Obat adalah salah satu jenis terapi yang diberikan kepada pasien. Tujuan dari terapi
menggunakan obat adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan
resiko yang akan terjadi kepada pasien. Dalam proses pengobatan kepada pasien ada
beberapa kesalahan yang terjadi, diantaranya adalah kesalahan pemberian resep, kesalahan
dalam pemberian dosis obat, kesalahan dalam rekomendasi waktu minum obat, kesalahan
pemberian obat dan kepatuhan pasien.
Untuk mengurangi kesalahan dalam proses pengobatan, sebaiknya dibuat pedoman yang bisa
dijadikan rekomendasi dalam pemberian obat yang tepat kepada pasien. Dalam hal ini perlu
dibuat suatu badan atau departemen yang khusus bertugas menangani rekomendasi untuk
mencegah kesalahan pemberian obat, departement ini bertugas untuk memberikan
rekomendasi pengobatan kepada staff manajemen rumah sakit, dokter, apoteker, perawat dan
lainnya. Isi rekomendasi untuk staff klinis diantaranya adalah menggunakan prinsip-prinsip
formularium, menempatkan petugas yang tepat dibidang obat, adanya wewenang dan
tanggung jawab yang jelas dalam administrasi, pemesanan dan pengeluaran obat, adanya
evaluasi yang berkelanjutan dalam proses pengobatan.
Resep adalah bagian paling dasar dimana kesalahan dalam pemberian obat terjadi. Untuk
mengatasi kesalahan dalam peresepan perlu dibuat rekomendasi untuk para pembuat resep.
Adapun rekomendasi yang dibuat untuk mengatasi kesalahan dalam persepan yaitu sebaiknya
resep dibuat mengikuti perkembangan obat, dalam hal ini harus ada kerjasama antar dokter
dan apoteker, pembuat resep harus mengetahui kondisi keseluruhan pasien, resep yang ditulis
harus jelas dan lengkap dari mulai nama pasien, jenis obat nama obat (merek dagang), dosis
obat dan frekuensi pemberian obat. Selain itu tulisan yang dalam pembuatan resep harus jelas
agar mudah dibaca. Dalam pemberian resep selain dalam bentuk tulisan pemberi resep pun
bisa menyampaikan apa yang tertulis lewat lisan untuk memastikan bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah paham.
Apoteker memegang peran penting dalam proses mencegah kesalahan dalam pengobatan.
Rekomendasi yang dibuat untuk apoteker yaitu , apoteker harus berpartisipasi penuh dalam
pemantauan pengobatan (termasuk dalam kesesuain pemberian obat, data klinis, data
laboratorium pasien). Seorang apoteker harus mampu bekerja sama dengan dokter, perawat
atau pun staf medis dan pasien. Selain petugas administrasi, apoteker juga harus mengetahui
ketersediaan obat. Jika terjadi kesalahan dalam proses pengobatan, apoteker harus cekatan
dalam menganalisa penyebab kesalahan tersebut dan proses penyelesaiannya.
Dalam proses pengobatan staf medis lain yang terlibat adalah perawat, hal ini kaitannya
dengan pasien rawat inap yang setiap saat membutuhkan tenaga perawat. Rekomendasi untuk
perawat pun dibuat agar proses pengobatan berlangsung dengan baik, adapun rekomendasi
untuk perawat yaitu seorang perawat harus mengetahui obat-obatan yang digunakan pasien
(mulai dari isi resep sampai pemesanan obat), sebelum diberikan kepada pasien rawat inap,
perawat harus mengecek obat terlebih dahulu apakah sudah tepat atau belum. Perawat juga
sebaiknya memberikan informasi kepada pasien rawat inap atau pun keluarga pasien terkait
obat yang dikonsumsi oleh pasien.
Selain petugas medis, pasien dan keluarga pasien diberikan rekomendasi dalam proses
pengobatan. Rekomendasi yang diberikan kepada pasien yaitu pasien atau keluarga pasien
harus memberikan informasi yang lengkap terkait dengan kondisi yang dialami saat ini, hal
ini agar proses pemberian resep sesuai dengan kondisi pasien, selain itu pasien juga harus
paham dengan obat yang diberikan (dalam hal pemahaman ini bisa dibantu dengan keluarga
atau orang terdekat yang merawatnya) mulai darijenis obat yang diberikan, frekuensi
pemberian, waktu minum obat serta efek samping dari konsumsi obat tersebut.
Dalam penyediaan obat di Rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya, erat kaitannya
dengan pabrik obat atau produsen farmasi. Berikut adalah rekomendasi untuk industri farmasi
atau regulasi pemerintah terkait farmasi yaitu produsen obat dan makanan dalam pemberian
nama, labeling dan kemasan sebaiknya melibatkan apoteker, perawat dan dokter. Informasi
terkait obat tersebut (dosis, komposisi, frekuensi minum, pengenceran sebelum pemberian)
harus ditulis jelas dalam kemasan obat. Produsen obat harus berkomunikasi dengan tenaga
pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan apoteker) terkait dengan perubahan dalam
formulasi produk atau bentuk sediaan.
Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam
pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya
dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998). Dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication
error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error
dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase
administration oleh pasien. Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi
pada fase penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak
tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya,
tidak tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi pada saat pembacaan
resep untuk proses dispensing. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga
penyerahan resep oleh petugas apotek. Sedangkan error pada fase administration adalah
error yang terjadi pada proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek
dan pasien atau keluarganya.
Menurut Cohen (1991) dari fase-fase medication error di atas, dapat dikemukakan bahwa
faktor penyebabnya dapat berupa: 1) Komunikasi yang buruk, baik secara tertulis (dalam
resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan apoteker). 2) Sistem distribusi obat yang
kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat, dan lain sebagainya). 3)
Sumber daya manusia (kurang pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan). 4) Edukasi kepada
pasien kurang. 5) Peran pasien dan keluarganya kurang.
Hasil cohort study oleh Kozer, et al (2005) melibatkan 1532 peresepan pasien anak-anak di
ICU 12 Rumah Sakit di Amerika yang disampling secara random, sekitar 10% di antaranya
mengalami medication error yang terinci menjadi prescribing error (10.1%) dan drug
administration error (3,9%). Medication error pada anak-anak merupakan kejadian yang
penting, jika dibandingkan dengan kejadian pada dewasa maka potensi merugikannya tiga
kali lipat. Dari studi terhadap 10788 peresepan pediatri, 616 potensial untuk terjadi error.
Sejumlah 120 (19,5%) termasuk kategori sangat membahayakan, 115 (18,7%) potensial
terjadi ADR (Adverse Drug Reaction), 5 kasus (0,8%) adalah ADR yang dapat dicegah.
Sehubungan dengan hal tsb., ada tiga cara yang dinyatakan dapat mencegah medication error
yaitu: 1) Penulisan resep oleh dokter secara komputerisasi (76%). 2) Ward clinical
pharmacist (81%). 3) Peningkatan komunikasi antar dokter, apoteker/perawat dan pasien
(86%) (Fortescue et al, 2003).
Berdasarkan laporan dari USP Medication Error Reporting Program, beberapa hal berikut
dapat dilakukan ketika dokter menulis resep untuk mencegah salah interpretasi terhadap
penulisan resep, yaitu: 1) Mencantumkan identitas dokter yang tercetak dalam kertas resep. 2)
Menuliskan nama lengkap obat (dianjurkan dalam nama generik), kekuatan, dosis dan bentuk
sediaan. 3) Nama pasien, umur dan alamat, juga berat badan dan nama orang tua untuk pasien
anak (Katzung and Lofholm, 1997).