan EPO adalah penting pada
tingkat PFT.
Dokumentasi yang buruk dapat merusak program EPO. Semua studi EPO harus
terdokumentasi dengan baik, termasuk rekomendasi yang dibuat, tindakan
tindakan tindak lanjut yang diterapkan, dan evaluasi tindakan perbaikan yang
dilakukan. Dokumentasi harus segera dapat ditelusuri.
Tidak melibatkan semua apoteker rumah sakit dalam kegiatan EPO adalah suatu
kesalahan. Apoteker adalah professional yang logis dan tepat untuk melakukan
suatu evaluasi awal dari terapi obat dalam struktur program EPO.

TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM PROGRAM EPO


Bekerja sama dengan staf medis dan dengan yang lain, mengadakan koordinasi
harian program EPO
Menyediakan data kuantitatif penggunaan obat untuk menetapkan obat yang akan
dievaluasi (data konsumtif terakhir)
Menyiapkan konsep kriteria penggunaan obat/standar dengan bekerja sama
dengan staf medik dan lain-lain untuk disetujui oleh Tim EPO, PFT, dan ketua
Komite Medik.
Mengumpulkan data penggunaan obat yang akan dievaluasi dan mengkaji order
obat, profil pengobatan oasien (P3), terhadap criteria penggunaan obat yang telah
ditetapkan.

10
Menginterpretasikan dan melaporkan temuan evaluasi kepada Tim EPO, dan
memformulasikan rekomendasi tindakan perbaikan yang akan diusulkan Tim EPO
ke pimpinan rumah sakit.
Berpartisipasi dalam program tindakan perbaikan, misalnya dalam edukasi untuk
memperbaiki temuan evaluasi.
Memantau keefektifan tindakan perbaikan dan membuat laporan tertulis tentang
hasil pemantauan tersebut.

2.2 DRUG USE REVIEW (DUE)


Salah satu masalah penting yang dihadapi unit pelayanan kesehatan adalah
rasionalitas penggunaan obat. WHO mendefinisikan penggunaan obat rasional
sebagai berikut : pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya,
dengan dosis yang sesuai, dan rentang waktu yang sesuai, dengan harga terendah.

Penggunaan obat rasional membutuhkan pendekatan individual pada pasien.


Keberhasilan terapi obat tergantung pada :

Kemampuan dokter mendiagnosis masalah kesehatan utama, memilih


dosis yang tepat, bentuk sediaan dan rute administrasi yang tepat,
mengidentifikasi kemungkinan efek samping dan interaksi obat, dan
mencegah terapi duplikasi.
Kemampuan farmasis menyiapkan obat dan perawat memberikan obat pada
pasien.

Penerapan Formularium RS dapat membantu optimalisasi pengobatan,


menyediakan obat esensial dan mengontrol biaya terapi, sehingga merupakan
dasar pengobatan rasional. Tetapi FRS yang sudah tepat tidak bisa menjamin obat
telah diresepkan dan digunakan dengan tepat pula. Salah satu mekanisme untuk
menjamin ketepatan peresepan dan penggunaan obat adalah proses drug
utilization review (DUR) atau evaluasi penggunaan obat.
Program DUR harus direncanakan dengan hati-hati oleh staf medis untuk
menyertakan obat- obat yang paling menimbulkan masalah bila tidak digunakan
dengan tepat. Dengan membandingkan penggunaan obat sesungguhnya dengan
standar atau pedoman pengobatan, DUR dapat mendeteksi terapi oabt yang
tidak sesuai dan/atau tidak perlu. Program DUR dapat dirancang untuk
memonitor obat tertentu, kelompok obat maupun obat-obat yang digunakan untuk
penyakit tertentu.
Bila suatu masalah teridentifikasi, dirancang suatu intervensi dan diterapkan
untuk memperbaiki pola penggunaan obat. Intervensi yang dapat dilakukan
meliputi program pendidikan, penyediaan informasi obat, perubahan kebijakan
dan prosedur RS, serta perubahan formularium RS.
Beberapa istilah dalam DUR :
Kriteria : parameter yang telah ditentukan sebelumnya tentang peresepan dan
penggunaan obat dan digunakan dalam program DUR untuk membandingkan
dengan kenyataannya. Kriteria sebaiknya disusun atau diseleksi oleh tenaga
kesehatan profesional.

11
Threshold atau ambang batas : merupakan persentase, yang besarnya ditetapkan
oleh komite
DUR, yang menandakan titik dimana terjadi masalah terapi obat. Sebagai
contoh, ambang
95% berarti komite DUR menentukan bahwa terjadi masalah bila kurang dari
95% data terkumpul untuk suatu kriteria menunjukkan kepatuhan/kesesuaian.

Prospective DUR : melibatkan perbandingan obat yang dipesan dengan


kriteria sebelum pasien menerima obat. Jenis evaluasi ini ideal karena bersifat
poten preventif, dan karena intervensi terpusat pada individu pasien.

Concurrent DUR : melibatkan evaluasi obat yang dipesan selama terapi.


Evaluasi jenis ini ideal karena penyesuaian terapi obat mungkin diperlukan
berdasarkan perkembangan diagnosis dan tes laboratorium.

Retrospective DUR : melibatkan evaluasi obat yang telah diresepkan dan


digunakan. Evaluasi tipe ini paling mudah dan murah, namun tidak
memungkinkan dilakukan intervensi untuk memperbaiki terapi yang telah
diterima pasien yang digunakan sebagai objek penelitian.

Intervensi : aktivitas yang diseleksi oleh komite DUR untuk mengoreksi masalah
terapi obat yang teridenfikasi selama monitor dan evaluasi DUR.
Program DUR dibagi menjadi 4 fase : perencanaan, pengumpulan data dan
evaluasi, intervensi dan evaluasi program.

FASE 1 : PERENCANAAN

Langkah 1. Menbentuk komite DUR.


Langkah 2. Menulis kebijakan dan prosedur.
Langkah 3. Menentukan semua bagian atau departemen di RS dimana obat
digunakan(termasuk gawat darurat, ICU, bagian bedah, radiologi, dll).
Langkah 4. Identifikasi obat-obat yang berpeluang dimasukkan dalam program.
Langkah 5. Penilaian sumber daya yang tersedia untuk penetapan kriteria,
pengumpulan dan evaluasi data, dan pemilihan obat yang dimasukkan dalam
program.
Langkah 6. Untuk masing-masing obat, ditentukan aspek (indikasi, dosis,
bentuk sediaan, dll) penggunaan obat yang dimonitor atau dievaluasi.
Langkah 7. Pemilihan kriteria dan penentuan ambang batas.
Langkah 8. Pemastian metodologi untuk pengumpulan dan evaluasi data, serta
penyusunan jadwal..
Langkah 9. Edukasi staf RS tentang program DUR dan kriteria yang sudah
ditentukan.

FASE 2: PENGUMPULAN DATA DAN EVALUASI


Langkah 10. Pengumpulan data.
Langkah 11. Evaluasi data and penentuan apakah ada masalah penggunaan obat
FASE 3: INTERVENTION

12
Langkah 12. Diseminasi hasil pada staf RS.
Langkah 13. Jika ditemukan masalah penggunaan oabt, dirancang dan
diterapkan suatu intervensi.
Langkah 14. Dilakukan pengumpulan data lagi untukm menentukan apakah
penggunaan obat telah membaik setelah dilakukan intervensi. Langkah 15.
Diseminasi hasil re-evaluasi.
FASE 4: EVALUASI PROGRAM
Langkah 16. Evaluasi semua aktivitas program DUR pada akhir tahun
evaluasi, dan merencanakan aktivitas untuk tahun berikutnya.

FASE 1 : PERENCANAAN

Langkah 1. Menbentuk komite DUR.

Seperti halnya penyusunan Formularium RS, DUR merupakan tugas staf


medis dibantu farmasis dan perawat. Jika di RS sudah ada Komite FRS, komite
ini yang bertanggung jawab terhadap program DUR atau bisa dibentuk subkomite
DUR. Komposisi anggota komite DUR harus melibatkan tenaga profesional
yang berkompeten dalam perbaikan terapi obat di RS, dan mempunyai akses
langsung dengan semua bagian di RS dimana obat digunakan.
Kewajiban penting dari Komite DUR adalah penentuan kriteria.
Keberhasilan DUR dalam perbaikan terapi obat dan mengontrol biaya obat sangat
tergantung pada partisipasi aktif dokter, farmakologis klinis, farmasis klinis,
dengan didukung pengetahuan tentang farmakoterapi dan farmakokinetika.

Langkah 2. Menulis kebijakan dan prosedur

Berikut ini adalah elemen-elemen penting yang direkomendasikan dimasukkan


dalam kebijakan dan prosedur DUR :
a. Pernyataan program
Harus dinyatakan bahwa program DUR bersifat berkelanjutan, dan
merupakan suatu kebijakan, sehingga staf medik paham bahwa RS berkomitmen
untuk menjamin penggunaan obat yang efektif dan aman, dan bahwa evaluasi
penggunaan obat bukan aktivitas yang dilakukan setelah ada masalah namun
merupakan kegiatan kontinyu.
b. Pernyataan Misi
Berikut ini contoh pernyataan sederhana, mencakup tujuan dan aktivitas
utama dari program
DUR :
Komite DUR, bekerja sama dengan Instalasi Farmasi, akan bertanggung jawab
untuk menjamin penggunaan obat yang ssuai, aman dan efektif di RS. Hal ini
akan dijalankan melalui pengembangan dan pelaksanaan program monitoring dan
evaluasi yang sistematik, berkelanjutan dan berdasar kriteria, bekerja sama
dengan Komite Formularium. Temuan dari monitoring dan evaluasi akan
ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas, termasuk penambahan obat baru
dalam Formularium, penghapusan obat dari Formularium, pembatasan
penggunaan obat tertentu pada sebagian pasien atau penyakit, intervensi edukasi,
untuk memperbaiki penggunaan obat.

13
c. Anggota komite
Umumnya komite DUR terdiri dari tenaga profesional yang bertanggung
jawab terhadap penggunaan obat di bagian farmasi, spesialis (bedah, gawat
darurat, anak, dll), bagian informasi obat, dan perawat. Panitia Ad hoc dapat
dibentuk khusus untuk penentuan kriteria, evaluasi data dan merancang
intervensi. Ketua dan sekretaris komite sebaiknya ditunjuk atau dipilih
berdasarkan kebijakan RS. Biasanya farmasis atau farmakologis klinis
berperan sebagai sekretaris.
d. Frekuensi pertemuan
Frekuesi pertemuan sangat bergantung pada jangkauan program, yang
ditentukan berdasarkan sumber daya yang tesedia dan kebutuhan klinis. Jadwal
minimal harus mencakup pertemuan tahunan, pertemuan untuk penentuan
kriteria, evaluasi data, merancang intervensi, dan mengevaluasi program.
e. Siklus program
Siklus program DUR harus melibatkan 4 aktivitas berdasrkan fase, yaitu
perencanaan, pengumpulan data dan evaluasi, intervensi dan evaluasi program.
Siklus tahunan adalah yang terbaik.
f. Aspek penggunaan obat yang akan dievaluasi
Aspek penggunaan obat akan berbeda tiap obat dan tiap RS, karena
perbedaan pola pasien, kapasitas laboratorium, spesialiasi, dan anggaran untuk
obat. Salah satu pendekatan, adalah dengan mengklasifikasikan aspek ke dalam :
justifikasi (dasar kebenaran) penggunaan, indikator proses, dan indikator hasil.
Parameter justifikasi penggunaan menetapkan pada kondisi bagaimana
obat yang akan dievaluasi seharusnya diresepkan, yaitu merupakan indikasi
obat. Contoh, indikasi ceftazidime adalah untuk infeksi Pseudomonas
aeruginosa; atau digoxin, digunakan bila terjadi takhiaritmia atrial.
Indikator proses, merupakan parameter yang menggambarkan berbagai
aspek terapi yang akan dievaluasi, meliputi :
Indikasi
Efek samping
Manajemen overdosis
Preparasi
Rute Administrasi
Interaksi obat-obat dan obat-makanan
Monitoring/tes laboratorium
Edukasi pasien
Indikator hasil, merupakan hasil dari terapi. Contoh : indikator hasil
o
untuk ceftazidime adalah: penurunan demam sedikitnya 1 C dalam 3 hari
setelah dosis pertama, eradikasi
bakteri yang ditandai dengan kultur negatif dalam 24 jam setelah penghentian
ceftazidime; dan white blood count (WBC) ada dalam rentang normal. Indikator
juga bisa mencakup biaya terapi.
g. Persyaratan Penetapan kriteria
Persyaratan untuk kriteria penggunaan obat harus disusun menggunakan
berbagai sumber, termasuk literatur ilmiah, pengalaman RS, pedoman terapi, dan
lain-lain.
h. Diseminasi informasi

14
Hasil monitoring dan evaluasi didiseminasikan pada personil RS yang
terkait. Hal ini akan membantu mencegah persepsi negatif dari staf medik.
i. Tipe intervensi
Intervensi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki penggunaan obat:
Program edukasi berkelanjutan
Pedoman tertulis penggunaan obat
Pembuatan form pesanan untuk obat khusus
Perubahan kebijakan RS dan prosedur
Penambahan atau penghapusan obat dalam formularium
Pembatasan peresepan
Konseling formal atau nonformal
j. Evaluasi Program
Program DUR dievaluasi pada tiap akhir siklus, sehingga peningkatan
dapat dibuat, dan untuk menilai dampak klinis dan ekonomis pada RS.
Langkah 3. Menentukan semua bagian atau departemen di RS dimana obat
digunakan
(termasuk gawat darurat, ICU, bagian bedah, radiologi, dll).
Umunya program DUR tidak diberlakukan terhadap semua obat yang digunakan
di RS dalam setiap siklus programnya. Beberapa bagian, seperti farmasi, bedah,
anak, masuk dalam program DUS setiap tahun, tapi bagian lains eperti radiologi
hanya dimasukkan misalnya setiap tiga atau empat tahun sekali.
Langkah 4. Identifikasi obat-obat yang berpeluang dimasukkan dalam
program.
Tidak mungkin dan tidak perlu memonitor dan mengevaluasi semua obat yang
digunakan di RS. Komite DUR harus menentukan obat prioritas, yang perbaikan
penggunaannya akan menghasilkan dampak klinis dan ekonomis yang besar,
antara lain obat-obat yang:
Biaya tinggi, volume tinggi, obat yang penting secara klinis (bisa diidentifikasi
dan dipilih dengan analisis ABC/VEN)
Digunakan oleh pasien beresiko tinggi (geriatri, ICU, anak, dll)
Mempunyai efek samping bermakna, indeks terapi sempit
Digunakan dalam diagnosis yang paling umum
Dalam pertimbangan untuk ditambahkan dalam formularium, dan
Baru saja ditambahkan dalam FRS

a. Biaya tinggi, volume tinggi, obat yang penting secara klinis (bisa diidentifikasi
dan dipilih dengan analisis ABC/VEN). Sebuah alat yang banyak digunakan
untuk identifikasi obat sebagai target DUR adalah analisis ABC/VEN.

Analisis ABC adalah metode dimana obat dibagi berdasarkan penggunaan per
tahun (unit cost times annual consumption):
Kelas A (10 - 20% item yang biayanya 75-80% dari total pembiayaan obat),
Kelas B (10 - 20% item dan mencapai 15 - 20% dari pembiayaan),
Kelas C (60 -80% item dan menelan 5 -10% dari pembiayaan).
Dari hasil analisis ABC, maka obat-obat yang masuk dalam kelompok A potensial
untuk dimasukkan dalam program DUR.

15
Analisis VEN merupakan sistem penetapan prioritas pemilihan, pengadaan dan
evaluasi obat, dimana obat diklasifikasikan berdasarkan dampak kesehatannya :
Vital, Esensial dan Nonesensial.

Obat Vital : Obay yang potensial sebagai life-saving (misal, vaksin),


obat yang penghentiannya menyebabkan efek signifikan sehingga harus selalu
tersedia (misal propranolol, insulin, steroid).

Obat Esensial: Obat yang efektif melawan penyakit yang kurang parah, tapi
sangat signifikan.

Obat Non-esensial: Obat untuk penyakit self-limiting, obat yang efikasinya


dipertanyakan dan obat yang mempunyai biaya tinggi tapi dengan keuntungan
terapi yang terbatas.

Jika dibutuhkan, klasifikasi yang lebih detil dapat dilakukan , seperti :


1. Terapi etiotrof : terapi ditujukan pada penghilangan penyebab penyebab
penyakit
2. Terapi patogenik : terapi ditujukan pada penghilangan atau penekanan
mekanisme perkembangan penyakit
3. Terapi simtomatik : terapi ditujukan pada penghilangan atau penurunan
manifestasi penyekit tertentu
4. Terapi penggantian : terapi ditujukan pada ketidakcukupan senyawa aktif
endogen
5. Terapi pencegahan : terapi ditujukan untuk pencegahan penyakit

Contoh obat-obat yang berdasarkan analisis ABC/VEN masuk dalam kelompok


A, esensial dan biaya tinggi :
Cyclosporine 100mg tablet
Immunoglobulin 1ml ampule
Ondensetron 4mg tablet
Nimodipine 30mg tablet
Lovastatin 40mg tablet
Imipenem/Cilastatin 500mg vial
Ceftazidime 1.0 gm vial
Penggunaan yang tepat obat-obat ini mempunyai dampak klinis dan ekonomis,
sehingga komite DUR harus memertimbangkan masukknya obat-obat ini dalam
program.

b. Digunakan oleh pasien beresiko tinggi (geriatri, ICU, anak, dll)


Sebagai contoh, RS harus mengidentifikasi obat-obat berikut yang penting
penggunaannya pada pasien geriatri:
Theophylline
Cimetidine
Nitroglycerine
Heparin
Chlorpromazine

16
Carbamazepine
Fenoterol
Daftar sejenis harus disusun juga untuk unit gawat darurat, anak, atau pasien
beresiko lain.

c. Mempunyai efek samping bermakna, indeks terapi sempit


Ummnya obat dengan indeks terapi sempit juga menyebabkan efek samping
serius, dan biasanya membutuhkan perhitungan hati-hati dosis inisial, monitoring
rutin laboratorium, penyesuaian dosis, dan manajemen efek samping. Contoh
obat-obat dengan indeks terapi sempit adalah :
Gentamicin
Chloramphenicol
Phenylbutazone
Sulfadimezine
Quinidine
Phenacetin
Digoxin
Metamizole

d. Digunakan dalam diagnosis yang paling umum Program DUR terhadap obat-
obat yang digunakan dalam diagnosis yang paling umum juga berdampak besar
pada klinis maupun ekonomis. Informasi tentang diagnosis bisa didapat dari
bagian rekam medis atau statistik RS.

e. Dalam pertimbangan untuk ditambahkan dalam formularium, dan Komite FRS


biasanya menangani permintaan tertulis penambahan suatu obat untuk
dimasukkan dalam FRS, kemudian melakukan evaluasi DUR sebelum
memutuskan untuk memasukkan obat tersebut.
f. Baru saja ditambahkan dalam FRS
Obat yang sangat efektif bisa ditambahkan langsung ke dalam FRS
sebelum digunakan secara rutin oleh staf medis, namun sebaiknya obat ini
kemudian jadi prioritas program DUR.

Langkah 5. Penilaian sumber daya yang tersedia untuk penetapan


kriteria, pengumpulan dan evaluasi data, dan pemilihan obat yang
dimasukkan dalam program.
Komite dapat menyusun sendiri kriteria, meminta partisipasi para spesialis dan
staf klinik, atau menggunakan kriteria yang sudah baku dan tidak bias dari
literatur. Kolektor data harus dipilih hati-hati, dan harus terlatih dengan informasi
kesehatan pasien (karena umumnya digunakan data rekam medis). Pengetahuan
tentang nama dan kekuatan obat juga penting. RS yang baru pertama
melakukan program DUR bisa memilih 12 obat dalam satu tahun, sehingga
monitoring dan evaluasi dapat diselesaikan dalam satu bulan untuk masing-
masing obat.

Langkah 6. Untuk masing-masing obat, ditentukan aspek (indikasi,


dosis, bentuk sediaan, dll) penggunaan obat yang dimonitor atau dievaluasi.

17
Tidak mungkin untuk menilai semua aspek dalam penggunaan obat yang telah
diseleksi, sebaiknya dipilih aspek yang paling penting yang akan dimonitor dan
dievaluasi, antara lain :
Indikasi
Koontraindikasi
Efek samping
Manajemen overdosis
Dosis
Terapi duplikasi
Preparasi
Administrasi
Interaksi obat-obat dan obat-makanan
Monitoring/tes laboratorium
Edukasi/instruksi pada pasien
Hasil terapi
Biaya seluruh terapi
Contohnya, komite telah memilih ceftazidime, heparin, dan salbutamol untuk
evaluation. Untuk masing-masing obat, komite mengidentifikasi aspek penting
pelayanan dan alasan pemilihan aspek ini :
Ceftazidime merupakan sefalosforin gengerasi tiga, bersifat bakterisidal,
mahal, spektrum luas. Luasnya penggunaan obat ini memberikan dampak
ekonomis pada biaya. Diketahui bahwa obat ini sering digunakan untuk infeksi
ringan, tanpa dilakukan uji sensitivitas dan kultur, sehingga memungkinkan
perkembangan resistensi, dan menjadi tidak efektif lagi saat dibutuhkan pasien
untuk infeksi yang lebih serius. Selain itu, obat ini sering diberikan bersama
antibiotik bakteriostatik lain seperti eritromisin. Dengan pertimbangan di atas,
aspek penting yang digunakan adalah : indikasi, uji laboratorium, dan interaksi
obat-obat.
Heparin adalah obat yang sering digunakan dan berpotensi menyebabkan
konsekuensi bahaya apabila tidak digunakan dengan tepat, selain itu sering
digunakan pada pasien dengan kondisi kritis. Perdarahan internal atau bahkan
kematian dapat terjadi bila heparin digunakan pada keadaan kontraindikasi, bila
efek samping atau overdosis tidak diatasi dengan tepat, atau penetapan dosis tidak
benar (seharusnya dilakukan tes laboratorium). Pasien yang menggunakan
heparin biasanya juga menerima obat-obat lain, sehingga potensial terjadi
interaksi obat. Dengan pertimbangan di atas, dilakukan monitoring terhadap :
konraindikasi, efek samping, dosis, manajemen overdosis, tes laboratorium dan
interaksi obat.
Salbutamol merupakan bronkodilator simpatomimetik selektif yang sering
digunakan untuk asma dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Tes
kekuatan ekspirasi perlu dilakukan untuk menentukan apakah pasien memang
membutuhkan salbutamol. Walaupun bekerja pada reseptor selektif di bronkhial,
tapi dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan takhikardi, dan aritmia jantung.
Pasien yang tidak bisa menggunakan bentuk sediaan inhaler membutuhkan
bentuk sediaan oral. Pasien sering membutuhkan inhaler setelah keluar dari
RS, tapi obat menjadi tidak efektif bila penggunaan inhaler tidak tepat. Edukasi
pada pasien tentang penggunaan inhaler yang tepat sangat penting. Sehingga

18
aspek penggunaan untuk salbutamol meliputi : tes pernafasan, dosis, bentuk
sediaan, dan edukasi pasien.

Langkah 7. Pemilihan kriteria dan penentuan ambang batas.


Kriteria merupakan pernyataan tentang penggunaan obat yang tepat. Metode
untuk menyusun kriteria antara lain:
Menggunakan kriteria yang sudah baku, seperti Pedoman Terapi Standar
yang disusun oleh WHO, DepKes, atau kelompok spesialis. Kriteria seperti ini
tidak bias, disusun oleh para ahli, serta telah teruji klinis.
Mengadopsi kriteria yang sudah ada dan dimodifikasi sesuai kebutuhan RS.
Menyusun sendiri kriteria, berdasar pedoman diagnosis dan terapi RS
Berikut ini contoh bagaimana RS memilh kriteria untuk obat anti-inflamasi non
steroid:
Di RS ini, rematik artritis dan inflamasi merupakan penyakit yang paling umum
dan banyak pasien mendapatkan terapi kronis. Analisis ABC menunjukkan bahwa
biaya untuk obat-obat mencapai 15% dari total anggaran obat:
Asetosal
diclofenac
flurbiprofen
ibuprofen
naproxen
piroxicam
Diketahui bahwa peresepan yang tidak tepat obat-bat ini dapat menyebabkn
terjadi komplikasi. Komite membatasi aspek evaluasi pada kontra indikasi dan
interaksi. Karena komite tidak punya akses pada kriteria yang sudah baku,
maka kriteria berikut disusun berdasarkan literatur ilmiah, serta pengalaman ahli
rematologi :
Kontra indikasi : gangguan renal kronis, hipersensitivias terhadap asetosal
dan AINS, penyakit tukak dan erosi saluran cerna, riwayat koagulopati, gagal
jantung kongestif, kehamilan, menyusui. Ascites dan sirosis.
Interaksi obat : antikoagulan tak langsung, cyclosporine, methotrexate, ACE
inhibitor, corticosteroids.
Langkah 8. Pemastian metodologi untuk pengumpulan dan evaluasi
data, serta penyusunan jadwal.
Sebelum melakukan monitoring dan evaluasi, metodologi pengumpulan data
harus sudah dibakukan meliputi : elemen data, sumber data, formulir yang
digunakan, penanggung jawab dan jumlah sampel.
Elemen data : Menggambar kan masing-masing elemen data yang harus
dikumpulkan selama evaluasi, seperti :
Nama dokter, spesialitas, nama obat, dosis, jumlah obat, durasi terapi, harga, dll.
Sumber data : Diidentifikasi apakah elemen data dapat ditemukan pada sumber
data terpilih. Misalnya : rekam medis, laporan hasil laboratorium, rekam farmasi,
dll.
Formulir : Seetlah elemen data ditentukan, disusun formulir yang akan digunakan
untuk melaporkan data yang disusun secara sistematis, dan memastikan
semua data yang dibutuhkan sudah tercantum dalam formulir. Formulir harus
dirancang untuk memudahkan analisis akhir.

19
Penanggung jawab : Adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
pengumpulan, penataan, dan pelaporan data.
Ukuran sampel : Diputuskan berapa banyak data yang harus dikumpulkan
dengan mempertimbangkan aspek berikut : tujuan evaluasi, penggunaan bulanan
atau tahunan dari obat, waktu, sumber daya dan biaya.
Pertimbangan lain penentuan jumlah sampel adalah :
Untuk obat yang sering diresepkan, hanya dibutuhkan 30-50 kasus, atau
persen tertentu.
Untuk obat yang jarang diresepkan, tapi penting secara klinis atau ekonomis,
perlu dikumpulkan data sepanjang waktu evaluasi. Juga harus dipertimbangkan
apakah data akan dikumpulkan secara prospektif, konkuren atau retrospektif.
Prospective DUR monitoring, membandingkan obat yang dipesan dengan
kriteria dan melakukan intervensi sebelum pasien menerima obat. Keuntugan
utamanya adalah potensial dalam pencegahan, dan perlu digunakan bila
ketidahpatuhan pada kriteria akan menghasilkan konsekuensi serius. Dampak dari
DUR ini bersifat langsung, berbagai masalah penggunaan obat dapat terdeteksi
dan diceah, termasuk :
Dosis yang tidak tepat
Bentuk sediaan atau rute administrasi ang tidak tepat
Durasi terapi yang tidak tepat
Itnteraksi obat-obat
Duplikasi terapi
Kontraindikasi obat-penyakit
Alergi obat dan efek samping lain
Permintaan uji laboratorium/monitoring yang tidak tepat.

Contoh : kriteria telah ditentukan bahwa dikontradindikasikan untuk pasien


menerima antibiotik bakteriostatik dan bakterisidal bersama-sama. Jika pasien
telah mendapat gentamisin, dan farmasis menerima permintaan eritromisin,
farmasis tidak boleh memberikan eritromisin, tapi harus menghubungi dokter
untuk melakukan perubahan.

Begitu juga, kriteria sudah ditentukan bahwa pasien tidak boleh menerima
gentamicin dan furosemide bersama-sama. Dalam kasus ini farmasis harus
menghubungi dokter dan menyampaikan kemungkinan efek nefrotoksisitas dari
gentamisin.

Concurrent DUR monitoring, membamdingkan penggunaan obat dengan


kriteria selama terapi, seperti pada prospective monitoring. Bedanya, pada
concurrent monitoring, intervensi bersifat koreksi. Contoh : kriteria ditentukan
bahwa dosis gentamisin harus dihitung berdasarkan berat badan, dan disesuaikan
dengan tes ginjal dan pendengaran. Farmakologis klinis dan farmasis harus
mencek parameter ini tiap hari, dan menghubungi dokter bila dosis tidak dihitung
dengan tepat, atau diperlukan penyesuaian dosis.

Retrospective DUR monitoring, mengevaluasi obat yang telah diresepkan


setelah diberikan pada pasien. Intervensi tidak dapat dilakukan untuk

20
memperbaiki penggunaan obat pada pasien yang dievaluasi. Tapi dapat
digunakan untuk memonitor aspek yang sama seperti pada prospective DUR,
misalnya :
Identikasi frekuensi peresepan obat tunggal atau kelompok obat
Membandingkan peresepan antar dokter
Membandingkan peresepan dengan pedoman terapi standar
Monitoring penggunaan terapi obat dengan biaya tinggi
Contohnya, RS melakukan DUR terhadap gentamisin, dengan kriteria
menyatakan bahwa penggunaannya dikontraindikasikan pada gagal ginjal. Rekam
medis pasien yang telah keluar RS pada bulan sebelumnya dievaluasi dan
ternyata ada masalah peresepan. Staf medis memutuskan untuk melakukan
evaluasi intensif semua obat golongan aminoglikosida, dan hasilnya ternyata
sama. Kemudian program edukasi dilakukan tentang penggunaan antibiotik pada
pasien gagal ginjal. Berdasarkan informasi yang didapat dari tahap sebelumnya,
komite menyusun jadwal DUR tahunan.
Langkah 9. Edukasi staf RS tentang program DUR dan kriteria
yang sudah ditentukan.
Sebelum dilakukan pengumpulan data, edukasi penting untuk dilakukan pada staf
medis dan farmasis tentang tujuan program DUR, untuk membangun dukungan
pada program. Diseminasi dapat dilakukan lewat memo atau surat, namu
sebaiknya dalam pertemuan internal untuk memungkinkan diskusi tentang
program .

FASE 2: PENGUMPULAN DATA DAN EVALUASI


Langkah 10. Pengumpulan data.
Prospective
Pengumpulan data dalam prospective DUR dilakukan evaluasi terhadap
permintaan obat dari dokter, yang tata caranya tergantung pada sistem distribusi
di masing-masing RS.
Pada sistem distribusi terpusat, dimana permintaan obat dievaluasi oleh farmasis
di bagian farmasi sebelum distribusi dosis pertama, pengumpulan data dilakukan
di bagian farmasi. Dalam sistem ward-stock, prospective DUR hanya mungkin
dilakukan bila ada petugas pengumpul data yang mengevaluasi permintaan
sebelum diberikan oleh perawat (jadi setidaknya harus ada farmasis di ruang
perawatan).
Concurrent
Pengumpulan data pada Concurrent DUR serupa dengan prospective, dapat
dilakukan di farmasi atau ruangan. Bedanya adalah pengumpulan data tidak
dilakukan sebelum pemberian dosis pertama.
Retrospective
Pada Retrospective DUR pengambilan data dilakukan di baian rekam medis.
Elemen data yang tidak ada di rekam medis, seperti harga, dan lain-lain dapat
dirujuk di bagian lain.

Langkah 11. Evaluasi data and penentuan apakah ada masalah penggunaan
obat
Evaluasi data merupakan tahapan penting dalam program DUR, karena
kesimpulan yang dihasilkan dari analisis data dapat menghasilkan perubahan

21
kebijakan RS, penambahan atau pengurangan FRS, pembatasan peresepan, dan
konseling staf RS. Jika ambang batas dilampaui, informasi harus dicermati, data
yang meragukan sebaiknya dikonfirmasi. Jika ambang batas 100% dicapai
menunjukkan kepatuhan sempurna terhadap kriteria. Jika ambang batas
ditetapkan 95%, tapi tidak tercapai (misalnya hanya 98%), komie DUR harus
memutuskan apakah perlu dilakukan evaluasi terhadap penyebab ketidakpatuhan
terhadap kriteria, yang nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi
penetapan kriteria itu sendiri. Jika ambang batas tidak dicapai, berarti ada
masalah penggunaan obat.Kasus ketidakpatuhan kemudian dievaluasi, untuk
melihat apakah obat benarbeanr digunakan dengan tidak tepat. Jika komite
menentukan ada masalah penggunaan obat, apakah terbatas pada individu
tertentu atau terjadi secara luas, apakah terjadi di ruang atau departemen tertentu,
dan sebagainya.

FASE 3: INTERVENSI

Langkah 12. Diseminasi hasil pada staf RS.


Jika analisis data DUR telah lengkap, hasilnya harus dilaporkan pada dokter
dan staf lain yang relevan seperti farmasis dan perawat. Hasil dapat
didiseminasikan melalui mekanisme :
Pertemuan dokter mingguan
Diseminasi lewat majalah / newsletter
Pertemuan ad hoc
Mepresentasikan hasil di tempat-tempat pertemuan seperti ruang perawat di
tiap bangsal

Langkah 13. Jika ditemukan masalah penggunaan oabt, dirancang dan


diterapkan suatu intervensi.
Intervensi dapat berupa edukasi atau operasional, sedangkan targetnya bisa
individu yang tidak patuh pada kriteria atau kelompok. Jika ditemukan ada
masalah penggunaan obat, komite harus :
1. Melakukan satu atau lebih intervensi yang akan memperbaiki penggunan obat :
a. Intervensi edukasi, meliputi :
Program edukasi sesaat atau berkelanjutan
Konseling formal dan informal
Surat pada dokter
Newsletters, pedoman penggunaan obat dan media informasi lain
b. Intervensi operasional, meliputi:
Pengembangan formulir permintaan obat
Perubahan kebijakan dan prosedur RS
Penambahan atau pengurangan FRS
Pembatasan peresepan
Implementasi atau revisi pedoman terapi standar
Pembelian peralatan baru
Perubahan staf
2. Identifikasi target

22
Target untuk intervansi tergantung pada masalah. Jika ketidakpatuhan terhadap
kriteria bersifatluas, intervensiditujukan pada seluruh staf medis, atau kelompok
spesialis. Jika hanya sebagian kecil dokter atau staf tidak patuh, intervensi dapat
dilakukan langsung pada dokter atau staf yang tidak patuh. Dalam DUR
prospektif, target intervensi selalu dokter.

3. Membentuk penanggung jawab untuk merancang dan melakukan intervensi


Intervensi dapat dirancang dan dilakukan oleh anggota komite, staf RS atau ahli
dari luar RS. Ketua komite bertanggung jawab untuk pengiriman surat dan
aktivitas konseling. Intervensi lain seperti tulisan di media informasi, rancangan
kebijakan baru, membutuhkan keterlibatan staf RS lain. Ahli dari luar dapat
diminta untuk memberikan eduksi pada staf RS.

Langkah 14. Dilakukan pengumpulan data lagi untuk


menentukan apakah penggunaan obat telah membaik setelah dilakukan
intervensi.
Dilakukan monitoring pola peresepan untuk menilai efektivitas intervensi. Re-
evaluasi bisa dilakukan 6-12 bulan setelah intervensi, dan dilakukan di tempat
dan data yang sama dengan sebelum intervensi. Jika re-evaluasi masih
menyisakan ada masalah, komite perlu memfokuskan pada re-evaluasi kriteria
yang bermasalah.

Langkah 15. Diseminasi hasil re-evaluasi.


Diseminasi hasil re-evaluasi dilakukan sepert pada langkah 12.

FASE 4: EVALUASI PROGRAM

Langkah 16. Evaluasi semua aktivitas program DUR pada akhir tahun
evaluasi, dan merencanakan aktivitas untuk tahun berikutnya.

Pada akhir siklus evaluasi, komite DUR harus melakukan evaluasi terhadap
program DUR, bila perlu membuat perubahan kebijakan dan prosedur.
Pertimbangan lain dalam evaluasi program adalah :
Apakah obat yang dipilih untuk program sudah sesuai
Apakah aspek penting sudah ditetapkan dalam program
Apakah ambang batas telah sesuai
Apakah masalah teridentifikasi
Apakah intervensi sudah sesuai
Apakah masalah penggunaan obat terpecahkan atau teapi pengobatan menjadi
lebih baik
Apakah DUR mempunyai dampak pada insiden efek samping obat, interaksi
obat- obat atau kesalahan pemberian obat
Apakah shasil didiseminasikansesuai kebijakan
Apakah DUR berdampak pada finansial di RS

23
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
a. Evaluasi penggunaan obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu proses
jaminan mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan
diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk memastikan bahwa obat-obatan
digunakan dengan aman, tepat, dan efektif.
b. Tanggung jawab untuk melakukan proses EPO secara khas
didelegasikan pada suatu komite dari staf medik.
c. Desain Studi EPO terdiri dari evaluasi retrospektif, evaluasi prospektif
dan evaluasi konkuren.
d. Program EPO harus direncanakan dengan hati-hati oleh staf medis
untuk menyertakan obat- obat yang paling menimbulkan masalah bila
tidak digunakan dengan tepat dengan membandingkan penggunaan
obat sesungguhnya dengan standar atau pedoman pengobatan untuk
mendeteksi terapi obat yang tidak sesuai.

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat :
a. Memahami tentang Drug Use Evaluation and Drug Use Reviews
b. Pembaca dapat menerapkan prinsip-prinsip dari kedua metoda diatas

24
Daftar Pustaka

AMCP. 2009. Drug Utilization Review. Academy of Managed Care Pharmacy.


Ministry of Health and Medical Service. 2015. Drug Use Evaluation Report.
WHO. 2009. Drug Utilization Review. Geneva : Switzerland.
WHO. 2009. Introduction to Drug Utilization Research. Geneva : Switzerland.

25

Anda mungkin juga menyukai