ASURANSI KESEHATAN
NASIONAL
Hasbullah Thabrany
PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN
ASURANSI KESEHATAN INDONESIA
ASURANSI KESEHATAN
NASIONAL
Hasbullah Thabrany
Edisi Oktober 2005
Edisi ini merupakan adaptasi, penyempurnaan dan penyesuaian yang ide dasarnya
diambil dari buku “ Asuransi Kesehatan di Indonesia “ yang diterbitkan
oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, tahun 2002
Buku ini dipersiapkan sebagai bahan utama pendidikan profesi asuransi kesehatan yang
diujikan oleh PAMJAKI. Untuk informasi lengkap tentang pendidikan profesi
asuransi kesehatan silahkan kunjungi website PAMJAKI di www.pamjaki.org
PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Ahli Asuransi Kesehatan Indonesia),
Jakarta.
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-undang No. 7 tahun 1987
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah)
Keinginan untuk menerbitkan bahan pendidikan profesi untuk ujian Ahli Asuransi
Kesehatan sudah lama diidamkan oleh Pengurus PAMJAKI, namun demikian,
perkembangan perasuransian dan kesibukan penulis yang juga merupakan pengurus
PAMJAKI menyebabkan keinginan tersebut baru kali ini terwujud. Sebelum buku ini
disusun, ujian PAMJAKI menggunakan buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang
diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.
Sumber utama penulisan buku ini masih diambil dari buku Asuransi Kesehatan di
Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI. Namun
demikian, untuk memperkaya pembahasan buku ini penulis mengisi bahasan dengan
perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia dalam bab-bab berikut: Introduksi
Asuransi Kesehatan, Asuransi Kesehatan PNS, JPK Jamsostek, Asuransi Komersial,
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia, Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Kami berharap buku ini dapat memudahkan calon peserta ujian dalam mempersiapkan
diri menghadapi ujian PAMJAKI untuk memperoleh pengakuan sebagai profesional,
baik sebagai Ajun Ahli Asuransi Kesehatan ataupun Ahli Asuransi Kesehatan.
Diharapkan buku ini bermanfaat pula bagi para mahasiswa di bidang kesehatan ataupun
praktisi asuransi dalam mencari bahan-bahan rujukan yang terkait dengan asuransi
kesehatan.
PAMJAKI
i
DAFTAR ISI
Bab 1
Introduksi Asuransi Kesehatan .......................................................................................1
Bab 2
Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil ......................................................................40
Bab 3
JPK Jamsostek ................................................................................................................55
Bab 4
Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia ..................................................................67
Bab 5
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia ....................92
Bab 6
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan .........................................................................118
Bab 7
Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional ..........................135
ii
BAB I
1.1. Pendahuluan
Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan
Timur Tengah berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman
pengembangan asuransi kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah.
Berbagai ahli dalam bidang asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk
perumusan tersebut. Karena variasi sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini,
disepakati tujuan yang lebih luas dari pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu
mewujudkan akses universal kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial,
sistem pendanaan melalui pajak (National Health Service) dengan menyediakan pelayanan
Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, kata asuransi tidak dikenal.
Akan tetapi istilah “jaminan” atau “tanggungan” sudah lama dikenal di Indonesia. Kata
asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance, yang berasal dari akar kata in-sure yang
berarti “memastikan”. Dalam konteks asuransi kesehatan, asuransi memastikan bahwa
seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa
harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau
menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa
Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan
jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan kebutuhan pelayanan
kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara
memadai, maka seseorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada
pihak lain yang disebut insurer, asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan/asuransi.
Sebagai ilustrasi, andaikan di suatu kota terdapat satu juta penduduk yang setiap
tahunnya terdapat 3.000 orang yang dirawat di rumah sakit. Tidak ada seorang pendudukpun
yang tahu pasti siapa yang akan masuk rumah sakit pada suatu bulan atau suatu hari tertentu.
Misalkan setiap perawatan di rumah sakit membutuhkan dana sebesar Rp 1 juta. Bisa jadi
hari ini keluarga tukang becak yang masuk rumah sakit, maka sangat sulit baginya membayar
Rp 1 juta. Apa yang harus dilakukan? Apakah setiap hari kita harus meminta sumbangan
untuk keluarga seperti tukang becak. Tentu hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi bagaimana
kita menjamin bahwa setiap hari terkumpul sumbangan yang memadai untuk mendanai
kebutuhan perawatan di rumah sakit yang rata-rata 7-10 orang setiap hari. Tentu
masyarakatpun akan bosan mengumpulkan atau memberikan sumbangan terus menerus. Bisa
jadi seorang direktur bank setempat yang bergaji Rp 25 juta sebulan, yang hari itu dirawat.
Jika biaya perawatan yang harus dibayarnya juga sebesar Rp 1 juta, tidak ada masalah.
Direktur bank tersebut mampu membayarnya, akan tetapi jika biaya perawatan sampai Rp 50
juta, mungkin direktur bank tersebut juga bisa jatuh miskin. Untungnya, untuk seorang
direktur seringkali biaya perawatan tersebut ditanggung oleh perusahaan. Karena sifat
uncertain, maka biaya perawatan untuk keluarga tukang becakpun dapat saja mencapai
Rp 50 juta. Dalam hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa si tukang becak akan terpaksa
meninggal atau cacat seumur hidup yang akan menjadi beban masyarakat juga. Terjadi
ketidak-adilan sosial disini. Yang berpenghasilan rendah yang tidak sanggup bayar tidak ada
yang menjamin, sementara yang bergaji tinggi justeru dijamin.
Dari ilustrasi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi adalah suatu
mekanisme gotong royong yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang
disepakati secara jelas. Dengan masing-masing penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000
per tahun, siapa saja yang perlu perawatan akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalam
istilah asuransi, kegotong-royongan ini disebut juga risk sharing. Dari segi dana yang
terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling.
Dana dari masing-masing penduduk dikumpulkan untuk kepentingan bersama. Oleh
karenanya, asuransi dapat juga disebut suatu mekanisme hibah bersama. Dana yang
terkumpul merupakan hibah dari masing-masing penduduk yang akan digunakan untuk
kepentingan bersama. Dengan demikian iuran atau premi yang telah dibayar dari masing-
masing anggota, jelas bukan tabungan dan karenanya tiap-tiap anggota tidak berhak meminta
kembali dana yang sudah dibayarkan atau diiurkan, meskipun ia tidak pernah sakit dan
karenanya tidak pernah menggunakan dana itu.
Dalam setiap langkah kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan
kita, baik yang kecil seperti terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti
kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan kematian. Beruntung bahwa Tuhan telah
memberikan sifat alamiah manusia yang selalu menghindarkan diri dari berbagai risiko.
Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko.
Secara umum, cara-cara menghindarkan diri dari berbagai risiko hidup dapat dikelompokan
menjadi empat kelompok besar yang akan dibahas di bawah ini.
Dalam ilmu manajemen risiko atau risk management, kita mengenal beberapa teknik
menghadapi risiko yang dapat terjadi pada semua aspek kehidupan kita. Teknik-teknik
tersebut adalah (vaughan, … literatur):
1. Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada risiko terkena
penyakit kanker paru atau penyakit jantung (kardiovaskuler). Salah satu cara
2. Mengurangi risiko (risk reduction). Karena berbagai alasan, kita tidak bisa
menghindari sama sekali dari kemungkinan terjadinya suatu risiko pada diri kita, kita
dapat mengurangi akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita membuat
jembatan penyeberangan atau lampu khusus penyeberangan untuk mengurangi
jumlah orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, pengemudi
kendaraan akan berhati-hati. Atau jika ada jembatan penyeberangan, maka risiko
tertabrak mobil akan menjadi lebih kecil, tetapi tidak meniadakan sama sekali.
Seorang pengendara sepeda motor diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu
orangpun yang bisa seratus persen terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda
motor. Jika helm digunakan, maka beratnya risiko (severity of risk) dapat dikurangi,
sehingga seseorang dapat terhindar dari kematian atau gegar otak yang memerlukan
biaya perawatan sangat besar. Perawatan intensif selama 7 (tujuh) hari di rumah sakit
bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini dapat mencapai lebih dari Rp 20 juta.
Tetapi, bagi kebanyakan pengendara sepeda motor, yang belum pernah menyaksikan
betapa dahsyatnya akibat gegar otak dan berapa mahalnya biaya perawatan akibat
gegar otak, tidak menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan helm, seringkali
sekedar untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang) peraturan
lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil (yang hanya sebesar
ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap penyakit hepatitis (radang hati), yang
dapat berkembang menjadi kanker hati yang perlu biaya mahal dalam perawatan atau
dapat mematikan pada usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko.
Karena prilaku manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka
mekanisme menurunkan risiko saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak
menjamin seratus persen bahwa setiap orang yang telah diimunisasi pasti tidak
terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen risiko lain.
4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika risiko tidak bisa dihindari, tidak bisa
dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup ditransfer, maka alternatif terakhir
adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai takdir).
Di atas telah dijelaskan empat kelompok besar manajemen risiko dimana asuransi
merupakan cara terakhir sebelum kita terima atau ambil. Tidak semua risiko dapat
diasuransikan. Ada persyaratan risiko yang dapat diasuransikan (insurable risks). Kita tidak
mungkin mengasuransikan semua risiko, dari yang paling kecil seperti terserang pilek saja
atau kehilangan sebuah pinsil sampai yang besar sekaligus seperti kehilangan nyawa atau
rumah tinggal. Ada beberapa syarat di mana suatu risiko; baik itu risiko kehilangan harta
benda, risiko kebakaran, risiko sakit, risiko kecelakaan dan sebagainya, dapat diasuransikan.
Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Risiko tersebut haruslah bersifat murni (pure). Menurut sifat kejadiannya, risiko
dapat timbul benar-benar sebagai suatu kebetulan atau accidental dan dapat timbul
karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang tidak dibuat-buat,
disengaja, atau dicari-cari bahkan tidak dapat dihindari dalam jangka pendek. Orang
berdagang mempunyai risiko rugi, tetapi risiko rugi tersebut dapat dihindari dengan
manajemen yang baik, belanja yang hat-hati, dan sebagainya. Risiko rugi akibat suatu
usaha dagang merupakan risiko spekulatif yang tidak dapat diasuransikan. Oleh
karenanya tidak ada asuransi yang menawarkan pertanggungan kalau suatu
2. Risiko haruslah definitif. Pengertian definitif artinya bahwa risiko dapat dengan
pasti ditentukan kejadiannya dan difahami bersama tentang terjadi atau tidak terjadi.
Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat keterangan dokter. Risiko
kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat keterangan polisi. Risiko kebakaran
ditetapkan dengan berita acara dan bukti-bukti lain seperti foto kejadian.
3. Risiko haruslah bersifat statis. Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas
kejadiannya relatif statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan
ekonomi suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat
dipengaruhi stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-benar statis
dalam jangka panjang tidak banyak. Risiko seseorang terserang kanker atau gagal
jantung akan relatif statis, tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik. Dalam
jangka panjang tentu saja risiko serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi.
Di negara maju, yang relatif kaya dan pola makan enak yang mengandung banyak
lemak relatif tinggi, maka probabilits terkena serangan jantung lebih tinggi
dibandingkan dengan risiko serangan jantung di negara miskin.
6. Ukuran risiko haruslah besar (large). Ukuran risiko (severity) memang relatif dan
dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain.
Risiko biaya rawat inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan
rendah akan tetapi dinilai kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta sebulan.
Sebuah sistem asuransi harus secara cermat menilai risiko mana yang akan
diasuransikan. Dalam asuransi kesehatan, kecenderungan di dunia adalah menjamin
pelayanan kesehatan secara komprehensif karena ada kaitan antara risiko yang
besaran rupiahnya kecil, misalnya pengobatan dokter untuk gejala demam, karena
jika tidak dijamin bisa jadi gejala tersebut merupakan suatu kasus demam berdarah
yang mematikan yang memerlukan biaya perawatan yang mahal. Jadi menjamin
pelayanan kesehatan komprehensif merupakan kombinasi penurunan risiko (risk
reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang hanya menanggung risiko
yang kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmas—seperti yang dulu
dipraktekkan dengan skema dana sehat atau JPKM, tidak memenuhi syarat asuransi.
Oleh karena itu, dimanapun di dunia, model asuransi mikro seperti itu tidak memiliki
sustainabilitas (kesinambungan) jangka panjang. Umumnya skema semacam itu
berusia pendek dan tidak menjadi besar.
Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada beberapa persyaratan yang terkait
dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko diasuransikan. Yang dimaksud dengan
kelayakan disini adalah khususnya kelayakan dalam aspek ekonomis. Suatu produk asuransi
yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut
asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran yang menghabiskan 30% penghasilan
seseorang untuk premi atau iuran asuransi tidak layak untuk dikembangkan. Persyaratan
teknis asuransi adalah besarnya probabilitas kejadian, besarnya populasi yang terkena risiko
suatu kejadian, dan besarnya pool.
1. Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran probabilitas besar dan kecil
juga relatif. Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50% kemungkinan terjadinya
(dalam bahasa statistik disebut probabilitas >0,5) akan menyebabkan biaya premi
menjadi besar dan tidak menarik untuk diasuransikan. Kejadian gagal ginjal yang
membutuhkan hemodialisa atau cuci darah seminggu dua kali mempunyai
3. Harus ada sejumlah penduduk atau masyarakat yang homogen yang cukup besar yang
akan terkena risiko yang ikut serta dalam suatu skema asuransi. Maksudnya adalah
jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh orang saja sedangkan risiko yang
timbul dapat bervariasi dari--katakanlah seribu rupiah sampai satu milyar rupiah,
maka iuran atau peremi dari peserta asuransi yang sepuluh orang ini tidak dapat
menutupi kebutuhan dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko yang
diperoleh dari sepuluh orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung
besarnya risiko yang akan timbul. Semakin besar suatu peserta semakin tinggi tingkat
akurasi prediksi biaya yang dibutuhkan untuk menjamin risiko. Dengan demikian,
akan semakin kuat kemampuan finansial sebuah perusahaan asuransi. Persyaratan
besarnya jumlah peserta atau pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum
matematik yang disebut hukum angka besar (the law of the large number). Hukum ini
menyebabkan semakin banyak usaha asuransi yang melakukan merjer (bergabung)
agar lebih kuat bersaing atau lebih mampu mengendalikan biaya atau mempunyai
tingkat efisiensi yang tinggi. Program asuransi kesehatan sosial selalu memenuhi
hukum angka besar ini karena sifatnya yang wajib. Sebaliknya usaha asuransi
kesehatan komersial seringkali bangkrut karena tidak mampu memiliki jumlah
peserta atau pemegang polis yang cukup besar.
Diatas telah dibahas bahwa asuransi merupakan cara manajemen risiko dimana
seseorang atau sekelompok kecil orang (yang disebut pemegang polis/policy holder atau
peserta/participant) melakukan transfer risiko yang dihadapinya dengan membayar premi
(iuran atau kontribusi) kepada pihak asuransi (yang disebut asuradur/insurer atau badan
penyelenggara asuransi). Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat perseorangan, maka
ia akan manjamin dirinya sendiri dan atau termasuk anggota keluarganya. Dalam hal
pemegang polis atau peserta bersifat kelompok kecil (misalnya suatu perusahaan atau
instansi), maka yang dijamin biasanya anggota kelompok tersebut (karyawan dan anggota
keluarganya). Dengan pembayaran premi/ iuran tersebut, maka segala risiko biaya yang
terjadi akibat kejadian yang telah disepakati dalam perjanjian kontrak (atau ditetapkan dalam
peraturan) yang terjadi pada pemegang polis, peserta, dan anggota keluarganya (tergantung
dari spesifikasi dalam kontrak) akan menjadi kewajiban asuradur. Orang-orang yang
termasuk dalam daftar yang dijamin dalam kontrak atau peraturan disebut tertanggung atau
insured. Risiko yang harus ditanggung asuradur disebut benefit atau “manfaat” asuransi,
yang besarnya atau scopenya ditetapkan dimuka dalam kontrak atau peraturan. Dalam
asuransi kesehatan, manfaat ini sering disebut paket jaminan (benefit package/packet) karena
berbeda dengan manfaat asuransi jiwa atau kerugian yang sering dalam bentuk sejumlah
uang, manfaat asuransi kesehatan pada umumnya berbentuk daftar pelayanan kesehatan yang
dijamin oleh asuradur.
Premi
Asuradur
Manfaat
Peserta
Uang/pelayanan
Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa ada dua elemen utama terselenggaranya
asuransi yaitu ada pembayaran premi/ iuran dan ada benefit/ manfaat. Kedua elemen inilah
yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta dan asuradur. Pada hakikatnya dalam
asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya
Kontrak kondisional. Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan terjadi
jika kondisi tertentu (sakit atau kehilangan harta benda) terjadi pada diri tertanggung.
Apabila tertanggung tidak mengalami kejadian tersebut, maka tidak ada kewajiban bagi
asuradur. Kontrak lain, seperti kontrak pembelian barang atau sewa gedung, tidak memiliki
sifat kondisional ini. Oleh karena itu, dalam kontrak asuransi seperti asuransi kesehatan
pegawai negeri, pegawai yang lebih dari 20 tahun tidak pernah sakit sedangkan ia terus
membayar iuran (karena bersifat wajib dan langsung dipotong dari gajinya), tidak berhak
menuntut uang iurannya kembali kepada Askes. Secara hukum, hal ini sah. Berbeda dengan
kontrak tabungan hari tua (yang disebut Dana Pensiun Lembaga Keuangan—DPLK) di bank,
penabung atau ahli warisnya berhak mendapatkan kembali uang yang disimpannya secara
rutin tiap bulan pada suatu waktu tertentu atau setelah penabung meninggal dunia.
Kontrak unilateral. Pada umumnya kontrak bersifat bilateral dalam artian masing-
masing pihak mempunyai kewajiban dan hak dan masing-masing dapat dituntut jika salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Dalam kontrak asuransi, pihak yang dapat
dituntut karena tidak memenuhi kewajibannya hanyalah pihak asuradur. Apabila tertanggung
Kontrak Adhesi. Dalam ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak
mempunyai informasi yang relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa.
Dalam kontrak asuransi, pihak peserta atau pemegang polis--khususnya dalam asuransi
individual, tidak memiliki informasi yang seimbang dengan informasi yang dimiliki
asuradur. Asuradur tahu lebih banyak tentang besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya
pengobatan yang terkait sementara pihak peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik.
Akibatnya, sulit bagi peserta untuk menilai apakah premi yang dikenakan murah, wajar, atau
terlalu mahal. Dalam kata lain, peserta dalam posisi yang lemah (ignorance). Itulah
sebabnya, dalam industri asuransi dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan
mengawasi dengan ketat berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket
jaminan, isi dan bahasa polis, bahkan besarnya huruf dalam polis, dan berbagai persyaratan
asuradur yang menjamin peserta akan menerima haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalam
dunia asuransi, kontrak semacam ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it.
Banyak pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian yang keliru tentang asuransi
sosial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah suatu program asuransi
untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Dalam banyak kesempatan interaksi dengan
masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang beranggapan bahwa Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diperkenalkan Departemen Kesehatan
(Depkes) juga merupakan program jaminan untuk masyarakat miskin. Hal ini barangkali
terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
(JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada organisasi di kabupaten yang disebut
pra bapel (badan penyelenggara) untuk mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini
memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel
yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia dimana Rp 800 diantaranya digunakan oleh pra
bapel untuk administrasi. Diharapkan bahwa setelah dua tahun program ini, pra bapel dapat
membuat produk JPKM dan menjualnya kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan
program inilah maka terbentuk pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi
sosial. Sebenarnya, konsep JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh
kepesertaan sukarela. Diskusi lebih lanjut tentang hal ini akan diberikan kemudian.
Mengapa harus diwajibkan? Apakah dalam jaman era globalisasi ini masih perlu
mewajibkan setiap tenaga kerja atau setiap penduduk untuk menjadi peserta asuransi
kesehatan seperti halnya asuransi kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola secara
Di atas sudah dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan memiliki ciri uncertainty dan
akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB
tahun 1948 telah jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan kesehatan
manakala ia sakit. Apakah setiap orang memiliki visi dan kesadaran akan risiko yang
dihadapinya di kemudian hari? Meskipun banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada
umumnya kita tidak mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan menutup risiko sakit yang terjadi di masa depan. Orang-orang muda akan ambil
risiko, risk taker, terhadap masa depannya karena pengalamannya menunjukkan bahwa
mereka jarang sakit. Ancaman sakit 10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk
dipikirkan sekarang. Pada umumnya mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar,
asuransi untuk masa jauh ke depan tersebut meskipun mereka mampu membeli. Sebaliknya,
orang-tua dan sebagian orang yang punya penyakit kronis, bersedia membeli asuransi karena
pengalamannya membayar biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan mereka sudah
jauh berkurang. Meskipun penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah jauh lebih besar
dari penghasilanya. Orang-orang seperti ini mau membeli asuransi, akan tetapi jika hanya
orang-orang tersebut yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi
sangat besar untuk menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia
menjamin orang-orang yang risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya mereka tidak
bisa dijamin. Jika orang-orang yang sudah sakit-sakitan tersebut menderita penyakit menular,
penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan,
karena tidak sanggup berobat dan tidak ada perusahaan asuransi/ bapel yang mau
menjaminnya, akan mengancam semua orang disekitarnya, karena penyakitnya dapat
menular kepada orang lain (eksternalitas).
Meskipun mereka tidak menderita penyakit menular, jika penyakit mereka sudah
sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar, pada akhirnya banyak pihak harus turun
tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang beradab. Tidak ada di dunia manapun dimana
orang-orang seperti itu dibiarkan menderita tanpa bantuan. Jika bantuan diberikan secara
sukarela, jumlahnya seringkali tidak memadai. Ancaman sakit seperti itu dapat terkena siapa
saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Oleh karena setiap orang suatu ketika akan
dapat menderita seperti itu, maka untuk menjamin semua orang tidak tambah menderita
karena tidak memiliki dana yang memadai, maka perlu diwajibkan untuk berasuransi. Jika
tidak diwajibkan, maka yang sakit-sakitan akan beli asuransi sebagai alat gotong royong atau
solidaritas sosial. Sementara yang sehat dan yang muda merasa tidak perlu dan karenanya
tidak membeli asuransi. Dengan demikian tidak mungkin terselenggara gotong-royong antara
kelompok kaya-miskin dan antara yang sehat dengan yang sakit.
Jadi asuransi sosial bertujuan untuk menjamin semua orang yang memerlukan
pelayanan kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau usianya. Inilah
Jadi mewajibkan penduduk ikut serta dalam asuransi sosial bukanlah pemerkosaan
hak akan tetapi justeru untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara kolektif. Membayar
pajak adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban membayar pajak
merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang menjawab ya, maka semua
negara di dunia ini melanggar HAM. Mempunyai kartu penduduk atau paspor adalah suatu
kewajiban penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada. Jadi tidak seperti apa
yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan asuransi yang bersifat
wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia madani (civilized society). Justeru
masyarakat madani memiliki banyak sekali kewajiban individu terhadap masyarakat secara
kolektif. Inilah bentuk perwujudan kehidupan berbudaya.
Sesuatu yang sifatnya wajib harus diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan
bernegara, yang paling kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah
sebabnya, sebuah asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur berdasarkan undang-
undang. Di Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur UU adalah jaminan
pemeliharaan kesehatan dalam Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek.
Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan ditetapkan oleh UU sama atau relatif
sama bagi seluruh peserta dengan tujuan memenuhi kebutuhan para anggotanya. Seringkali
manfaat ini disebut paket dasar. Dalam asuransi putus kerja atau pensiun, besarnya manfaat
memang relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup, cukup untuk makan,
transportasi, perumahan, dan pendidikan. Manfaat pasti tidak diberikan agar pesertanya dapat
Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan oleh peraturan yang besarnya umumnya
proporsional terhadap pendapatan/upah. Kombinasi paket jaminan/manfaat asuransi yang
sama dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi terjadinya equity egaliter (keadilan
yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you get what you need yang lebih pas
untuk kesehatan. Dalam prinsip equity egaliter dilaksanakan prinsip seseorang harus
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang ada pada dirinya
tetapi membayar sesuai dengan kemampuan ekonomi dirinya. Itulah sebabnya peserta
diharuskan membayar persentase tertentu dari upahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah
memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal 28H.
Hal ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila. Seluruh
negara maju dan menengah menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik yang terintegrasi
dengan jaminan sosial (social security) lainnya maupun yang dikelola tersendiri.
Seorang pedagang sayur gendongan menderita sakit tifus dan tidak diterima dirawat
di RS Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang diminta. Dengan menahan
berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia harus pergi ke RS pemerintah yang mau
menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di rawat di kelas IIIB dengan bangsal yang
rame, kamar mandi bersama, kebersihan ruangan dan bau yang kurang nyaman, serta
makanan yang standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan perawatnya kurang ramah.
Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10 hari ia pulang dengan
hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil. Sebab ia hanya mampu membayar
pelayanan yang seperti itu.
Seorang tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut ke rumah sakit karena ia sering
mendengar tetangga dan kenalannya yang dirawat di RS menghabiskan ratusan ribu sampai
Seorang tukang ojek lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan harus
masuk ICU tetapi bernasib kurang baik, karena rumah sakit yang didatanginya meminta uang
muka Rp 3 juta dan ia tidak memilikinya. Akhirnya ia terpaksa pulang dengan menanda-
tangani surat “pulang paksa” dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya
sendiri. Dua hari kemudian ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter murni,
adil! Sebab memang ia tidak mampu membayar.
Pandangan egaliter menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal di luar kesehatan.
Untuk kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang hanya karena tidak
punya uang pada saat ia sakit harus kehilangan mata pencaharian dan menyengsarakan hidup
keluarganya atau meninggal dunia seperti dua kasus terakhir. Pandangan equity egaliter
dalam pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada contoh terakhir seharusnya
mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur gendong. Pasien harus mendapatkan
pengobatan sesuai dengan kondisi medisnya dan tidak tergantung pada kemampuannya
membayar, apalagi sampai meninggal dunia.
Lalu siapa yang membiayainya? Untuk itulah harus diselenggarakan asuransi sosial
dimana baik si manajer maupun si tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka
sebesar, misalnya 5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi
Rp 250.000 per bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000 sebulan dan tukang
ojek membayar Rp 20.000 sebulan untuk seluruh keluarganya. Pada waktu mereka sakit,
rumah sakit tidak perlu meminta uang muka. Si pasien tidak harus takut berobat ke rumah
sakit karena ia telah memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar
rumah sakit, kecuali sejumlah iur biaya yang besarnya terjangkau atau sama sekali tidak
membayar apa-apa. Termasuk obat-obatan dan biaya ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi
membayar atau hanya membayar iur biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II
atau kelas III. Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di ruang
VIP dapat menambah selisih biaya saja. Mungkin akhirnya sang manajer hanya membayar
biaya tambahan ruangan dan makanan yang besarnya hanya Rp 1-2 juta saja.
Pada prinsipnya premi asuransi sosial mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan
cenderung regresif. Dalam peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan
pajak dengan prosentase yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau
kita berpenghasilan Rp 1 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang harus dibayar adalah
Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan pengenaan pajak, maka pengelolaan
asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba). Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan
Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang berorientasi laba (for profit). Ini suatu
keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba harus dipahami bahwa yang tidak mencari
laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti bahwa lembaga tadi tidak boleh ada
sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba dalam bahasa Inggris disebut non profit (tidak ada laba
atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah diluruskan menjadi not for profit artinya
usaha yang dilakukan sama sekali bukan untuk mencari untung seperti layaknya perusahaan.
Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesar-
besarnya bagi anggota. Jadi mirip dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi jika
ada kelebihan anggaran, maka anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya
atau untuk cadangan negara. Jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka
pemerintah tidak menarik PPh (pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut harus
digunakan untuk kepentingan peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan rakyat.
Penggunaan SHU jika ada dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket
jaminan, atau dikembalikan dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Harus
diingat bahwa meskipun lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial
bersifat nirlaba, pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib
membayar PPh 21, karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak benar kalau pegawai
penyelenggara asuransi sosial digaji rendah.
Keunggulan
1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse selection atau anti seleksi,
merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur. Pada anti seleksi terjadi
keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah standar saja yang
menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi yang
sifatnya sukarela/komersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orang—paling
tidak dalam suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta—
wajib ikut, tidak terjadi anti seleksi. Yang memiliki risiko standar, sub standar,
maupun diatas standar semua ikut. Hal ini akan memungkinkan sebaran risiko yang
baik sehingga perkiraan klaim/biaya dapat dihitung lebih akurat.
2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena semua orang dalam suatu
kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang sehat maupun yang
sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka asuransi sosial memungkinkan
terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang miskin.
Yang sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi
kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara yang sehat
dengan yang sakit saja.
3. Pool besar. Suatu mekanisme asuransi pada prinsipnya merupakan suatu risk pool,
suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko
bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota kelompok
tanpa kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool atau kumpulan
anggota menjadi besar atau sangat besar. Sesuai dengan hukum angka besar, semakin
besar anggota semakin akurat prediksi berbagai kejadian. Ini hukum alam. Asuransi
sosial memungkinkan terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya
misalnya dapat lebih akurat. Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial
bangkrut adalah jauh lebih kecil dari lembaga asuransi komersial.
6. Biaya administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi sosial
tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya pengumpulan dan analisis
data yang mahal, dan biaya pemasaran yang bisa menyerap 50% premi di tahun
pertama. Oleh karenanya biaya administrasi asuransi sosial di negara-negara maju
pada umumnya kurang dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan
asuransi komersial yang paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang
menghabiskan sampai 50% dari premi yang diterima.
7. Memungkinkan pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena pool yang besar,
asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang seragam
sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat keseimbangan kerja antar
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif yang seragam ini memungkinkan juga
penerapan standar mutu tertentu yang menguntungkan peserta.
8. Memungkinkan kendali biaya dengan buying power. Berbeda dengan mitos model
organisasi managed care (seperti HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia)
yang membayar kapitasi dan pelayanan terstruktur yang konon dapat mengendalikan
biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan biaya lebih baik tanpa harus membayar
dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko, seperti kapitasi. Meskipun
lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan per pelayanan (fee for services)
yang disenangi dokter, asuransi sosial masih mampu mengendalikan biaya lebih baik
dari model organisasi managed care.
Kelemahan
Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat baik secara mikro
maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan-
kelemahan tersebut antara lain:
1. Pilihan terbatas. Karena asuransi sosial mewajibkan penduduk dan pengelolanya yang
paling tepat adalah suatu badan pemerintah atau kuasi pemerintah, maka masyarakat
tidak memiliki pilihan asuradur. Para ahli umumnya berpendapat bahwa hal ini tidak
begitu penting, karena pilihan yang lebih penting adalah pilihan fasilitas
kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas memilih fasilitas
kesehatan yang mana saja yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan dapat dibayar
secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep HMO/JPKM
kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas kesehatan
terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih penting bagi peserta:
bebas memilih fasilitas kesehatan dengan biaya murah atau bebas memiliki asuradur
tetapi pilihan fasilitas kesehatan terbatas?
Motif utama pengelola atau asuradur adalah mencari laba. Itulah sebabnya asuransi
model ini dikenal sebagai asuransi komersial karena biasanya memang bertujuan dagang atau
mencari untung. Namun bisa saja suatu lembaga nirlaba, seperti yayasan atau perhimpunan
masyarakat seperti Nahdatul Ulama, Muhamadiah, perhimpunan katolik dll,
menyelenggarakan model asuansi komerisal tetapi tidak untuk mencari laba yang akan
Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau manfaat asuransi
yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari penyusunan paket yang diperkirakan
diminati pembeli. Baru setelah itu harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paket-
paket yang dijual sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit
kanker atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum, emas, perak, perunggu,
plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin tinggi atau luas jaminan dan semakin luks
jaminan paket yang dijual semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity
liberter (You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa membeli
paket yang luas—misalnya menanggung pengobatan kanker, jantung, atau hemodialisa –
karena harga preminya tidak terjangkau. Dalam pelayanan tentu saja jika mereka sakit
kanker, terpaksa asuransi tidak menjaminnya.
Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu jauh lebih banyak dari pemegang polis
atau peserta, khususnya perorangan, sangat kuat. Peserta dapat saja membeli paket yang jauh
lebih mahal dari yang sepantasnya. Agen yang menjual dengan mudah dapat mengarahkan
atau bahkan menggiring orang membeli produk tertentu yang kurang sesuai dengan
kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung jawab dapat saja lalai atau menghilang
setelah menerima premi cukup besar. Atau perusahaan yang hanya memikirkan
keuntungannya dapat saja menghentikan atau tidak memperpanjang asuransi orang-orang
yang ternyata memiliki penyakit kronis setelah beberapa tahun menjadi peserta. Itulah
sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan dominan seperti di Amerika, maka
banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan praktek asuransi guna melindungi
peserta yang berada pada posisi lemah. Tahun 1997 misalnya, di Amerika terdapat lebih dari
1,000 usulan peraturan di bidang asuransi kesehatan.2 Peraturan yang dikeluarkan pemerintah
federal dan negara bagian Amerika, bukan hanya mengatur solvensi perusahaan, akan tetapi
mencakup pengaturan kontrak. Di Indonesia pengaturan kontrak asuransi kesehatan sama
sekali belum ada. Tahun 1997 pemerintah federal Amerika mengeluarkan peraturan yang
menyangkut protabilitas asuransi dan batas boleh memberlakukan pre-existing conditions.
Pada polis asuransi perorangan ada peraturan tentang polis non cancellable, dimana
perusahaan asuransi tidak boleh menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi
jika seorang peserta menderita suatu penyakit kronis.3
Karena sifat uncertainty mengundang usaha asuransi, maka kini banyak pemain baru.
Kolusi antara dokter-rumah sakit dan perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan
kesehatan terus semakin mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand baru
terbentuk; membeli asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi? Tidak bisa
dilepaskan dari tarif jasa dokter, rumah sakit, obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya.
Bisakan asuransi mendapatkan harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan
2
HIAA. Managed Care part B. Washington, D.C., 1997
3
HIAA. Health Insurance Premier, Washington, D.C., 2000
Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai
kebutuhannya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi informasi asimetri.
Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir tidak mungkin mengetahui
apakah harga premi yang dibelinya pantas, terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara
penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran
yang menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih
untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Sejauh pasar belum jenuh,
asuradur akan memusatkan pada perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan
profitable. Karena dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi
atas dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based premium, maka besarnya
premi tidak dapat disesuaikan dengan kemampuan membeli seseorang. Maka sudah dapat
dipastikan bahwa penduduk yang miskin tidak akan mampu membeli premi. Oleh karenanya,
asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu mencakup seluruh
penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk dengan mekanisme asuransi kesehatan
swasta hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di Amerika, yang
menghabiskan lebih dari US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini diperkirakan
Amerika menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta penduduknya (16%)
tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)3.
Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa
mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat
produk spesifik yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai
pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing
produk yang relatif kecil menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar.
Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional,
laba, dan berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Departemen
Kesehatan membolehkan bapel menarik biaya loading sampai 30%.4 Asuradur swasta di
Indonesia memiliki rasio klaim yang bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya,
sehingga menyebabkan biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Jadi berbagai
skenario dan fakta yang terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta
tidak bisa menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh
penduduk.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak asasi
manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak dasar penduduk
(fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah
mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk (universal)
secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta
masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu
undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh
sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara
pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.
Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan
sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom (terlepas
dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom.
Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau penyediaan
oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan terselenggaranya cakupan
universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu
berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma. Yang
dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah dalam bentuk anggaran
belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi social atau jaminan social. Penyelenggara
asuransi/jaminan social dapat dikelola langsung oleh organisasi birokrasi pemerintah atau
dikelola oleh badan/agency yang dibentuk pemerintah yang berfungsi otonom, tidak
dipengaruhi birokrasi pemerintah. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan
kesehatan sebagai hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat.
Pada hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh
pemerintah bersama swasta yang secara umum dapat dilihat dari gambar-1 .
Gambar-1.
Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan
Pembiayaan
Penyediaan Publik Swasta
Publik Inggris Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika
dan Taiwan
* Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan
kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh
pemerintah, sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan
not for profit).
Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau
nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiayaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial seperti
Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah
yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu
undang-undang dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan
terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a)
kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan oleh
undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya
ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan
medis (Thabrany, 1999)5. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya keadilan
sosial yang egaliter.
Kekuatan
1. Pemenuhan kebutuhan unik seseorang atau sekelompok orang. Karena sifat asuransi
komersial yang memenuhi demand, maka perusahaan asuransi akan bereaksi cepat
terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok orang. Oleh
karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai dengan permintaan
kelompok tertentu yang khususnya ingin mendapatkan pelayanan yang nyaman dan
bergengsi. Asuransi kesehatan komersial juga dapat memberikan pelayanan khusus
kepada suatu kelompok, misalnya perusahaan besar, dengan membuat paket khusus
(tailor made) yang sesuai dengan permintaan pembeli.
3. Kepuasan peserta relatif lebih tinggi. Karena asuransi komersial sangat fleksibel
dalam menyusun paket jaminan dan banyaknya pelaku menimbulkan persaingan,
maka asuransi komersial dapat memenuhi selera pesertanya/ pemegang polisnya
dengan cepat. Karenanya, dibandingkan dengan asuransi sosial, kepuasan peserta
pada umumnya lebih tinggi pada asuransi komersial. Namun demikian harus disadari
bahwa kepuasan yang lebih tinggi tersebut harus dibayar dengan premi yang lebih
mahal.
4. Produk akan sangat beragam sehingga memberikan pilihan bagi konsumen. Dalam
asuransi kesehatan komersial, setiap perusahaan atau bapel akan merancang produk
yang diharapkan dapat memenuhi permintaan calon konsumennya (prospeknya).
Bahkan setiap perusahan dapat menawarkan banyak produk. Akibatnya akan banyak
sekali tersedia produk yang dapat dipilih oleh prospek sesuai persepsi kebutuhannya
dan sesuai juga dengan kemampuan keuangannya.
Kelemahan
1. Pool relatif kecil. Bagaimanapun hebatnya perusahan asuransi komersial, pool jumlah
peserta tidak akan mampu menyamai pool asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya
yang komersial atau usaha dagang maka usaha asuransi komersial terkena undang-
undang antimonopoli sehingga pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang banyak,
maka kepesertaan penduduk akan tersebar di berbagai perusahaan asuransi yang
menyebabkan skala ekonomi bisa tidak tercapai.
3. Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka memberikan bantuan
kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak lain, maka asuransi komersial
menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi yang dibayar asuransi kesehatan komersial
disesuaikan dengan risiko kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap
orang). Disinilah terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket
platinum dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara yang
membeli paket standar harus puas dengan pelayanan yang sesuai dengan harga premi
yang dibayarnya.
6. Secara makro tidak efisien. Dominasi asuransi kesehatan komersial, bukan sebagai
produk suplemen, akan menyebabkan pada akhirnya biaya kesehatan tidak terkendali,
meskipun mayoritas produk yang dijual dalam bentuk managed care (bentuk JPKM
sekarang). Hal ini disebabkan oleh: pertama, tingginya biaya administrasi. Kedua,
tidak mungkinnya penduduk miskin membeli asuransi kesehatan yang mengakibatkan
pemerintah tetap harus mengeluarkan anggaran khusus untuk penduduk miskin.
Ketiga, berbagai pelayanan yang secara medis tidak esensial tetapi penting untuk
menarik konsumen untuk membeli dimasukan dalam paket.
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika yang merupakan satu-satunya
negara maju yang menggantungkan sistem asuransinya pada asuransi komersial mempunyai
kinerja keuangan yang sangat mahal, hampir dua kali biaya termahal di negara lain, dan lebih
dari dua kali dari biaya kesehatan di Jepang dan Jerman yang sama-sama memiliki banyak
badan penyelenggara asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika
mencapai 5-10 kali lebih mahal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang memiliki
pendapatan per kapita yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika
masih memiliki 17% penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured).
Sementara indikator makro kesehatan, IMR dan LE, tidak menunjukan status yang lebih baik
dari banyak negara atau dari tetangganya Kanada.
Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang dapat menunjukkan bias
waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari waktu ke waktu?
Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu saja, kita
tidak bisa membandingkan angka-angka nilai nominal dolar tersebut dengan keadaan di
Indonesia. Negara yang kaya memang akan mengeluarkan biaya besar karena memang biaya
hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansial adalah besarnya biaya
kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Perkembangan persentase
biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-1997 telah dilakukan oleh
Ikegami dan Campbell (1999)9. Hasil penelitian tersebut disajikan pada Gambar-2.
Gambar-2
Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-1997
16
Amerika Jerman
14 Kanada
Jepang
Perancis
Inggris
12
10
8
6
4
2
0
1970 1975 1980 1985 1990 1997
Dari segi pemberian atau pembayaran manfaat kita dapat membagi jaminan asuransi
menjadi dua bagian besar, yaitu pembayaran manfaat dalam bentuk uang atau penggantian
uang dan pemberian jaminan berbentuk pelayanan. Dalam asuransi kesehatan, pembayaran
dalam bentuk uang dikenal dengan nama asuransi kesehatan tradisional yang dapat
memberikan penggantian uang lump sum, sejumlah tertentu (indemnitas) atau sesuai dengan
tagihan (reimbursement). Sedangkan manfaat yang diberikan dalam bentuk pelayanan kini
dikenal dengan istilah populer di Amerika sebagai managed care (pelayanan terkendali).
Pemberian jaminan dalam bentuk uang ataupun pelayanan dapat diberikan baik oleh asuransi
kesehatan sosial maupun asuransi kesehatan komersial.
2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat tidak adanya kontrak dengan fasilitas
kesehatan, maka peserta atau tertanggung mempunyai kebebasan memilih fasilitas
kesehatan dimana ia akan mendapatkan pengobatan. Pilihan yang luas ini sangat
disukai orang-orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan seleranya.
Pada umumnya golongan ekonomi atas, apalagi yang mobilitasnya tinggi, sangat
menyukai asuransi model ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh usaha asuransi
komersial maupun asuransi sosial pada asuransi kecelakaan kerja (workers’
compensation, occupational injury, dll).
3. Pembayaran fasilitas kesehatan FFS. Karena jaminan diberikan dalam bentuk uang
jumlah tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak, maka pembayaran fasilitas
kesehatan dilakukan sesuai dengan jasa yang diberikan (fee for service). Cara
pembayaran ini sangat disukai oleh fasilitas kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak
perlu menanggung risiko finansial.
4. Kepuasan peserta lebih tinggi. Kepuasan peserta tinggi karena mereka tidak harus
mendapatkan pelayanan dari fasilitas kesehatan yang belum mereka kenal. Apabila
mereka mendapatkan fasilitas kesehatan yang kurang baik pelayanannya, peserta
tidak bisa menyalahkan kepada asuradur.
Pegawai negeri golongan IA bergaji Rp 500.000 per bulan dan membayar premi sebesar 2%
dari gajinya atau Rp (2/100) x Rp 500.000 = Rp 5.000,- sebulan untuk satu keluarganya, satu
istri dan dua anak. Jadi premi perbulan per orang menjadi hanya sebesar Rp 1.250. Jika salah
seorang anggota keluarganya harus dirawat inap atau harus menjalani cuci darah, maka Askes
menjaminnya (dengan tambahan iur biaya saat ini).
Pegawai negeri lain bergolongan IV C dengan gaji sebesar Rp 1.500.000 per bulan. Pegawai
ini membayar premi 2% atau (2/100) x Rp 1.500.000,- atau = Rp 30.000 per keluarga per
bulan. Karena anaknya sudah besar ia hanya menanggung istrinya. Jika salah seorang dari
keduanya harus rawat inap atau harus hemodialisa, maka Akses menanggung pelayanan
hemodialisa (saat ini dengan iur biaya) yang sama besarnya seperti pegawai golongan IA tadi.
Contoh diatas menunjukkan adanya subsidi silang antara yang lebih kaya kepada yang lebih
miskin atau dari golongan IVC kepada golongan IA.
Contoh Asuransi Komersial (contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat
tanpa menyebutkan nama perusahaannya) .
Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar perawatan kelas III dengan premi Rp
12.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung hemodialisa. Seorang pegawai atau
pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak tidak akan mampu membeli paket ini
karena ia harus membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000 per bulan. Ini sama dengan 12%
penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu rawat inap atau hemodialisa, maka
ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka ya mungkin nyawa mengancam
jiwanya karena tidak ada yang menanggung.
Seorang pengusaha kecil berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi
dan membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga, maka dia mampu
membayar Rp 60.000,- yang merupakan 1,2% dari penghasilannya. Akan tetapi karena
paketnya tidak menanggung hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan
hemodialisa, perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih harus membayar
seluruh biaya cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya setiap bulan.
Jadi perlindungannya tidak memadai.
Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi sebesar Rp 15.000 per bulan dengan
paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan tidak menanggung hemodialisa.
Seorang penduduk dengan penghasilan sebesar Rp 500.000 dan mempunyai satu istri dan dua
anak, harus membayar 12% penghasilannya (Rp 60.000) sebulan. Jikapun ia memaksakan
membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya Rp 3.000.000,- maka bapel tersebut hanya
membayar Rp 500.000,- saja. Keluarga ini tidak akan sanggup membayar sisa biaya
perawatan yang lima kali lebih besar dari penghasilannya. Kalau keluarganya perlu
hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan bangkrut atau keluarganya terpaksa direlakan
kembali ke pangkuan Ilahi.
6. Fraud atau kecurangan dan abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik
peserta maupun fasilitas kesehatan tidak memiliki insentif untuk menggunakan
pelayanan lebih sedikit akan tetapi justeru sebaliknya. Peserta dapat merasa bahwa
pelayanan kesehatan dapat mereka terima dengan tidak perlu membayar.
Di Indonesia asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk uang diberikan oleh
perusahaan asuransi, baik yang langsung atau melalui kartu kredit. Mereka menawarkan
asuransi biaya perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu kredit, selain kepada
kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan Jaminan Kecelakaan
Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam bentuk penggantian uang atau sejumlah
uang tertentu. Sebagian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek maupun
JPK bagi pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian uang, khususnya untuk
pelayanan yang bersifat gawat darurat.
1. Perlu kerja sama/kontrak dengan fasilitas kesehatan. Untuk bisa memberikan jaminan
dalam bentuk pelayanan, maka diperlukan sebuah ikatan kerja sama atau kontrak
dengan fasilitas kesehatan. Tentu saja tidak semua fasilitas kesehatan dapat dikontrak.
Untuk itu ada proses kredensialing.
6. Perlu kendali mutu. Karena kontrak fasilitas kesehatan memberikan pilihan fasilitas
kesehatan terbatas, maka calon peserta harus diyakinkan bahwa fasilitas kesehatan
yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini menimbulkan keharusan
asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali mutu melalui fasilitas
kesehatan ini amat berguna untuk keperluan pemasaran atau kepuasan peserta, atau
memantau tanggung jawab pihak yang dikontrak terhadap berbagai standar. Kendali
mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi
kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM.
7. Pada pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi (utilization
review). Apabila pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan dengan sistem yang
berdasarkan risiko seperti kapitasi, maka terdapat potensi dimana fasilitas kesehatan
mengorbankan mutu pelayanan atau mengurangi jumlah pelayanan yang seharusnya
diterima oleh tertanggung. Oleh karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik
mengharuskan adanya telaah utilisasi.
1.9. Ringkasan
Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah ini
disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan
tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia.
Pembiayaan
Penyediaan Publik Swasta
Publik Inggris Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika
dan Taiwan
Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada
sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah,
sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana pemerintah
atau asuransi sosial/jaminan sosial
Istilah Penting
Negara Kesejahteraan
Jaminan sosial
Asuransi sosial
Public insurance
Bantuan sosial
Means test
Asuransi komersial
Private insurance
Asuradur
Risk based premium
Non-risk related premium
Income based premium
Kebutuhan dasar layar (decent basic needs)
Kebutuhan dasar kesehatan
Nirlaba/not for profit
Pencari laba/For profit
Dividen
Badan hukum
Dana Amanat/Trust Fund
Wali amanat
Board of Trustees/Majlis Wali Amanat
Pengelolaan profesional
Insurance/Asuransi
Risiko
Telaah utilisasi/utilization review
Uncertainty
Rujukan
1 Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan FKMUI, Depok 2001.
2 WHO. World Health Report 2000. Geneva, 2001
3 Health Insurance Association of America (HIAA). Source Book of Health Insurance Data.
HIAA, Wahington D.C., 1999.
4 Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995.
5
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta, 1999.
6 Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997
2.1. Pendahuluan
Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan keluarganya
saat ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 69/91 yang ditanda-tangani Presiden
Suharto pada tanggal 23 Desember 1991. Dalam PP tersebut istilah yang digunakan adalah
jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan asuransi kesehatan. Kata asuransi
kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang penunjukkan PT Asuransi Kesehatan
Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan penyelenggara program pemeliharaan kesehatan
PNS. Istilah asuransi kesehatan yang disingkat askes digunakan karena istilah tersebut sudah
sangat populer di kalangan peserta pegawai negeri pada waktu badan penyelenggara bernama
Perum Husada Bhakti yang diatur oleh PP 22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai
Negeri Sipil dan Penerima Pensiun beserta anggota keluarganya.
Asuransi kesehatan pegawai negeri sipil merupakan suatu asuransi sosial yang diikuti
oleh seluruh pegawai negeri dan pensiun pegawai negeri dan merupakan program asuransi
kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi sosial lain yang diikuti oleh seluruh peserta adalah
asuransi kecelakaan lalu lintas yang dikelola oleh PT Jasa Raharja. Namun demikian,
asuransi kecelakaan tersebut juga memberikan pertanggungan kematian. Asuransi kesehatan
pegawai negeri, yang selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya asuransi
kesehatan yang mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8 juta jiwa. Dalam usianya
yang lebih tua dari usia negeri ini, jika diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi pegawai
negeri di jaman penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural.
2.2. Sejarah
Pada periode awal kemerdekaan yaitu di tahun 1948 sistem penggantian biaya
berobat ini diteruskan dengan tetap mempertahankan dua sistem pegawai tinggi dan rendah,
hanya saja batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain itu pada jaman awal kemerdekaan ini
pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang diajukan sedangkan sisanya mendapat
penggantian dari Depkes, melalui Ikes. Di tahun 1949 setelah uang Indonesia sudah
digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan. Pengelolaan dana untuk penggantian
biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang
sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan penggantian biaya berobat. Dapat dibayangkan
bahwa dengan cara penggantian yang didasarkan atas jasa per pelayanan, maka banyak
terjadi penyalah-gunaan dan mendorong timbulnya moral hazard.
Pada tahun 1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk
mengembangkan jaminan kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah dengan
nama “Jakarta Pilot Project” yang memang dimulai di Jakarta. Sistem penggantian biaya
diganti dengan sistem pembayaran langsung kepada PPK dan tidak lagi ada perbedaan antara
yang golongan gaji tinggi dengan golongan gaji rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan
rawat inap dan obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap menggunakan per pelayanan.
Birokrasi pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak efisien. Proyek ini berhasil
memperluas cakupan namun demikian biaya yang harus ditanggung pemerintah terus
membengkak. Padahal sistem ini tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak
dibayar inilah akhirnya sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena
pegawai yang miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan pegawai yang kaya
yang mampu membayar dokter. Pilot ini menyebabkan pemerintah defisit sebesar Rp 600
juta pada saat itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung
jawab atas kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan dari pegawai
negeri sendiri.
Selama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun 1968 sampai tahun 1984, asuransi
kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan yang disebut Badan Penyelenggara
Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada di Departemen Kesehatan. Iuran untuk
asuransi kesehatan ini besarnya 5% dari gaji pokok. Pada awalnya jaminan diberikan dengan
bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta dengan
pembayaran fee for service. Manajemen masih sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan
tentu saja tidak dapat dihindari, tidak heran pada awalnya program ini juga mengalami defisit
anggaran. Pada tahun 1970 besarnya iuran dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk
pegawai aktif sementara pensiunan masih mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang
diatur dengan Kepres No. 22/70. Sampai dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian
biaya dan pelayanan terus dilakukan guna menyelamatkan program ini dari kebangkrutan.
Bahkan upaya untuk memperluas program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non
PNS sebenarnya sudah mulai dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu
pelayanan sudah mulai mendapat perhatian dan karena berbagai standar pelayanan dan
pengaturan obat sudah mulai dilakukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi lagi dari
3,89% mejadi 2,75% gaji pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977
dikeluarkan Kepres No 8/77 yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok yang
berlaku bagi pegawai aktif dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mulai
diperkenalkan pada tahun 1979 di Jakarta. Selama periode ini dasar-dasar pengendalian biaya
yang kini dikenal dengan teknik managed care sudah dilaksanakan oleh BPDPK. Pada tahun
1980 jumlah anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak tiga orang.
Untuk meningkatkan profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun 1984
pengelolaan asuransi kesehatan PNS ini mulai dipisahkan dari Depkes melalui PP No. 22 dan
23 tahun 1984. Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi pengelolaan
dana masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi pemerintahan yang masih
terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang mengharuskan segala dana disetor ke
kas negara. Mulai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang mengawasi PHB ini tetap
Menteri Kesehatan. Prakteknya, penyelenggaraan Perum PHB baru dilaksanakan secara
penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus
berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah pegawai negeri. Pada awal tahun 1992
jumlah cabang di seluruh Indonesia sudah berjumlah 27 cabang, masing-masing satu cabang
di tiap propinsi. Pada masa PHB inilah tenaga-tenaga khusus yang mengerti masalah asuransi
kesehatan mulai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan Pusdiklat Depkes
RI, USAID, dan Zieken Fonds Belanda. Pada masa ini sistem pelayanan terkendali dengan
menggunakan teknik-teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar obat yang dijamin
disusun berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional dan diperkenalkan dengan nama Daftar
Plafon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk BPDK, pada masa
Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS ini
dapat membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia.1
2.3. Peserta
Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran premi
yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka. Dengan alasan untuk meningkatkan
efisiensi dan perluasan kepesertaan, pegawai badan usaha dan badan lainnya serta penerima
pensiunnya dapat menjadi peserta Askes dengan cara membayar premi tersendiri. Masa
menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang pegawai atau
pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa kepesertaan berhenti jika iuran atau
1
Historical Development PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT Askes. Jakarta, 1995
2.4. Premi
Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang
besarnya serta tata cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya
premi yang ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah
sebagai majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan akan terus
dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan dengan PP 28/2003.
Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen Anggaran
Departemen Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai sebelum gaji
tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai instansi pemerintah.
Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan pembayar gaji
di daerah yang kemudian menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah kemudian Dirjen
Anggaran menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes.
Iuran untuk Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Iuran atau premi dari badan lainnya yang ikut
program Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT Askes.
Dari tabel 2.1 dapat dilihat perkembangan jumlah peserta dan penerimaan premi
peserta wajib dari tahun ke tahun. Jumlah penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104
milyar di tahun 1989 menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan
pertumbuhan penerimaan premi rata-rata sebesar 17,1% per tahun selama 11 tahun.
Sementara jumlah pegawai dan pensiun yang menjadi peserta mengalami pertumbuhan dari
3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta pegawai. Sementara itu jumlah tertanggung telah
meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989 menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa
jumlah peserta dan tertanggung mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal
tersebut disebabkan karena perbaikan sistem informasi sehingga data ganda dapat dikurangi.
Selain itu, penurunan jumlah tertanggung yang cukup drastis disebabkan karena perubahan
kebijakan jaminan jumlah anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang
saja.
Jika diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes dari
tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di tahun 1997 akan tetapi
kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di tahun 1999. Apabila diperhitungkan
penerimaan premi per pegawai dengan harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi
diterima tahun 1993 sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun 1998
dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila diperhitungkan dengan
penerimaan premi per kapita per tahun dengan harga konstan 1993, maka premi tertinggi
diperoleh pada tahun 1993 dan terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya 12.284 per
kapita. Artinya pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp 1.023 per kapita
per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan premi riil, maka dapat
dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak mungkin mengalami perbaikan
dibandingkan dengan kualitas pelayanan di tahun 1993.
Masalah utama penerimaan premi pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok pegawai
negeri yang menyebabkan juga rendahnya premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri
menggunakan sistem penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan,
tunjangan perbaikan penghasilan, dll., dan penghasilan tambahan dari honor proyek.
Meskipun dalam prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya
dibandingkan dengan pegawai swasta2, premi dari gaji pokok pegawai negeri menjadi sangat
kecil. Karena besarnya premi hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001
ini pemerintah mengubah sistem penggajian “pura-pura” menjadi gaji yang “lebih realistis”,
meskipun belum memadai, dengan memasukkan tunjangan ke dalam komponen gaji pokok.
Besarnya penerimaan Askes dengan perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat
meningkat sampai dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Masalah kedua dari premi Askes ini adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri tidak
selalu mengikuti perubahan biaya kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan kesehatan
dan obat. Bahkan kenaikan tersebut tidak dapat ditentukan periodenya. Pada suatu ketika
kenaikan gaji dapat berlaku tiga tahun sekali akan tetapi pada waktu lain bisa terjadi
perubahan kenaikan gaji setahun setelah perubahan gaji sebelumnya.
2
Thabrany, H. Pegawai Negeri Memang Lebih Kaya. Kompas 1996.
Penerimaan Premi
premi (Rp Jumlah peserta /peserta /th Jumlah Premi/tertanggung/
Tahun juta) (pegawai) (Rp) tertanggung th (Rp)
1989 104.132 3.701.024 28.136 11.852.220 8.786
1990 112.232 4.021.075 27.911 12.486.084 8.989
1991 112.220 4.241.556 26.457 13.304.182 8.435
1992 179.500 4.446.110 40.372 13.951.215 12.866
1993 241.787 4.763.733 50.756 14.162.680 17.072
1994 268.800 5.075.329 52.962 18.449.601 14.569
1995 292.266 5.326.994 54.865 15.783.935 18.517
1996 318.319 5.513.026 57.739 16.478.587 19.317
1997 418.507 5.451.267 76.772 15.853.439 26.398
1998 475.919 5.034.450 94.532 13.579.991 35.046
1999 519.169 5.126.474 101.272 13.718.754 37.844
Diolah dari berbagai sumber Buku Kegiatan Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical Development PT
Askes 19953.
Tabel 2.2
Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun 1992-1999 menurut harga konstan 1993
3
Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 1996
Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1999. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 2000
Tarif yang harus dibayar PT Askes kepada PPK pemerintah, khususnya RS,
ditetapkan secara nasional dengan memberikan pembagian kelas RS. Tarif untuk RS tipe B
lebih mahal dari tarif untuk RS tipe C dan D. Perbedaan biaya dan tarif Perda (Peraturan
Daerah) antar daerah tidak terakomodir. Akibatnya, RS di kota besar dimana tarif Perda dan
tarif yang ditetapkan sendiri oleh RS (untuk perawatan di kelas II dan kelas I) banyak
mengeluh akibat rendahnya tarif SKB. Beberapa RS di kota kecil dimana Perda menetapkan
tarif yang amat rendah, tarif SKB bisa jadi lebih tinggi dari tarif Perda atau tarif yang
ditetapkan RS sendiri. Akan tetapi untuk RS di kota besar, tarif SKB bisa jadi sangat jauh
dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan RS. Akibatnya RS merasa mendapat beban dalam
melayani pasien Askes dan karenanya pelayanan kepada peserta Askes dinilai kurang
mendapat perhatian. Hal ini menimbulkan banyak keluhan, khususnya dari kalangan kelas
menengah. Berbagai survei kepuasan peserta baik yang dilakukan oleh Askes maupun oleh
pihak lain menunjukkan sebagian besar (84-97%) peserta merasa puas dengan berbagai
tingkat pelayanan. Namun demikian, penilaian hasil survei harus dikaji lebih dalam
bagaimana pengukuran dan bagaimana data kepuasan peserta diperoleh. Selanjutnya pada era
persaingan ketat sekarang ini, berbagai usaha mentargetkan kepuasan 100% untuk mampu
bersaing.
Apabila biaya perawatan ternyata melebihi dari yang dijamin PT Askes, misalnya
karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi atau menerima obat yang di luar
daftar DPHO, maka peserta harus membayar kelebihan biayanya. Yang dimaksud dengan
Obat-obat yang diperlukan diresepkan oleh dokter rumah sakit. Pasien mengambil
obat-obat tersebut di apotik yang ditunjuk. Jika obat-obat yang diresepkan termasuk dalam
Daftar Pelafon Harga Obat (DPHO) maka pasien tidak perlu membayar lagi. Namun apabila
obat yang diresepkan tidak termasuk dalam DPHO, maka pasien harus membayar sendiri.
Daftar obat Askes dikembangkan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian klinik dan
farmakologik untuk menjamin bahwa obat-obat yang masuk dalam DPHO adalah obat-obat
yang secara esensial dibutuhkan oleh peserta dalam berbagai kasus penyakit yang diderita.
Obat DPHO bukanlah obat generik, akan tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan dengan
harga yang memenuhi plafon tertentu. Bisa jadi suatu obat bermerek lokal, mee too drug,
yang oleh pasien dianggap sebagai obat paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker
juga termasuk dalam daftar obat yang ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak
termasuk dalam DPHO akan tetapi mutlak dibutuhkan oleh pasien masih dapat ditanggung
asal ada surat keterangan dokter bahwa obat tersebut secara medis dibutuhkan. Misalnya
sebuah antibiotik mahal bisa ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari
hasil uji sensitifitas obat (kultur) ternyata obat tersebutlah yang bisa menyembuhkan.
Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan transplantasi ginjal juga ditanggung oleh Askes.
Hal ini tentu saja membuat biaya yang sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar
biaya semua pelayanan harus ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat ini
sudah melampaui Rp 30 milyar setahun.
2.6. Kinerja
Dalam usianya yang melebihi 30 tahun, termasuk ketika menjadi BPDPK, PT Askes
telah mengalami pasang surut yang cukup bervariasi. Sebagai perusahaan asuransi, Askes
harus menunjukkan kemampuan solvabilitas keuangan yang memadai untuk memenuhi
berbagai kewajibannya. Sebagai suatu asuransi kesehatan sosial yang menerapkan prinsip-
prinsip managed care PT Askes harus mampu mengendalikan biaya berapapun besarnya
penerimaan. Jika di dalam pembahasan mengenai premi telah digambarkan bahwa premi
yang diterima sangat kecil bila dibandingkan dengan kewajiban Askes untuk menanggung
Tampak pada gambar 2.1 perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT
Askes dari tahun ke tahun. Harus disadari disini bahwa berkembangnya aset dan investasi
sejak tahun 1993 antara lain juga ikut dipengaruhi oleh perkembangan bisnis asuransi
komersialnya, meskipun jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan aset dan
investasi dari program sosialnya. Tampak bahwa di tahun 1993 PT Askes telah memiliki aset
sebesar Rp 400 milyar dengan investasi sebesar Rp 353 milyar. Cadangan teknis yang
dikelola pada saat itu berjumlah Rp 115 milyar. Pada tahun 1999 aset PT Askes telah
berkembang menjadi Rp 702 milyar dan investasi sebesar Rp 610 milyar. Cadangan teknis di
tahun 1999 mencapai hampir Rp 256 milyar. Melihat kinerja keuangan tersebut, Sampai
tahun 1999 PT Askes masih mempunyai kinerja keuangan yang baik, yang dalam kriteria
pemeriksa pemerintah (BPK/BPKP) masuk kategori sehat.
Gambar 2.1
Perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes Indonesia 1993-1999
800
400
200
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
Tahun
Sumber: Berbagai Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1993-1999.
Jika dilihat dari kedua rasio klaim tersebut, Askes seharusnya masih mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk
program asuransi komersial yang tentu saja harus membukukan keuangan yang memadai
bagi pemegang saham. Rasio klaim ini sangat jauh lebih rendah dari rasio klaim kebanyakan
program asuransi sosial di negara lain. Selisih antara penerimaan premi dan klaim dikenal
dengan biaya administrasi untuk program asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata
biaya administrasi adalah 27,9% dari premi yang diterima. Angka ini jauh lebih tinggi dari
biaya administrasi asuransi sosial di Amerika (Medicare) yang 4%, Medicare Canada juga
4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial
pluralistik di Jerman hanya menghabiskan 5% biaya administrasi4. Besarnya prosentasi biaya
administrasi dipengaruhi oleh besaran premi yang diterima. Semakin besar premi yang
diterima akan semakin kecil porsi biaya administrasi. Di negara-negara maju dimana besaran
premi sudah diperhitungkan dengan baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang
memadai, maka rasio biaya administrai akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia
belum ada standar berapa biaya administrasi yang layak untuk suatu program asuransi sosial.
Dalam pembayaran sistem kapitasi total Askes, Dinas Kesehatan diberikan plafon
untuk pembayaran rawat jalan rujukan dan rawat inap. Pembayaran ke rumah sakit tetap
dilakukan oleh PT Askes. Dinas Kesehatan hanya mendapat bonus jika jumlah rujukan tidak
4
Thabrany, H. Kegagalan Asuransi Kesehatan Komersial. MKI, Juni 2000.
Tabel 2.3
Perkembangan rasio klaim (biaya kesehatan) terhadap premi diterima dan terhadap
total pendapatan PT Askes, 1984-1999
5
Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B (Ed). Pembayaraan
Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998.
Falsafah dasar pembayaran Askes kepada PPK diatur oleh SKB Menkes dan
Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang memang disadari tidak memadai. Surat
ketetapan tarif ini bersifat nasional dengan pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada
kota-kota besar, biaya pelayanan jauh lebih mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di
rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya operasional jauh lebih tinggi dari biaya rumah sakit
sejenis di daerah. Tentu saja pembayaran yang sama antara rumah sakit di kota besar dan di
daerah menimbulkan kesenjangan. Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan
besarnya penggantian dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak mempersoalkan,
bahkan bisa jadi lebih senang dengan pembayaran Askes. Banyak dearah yang mematok
tarif Perda perawatan, pemeriksaan penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah,
dengan harapan biaya tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak.
Pada masa otonomi daerah, pembayaran dengan tarif SKB menjadi masalah karena
kini RSUD merasa tidak ada kaitan struktural kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh
karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang mengatur pembayaran Askes ke RSUD dinilai
tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang secara historis menetapkan tarif yang relatif
rendah, pembayaran Askes mungkin tidak jadi masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar
yang ingin mendapatkan pemulihan biaya (cost recovery rate) yang memadai, bisa jadi tarif
yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari kemampuan Askes membayar. Oleh karenanya mulai
ada suara-suara yang tidak menerima tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal
tersebut belum sampai pada penolakan pasien Askes.
Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun, banyak terjadi perubahan
demografis dan epidemiologis pada peserta. Penyakit kronis semakin meningkat sementara
iuran dihitung atas dasar pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit menular.
Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya yang jauh lebih besar
daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai ilustrasi dapat dilihat perkembangan kasus
Table 2.3
Tren kenaikan jumlah penderita gagal ginjal dan tindakan hemodialisis 1989-1994
Upaya pengendalian biaya melalui negosiasi dengan rumah sakit dan puskesmas atau
menghimbau dokter spesialis menggunakan obat yang lebih rasional menghadapi berbagai
kendala. Salah satu kendala penting adalah bentuk badan hukum PT Persero yang tidak
sejalan dengan penyelenggaraan asuransi sosial. Sejak awal Menteri Siwabessy
mengharapkan pengumpulan dana asuransi kesehatan ini bukan untuk cari untung. Namun
demikian, pandangan pengambil keputusan pemerintah hanya melihat bahwa bentuk Persero
lebih mampu meningkatkan mutu pelayanan dan menghasilkan laba tanpa melihat misi
utama asuransi sosial. Banyak RS yang mengatakan bahwa “masa kami RSU harus
mensubsidi PT yang mencari untung?”. Dengan pembayaran RS yang jauh lebih rendah
sehingga direktur RS harus memutar akal menutupi selisih biaya untuk pasien Askes berarti
RS mensubsidi Askes. Sementara PT Askes terus membukukan laba. Hal ini yang
menimbulkan kecemburuan di kalangan pengelola RS pemerintah. Sementara itu, laba yang
diperolah Askes tidak dirasakan manfaatnya oleh peserta, padahal setiap bulan gaji peserta
dipotong sebagai premi. Sama halnya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini merupakan
bentuk yang tidak konsisten sebagai pengelola asuransi sosial. Seharusnya laba yang diterima
menjadi hak peserta bukan hak pemerintah, sebagai pemegang saham. Ketidak sesuaian ini
sebenarnya dapat diselesaikan apabila PP yang mengatur PT Askes, meskipun berbentuk
Persero, disebutkan khusus sebagai lembaga not for profit. Contoh hal ini terdapat di Filipina
dimana the Philippine Health Insurance Corporation jelas-jelas disebutkan sebagai lembaga
nirlaba.
JPK Jamsostek
3.1. Pendahuluan
Program jaminan sosial merupakan program yang diselenggarakan oleh semua negara
maju di dunia dan merupakan program pemerintah dalam rangka ketahanan nasional dalam
bidang sosial. Luasnya program jaminan sosial tergantung dari kemampuan ekonomi dan
kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga kerja dunia dalam Konvensi Jaminan
Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam program yang merupakan bagian dari
jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan kesehatan, tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin
(maternity benefit), santunan kecelakaan kerja, tunjangan cacat, tunjangan kematian,
tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan tunjangan keluarga. Secara umum Indonesia
sudah hampir memenuhi kesembilan program tersebut, hanya saja beberapa program
digabung menjadi satu. Istilah program JPK yang digunakan memang tidak lepas dari
pengaruh Departemen Kesehatan yang pada saat yang sama mengembangkan program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang akan dibahas pada Bab 4.
Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja (perusahaan, dalam
artian seluruh lembaga yang menjalin hubungan ketenaga-kerjaan termasuk diantranya
lembaga seperti yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dsb.). Untuk
tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja atau majikan yang
memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar upah lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Jadi pemberi kerja yang hanya memiliki empat orang karyawan tetapi membayar upah
(bukan gaji pokok, tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat karyawan
tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek.
Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek adalah bagian dari program
jaminan sosial tenaga kerja. Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga program lainnya,
program JPK memiliki perbedaan sebagai berikut:
Paket jaminan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam PP 14/93 dan dalam Peraturan
Menaker No. 05/Men/1993. Secara rinci jabaran lebih lanjut tentang JPK adalah sebagai
berikut:
Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Menurut Peraturan yang berlaku
1. Peserta harus menggunakan PPK I yang telah menjalin kontrak dengan Jamsostek.
Apabila peserta tidak menggunakan PPK I yang ditunjuk, maka peserta harus
menanggung sendiri biaya pelayanan, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
2. Untuk mendapatkan pelayanan rujukan seperti pemeriksaan oleh dokter spesialis atau
perawatan di rumah sakit, diperlukan surat rujukan dari PPK I. Tanpa rujukan peserta
tidak dapat mendapatkan pelayanan rujukan
3. Pembayaran kepada PPK dilakukan dengan sistem kapitasi. Dalam prakteknya,
pembayaran kapitasi pada umumnya dilakukan kepada PPK I saja. Sedangkan kepada
rumah sakit, pembayaran kapitasi hanya dilakukan pada daerah tertentu yang jumlah
pesertanya memadai (Purwoko dan Masud, 1998). Di Jakarta dan di berbagai cabang
lainnya, PT Jamsostek mengontrakkan kepada bapel JPKM (kini tidak lagi menjadi
keharusan) secara kapitasi untuk selanjutnya melakukan kontrak kepada berbagai
PPK. Bapel JPKM dan badan lainnya ini disebut Main Provider.
4. Mengadakan telaah utilisasi dan pengendalian mutu pelayanan. Ratio pelayanan
rujukan dengan kunjungan PPK I yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merupakan
indikasi untuk telaah selanjutnya. Begitu juga dengan lama hari rawat yang panjang
atau terlalu pendek menjadi indikator untuk telaah utilisasi.
Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Peserta dan Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000
Jika dilihat dari pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan penerimaan premi
maka kinerja yang JPK Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan yang mendaftarkan
karyawannya ke JPK Jamsostek meningkat rata-rata 53% setahun. Jumlah karyawan
meningkat rata-rata 40% setahun sedangkan jumlah tertanggung meningkat hanya 38% per
Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang mewajibkan pemberi kerja yang membayar
upah lebih dari Rp 1 juta per bulan wajib mendaftarkan karyawannya kepada Jamsostek.
Peraturan ini masih berlaku sampai saat ini. Apabila peraturan ini ditegakkan, maka paling
tidak 100 juta orang seharusnya sudah mendapatkan jaminan dari JPK Jamsostek. Perorangan
yang mempunyai seorang sopir dan dua pembantu sudah terkena kewajiban ini, karena untuk
ukuran Jakarta dengan upah minimum Rp 426.000 per bulan, orang tersebut sudah termasuk
pemberi kerja yang wajib mendaftarkan ke JPK Jamsostek. Jika dilihat jumlah tertanggung
yang hanya mencapai 2,7 juta jiwa di tahun 2000, jumlah ini kurang dari 3% dari jumlah
penduduk yang memenuhi syarat. Jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang
terdaftar pada ketiga program Jamsostek lainnya yang mencapai 18,8 juta jiwa, pendaftar
JPK hanya mencapai 1,3 tenaga kerja. Ini berarti hanya 6,9% tenaga kerja yang mengambil
JPK dari seluruh peserta terdaftari. Jika dibandingkan dengan potensi tenaga kerja yang
menjalin hubungan kerja, yang menurut survei ILO berjumlah 56,2 jutaii, maka jumlah
tenaga kerja terdaftar pada JPK hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja.
Pertumbuhan penerimaan premi mencapai rata-rata 51% per tahun dari Rp 4,5 milyar
di tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000. Namun demikian, jika dibandingkan
dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi komersial, maka besarnya premi yang
diterima JPK Jamsostek jauh lebih rendah. Total premi asuransi kesehatan dan kecelakaan
diri dari perusahaan asuransi komersial di tahun 1999 mencapai Rp 722 milyar.1 Jika
diperhitungkan besarnya premi yang diterima per kapita, maka di tahun 1991 JPK Jamsostek
menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita per tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya
mencapai Rp 57,542 per kapita per tahun. Jika jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan
yang diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya mencapai Rp 4.795,-. Jelas jumlah
tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan kesehatan yang relatif luas. Bandingkan
dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan
santunan tahun pertama Rp 100.000,- yang dijual PT Central Asia Raya.2 Namun jia dilihat
dari rasio klaim yang rata-rata hanya 72% dari premi yang diterima, PT Jamsostek tidak
mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan yang
diberikan menggunakan teknik-teknik managed care tertutup sehingga biaya dapat
terkendali. Hanya saja untuk bisa mengendalikan biaya yang sekecil itu, diperlukan upaya
yang keras.
Jika diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per tenaga kerja (TK) maka tampak
bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah tenaga kerja berupah rendah. Jika
pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga kerja adalah Rp 9.794, maka dapat diperkirakan
besarnya upah tenaga kerja tersebut. Jika diambil rata-rata premi sebesar 4,5% maka upah per
1
Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan di Indonesia. Seminar Nasional Asuransi Kesehatan, Jakarta,
Oktober 2000.
2
Iklan pada harian Kompas, 22 September 2001
Tabel 3.2
Analisis perkembangan premi JPK Jamsostek, 1991-2000
Dalam perkembangan JPK Jamsostek yang hampir 10 tahun, tampak jelas sekali
bahwa JPK Jamsostek tidak masih jauh dari tujuan jaminan sosial untuk memberikan
perlindungan yang memadai kepada seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan tersebut
tidak bisa tercapai tanpa perubahan mendasar berbagai peraturan JPK Jamsostek. Berbagai
masalah struktural yang terdapat dalam peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Opsi boleh tidak ikut JPK Jamsostek dimanfaatkan oleh perusahaan untuk tidak
mengikuti JPK Jamsostek. Disinyalir banyak perusahaan yang tidak memberikan
jaminan kesehatan kepada karyawannya sekalipun tidak mendaftarkan tenaga
kerjanya ke JPK Jamsostek.
2. Batas gaji untuk perhitungan premi yang masih tetap Rp 1 juta sebulan sering
ditafsirkan sebagai hanya pegawai yang bergaji rendah saja yang wajib ikut JPK
Jamsostek. Padahal sebenarnya seluruh tenaga kerja harus menjadi peserta, akan
tetapi untuk yang gajinya lebih dari Rp 1 juta hanya membayar premi maksimum Rp
60.000. Batas ini membuat iuran JPK tidak akan memadai untuk memberikan
pelayanan yang bermutu dan lebih luas. Jika hal ini berlanjut, maka pelayanan yang
Tanggal 17 November 2003, saya mengajukan klaim penggantian biaya atas istri
saya yang dirawat inap di rumah sakit akibat kecelakaan. Saya mengajukan
klaim kepada PT Jamsostek Cabang Salemba, Jakarta, ternyata ditolak.
Kelangkapan surat yang saya ajukan memang salinan, tetapi sarat hukum dan
sah karena telah dilegalisasi oleh pihak rumah sakit sesuai dengan aslinya.
Sementara surat kuitansi yang asli digunakan untuk klaim asuransi lainnya.
Kalau memiliki tiga asuransi, apakah sebanyak itu pula kuitansi asli harus
dibuat untuk mengajukan klaim? Sementara pihak rumah sakit hanya
mengeluarkan satu kuitansi asli dan satu salinan yang telah dilegaliasi. Mengacu
pada ketentuan PT Jamsostek yang meminta kuitansi asli pula, berarti dari
sekian banyak asuransi hanya dapat satu klaim asuransi, sementara premi
dibayar terus
TONI
Kmp Baru Kb Koja RT 012 RW 016, Penjaringan, Jakarta Utara
4.1. JPKM
Upaya memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya swastanisasi
di dunia yang memandang bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat akan menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu pelayanan.
Program swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di Inggris pada masa Perdana Menteri
Margaret Tacher untuk berbagai program pemerintahnya pada awal tahun 80an. Perusahaan
penerbangan British Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya dikelola pemerintah
merupakan contoh bentuk swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak itu gelombang
privatisasi di dunia terus meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya itu antara lain
dapat dilihat dari upaya menggerakan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat dan
transformasi RSUP menjadi RS Perjan (Perusahaan Jawatan). Namun demikian, di Inggris
sendiri sistem pelayanan kesehatan masih tetap dikelola pemerintah dengan sistem National
Health Service. Tetapi reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini. Dalam kerangka pikir
inilah program JPKM yang bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat guna membiayai
pelayanan kesehatan dikembangkan.
Perkembangan JPKM tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui
program bantuan pembangunannya (the United States Agency for International Development,
USAID). Pada tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis Kebijakan Ekonomi
Kesehatan (AKEK) di Depkes selama lima tahun. Dalam proyek inilah antara lain
berkembang pemikiran-pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan konsep
Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam
bentuk JPKM. Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa konsultan
dari Amerika yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu
sangat populer di Amerika. Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan 1980an
Namun demikian, karena proyek AKEK dan berbagai proyek pembiayaan kesehatan
lainnya di Indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak didominasi oleh pengaruh
Amerika, maka tidaklah mengherankan jika konsep sistem pembiayaan kesehatan kita pada
waktu itu (hingga saat ini) lebih banyak mengikuti pola Amerika yang boros dan tidak
egaliter. Sementara pengaruh donor-donor dari negara-negara lain pada waktu itu tidak
banyak. Hal ini tidak saja berlaku dalam model JPKM, akan tetapi juga mempengaruhi
sistem asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti sistem pendidikan dan keuangan.
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/93 dan nomor 571 /93 mengatur hal-hal
sebagai berikut:1
Paket jaminan
1. Paket jaminan mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
penyembuhan, dan dilaksanakan secara paripurna (komprehensif),
berkesinambungan, dan bermutu. Paket tersebut harus disusun sesuai dengan
kebutuhan peserta.
2. Paket terbagi atas paket dasar dan paket tambahan. Paket dasar yang wajib
diselenggarakan oleh sebuah bapel. Karena bapel dapat menjual paket tambahan
hanya setelah menjual paket dasar, maka paket dasar ini pada hakikatnya sama
dengan peraturan minimum benefit dalam peraturan asuransi kesehatan di
Amerika.
3. Paket pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut:
a. Rawat jalan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
(pemulihan) sesuai kebutuhan medis. Pelayanan ini harus mencakup
imunisasi, keluraga berencana, pelayanan ibu dan anak dengan catatan
pelayanan persalinan hanya diberikan sampai anak kedua.
b. Rawat inap sesuai kebutuhan medis meliputi 5(lima) hari rawat.
c. Pemeriksaan penunjang meliputi radio diagnostik dan atau ultrasonografi,
laboratorium klinik.
4. Paket tambahan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bapel dengan peserta
5. Dalam keadaan gawat darurat peserta dapat memperoleh pelayanan pada setiap
PPK.
6. Peserta tidak perlu membayar lagi di PPK apabila pelayanan yang diberikan
sesuai dengan paket yang dipilihnya
1
Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta Masyarakat, Depkes, 1996
Kepesertaan
1. Setiap orang, secara perorangan atau kelompok, dapat menjadi peserta program
JPKM
2. Setiap orang yang menjadi peserta pada lebih dari satu bapel harus melaporkan
untuk koordinasi manfaat
3. Kepesertaan dapat dilakukan setiap saat. Untuk peserta perorangan, beban biaya
paket tidak boleh melebihi 110% paket terendah.
4. Pembayaran beban biaya PK wajib dilakukan setiap bulan atau untuk jangka
waktu tertentu
5. Kepesertaan setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan ditanda-tangani
6. Peserta berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan
yang diajukan
Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa program JPKM berusaha untuk
memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) masyarakat dengan mengutamakan usaha promotif
dan preventif melalui sistem komersial. Padahal sistem komersial kurang perduli dengan
kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada aspek permintaan (demand). Sehingga
jika suatu bapel dipaksakan harus menjual produk yang mengutamakan promotif dan
preventif, yang nota bene lebih merupakan barang publik, tentu saja akan sulit mendapatkan
pembeli. Dalam peraturan tersebut tampak tidak sesuainya tujuan program dan rancang
bangun program yang tercermin dalam kedua Permenkes tersebut.
Secara garis besar antara JPKM dan HMO terdapat banyak sekali persamaan dan
sedikit perbedaan. Secara umum persamaan antara JPKM dan HMO adalah:
Secara lebih rinci, perbedaan dan persamaan JPKM dan HMO di Amerika dapat
dilihat dari tabel berikut ini.
Sharing risiko Sharing risiko antara yang sakit dan Sharing risiko antara yang sakit dan yang
yang sehat, provider dan payer. sehat, provider dan payer. Payer/HMO
tanggung risiko penuh
Yang dapat menjadi Suatu yang berbadan hukum. Secara Perorangan, serikat pekerja, organisasi,
bapel eskplisit PT, BUMN, BUMD, dan LSM, Yayasan, Perusahaan
Koperasi
Bapel yang didorong Berbagai bentuk. Misalnya Bapel nirlaba mendapat hibah modal tetapi
pemerintah pemberian JPSBK diberikan baik bapel for profit hanya diberikan jaminan
yang berbentuk yayasan maupun PT pinjaman
Perijinan dan Departemen Kesehatan Departemen asuransi dan (+ HCFA
pengawasan keuangan untuk Federally Qualified HMO)
Concern terhadap Harus Harus
solvency
Pemasaran dan Fokus pada kumpulan Fokus pada kumpulan
underwriting
Ancaman bias selection Ada Ada
Ancaman moral hazard Ada Ada
Kontrol terhadap Belum ada aturan khusus Open enrollement
adverse selection
Kontrol terhadap moral Terutama kepada PPK. Melalui Terutama kepada PPK (kini juga melalui
hazard peserta dalam bentuk paket terbatas peserta)
Bentuk benefit Melalui PPK secara tertutup, Melalui PPK secara tertutup, kecuali untuk
kecuali untuk kasus gawat darurat kasus gawat darurat
Alasan yang dikemukakan diatas mungkin hanya benar secara peraturan perundang-
undangan, karena dalam perakteknya perusahaan asuransi yang menjual asuransi kesehatan
tidak selalu memberi penggantian uang. Dalam UU No 2/92 definisi asuransi memang
berbeda dengan definisi JPKM. Dalam UU No 2/92 pada Bab I pasal 1 dijelaskan defisini
asuransi atau pertanggungan sebagai “perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”2. Dalam UU No 23/92 pasal 66 ayat 2 disebutkan
“Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara penyelenggaraan
2
Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha Perasuransian. Dirjen Lembaga
Keuangan, Departemen Keuangan RI. Jakarta 1993
Jadi menurut definisi yang digunakan oleh kedua UU tersebut, memang terdapat
perbedaan. Undang-undang asuransi memang menyebutkan kata ‘penggantian’, namun
dalam prakteknya penggantian tidak selalu dalam bentuk uang. Baik dalam asuransi
kesehatan maupun asuransi kendaraan bermotor, apabila terjadi peristiwa sakit/kerusakan
kendaraan akibat kecelakaan, tidak semua perusahaan asuransi memberikan penggantian
dalam bentuk uang. Banyak perusahaan asuransi yang mengganti biaya pengobatan dengan
membayar langsung ke rumah sakit yang ditunjuk. Banyak perusahaan asuransi yang
menunjuk bengkel mobil tertentu dimana tertanggung menerima beres perbaikan mobil yang
rusak. Jadi soal penggantian tidaklah harus berbentuk uang. Dalam dunia asuransi di
Amerika hal ini dilengkapi dengan pernyataan assignement of benefits yang ditanda tangani
oleh pemegang polis.
Soal penggantian uang atau pemberian pelayanan (sebagai pengganti uang) hanyalah
suatu mekanisme pelaksanaan tanggung jawab badan penyelenggara atau asuradur dalam
memberikan benefit seperti yang telah dibahas dalam Bab I. Ciri manajemen utilisasi,
pembayaran kapitasi, pengendalian mutu, penanganan keluhan peserta dan “jurus-jurus” lain
yang ada di JPKM bukan merupakan ekslusi asuransi. Program-program tersebut adalah
bentuk upaya pengendalian biaya untuk mengurangi risiko biaya dan upaya pemasaran,
khususnya yang terkait dengan sistem pembayaran kapitasi kepada PPK. Jurus-jurus JPKM
adalah kiat manajemen yang harus dilakukan akibat pembayaran benefit diberikan dalam
bentuk pelayanan kepada PPK yang dikontrak dengan pembayaran kapitasi. Seandainya
perusahaan asuransi kesehatan tradisional melakukan kontrak kapitasi juga, mereka akan
melakukan hal itu meskipun tidak diatur oleh pemerintah. Menyatakan bahwa "JPKM bukan
asuransi" mempunyai konsekuensi standar ganda pada saat kita berkomunikasi di dunia
internasional.
Dari segi substansi, penulis berpendapat bahwa perdebatan tentang hal ini tidak perlu
dipermasalahkan, jika hanya untuk memuaskan salah satu pendapat. Hal ini perlu
dituntaskan karena hal ini membawa konsekuensi sosial, ekonomi dan kebijakan yang dapat
mengganggu tujuan Nasional dalam bidang kesehatan. Perbedaan persepsi ini mempunyai
dampak yang sangat serius dalam pengembangan JPKM itu sendiri di kemudian hari.
Beberapa pihak menganggap hal ini perlu ditegaskan agar rujukan pelaksanaan program
asuransi kesehatan atau JPKM menjadi jelas. Ada yang berpendapat bahwa jika JPKM itu
suatu asuransi, maka program JPKM harus tunduk pada UU No. 2/92 tentang asuransi.
Tetapi, jika JPKM bukan asuransi, maka UU No. 2/92 tidak bisa digunakan untuk pengaturan
atau rujukan program JPKM. Lalu bagaimana dengan UU No. 3/92? Apakah program JPK
Soal peraturan mana yang mengatur; apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No.
23/92, semuanya sama saja bagi penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan
kesehatan. Semuanya adalah undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR dan
diundangkan oleh Presiden. Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur agar penduduk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Kemanapun suatu program mengacu,
tidak jadi masalah bagi masyarakat. Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama,
sehingga bisa saling memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan, produktifitas dan kualitas hidup rakyat.
Secara objektif kita harus membandingkan ciri-ciri kontrak asuransi dan kontrak
JPKM. Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM adalah asuransi. Pada Bab I kita
sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu kondisional, unilateral, aleotary,
dan adhesi. Keempat ciri kontrak tersebut juga terdapat dalam JPKM dan JPK Jamsostek.
Oleh karenanya, baik JPKM maupun JPK Jamsostek merupakan juga asuransi yang tidak
diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur international sangat jelas mengenai
klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah membahas persamaan dan perbedaan
JPKM dengan HMO, yang sangat mirip, maka kita bisa belajar juga dari yang terjadi di
Amerika. Di Amerika, HMO memang juga bukan perusahaan asuransi tetapi yang
memberikan ijin dan yang mengawasi solvensi dan berbagai masalah hubungan peserta-
HMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena meskipun HMO bukan perusahaan asuransi,
produk yang dijualnya adalah produk asuransi. Untuk membuat pengoperasian HMO relatif
standar di tingkat federal, maka the National Association of Insurance Commisioner (NAIC)
membuat apa yang disebut NAIC HMO Model, yang merupakan dasar untuk pengaturan
HMO di masing-masing negara bagian.
Dari kepentingan publik dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi
kesehatan atau bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau
asuransi kesehatan harus dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena biaya atau ketiadaan
fasilitas) apabila mereka terkena musibah suatu penyakit secara adil, terjangkau, dan efisien
secara nasional. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada orang sakit
yang tidak bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang tidak perlu
berobat, lalu diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik usaha di bidang kesehatan
memerlukan uang. Kita tidak ingin ada pelayanan untuk orang miskin dan ada pelayanan
untuk orang kaya. Yang kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari status ekonomi orang
tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme pemberian pemeliharaan kesehatan itu
diberikan melalui asuransi dengan penggantian biaya, ditanggung pemerintah, ditanggung
asuransi dengan jaminan pelayanan, atau ditanggung JPKM dengan pelayanan di tempat
tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi masalah bagi masyarakat adalah jika
mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang memadai atau mendapat jaminan yang
memadai tetapi biayanya (premi, iuran, kontribusi, dll) mahal.
Apakah Depkes tidak boleh mengatur asuransi kesehatan? Menurut penulis, tidak ada
alasan untuk itu. Di Amerika, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial bahkan
menyelenggarakan sendiri asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di dalam
administrasinya dikelola oleh Health Care Financing Administration (HIAA, 1996; HIAA,
1995; Kongsvedt, 1996)ii. Undang-undang asuransi sosial kesehatan di Jerman diatur dan
diawasi oleh Departemen Kesehatan Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi Kesehatan
Nasional merupakan lembaga di bawah Departemen Kesehataniv. Tidak ada alasan bahwa
Departemen Kesehatan tidak boleh mengatur asuransi kesehatan, sehingga JPKM harus
bukan asuransi.
Sampai dengan saat ini terdapat 21 bapel yang telah mendapatkan ijin operasional
JPKM dari Depkes. Masih puluhan permohonan yang sedang dalam proses perolehan ijin.
Pada umumnya bapel yang telah mendapat ijin hanya bermodal sangat kecil untuk ukuran
asuransi kesehatan. Ada bapel yang hanya bermodalkan Rp 30 juta rupiah yang telah
mendapatkan ijin operasional dari Depkes. Bapel yang bermodal relatif besar hanya memiliki
modal Rp 500 juta saja. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja penjualan dan pelayanan
yang diberikan oleh para bapel tersebut. Jumlah tertanggung sebuah bapel di tahun 1999 ada
yang hanya mencapai 441 jiwa sedangkan jumlah peserta bapel terbesar (di luar peserta
perusahaan asuransi) hanya berkisar pada 28.878 orang saja (yang pada akhir tahun 2000
telah bangkrut karena kesulitan solvabilitas)3. Jumlah tertanggung yang mampu diraih oleh
bapel JPKM tersebut adalah sebagai berikut:
3
Thabrany, H. Pujianto, Mundiharno, Djazuli. Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM,
Jakarta 2001
Produk yang dijual bapel JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat bervariasi
dari yang hanya menanggung perawatan di puskesmas dengan pembayaran kapitasi dan
penggantian biaya rawat inap di RS maksimum Rp 250.000 sampai yang menanggung
perawatan di luar negeri. Paket dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh
PT Askes Indonesia, yang akan dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi jual
bervariasi dari Rp 1.000 sampai yang berharga diatas Rp 100.000 per orang per bulan. Salah
satu contoh paket dan preminya dicantumkan dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi
kesehatan komersial dan sosial.
Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara lain adalah:
1. Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut bertumpu pada
mekanisme asuransi kesehatan komersial yang seharusnya merespons permintaan.
Akibatnya tidak banyak investor berpengalaman yang berminat menanamkan
modalnya dalam bidang ini.
2. Peraturan bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan terlalu
birokratis. Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan menjamin
peraturan yang dibuatnya dipatuhi oleh badan penyelenggara.
3. Tersedia pilihan menjual asuransi kesehatan di luar JPKM yaitu yang berdasarkan UU
Asuransi. Perusahaan asuransi dapat menjual produk asuransi kesehatan tradisional,
yang lebih mudah dan menarik, maupun produk yang mirip JPKM tanpa harus terikat
pada peraturan JPKM.
4. Biaya kesehatan yang mahal belum menjadi masalah utama pembiayaan kesehatan
kita, bahkan justeru sebaliknya. Program JPKM yang menjanjikan pengendalian biaya
menjadi tidak relevan. Hal ini sangat berbeda dengan di Amerika dimana hampir
semua orang sangat khawatir akan mahalnya biaya kesehatan, sehingga berbagai
upaya pengendalian biaya melalui managed care menjadi pilihan yang menarik.
5. Contoh-contoh penyelenggaraan JPKM yang diselenggarakan Depkes memberikan
kesan bahwa JPKM adalah produk inferior. Percontohan JPKM di Klaten dan di
berbagai proyek HP IV menggunakan sarana puskesmas sebagai PPK dan dengan
premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 – Rp 2.000 per bulan. Hal ini sama sekali
tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM mempunyai jurus jaga mutu atau
meyakinkan bahwa mutu pelayanan yang diberikan patut untuk dibeli.
6. Masih murahnya pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh di puskesmas dan rumah
sakit pemerintah menyebabkan masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman
keuangan mereka di kemudian hari.
7. Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana kesakitan dinilai sebagai suatu
fenomena alamiah yang harus diterima sebagai takdir.
Gambar 4.1.
Perkembangan penjualan produk HMO/JPKM PT Askes Indonesia, 1995-1999
700
600 Tertanggung Kontrak
500
400
300
200
100
0
1995 1996 1997 1998 1999
Untuk mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan stimulasi JPKM dengan
pendirian pra bapel di setiap kota/kabupaten di akhir tahun 1998. Setiap pra bapel diberikan
dana sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin untuk menjadikan keluarga tersebut anggota
JPKM. Pra bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya manajemen seperti
penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sisa dana yang
Rp 9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk digunakan khususnya untuk upaya promotif
dan preventif. Tercatat 354 pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin) mendapatkan dana
stimulan tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama dua tahun dan selama
masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang menjadi bapel penuh dan mampu
menjual produk JPKM kepada keluarga yang tidak miskin. Besarnya dana yang dikucurkan
pemerintah seluruhnya berjumlah Rp 180 milyar. Program ini tidak mendapatkan dana pada
tahun kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai saat ini pada umumnya pra bapel
tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel penuh. Selain alasan dana tahun
kedua yang tidak dikucurkan, hampir semua bapel yang dikembangkan tidak memiliki modal
sendiri yang memadai. Pada umumnya pra bapel tersebut juga tidak memiliki pengalaman
dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Menyadari bahwa JPKM secara sukarela tidak bisa berkembang seperti yang
diharapkan, maka Depkes berkeinginan menjadikan kepesertaan JPKM wajib. Sebenarnya
bisa dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan UU Kesehatan yang tidak
menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib. Jadi jika JPKM mau diwajibkan, maka tidak
ada pilihan lain kecuali harus membuat suatu UU yang mewajibkan. Maka sejak Desember
1998 dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian sampai Oktober 2001 , draft tersebut
belum dibahas di DPR.
Banyak pihak tidak melihat bahwa JPKM berhasil merealisir model-model yang
diharapkan. Penyebab utamanya adalah terlalu idealnya program disusun yang tidak sesuai
dengan keadaan pasar di Indonesia. Konsep HMO yang terdengar rasional seperti menjamin
Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya sampai slogan belaka
karena kemampuan pembeli pada umumnya belum sanggup untuk menjamin pelayanan
komprehensif. Perusahaan asuransi besarpun tidak semuanya menjamin paket komprehensif
seperti yang diselenggarakan HMO di AS atau asuransi kesehatan lainnya di dunia. Jaminan
pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan percontohan JPKM dan program JPKM
JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai PPK. Meskipun pasien yang berkunjung ke
puskesmas di Jakarta setiap harinya memang banyak, pada umumnya golongan menengah
keatas, yang mampu tidak ke puskesmas. Mereka yang mampu, bahkan yang kurang mampu
sekalipun, lebih memilih ke dokter praktek sore untuk mendapatkan pelayanan yang
dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul stigma bahwa program JPKM adalah program
untuk orang miskin. Dengan melekatnya citra puskesmas yang bagi masyarakat menengah
keatas dinilai tidak bermutu, maka kepercayaan terhadap JPKM menjadi tererosi.
Persyaratan bapel dan kewajiban bapel yang digariskan oleh Permenkes 527 dan 571
tidak ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemahnya kemampuan
keuangan dan manajemen para bapel berijin juga membuat pemerintah setengah-setengah
dalam mengendalikannya. Jika dikendalikan terlalu ketat, sesuai peraturan yang ada, bisa jadi
semua bapel akan mundur. Jika peraturan tidak ditegakkan maka akan menjadi preseden yang
tidak baik bagi perkembangan JPKM selanjutnya.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I pasal 1, yang dimaksud asuransi kesehatan
tradisional adalah sistem asuransi yang pada umumnya memberikan penggantian dalam
bentuk uang tunai atau penggantian biaya berobat. Bentuk yang paling tradisional adalah
dimana asuradur tidak melakukan kontrak dengan PPK. Dalam prakteknya, bentuk ini
tidaklah banyak, baik di Indonesia maupun di Amerika. Di Indonesia banyak perusahaan
asuransi yang melakukan kontrak dengan PPK, khususnya rumah sakit, untuk memberikan
pelayanan kepada pemegang polis dan tertanggung kemudian RS tersebut melakukan
penagihan kepada asuradur. Pembayaran kepada RS biasanya dilakukan secara fee for
services (FFS). Dalam konteks seperti ini, tidak ada perbedaan berarti antara asuradur
tradisional dengan bapel JPKM, karena kebanyakan bapel JPKM juga membayar RS menurut
pelayanan yang diberikan (FFS). Harus disadari bahwa cara pembayaran tersebut sangat
tergantung pada kondisi pasar setempat dan tingkat persaingan asuransi. Dengan demikian,
membagi produk asuransi berdasarkan bentuk JPKM dan asuransi kesehatan tradisional
sangat sulit dilakukan. Faktanya perusahaan asuransi juga menjual produk yang mirip dengan
JPKM atau produk hibrid seperti PPO (preferred provider organization) di Amerika. Untuk
lebih memudahkan penyajian, apa yang akan dibahas di dalam bab ini adalah produk-produk
asuransi yang dijual oleh Perusahaan Asuransi yang beroperasi atas dasar UU Asuransi
No. 2/1992.
Kata kesehatan masuk dalam UU No 2/92 pada dua bagian yaitu pada bagian obyek
asuransi dan pada pasal 1. Dalam pasal 4 disebutkan “Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat
menyelenggarakan usaha di bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan
diri …”.4 Pada awalnya pasal ini menimbulkan kontroversi dan protes di kalangan
perusahaan asuransi kerugian. Dalam UU Asuransi, usaha asuransi dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu: Asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selain kedua bentuk usaha asuransi
tersebut, terdapat usaha re-asuransi dan penunjang asuransi seperti aktuaria, agen, dan penilai
risiko yang diperkirakan menjadi beban asuradur (underwriter). Melihat sifat risikonya,
asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian karena besarnya kehilangan dapat diukur
dengan mudah, yaitu biaya pengobatan atau perawatan akibat kehilangan kesehatan.
Sementara pada asuransi jiwa, besarnya risiko tidak bisa diukur akan tetapi bisa
dikuantifikasi. Oleh karenanya sifat alamiah jenis asuransi jiwa berbeda dengan asuransi
kesehatan. Namun, jika dilihat dari obyeknya sama-sama manusia, usaha asuransi jiwa dan
kesehatan sangat erat hubungannya. Itulah sebabnya dalam UU tersebut hanya disebutkan
bahwa usaha asuransi jiwa dapat menjual asuransi kesehatan sementara penegasan itu tidak
perlu dilakukan karena asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian. Jadi perusahaan
asuransi kerugian secara otomatis boleh menjual asuransi kesehatan.
Produk asuransi kesehatan tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
produk asuransi kumpulan/grup dan produk perorangan. Produk asuransi kumpulan dapat
dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu:
4
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI,
1993.
2. Produk rancangan khusus (taylor made) yang dibuat atas dasar permintaan pembeli
yang menginginkan pelayanan tertentu dijamin. Misalnya, ada perusahaan yang
meminta jaminan rawat inap sampai 90 hari tanpa memperhitungkan jumlah hari
rawat di ICU. Ada perusahaan yang menginginkan transplantasi ginjal dan sumsum
ditanggung. Bahkan ada perusahaan yang menginginkan tidak ada batasan.
Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan dapat sangat beragam
yang mencerminkan kombinasi dari jaminan yang diberikan, cara pembayaran
manfaat/benefit, besarnya biaya/beban sendiri, dan jaringan PPK yang boleh digunakan. Jika
dihitung kombinasi dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis dapat tersusun
lebih dari satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung dari berbagai
kombinasi, seperti :
1. Cakupan pelayanan yang ditanggung yang dapat bervariasi dari pelayanan promotif-
preventif sampai pelayanan jangka panjang (long term care) (lihat gambar 4.2).
2. Besarnya biaya sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur biaya (co-
payment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per perawatan, per
penyakit, atau total manfaat setahun.
3. Cara pembayaran manfaat/benefit yang dapat berupa uang tunai tanpa terkait dengan
pelayanan yang diberikan, penggantian biaya dengan atau tanpa batas maksium per
pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung membayar dulu di muka,
pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak pembayaran khusus seperti kapitasi.
4. Pilihan PPK seperti dokter praktek, dokter spesialis, rumah sakit, kelas perawatan,
PPK tertentu yang telah dikontrak atau bebas memilih dimana saja, tanggungan
pelayanan kesehatan di dalam dan di luar negeri.
5. Pelayanan tambahan lain yang digabungkan yang dapat berupa santunan kecelakaan
diri, sakit pada waktu bepergian ke luar negeri, santunan kematian, ongkos ambulan,
biaya repatriasi/evakuasi, santunan cacat tetap, dan pengembalian premi
Promotif
Sehat
Pencegahan
Pengobatan segera
Klinis
Pengobatan berhasil
Ganggu
kegiatan Area hari produktif yg hilang
Pada umumnya paket jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah
sebagai berikut:
1. Rawat Inap di Rumah Sakit
2.Rawat Jalan
Rawat jalan dokter umum maupun dokter spesialis biasanya ditanggung dengan plafon
penggantian tertentu.
Ada produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk menjamin perawatan
oleh dokter spesialis
Biaya obat atau pemeriksaan penunjang ditanggung dengan plafon tertentu per kali atau
per tahun.
Asuransi kecelakaan diri (AKD) merupakan kombinasi dari asuransi kesehatan dan
jiwa karena jaminan yang diberikan tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan apabila
terjadi kecelakaan. Justeru yang lebih ditawarkan dari AKD ini adalah jaminan cacat tetap
dan jaminan kematian akibat kecelakaan. Biasanya jaminan diberikan dalam bentuk
4. Asuransi Perjalanan
Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai diperdagangkan sejalan
dengan semakin banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan
maupun liburan. Asuransi perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar
negeri. Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan berlaku di
seluruh dunia. Paket jaminannya mencakup biaya perawatan/pengobatan selama perjalanan
yang diberikan dalam bentuk uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan
mencakup santuan kematian.
Beberapa perusahaan asuransi seperti Bringin Life dan Tugu Mandiri sudah
menawarkan produk asuransi kesehatan dengan pembayaran premi sekaligus atau berkala
selama masa kerja. Jaminan diberikan ketika pegawai tersebut memasuki usia pensiun
sampai pegawai tersebut dan pasangannya meninggal dunia. Karena saat ini tidak tersedia
program pemerintah yang menjamin pensiunan mendapatkan pelayanan kesehatan, produk
seperti ini menarik pasar. Namun demikian, banyak pembeli yang belum bisa yakin benar
dengan produk yang ditawarkan karena belum banyak pengalaman.
Rawat inap
Paket Jaminan (Rp)
ITEM A B C D
Biaya Kamar & Makan / Hari 250.000 125.000 75.000 50.000
Aneka Biaya Perawatan RS 10.000.000 5.000.000 3.000.000 2.000.000
Biaya Operasi 10.000.000 5.000.000 3.000.000 2.000.000
Kunjungan Dokter / Hari 62.500 31.250 18.750 12.500
Maksimum santunan per tahun 48.125.000 24.062.500 14.437.500 9.625.000
Rawat jalan
Rawat jalan juga ditanggung dengan jaminan maksimum per tahun dan rincian
sebagai berikut:
PAKET/PLAN A B C D
Rawat jalan maksimum per tahun 1.250.000 1.000.000 750.000 500.000
c. Penunjang Diagnostik :
Pemeriksaan laboratorium klinik dan pelayanan radiology
Pelayanan elektromedis : EEG, EKG, EMG dan USG
Pelayanan Endoskopi, CT Scanning dan MRI
e. Pelayanan Rehabilitasi
Kacamata
Gigi palsu
Alat Bantu dengar
Alat kesehatan : pin, srew
Perkembangan penerimaan premi dan klaim usaha asuransi kesehatan adalah seperti
tercantum dalam tabel 4.2. Tampak dalam tabel tersebut perkembangan penerimaan premi
oleh perusahaan asuransi kerugian, yang menggabungkan laporan AKD dengan asuransi
kesehatan. Tampak pertumbuhan penerimaan premi melonjak tajam antara tahun 1996-1997.
Belum jelas benar apa yang menyebabkan lonjakan penerimaan premi AKD dan Kesehatan
ini. Namun setelah tahun 1997 terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24%
setahun.
Jika dibandingkan dengan penjualan premi AKD dan Kesehatan yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi jiwa, tampaknya perusasaan asuransi jiwa lebih mampu memanfaatkan
peluang asuransi kesehatan ini. Di tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa mampu
mengumpulkan premi sebesar hampir Rp 180 milyar dari produk AKD dan Rp 222 milyar
dari asuransi kesehatan murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan asuransi nasional
dengan patungan, tampaknya perusahaan patungan dengan asing lebih mampu mengeruk
premi asuransi kesehatan. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan konsumen dan
tingkat keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan asuransi Amerika
yang telah banyak berpengalaman menjual asuransi kesehatan. Jumlah premi asuransi
kesehatan tersebut tidak termasuk dengan besarnya premi yang diterima oleh PT Askes dari
penjualan produk asuransi kesehatan komersialnya yang mencapai Rp 100 milyar tahun lalu.
Tabel 4. 2.
Perkembangan volume asuransi kesehatan dan kecelakaan diri yang dijual perusahaan
asuransi kerugian 1995-1999 (Rp juta)
Premi Pertumbuhan
Tahun
1995 50.231
1996 54.243 8,0%
1997 145.568 168,4%
1998 180.130 23,7%
1999 225.049 24,9%
Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999
Tabel 4.3
Perkembangan penerimaan premi AKD dan asuransi kesehatan 1998-1999
(Rp juta)
5.1. Pendahuluan
*
Istilah moral hazard umum digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk
memanfaatkan informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh
pengelola asuransi.
Kata asuransi pernah ‘diharamkan’ karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata
asuransi pernah dihindari untuk ‘membenarkan’ bahwa suatu upaya tidak terkena aturan
UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah ‘jaminan’ yang diperdebatkan sebagai
‘bukan asuransi’. Asuransi sebagai suatu instrumen sosial mempunyai mekanisme
transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal dalam mengatasi berbagai
risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala sesuatu yang
mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah sama sekali
dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi harus mendapat tempat yang baik. Dalam
bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak, antara lain
oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin banyak orang
memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan yang
mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia international
telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur maupun dalam
penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan asuransi
selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah
AKN (National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan,
khususnya di dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada,
Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi
Kesehatan Nasional sebagai suatu mekanisme transfer risiko dan pengumpulan dana
(pooling risks), kegotong-royongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing)
pelayanan kesehatan bagi penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya
memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UUD pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2).
Negara tetangga Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN.
Pasa saat ini, AS mempunyai asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk
diatas 65 tahun saja yang disebut Medicare part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang
berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi
kesehatan. Ini merupakan suatu bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang
kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan
belanja kesehatan per kapita lebih dari US$ 5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya
negara maju yang tidak mampu memiliki asuransi kesehatan nasional.19
Sebagai sekutu Jerman dalam Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola
sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan berbagai modifikasi.
Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko Hoken) digunakan untuk
penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-employed), pensiunan
swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya. Penyelenggara AKN
diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di
sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara terpisah. Sesungguhnya
Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan sejak tahun 1922. Akan
tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjamin
penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun
mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk memperluas jaminan kesehatan kepada seluruh
penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan asuransi
kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang,
Negara Asia yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan
melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat
UU AKN dikeluarkan di tahun 1995 yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang
merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan. Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan
menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai
swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang sebelumnya dikelola secara sendiri-
sendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan yang
telah menjamin akses yang sama kepada seluruh penduduk, dengan jaminan komprehensif
yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus meningkat diatas 70%. Sistem AKN di
Taiwan merupakan salah satu sistem yang menanggung pengobatan tradisional Cina
dalam paket jaminan yang diberikan kepada pesertanya.35,36,37,38,39
Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976 dengan mewajibkan
perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian diperluas sampai
pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi kesehatan. Cakupan
askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan pada tahun 1989
seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa, karena dalam
waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi
penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang
bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national
dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi
kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para
pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa
keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul
karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi
memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan kesehatan karyawannya.
Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan
kini sedang dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya
sudah mencakup seluruh penduduk (universal coverage). Usulan penyelenggaraan AKN
di Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi
pembayaran kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43 Asuransi kesehatan di
Muangtai terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya
amat liberal dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup
orang tua dan mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan
komprehensif melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan
pekerja informal memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah
lembaga independen yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh
penduduk di luar pegawai swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan
kesehatan komprehensif dengan hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau
dirawat, termasuk perawatan intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan demikian, seluruh
penduduk Muangtai kini juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih
produktif membangun negaranya.
Dari beberapa situasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah bahwa AKN merupakan
suatu alat menjamin cakupan universal yang semakin banyak diterapkan oleh negara maju
maupun berkembang. Sistem AKN menjadi suatu alternatif sistem NHS yang semakin
menunjukkan kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat
diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU JS seperti
Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana AKN dapat dikelola
seluruhnya secara sentral atau mengakomodir pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana
kemampuan manajemen suatu negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan
efisiensi yang tinggi sehingga dana yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih
optimal. Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun berkembang.
Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling dan sharing health
risks merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya sudah lama dikenal di
dunia. Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari sebuah sistem jaminan sosial54,55,56
masih belum difahami oleh banyak pihak. Sampai saat inipun, belum banyak pihak—baik
di kalangan intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi sosial.
Masih banyak pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu asuransi untuk orang
miskin. Kata-kata ‘sosial’ di Indonesia telah melekat dengan ‘orang miskin’ yang tidak
mendapat prioritas atau dengan penyelenggaraan suatu kegiatan yang ‘tidak didasarkan
pada perhitungan ekonomis’. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial
adalah asuransi yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan segala yang
negatif. Rancang bangun asuransi sosial di Indonesia selama ini telah menyuburkan
kesalah-fahaman tersebut. Disinilah perlunya pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di
Indonesia. Sesungguhnya definisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian,
semua definisi tersebut mempunyai empat elemen yang sama, yaitu:57,58,59,60,61
2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang dijamin adalah setara dengan kebutuhan
setiap peserta. Sesungguhnya asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar
sehingga manfaat asuransi seringkali disebut ‘perlindungan dasar’. Pemenuhan
kebutuhan dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi.
Namun demikian, pemahaman tentang ‘perlindungan dasar kesehatan’ seringkali
Apa sesungguhnya kebutuhan dasar? Secara filosofis kebutuhan dasar dapat kita
fahami sebagai kebutuhan seseorang yang hidup yang apabila tidak dipenuhi ia tidak akan
mampu berproduksi. Atas dasar asumsi inilah, batas garis kemiskinan ditetapkan. Akan
tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line) dapat bervariasi besar di antara berbagai
negara karena tingkat penghasilan dan pemahaman tentang kebutuhan dasar yang terus
berkembang. Di Indonesia, kebutuhan dasar pangan seseorang dipatok 2.100 kalori sehari.
Kebutuhan kalori tersebut, dengan minimum 44 gram protein, dapat dipenuhi dengan
biaya Rp 8.500 per hari apabila ia membeli bahan mentah dan memasak sendiri. Jelas
makan di restoran yang berharga Rp 15.000 per kali makan saja, bukanlah kebutuhan
dasar. Kebutuhan dasar sandang dan papan yang memungkinkan seseorang berproduksi,
bersekolah atau bekerja, mudah dihitung. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar pangan, sandang, dan papan tersebut kita sebut orang miskin. Apakah mereka yang
tidak tergolong miskin selalu mampu memenuhi kebutuhan perawatan atau pembedahan?
Pasti tidak! Jika seseorang yang membutuhkan perawatan intensif tidak dirawat, apakah ia
bisa berproduksi? Pasti tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan kebutuhan dasar
kesehatan. Apakah perawatan di ICU, pengobatan kanker, atau hemodialisa (cuci darah)
bukankah kebutuhan-kebutuhan dasar? Seseorang bahkan dapat meninggal, bukan hanya
tidak berproduksi, jika kebutuhan akan pengobatan atau perawatan tersebut tidak
dipenuhi. Oleh karenanya lebih mudah menetapkan besaran jaminan pensiun dasar
daripada menetapkan jaminan kesehatan dasar, apalagi kemudian ada interest bagi pihak
swasta untuk menjual asuransi diatas kebutuhan dasar.
Di Indonesia terdapat banyak orang yang salah faham tentang arti kebutuhan dasar
pelayanan kesehatan sebagai pelayanan dasar rawat jalan tingkat pertama atau pelayanan
kesehatan yang murah biayanya seperti pengobatan di puskesmas. Rawat jalan rujukan
dan rawat inap sering disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang kemudian
diasosiasikan sebagai kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama sekali
bertentangan dengan asas kemanusiaan dan asas kebersamaan atau tanggung-jawab
bersama. Kalau kita renungkan kembali makna kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang
memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru.
Faham yang banyak dianut adalah bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan
tingkat kesulitan atau tingkat biaya pelayanan kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan
Dengan konsep dasar tersebut, maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya
kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai
dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak tergolong
miskin, yang masih mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan,
sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka itu, jika tidak
dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis adalah miskin (medically
poor). Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan negara-negara yang
berorientasi kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis
untuk semua penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya dibutuhkan AKN yang
menjamin seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta menunjukkan bahwa
negara miskin sekalipun, yang memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri
Lanka dan Kuba, mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status kesehatan di
negara kita yang cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar yang
memberatkan masyarakat.
Itulah pula sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan
perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijamin. Sejak pertama kali diundangkan,
Medicare di Amerika (semacam AKN untuk penduduk usia diatas 65 tahun dan penduduk
dibawah usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya menanggung perawatan
rumah sakit dan perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah
dijelaskan di muka. Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di
RS. Inggris dan banyak negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah sakit tanpa
harus membayar bagi penduduknya.65 Malaysia mengikuti pola NHS Inggris dimana
setiap penduduk yang perlu perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara
dengan Rp 6.000) per hari, sudah termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif—
bahkan jika diperlukan bedah jantung sekalipun. Banyak negara-negara lain juga berbuat
yang sama.66,67,68 Semua itu dilandasi pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar kesehatan
bukanlah kebutuhan akan pelayanan yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR
hendaknya memahami benar hal ini dan tidak terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang
mempunyai interes dalam berbisnis asuransi kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini
pernah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan
kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan
bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi kerja sendiri-sendiri membeli asuransi
kesehatan untuk karyawannya, seperti yang dibenarkan dalam PP tersebut tidak akan
menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota keluarganya dapat memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan mereka.69 Hendaknya hal ini tidak terulang lagi dalam PP yang mengatur
jaminan kesehatan dalam UU SJSN.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita belum sanggup malaksanakan AKN
seperti yang dilakukan Malaysia, SriLanka, Muangtai atau Filipina. Sesungguhnya kita
belum memiliki visi dan faham yang sama dan belum mempunyai kemauan untuk itu.
Bukan belum sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang
dirumuskan dari visi dan kemauan yang sama tersebut. Bukankah Malaysia dan Srilanka
telah memulai kebijakan itu puluhan tahun yang lalu, di kala kondisi ekonominya lebih
buruk dari keadaan kita sekarang. Keraguan dan komentar-komentar tentang belum
saatnya kita memikirkan AKN merupakan pandangan yang kurang memperhatikan
kebutuhan akan asuransi kesehatan.
Kebutuhan akan asuransi dapat dilihat dari data-data survei Susenas maupun
survei-survei rumah tangga lainnya. Data-data survei secara konsisten menunjukkan
bahwa untuk membiayai rawat inap seorang anggota keluarga, sebuah rumah tangga
Indonesia harus mengeluarkan lebih dari sebulan gajinya.70,71 Tidaklah mengherankan jika
pelayanan rawat inap di rumah sakit pemerintah sekalipun, lebih banyak dinikmati oleh
mereka yang kaya. Data menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat di RS
publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk
termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari rawat.72 Penduduk di kelompok menengah ke
bawah merupakan penduduk yang mempunyai beban berat memikul biaya rumah sakit
yang mencapai 2-4 kali penghasilannya sebulan.73 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah jelas memberikan pedoman terhadap kasus biaya kesehatan katastropik untuk
mengembangkan asuransi kesehatan74 sebagai upaya mencegah penurunan produktifitas
penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga
dapat diorganisir dalam sebuah sistem asuransi kesehatan dengan membayar 5-6%
penghasilannya sebulan, mereka tidak akan pernah menghadapi risiko finansial yang dapat
menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura mewajibkan setiap rakyatnya menabung 6-
8% sebulan untuk biaya kesehatan.75 Korea, Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico,
Ada pihak-pihak yang memandang bahwa sesungguhnya kita telah memiliki AKN
atau NHS karena pemerintah sudah mensubsidi lebih dari 70% biaya puskesmas dan
rumah sakit. Yang kini menjadi beban masyarakat adalah urun biaya (cost-sharing) saja.
Sesungguhnya ide untuk meringankan beban biaya kesehatan rumah tangga memang
sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam implementasinya kita telah terjebak pada
semantik ‘terjangkau’, pada sistem yang kita ciptakan yang kurang memahami aspek
uncertainty atau unpredictability biaya kesehatan di tingkat rumah tangga. Pembangunan
puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain merupakan upaya agar pelayanan
kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar penduduk secara geografis. Pemerintah
daerah menetapkan tarif pelayanan dengan prinsip “terjangkau” atau “affordable” oleh
semua pihak. Tetapi kita terjebak pada satu tarif jasa per pelayanan, yang tidak mungkin
kita memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan pelayanan
tersebut terjangkau, kalau biaya akhir tidak pernah diketahui jumlahnya. Sebagai contoh,
kita tidak mungkin memastikan biaya akhir seorang yang dirawat di RS pemerintah kelas
III yang tarifnya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per hari--tidak termasuk biaya obat dan
tindakan operasi. Berapa yang harus dibayar seorang yang dirawat selama 20 hari, dengan
Penerapan konsep ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) dalam
penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah) sesungguhnya juga
tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang berat, jika tarif
ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak menyatakan
bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ATP/WTP masyarakat dan
karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu kekeliruan konsep
permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang “tidak pasti”. Konsep WTP
yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam menghitung
opportunity losses80,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide
pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan
puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya
asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat
membayar, maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atau forced to pay
(FTP) dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar.
Pertanyaan yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu, “apakah manusiawi dan
normal jika pemerintah memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di
luar kemampuannya?” Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah
penduduk miskin dan penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah sakit
Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas menunjukkan bahwa
terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta penduduk Indonesia,
dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai kebutuhan hidup yang paling mendasar.
Kebijakan publik yang ada sekarang ini belum mendukung terpenuhinya hak-hak
penduduk dalam bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal 28H(1).
Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu keharusan. Langkah
yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU SJSN adalah langkah yang
sangat tepat.
Kalau kita mengikuti berita atau artikel di surat kabar, sudah berulang kali kita
baca beberapa pandangan orang asing yang menolak sistem yang mewajibkan asuransi
kesehatan. Beberapa kali penulis terlibat perdebatan dengan the International Bussiness
Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan menolak AKN. Apa pasalnya?
Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin memperoleh keuntungan yang besar dengan
sedikit mungkin mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan USAID malah
pernah menyampaikan analisis bernada menakut-nakuti kepada Menko Perekonomian,
dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan dalam waktu dekat, maka akan
terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah benar
demikian? Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka hanya
ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah bangsa Indonesia. Dalam
diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap pernyataan mereka, tampak jelas bahwa
mereka sama sekali tidak mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem
kesehatan. Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri mereka
tak faham. Tidak pernah terjadi di dunia ada program jaminan sosial atau asuransi sosial
yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita memang harus berhati-hati dalam menanggapi
komentar orang asing, bisa jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap
kemajuan bangsa Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas inlander masih kita
miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing, hanya karena ia
seorang bule!
Buruh dan Pengusaha juga banyak yang terpengaruh provokasi penolakan AKN
dan kemudian menyatakan menolak atau meminta agar pembahasan RUU SJSN ditunda.82
Dalam sebuah loka karya pembahsan RUU SJSN di Jakarta, tampak jelas di mata penulis
bahwa banyak serikat pekerja telah ‘ditunggangi’. Dengan lantang mereka menolak RUU
SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek. Ironinya, apa yang mereka tuntut sudah
jelas tercantum dalam RUU SJSN, sesuai dengan apa yang mereka tuntut! Sebuah sistem
jaminan sosial memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik bisnis. Saya
Salah satu kendala dan tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman
tentang konsep asuransi sosial, baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun
tenaga kerja. Pemahaman yang rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial
kita, askes pegawai negeri dan askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menjadi
lebih negatif. Kinerja PT Askes, yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang
sangat baik di kalangan yang pernah menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh
pegawai negeri golongan atas yang justeru tidak pernah menggunakannya. Sulitnya
PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai negeri dan pensiunan, antara lain karena
tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak memadai untuk mendanai seluruh
pelayanan yang harus disediakannya. Akibatnya, di masa lalu pegawai negeri masih harus
membayar urun biaya yang cukup besar.84 Untunglah dalam dua tahun terakhir, Askes
telah bekerja keras untuk mengubah persepsi yang keliru tersebut. Demikian juga sikap
pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai mindset kewajiban menjadi
peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan, menyebabkan rendahnya partisipasi
mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap pengambil keputusan dan masyarakat yang
sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di negara lain menjadi tantangan besar.
Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang memihak publik harus terus digalakkan.
Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah pelanggaran
UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli melarang usaha
bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola suatu program
untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak
memonopoli pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan
keamanan. Pengelolaan jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare),
Australia (Medicare), Taiwan (Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga
dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang
monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu
yang pengelolaannya bersifat monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian
publik yang efektif, agar kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas
dan terjadi good governance.
Kita juga harus menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja yang bekerja pada
sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri dengan atau tanpa
dibantu keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu memperluas asuransi
kesehatan kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota keluarga dan orang tua
mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk Indonesia. Hal tersebut
sudah akan berdampak besar bagi pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi kesehatan kepada
pekerja di sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya pemerintah untuk
memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat, misalnya dengan
menetapkan tarif tetap untuk suatu episode pengobatan ketimbang untuk tiap jenis
pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia atau Muangtai, harus tetap dipertahankan
sampai seluruh penduduk menjadi peserta AKN.
Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang
meletakan fondasi AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan
terbesar adalah ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan
sosial. Di Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance)
masih sangat kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang
difahami. Pendidikan kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman
Sebuah sistem jaminan sosial ataupun AKN merupakan sebuah pekerjaan besar
yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya sebagian kecil orang dalam waktu singkat. Sebuah
jaminan sosial ataupun AKN adalah suatu alat yang handal dalam meningkatkan tingkat
kesejahteraan rakyat dan dalam melakukan redistribusi pendapatan dalam mewujudkan
keadilan sosial. Oleh karenanya, UU SJSN yang merumuskan AKN sebagai salah satu sub
sistemnya akan sangat dipengaruhi oleh komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan
pelaku bisnis, dukungan para pekerja, dan dukungan para profesi kesehatan. Di
penghujung Kabinet Gotong Royong tampak secercah harapan terwujudnya sebuah SJSN.
Komitmen Pemerintah dan DPR sudah tampak, meskipun belum meluas.
Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah ada kemajuan besar dalam
perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya kesejahteraan yang semakin merata.
Perubahan UUD yang secara eksplisit mencantumkan hak rakyat terhadap jaminan sosial
dan pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan jaminan sosial bagi
seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin sadar akan pentingnya
SJSN. Sampai dokumen perubahan UUD, memang kemajuan tersebut sudah terlihat.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah benar-benar menyadari bahwa perubahan
UUD yang memaksa negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk mewujudkan sebuah
SJSN
Pada waktu penyusunan RUU SJSN, banyak pihak yang sangsi bahwa RUU
tersebut akan selesai dibahas. Pada pidato pengukuhan penulis di Universitas Indonesia,
penulis yakin betul bahwa RUU SJSN akan selesai dibahas sebelum penggantian anggota
DPR hasil Pemilu 2004. Banyak pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di Komisi
VII—menurut pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan dari
kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka sudah
membuat dua UU inisiatif yang sama-sama berupaya memperbaiki dan menempatkan
sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang konsisten dengan prinsip-prinsip
universal sebuah jaminan sosial. Belum pernah terjadi anggota DPR dari berbagai fraksi
secara sadar dan aklamasi berinisiatif mengusulkan UU Asoskenas dan UU Revisi UU
Jamsostek, yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sama dengan
UU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini merupakan amanat Sidang
Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap bahwa UU SJSN akan dapat disetujui
sebelum Sidang Umum yang akan datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para anggota
Dewan juga berupaya sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan amanatnya sendiri
Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari komitmen pemerintah
(termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan lembaga
internasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health
Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the
Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan
suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh
ILO Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual87, dalam bentuk
laporan sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping
itu, WHO Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali mensponsori berbagai studi,
seminar, loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan
teknis di Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank
Pembangunan Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembaharuan
sistem pembiayaan publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan
persetujuan pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam
pinjaman yang diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam
pemahaman masalah dan opsi-opsi perbaikan sistem jaminan sosial di Indonesia.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan daya saing
Indonesia di pasar internasional. Bahkan, IBC—menurut penulis dengan nada menakut-
nakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan berinvestasi
di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri baru, kontribusi jaminan
sosial—termasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di
Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jaminan sosial atau tunjangan karyawan
(employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menambah beban
pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah
tenaga kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya.88 Jika sebuah AKN dijalankan, maka
sesungguhnya tidak banyak beban tambahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah
efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan
mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat
membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita harus melihatnya tidak hanya
dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa
aman, produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga
sekalipun, jika harus mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran
rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Harus diingat bahwa pengeluaran
tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk
membiayai diri mereka sendiri.
Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan membuat sebuah
usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik tahun 1993 sampai
tahun 2000. Ternyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita yang cukup berarti
sejak diundangkan UU Jamsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek sudah mewajibkan
pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2% kontribusi tenaga
kerja). Ternyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinya—beban tersebut tidak
mengurangi kemampuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis lebih
lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi
menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari biaya
produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang sepenuhnya
ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap peningkatan biaya
produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya produksi sebesar
0,4%. Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada pemberi kerja
dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan bahwa di pasar
Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang mewajibkan
pemberi kerja berkontribusi lebih besar dari itu.
Sebuah sistem AKN sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses
pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang
hidup di muka bumi ini. Sebuah sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek
kehidupan manusia lain dan bahkan kepada good governance, baik dalam pemerintahan
maupun dalam mengelola suatu badan usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN
juga akan berdampak pada peningkatan kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN
hubungan kontribusi wajib dengan manfaat yang diterima oleh peserta akan sangat dekat.
Hal ini merupakan suatu media pendidikan kepatuhan penduduk dalam memberikan
kontribusi untuk kepentingan bersama.
Namun demikain, kita harus menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai
cakupan universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang
telah dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau
penerimaan negara dari pajak relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum
sampai 5% penduduk Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin
membayar pajak, sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS.
Think big, start small, act now! Itulah yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh
menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas kesehatan siap, atau sampai kemampuan
manajemen memadai. Pada waktu Otto von Bismark memperkenalkan asuransi sosial
kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita
sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 10% dari total tenaga
kerja pada waktu itu.91 Pada waktu Inggris memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan
kemudian mengubah menjadi NHS di tahun 1948, kondisi ekonomi dan fasilitas
kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang. Pada waktu Presiden Rosevelt
di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935, yang kemudian diamandemen
dengan manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan
Amerika tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu Malaysia memulai sistem
NHSnya, atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum sebaik yang mereka
miliki sekarang.
Akan tetapi memang kita harus menyadari berbagai keterbasan yang kita miliki.
Kita harus melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan realistis. Ambisi yang terlalu
besar hanya akan menghancurkan sistem yang akan kita bangun. Fasilitas kesehatan dan
mutu pelayanan yang disediakannya harus terus diperbaiki, sambil kita memperluas
cakupan kepesertaan. Manajemen AKN harus terus dikembangkan untuk menjamin bahwa
pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan harapan peserta dan
kemudian seluruh penduduk. Evaluasi harus terus menerus dijalankan agar kita dapat terus
memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak-puasan harus terus
diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil baik jika semua
pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan dengan menjadi
peserta AKN.
Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian besar rakyat kita tidak
akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara kita pun bisa jadi tidak
mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat kita memerlukannya,
jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita tidak boleh
mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan hanya karena
kita belum pernah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah hakikat asuransi,
menjamin masa depan, masa dimana kita belum pernah mengalaminya. Inilah pula
tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa dirinya
suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem AKN.
Kita memang harus menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk
Perjalanan jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai
dari pemasangan batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan.
Sebuah AKN yang besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia
menjadi bangunan besar.
Rujukan
1
Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY, USA. 1993
2
Henderson JW. Health Economics and Policy. 2 nd Ed. South-Western Thomson Learning.
Mason, Ohio, USA 2002
3
Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam Asuransi Kesehatan. MKI Juni 2001
4
lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003
5
Azwar, A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta, 1996
6
Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta, 1995
7
Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia,
Jakarta.1997
8
Thabrany. H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
1999
9
HIAA. Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997
10
Dixon A and Mossialos E. Health System in Eight Countries: Trends and Challenges. The
European Observatory on Health Care Systems. London, 2002
11
Henderson JW. Op Cit
12
Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. 3 rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA.
1988
13
Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood, New
Jersey, USA, 1980
14
Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976
15
Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica, CA, USA 1996
16
Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care
Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46, 2002
17
Vayda E dan Deber RB. The Canadian Health-Care System: A Devdelopmental Overview.
Dalam Naylor D. Canadian Health Care and The State. McGill-Queen’s University Press.
Montreal, Canada, 1992
18
Roemer MI. Health System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993
19
Thabrany, H. Kegagalan Pasar. Op Cit
20
Keintz RM. National Health Insurance and Income Distribution. D.C. Health and Company,
Lexington, USA, 1976
21
Rubin, HW. Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barron’s Educational Series, Inc.
Hauppauge, NY, USA 2000
22
Dixon and Mossialos. Op Cit.
23
Stierle. F. German Health Insurance System. Makalah disajikan pada Seminar Asuransi
Kesehatan Sosial, Jakarta 2001
6.1. Pendahuluan
Sebelum kita memulai membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan dibahas
secara ringkas masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah masukan
(input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan kesehatan, baik yang
bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif. Tidak ada dikotomi
pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif. Semua
Pelayanan medis, khususnya di rumah sakit, mempunyai dilema yang tidak dimiliki
oleh pelayanan lain seperti pada pelayanan hotel, bengkel mobil, dan pelayanan restoran.
Pelayanan medis di rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan setiap orang di era
modern, paling sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan medis di rumah sakit bersifat
tidak pasti (uncertain) (Feldstein, 1998; Phelps ; Rappaport;), baik waktu, tempat, maupun
besar biaya yang dibutuhkan (Thabrany, 2005).1 Karena sifat pelayanan yang tidak pasti,
maka tidak semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk membiayai pelayanan
tersebut. Di lain pihak, rumah sakit yang tidak mendapat pendanaan sepenuhnya dari
pemerintah mengalami dilema harus menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan seperti jasa
dokter, bahan medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik, biaya pemeliharaan gedung,
dan biaya-biaya modal atau investasi lainnya. Dalam pelayanan rumah sakit, sering terdapat
bad debt, yang merupakan biaya rumah sakit yang tidak bisa ditagih kepada pasien atau
keluarga pasien. Agar rumah sakit bisa terus menyediakan pelayanan, besarnya bad debt
harus dikompensasi dengan penerimaan lain, yang seringkali dibebankan, baik secara
eksplisit maupun diperhitungkan dalam rencana perhitungan pentarifan, kepada pasien lain
yang mampu membayar atau yang dibayar oleh majikan pasien atau oleh perusahaan
asuransi.
Pada garis besarnya, biaya pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari tahun
ke tahun di negara manapun. Menurut Donald F Beck (1984)2 peningkatan biaya pelayanan
medis bersumber dari dua kelompok utama yaitu inflasi biaya normal dan biaya pelayanan
yang baru dan lebih baik. Komponen inflasi biaya rumah sakit mencakup dua pertiga
kenaikan biaya rumah sakit dan sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan teknologi
baru yang lebih baik dan lebih mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985)3 menyatakan
Apa yang disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat tampak jelas kita amati di
Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan menggariskan tarif pelayanan dengan
mempertimbangkan biaya satuan (unit cost). Berbagai buku pedoman dan pelatihan-pelatihan
yang diberikan di berbagai perguruan tinggi telah menerjemahkan biaya satuan dalam satuan
terkecil seperti konsultasi dokter, biaya imunisasi, biaya pasang pen, dan sebagainya. Karena
dokter dibayar untuk tiap konsultasi, bukan untuk satu episode pengobatan sampai pasien
sembuh, maka dokter akan senang memberikan konsultasi atau visite yang lebih banyak.
Semakin banyak dokter visite kepada pasien yang dirawat, semakin banyak penghasilannya.
Di sisi lain, pasien menilai bahwa dokter yang sering visite adalah dokter yang baik dan
pasien lebih senang jika dokter lebih sering visite. Jika pasien harus membayar sendiri,
hampir tidak pernah pasien menolak visite dokter karena menyadari bahwa biayanya akan
tambah mahal. Pasien juga tidak mampu mengetahui apakah visite dokter perlu sesering itu
atau cukup sekali dua kali. Apabila perawatan pasien dibayar oleh majikan atau asuransi,
pasien tambah senang dengan semakin banyak visite dokter, karena tidak ada beban biaya
yang akan dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai bahwa dokter tersebut baik
sekali. Sang dokter pun semakin senang, karena penghasilannya akan bertambah. Maka
terjadilah kolusi sempurna yang menyebabkan biaya perawatan tambah mahal.
Kolusi dokter-pasien dalam sebuah sistem dimana pasien tidak membayar sendiri
sebagian besar biaya kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari kemajuan
teknologi. Teknologi sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang suara telah digunakan
dalam diagnosis suatu penyakit seperti CT Scan, Gama Knife, dan USG tiga dimensi dan
berwarna. Dokter semakin suka dengan perkembangan teknologi tersebut karena banyak hal
yang dahulu tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat. Namun harus
disadari bahwa teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset penemuannya ditambah
marjin keuntungan pembuat alat-alat canggih memang tinggi. Dokter tidak bertepuk sebelah
tangan, karena pasien yang mendapat pelayanan teknologi canggih yang bisa
didemonstrasikan di hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil akan sangat senang
diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewarna. Yang tidak diketahui
oleh pasien adalah harga yang harus dibayar atas kesenangan dirinya dan kesenangan dokter
yang menggunakan alat tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan lebih baik menambah
tingginya biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit.
Tingginya biaya kesehatan yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan
menyebabkan rumah sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi)
semakin tinggi. Apalagi jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for profit) dimana
pemodal menuntut uang yang ditanam untuk membangun rumah sakit dan berbagai biaya
yang terkait dengan itu kembali dalam jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung
dimuka, sistem pembayaran jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru diketahui
besarannya setelah seluruh pelayanan diberikan kepada pasien), lebih mendorong tingginya
tagihan yang harus dibayar penjamin atau pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang
menjadi biaya bagi pihak asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam
Pembayaran retrospektif sesuai namanya berarti bahwa besaran biaya dan jumlah
biaya yang harus dibayar oleh pasien atau pihak pembayar, misalnya asuransi atau
perusahaan majikan pasien, ditetapkan setelah pelayanan diberikan. Kata retro berarti di
belakang atau ditetapkan belakangan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran
retrospektif merupakan cara pembayaran yang sejak awal pelayanan kesehatan dikelola
secara bisnis, artinya fihak fasilitas kesehatan menetapkan tarif pelayanan. Oleh karenanya
cara pembayaran ini disebut juga dengan cara pembayaran tradisional atau fee for service
(jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara pembayaran jasa per pelayanan sering disebut
dengan istilah cara pembayaran out of pocket (dari kantong sendiri).
Penggunaan istilah cara pembayaran dari kantong sendiri (DKS) untuk cara
pembayaran jasa per pelayanan (JPP) sesungguhkan tidak tepat. Cara pembayaran jasa per
pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci menurut pelayanan
yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visite dokter, infus, biaya ruangan, tiap jenis obat
yang diberikan, tiap jenis pemeriksaan laboratorium, dsb. Sedangkan DKS merupakan
sumber dana untuk membayar secara JPP. Pembayran DKS dapat berbentuk JPP dan dapat
juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia, seorang pasien yang berobat di
RS publik (RS pemerintah) hanya membayar 3 RM per hari (setara dengan Rp 6.300 di tahun
2005) untuk setiap hari perawatan, meskipun perawatan tersebut merupakan perawatan sakit
ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal. Jumlah pembayaran DKS sendiri itu
sudah termasuk obat-obtan dan segala macam tindakan yang diberikan kepada pasien. Di
Muangtai, pasien hanya membayar 30 Baht per episode perawatan, artinya sampai pasien
pulang dari rumah sakit tanpa memperhatikan jumlah hari perawatan. Jadi cara pembayaran
JPP tidak selalu sama dengan cara pembayaran DKS. Selain DKS, pembayaran JPP dapat
dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk seorang karyawan atau anggota keluarga karyawan
tersebut yang menjadi tanggungan perusahaan. Pembayaran JPP juga dapat dilakukan oleh
perusahaan asuransi yang menjadi penanggung pembayaran seorang pasien yang telah
Dari sisi pengendalian biaya kesehatan, cara pembayaran JPP ini mempunyai
kelemahan karena fasilitas kesehatan maupun dokter akan terus dirangsang (mendapat
insentif) untuk memberikan pelayanan lebih banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang
diberikan semakin banyak fasilitas kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Jangan heran
kalau pada beberapa rumah sakit, lima atau enam dokter spesialis berbeda melakukan visite
kepada seroang pasien yang sama setiap hari. Semakin banyak visite dokter, semakin banyak
dokter tersebut memperoleh jasa atau penghasilan. Begitu juga dengan jenis tindakan
diagnosis seperti laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih untuk setiap jenis
pemeriksaan. Apabila dokter atau bahkan perawat—pada beberapa kasus mendapat insentif
(berupa bonus prosentase tertentu dari pemeriksaan), maka dokter atau perawat akan lebih
banyak meminta pemeriksaan lab untuk memantau kondisi medis pasiennya. Padahal visite
atau pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada pasiennya.
Sebagai contoh, visite pemeriksaan gula darah dua hari sekali mungkin juga sudah cukup
untuk proses penyembuhan pasien, akan tetapi karena ada rangsangan uang untuk visite atau
pemeriksaan gula darah setiap hari, maka hal itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral
hazard atau abuse dalam pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian bonus seperti itu
dilarang oleh pemerintah karena pasien atau pihak pembayar dapat dirugikan oleh prilaku
tenaga kesehatan. Kesulitan besar pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah bahwa
pasien tidak memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan sesering
yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran retrospektif
ini mempunyai potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka di seluruh dunia,
pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan melakukan cara pembayaran prospetif
yang akan dibahas kemudian dalam bab ini.
Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara pembayaran dengan biaya satuan
per diagnosis, bukan biaya satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang
diberikan kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh,
jika seorang pasien menderita demam berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama
besarnya untuk setiap kasus demam berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien
dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan
diagnosis keluar pasien. Konsep DRG sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit
mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit
untuk suatu diagnosis. Jika di Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di
tahun 2004 dan dari hasil analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus misalnya
adalah Rp 2 juta, maka setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah
akan dibayar Rp 2 juta untuk setiap pasien.
Sejarah
Generasi kedua DRG dikembangkan di tahun 1981 untuk menyesuaikan DRG dengan
pengelompokan diagnosis dalam ICD-9-CM. Pada generasi kedua, data yang digunakan
untuk menyusun DRG adalah data nasional dari 332 rumah sakit yang mencakup 400.000
Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat
dalam program Medicare mulai tanggal 1 Oktober 1983 (Beck, 1984; Smith dan Fottler,
1985). Program Medicare adalah program asuransi sosial di Amerika yang dananya
dikumpulkan dari iuran wajib pekerja sebesar 1,45% gaji/penghasilannya ditambah 1,45%
lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang terkumpul tersebut hanya digunakan
untuk membiayai perawatan rumah sakit dan perawatan jangka panjang (long term care) bagi
penduduk berusia 65 tahun keatas dan penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit
yang tidak bisa lagi disembuhkan) seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan
program anak membiayai orang tua yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Federal
Amerika.
Kini sistem pembayaran DRG juga digunakan dalam program Medicare di Australia,
program Medicare di Taiwan, program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit
di Malaysia, dan juga program asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda dengan program
Medicare di Amerika, program Medicare di Australia, Kanada, dan Taiwan merupakan
program asuransi sosial yang dibiayai dari iuran wajib seluruh penduduk yang
berpenghasilan dan digunakan untuk penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota
keluarganya. Program Medicare di luar Amerika merupakan program Asuransi Kesehatan
Nasional (AKN). Indonesia juga sudah merintis program AKN seperti yang diatur dalam
Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Hanya saja program AKN di Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk.
Diharapkan di tahun 2010 nanti, separuh penduduk Indonesia sudah mendapatkan jaminan
kesehatan melalui SJSN.
Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci
tagihan dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien. Akan
tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu pulang dan memasukan
kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah
disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan
asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebelum
tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran DRG dari program DRG di Australia
dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Cara pembayaran DRG di Indonesia sudah menjadi wacana sejak lebih dari 10 tahun
yang lalu. Namun demikian, karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah
sakit oleh pemerintah belum berjalan dengan baik dan belum mencakup sebagian besar
penduduk, maka cara pembayaran DRG hanya sampai wacana. Berbagai seminar dan studi
sudah dilakukan, namun komitmen pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG
untuk mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah sakit
sendiri belum mendapat insentif atau rangsangan untuk menggunakan cara pembayaran
DRG.
Sejarah singkat
Reaksi negatif
1. Jika kapitasi yang dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan
primer, rawat jalan rujukan dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan
insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan
dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit.
Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan risiko
finansial menjadi lebih kecil. Dengan demikian, fasilitas kesehatan primer dan
sekunder dapat mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki.
2. Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu
lebih banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan
JPP yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat
dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi
parsial pihak pembayar ketiga pada akhirnya dapat memikul biaya lebih besar
karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di kemudian hari.
Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan
menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan
tersier menjadi lebih mahal.
Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan
yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran JPP adalah
dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia,
sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika,
pada awal perkembangan HMO di mana keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO
sangat tinggi, penelitian eskperimental dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak
menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan
tetapi terdapat efisiensi sampai 30% (Rand, 1993).9
Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak
diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan
asuransi dan fasilitas kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah
pas, pada titik optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu
pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan
fasilitas kesehatan. Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi
dan fasilitas kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana
yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting
untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai
memang terjadi.
Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara
periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini, sehingga badan
asuransi dan fasilitas kesehatan sama-sama mengetahui besarnya risiko yang ditransfer dari
badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair
(adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan status
kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan badan asuransi dan
fasilitas kesehatan.
Sistem pembayaran per kasus (case rates) banyak digunakan untuk membayar rumah
sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran per kasus ini mirip dengan pembayaran DRG,
yaitu dengan mengelompokan berbagai jenis pelayanan menjadi satu kesatuan (Kongstvedt,
1996). Pengelompokan ini harus ditetapkan dulu dimuka dan disetujui kedua belah pihak,
yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar. Sebagai contoh, kelompok pelayanan yang
disebut per kasus misalnya pelayanan persalinan normal, persalinan dengan sectio, pelayanan
ruang intensif akan tetapi tidak berdasarkan diagnosis penyakit. Rumah sakit akan menerima
pembayaran sejumlah tertentu atas pelayanan suatu kasus, tanpa mempertimbangkan berapa
banyak dan berapa lama suatu kasus ditangani. Sebagai contoh yang paling umum adalah
persalinan normal, misalnya Rp 2 juta per persalinan normal. Rumah sakit akan mendapat
pembayaran sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu persalinan ada persalinan yang memerlukan
infus, partus lama, ada perdarahan lebih dari normal, ada yang dirawat satu hari atau empat
hari.
Seperti juga pada pembayaran DRG, dengan pembayaran per kasus, RS akan
didorong untuk lebih cermat dalam melakukan diagnosis, lebih hemat dalam menggunakan
sumber daya, lebih cermat dalam pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang
lain. Apabila sebuah RS yang telah sepakat mendapat pembayaran Rp 2 juta mampu
melayani suatu persalinan dengan biaya hanya Rp 1,5 juta, maka RS tersebut mendapat
surplus atau laba. Akan tetapi, kalau karena kecerobohan dokter, bidan atau perawat
menyebabkan terjadi suatu komplikasi, sehingga baik si ibu maupun si bayi dirawat lebih
lama dan menghabiskan biaya Rp 3 juta, maka rumah sakit tersebut akan merugi Rp 1 juta
pada kasus itu.
Pembayaran per diem yang berbasis pasar dapat juga dimodifikasi dengan melakukan
kombinasi kasus atau jenis tindakan (Kongstvedt, 1996). Sebagai contoh, RS dapat negosiasi
untuk mendapatkan pembayaran per diem untuk kasus pembedahan yang berbeda dengan
pembayaran per diem untuk kasus tanpa pembedahan. Demikian juga RS dapat bernegosiasi
Global budget (anggaran global) untuk RS banyak dilakukan di Eropa (Sandier, dkk,
10
2002) dan juga di Malaysia. Sesungguhnya global budget merupakan cara pendanaan
rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan asuransi kesehatan nasional dimana RS
mendapat dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dana
ke RS tersebut diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun
sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan, dan kinerja RS tersebut.
Manajemen RS mempunyai keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut untuk gaji
dokter, belanja operasional, pemeliharaan RS, dll. Sistem ini pada umumnya dilaksanakan di
negara-negara dimana penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit tanpa harus
membayar atau membayar sedikit copayment.
6.5. Ringkasan
Rujukan
1
Thabrany, Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan di Indonesia . RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005
2
Beck, Donald F. 1984. Principles of Reimbursement in Health Care . Aspen Publication. Rockville, MD.
USA. p 12
3
Smith, Howard L. dan Fottler, Myron D. 1985. Prospective Payment . Aspen Publication. Rockville, MD.
USA. p 2
4
Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook . 3rd Ed. Aspen Publication. Gaitersburg, MD,
USA,
5
Bolan, Peter. Making Managed Healthcare Work : A Practical Guide to Strategies and Solutions. 1993. Aspen
Publication, Gaitersburg, MD. USA
6
HIAA. 1997. Managed Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care, Part A. Washington, DC,
USA.
7
Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates: Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R.
Ed) The ManagedHealth Care Handbook. Aspen Pub., Rockville, NM.
8
Thabrany, Hasbullah. Rasional Pembayaran Kapitasi . Yayasan Penerbitan IDI. 2001
9
Rand Corporation. Free for All.
10
Sandier, Simon; Polton, Dominique; Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.
Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges . Europen Observatory Health Care
System.
Berikut ini disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya
Allah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun sebelum
konsep pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut dibahas rinci, untuk memberikan
pemahaman mengapa alternatif tersebut terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan
dan kelemahan dari beberapa alternatif terpilih.
Pilihan alternatif penyelenggaraan asuransi kesehatan sosial dapat dianalisis dari dua
sisi penting yaitu dari sisi badan penyelenggara dan dari sisi paket jaminan atau manfaat yang
menjadi hak peserta. Badan penyelenggara dapat berbentuk badan tunggal di tingkat nasional
(single payer), dapat berbentuk badan tunggal di tiap daerah yang secara aktuarial memenuhi
hukum angka besar, dapat hanya beberapa badan di tingkat nasional (oligo payer) atau
oligopoli di tingkat daerah, dan dapat terdiri atas banyak badan penyelenggara (multi payer)
baik di tingkat nasional maupun daerah. Tiap pilihan mempunyai keunggulan dalam
efisiensi, efektifitas, dan kecepatan responsif terhadap masalah di lapangan. Semua pilihan
sah saja, tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini. Akan tetapi masing-masing alternatif
memiliki nilai plus dan minusnya.
Pilihan alternatif paket jaminan (manfaat) sesungguhnya tidak banyak, kecuali kalau
kita akan membahas secara rinci masing-masing pelayanan yang dijamin dan yang tidak
Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing opsi dapat dilihat pada
matriks di bawah ini
Oligo payer di Efisien, egaliter Efisien, egaliter dalam Kurang efisien, ega
tingkat National dalam kelompok, kelompok, manajemen liter dalam kelom pok,
atau Provinsi manajemen paling lebih kompleks, manajemen kompleks,
mudah, sustaina- sustainabilitas tinggi sustaina bilitas tinggi
bilitas tinggi
Multi payer 1 di Kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Lebih kurang efi sien,
pusat/ provinsi egaliter dalam kelom dalam kelom pok, egaliter dalam kelom
pok, manajemen mu manajemen mudah, risk pok, manaje men
dah, risk pool mung pool mungkin masalah, mudah, risk pool
kin masalah, sustaina sustainabilitas mungkin mungkin ma salah,
bilitas mungkin masalah sustainabilitas mungkin
masalah masalah
Multi payer 2 di Kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien,
tingkat egaliter dalam dalam kelompok, egaliter makin terbatas,
provinse/kab-kota kelompok, manajemen kompleks, manajemen sukar, risk
manajemen mudah, risk pool masalah, pool masalah besar,
risk pool masalah, ancaman sustainabilitas ancaman sustainabilitas
ancaman
sustainabilitas
Multi payer 3, Lebih kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien,
dengan banyak egaliter dalam dalam egaliter makin terbatas,
badan dari pusat kelompok, kelompok,manajemen manajemen sukar, risk
sampai kab-kota manajemen sukar, kompleks, risk pool pool masalah besar,
risk pool masalah, masalah, ancaman ancaman sustainabilitas
sustainabilitas sustainabilitas
masalah
Di dalam pengambilan keputusan bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita harus
mencermati kelebihan dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan.
Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini
kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya,
untuk satu badan asuransi nasional meskipun banyak memiliki kelebihan mungkin sulit
dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam prakteknya,
pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit dan paling
dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak. Undang-Undang SJSN telah
memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan asuransi kesehatan nasional di Indonesia
paling tidak akan menjadi oligo-payer, ada dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS)
yang menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi bertujuan
mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah daerah tidak perlu khawatir,
sebab meskipun penyelenggara di daerah adalah kantor cabang PT Askes atau PT Jamsostek,
pekerjanya adalah orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan kepada fasilitas
kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat yang digunakan
oleh pusat.
Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa di
tahun 1947 telah menempatkan kesehatan sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan
bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh
Konvensi International Labor Organization (ILO) No 52 tahun 1948 yang memberikan hak
tenaga kerja atas sembilan macam jaminan termasuk di antaranya Jaminan Kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut secara bertahap wajib
mewujudkan terselenggaranya jaminan kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan
dan perkembangan negara.
Kedua program jaminan tersebut (Askes dan Jamsostek) tidak mengalami perbaikan berarti
untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan hidup dan kebutuhan kesehatan
telah berubah banyak. Program jaminan, yang dapat digolongkan sebagai program jaminan
sosial, juga belum cukup memadai. Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum
terwujud sama sekali. Jumlah dana jaminan sosial yang terkumpul oleh dua program jaminan
hari tua dan pensiun (PT Jamsostek dan PT Taspen) sampai saat ini masih kecil sekali,
sekitar Rp 28 triliun, atau kurang dari 2 % dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut
tentu belum mempunyai daya ungkit ekonomi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
Untuk merealisasi komitmen global Indonesia dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI di tahun 2000 dan 2002 telah mengamendemen UUD 1945
dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34 yang menugaskan pemerintah untuk
mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial
mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja,
Dalam merumuskan konsep jaminan sosial untuk Indonesia Tim menyepakati suatu jaminan
sosial harus dibangun diatas tiga pilar yaitu:
Pilar pertama yang terbawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang
miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Dalam prateksnya, bantuan sosial ini
diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah agar mereka yang miskin dan tidak
mampu dapat tetap menjadi peserta SJSN.
Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib
diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan (meskipun kecil) dengan
membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya. Pilar satu dan pilar kedua ini
merupakan fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang harus diikuti
dan diterima oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik).
Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan
yang lebih besar dari kebutuhan standar hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan
tersebut (pilar jaminan swasta/privat). Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi
komersial (baik asuransi kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau
program-program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti investasi
saham, reksa dana, atau membeli properti sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya.
Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan, yang akan dipenuhi adalah keinginan (want,
demand) sedangkan pada dua pilar pertama yang dipenuhi adalah kebutuhan (need).
Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan penduduk yang
bekerja dengan orang/badan dengan menerima upah dan penduduk miskin. Kelompok
penduduk ini semula disebut sektor formal yang merupakan sektor yang paling mudah
dikelola, namun karena dalam debat-debat di DPR tidak ada satu definisi sektor formal dan
informal yang pas, akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan. Secara bertahap
jaminan akan diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak menerima upah/gaji secara rutin
seperti kelompok pedagang, petani, nelayan, dan pekerja rumah tangga sehingga suatu saat
seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif. Pentahapan
kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami dalam UU SJSN.
Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial di sektor
kesehatan adalah:
1. UUD 1945 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas
pelayanan kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan sosial.
2. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat
3. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan yang layak
4. UU No 3/1992 tentang Jamsostek
5. PP 69/1991 tentang JPK PNS
6. UU No 23/1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66
Sebagian dari mereka yang memiliki asuransi kesehatan atau JPKM (dibelikan oleh
majikan) juga menerima manfaat asuransi yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi
kebutuhan dasar medis pekerja dan keluarganya. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang
memadainya jaminan kesehatan disebabkan karena perundang-undangan yang ada telah lama
tidak disesuaikan dengan kebutuhan yang berubah dan belum difahaminya konsep dan
manfaat jaminan atau asuransi sosial. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk
memperluas cakupan penduduk dan memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda
lagi.
Penduduk miskin akan didaftarkan oleh pemerintah (kemungkinan yang terbaik adalah oleh
Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial) dari suatu Kota/kabupaten. Iuran penduduk miskin dan
tidak mampu (mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh
Pemerintah. Besaran iuran penduduk miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam
prakteknya iuran ini harus diperhitungkan sebesar rata-rata iuran bagi pekerja di daerah
tersebut agar kebutuhan kecukupan dana (prinsip adequacy dalam perhitungan aktuaria dapat
terpenuhi). Bagi pekerja mandiri, iuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata
pendapatan dari berbagai kelompok pekerjaan. Misalnya untuk petani mandiri, tukang becak,
dan nelayan mandiri ada satu besar iuran. Untuk sopir taksi, pedagang kios di pasar, atau
pedagang kios di pusat perbelanjaan yang dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari
kelompok petani, karena nilai rata-rata penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi.
Peserta yang telah terdaftar (baik yang bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan oleh
pemerintah atau pemberi kerja) akan mendapatkan kartu peserta untuk berobat di fasilitas
kesehatan yang mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu
yang ditetapkan BPJS. Dengan demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu
membedakan pelayanan bagi kelompok miskin maupun kelompok yang berpenghasilan
rendah. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali peserta memerlukan pelayanan
tertentu, maka peserta harus membayar urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi
cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP,
hendaknya bervariasi antara 10 %-30 % tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari
beban berat bagi peserta, maka urun biaya harus dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu,
c. Strategi pengembangan
Karena pada saat ini masih banyak jumlah penduduk di sektor formal yang belum
memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan kepesertaan akan dipusatkan
pada kelompok sektor formal, khususnya yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin
sebagai pengganti program JPSBK/JPK Gakin yang kini sudah dimulai oleh Depkes dengan
menjaminkan sekitar 54 juta penduduk termiskin melalui subsidi iuran ke PT Askes. Prioritas
kedua kelompok ini didasarkan pada pertimbangan kemudahan mengumpulkan iuran yang
merupakan faktor esensial dalam suksesnya SJSN. Hal ini juga berkaitan dengan
ketersediaan dan kesiapan fasilitas kesehatan untuk melayani jumlah peserta yang besar.
Sasaran perluasan lima tahun pertama ditujukan kepada tenaga kerja yang saat ini sama
sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, Pemda mendaftarkan dan
membayarkan iuran penduduk miskin yang kini menerima JPK Gakin kepada BPJS yang
ditunjuk. Kepesertaa penduduk pekerja mandiri (sektor informal) harus tetap terbuka secara
aktif. Artinya penduduk itu sendiri yang berinisiatif mendaftar, akan tetapi mereka harus siap
membayar secara rutin, bukan hanya pada saat mereka menderita sakit dan membutuhkan
pelayanan. Penegakan hukum, atau upaya aktif BPJS mendatangi penduduk sektor ini
hendaknya tidak dilakukan dalam 10 tahun pertama, karena biaya administratifnya akan
sangat besar dan tidak sebanding dengan iuran yang akan terkumpul. Untuk menjamin bahwa
penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan dasr medisnya, maka pelayanan
kesehatan di fasilitas pemerintah masih harus tetap mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi
mereka yang belum menjadi peserta AKN.
d. Kelembagaan.
Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara haruslah bersifat
nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan kelembagaan dari
yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat, penyelenggaraan
semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif terhadap perubahan
kebutuhan peserta. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka semakin tidak efisien
dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan kebutuhan peserta. Agar
penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta, maka biaya administrasi dibatasi
Prinsip Dasar:
Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program AKN diselenggarakan atas
dasar tidak mencari atau memupuk laba untuk sekelompok orang atau pemerintah,
akan tetapi memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa anggaran
atau hasil usaha/nilai tambah. Badan penyelenggara juga tidak membayarkan
dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha atau keuntungan yang
diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha atau anggaran yang tidak
Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami
bahwa program tersebut pada akhirnya akan bermanfaat untuk meningkatkan
produktifitas mereka.
Manfaat yang diberikan cukup layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh
karenanya pelayanan medis yang mahal harus dijamin, sementara pelayanan yang
murah dapat dikurangi atau dikenakan urun biaya. Besarnya manfaat harus secara
reguler, dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang
berkembang sejalan dengan peningkatan taraf hidupnya.
Jumlah iuran harus cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip
adequacy). Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik
karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar
dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi.
Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak memenuhi
kewajibannya. Dukungan pemerintah harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
dana subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan demikian, seluruh peserta dan
pemberi kerja tidak merasa khawatir kalau ternyata biaya kesehatan membengkak dan
BPJS bangkrut. Sperti halnya Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila
pemerintah bangkrut. Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam
UU, guna menjamin tingkat kesehatan BPJS
Namun demikian, dalam UU SJSN para pakar hukum dan sebagian birokrat tidak
setuju dengan bentuk badan khusus tersebut, kecuali jika ada UU khusus yang mengaturnya,
seperti UU BI yang mengatur bentuk badan tersebut. Sesungguhnya UU Bank Indonesia dan
UU Dana Pensiun (UU nomor 11/1992) telah memberikan contoh bentuk Dana Pensiun
Pemberi Kerja sebagai badan seperti itu. Perdebatan mengenai hal itu berkepanjangan dan
tidak selesai dalam satu tahun. Jalan tengah yang diambil akhirnya untuk sementara UU
SJSN menggunakan bentuk Persero akan tetapi ada pengaturan khusus yang krusial yaitu
bersifat nirlaba oleh UU SJSN. Ini sementara dapat kita terima. Akan kita lihat apabila dalam
penyelenggaraannya nanti timbul konflik dengan UU BUMN atau pengawas yang
mengawasi BUMN, maka bentuk Persero harus diubah kembali. Bantuk Persero seperti yang
diatur oleh BUMN mengandung keunggulan dimana penyelenggara mempunyai otonomi
luas dalam mengelola pegawai dan dana. Tujuan mencari laba, seperti yang tercantum dalam
UU BUMN saja yang berbeda dengan BPJS yang bertujuan nirlaba. Perbedaan lain adalah
bahwa kepemilikan BPJS sepenuhnya milik negara dan BPJS ini tidak boleh menjual satu
sahampun kepada perseorangan atau badan. Dalam UU sudah disebutkan bahwa sisa hasil
usaha, pendapatan investasi, dan segala macam dana yang tidak atau belum digunakan akan
digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Jadi tidak ada lagi dividen yang akan
Dengan keluarnya UU SJSN, maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada atau pra-
bapel yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK tidak bisa lagi beroperasi untuk melayani
kebutuhan dasar medis. Begitu juga dengan perusahaan asuransi atau perusahaan lain, yang
melakukan kontrak dengan perusahaan untuk menjamin pelayananan atau biaya kesehatan
karyawan suatu perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjamin kebutuhan dasar
medis. Mereka boleh beroperasi untuk menjual produk asuransi kesehatan suplemen atau
tambahan, yang tidak dijamin oleh SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan membelikan asuransi
kesehatan yang mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk SJSN. Tentu hal ini
bersifat duplikatif dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel JPKM dapat juga
mengubah diri menjadi grup povider (kelompok fasilitas kesehatan) yang melakukan kontrak
dengan BPJS, atau menjadi lembaga penjamin manajemen mutu dan utilisasi yang
independen.
Dalam UU SJSN yang belum memiliki Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
yang mengatur lebih rinci penyelenggaraan, struktur organisasi BPJS tentu saja belum
dirumuskan. Berbagai alternatif dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan
penyelenggaraan dan manajemen jaminan kesehatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar dan visi-misi penyelenggaraan jaminan sosial, yang memihak rakyat banyak. Struktur
organisasi dan manajemen akan diatur kemudian, praktisnya setelah Dewan Jaminan Sosial
Nasional dibentuk dan membuat rumusan kebijakan umum. Sebagai sebuah Dewan yang
berfungsi advokasi, pemantauan, dan pengawasan, DJSN tidak bisa membuat peraturan dan
tidak bisa menjadi lembaga pengawal berjalannya AKN dengan baik. Fungsi pengawal dan
penegakan hukum dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja,
atau Departemen Sosial.
Dewan Jaminan Sosial Nasional akan segera dibentuk setelah UU SJSN ditanda-
tangani Presiden tanggal 18 Oktober 2004. Anggota Dewan terdiri dari 15 orang yang terdiri
atas unsur Pemerintah, serikat pekerja, serikat pengusaha, tokoh atau para ahli dalam bidang
jaminan sosial (lihat naskah UU terlampir). Semula RUU SJSN dalam dalam perdebatan di
Panitia Kerja maupun Panitia Khusus jumlah masing-masing wakil akan ditetapkan. Bahkan
draf awal menyebutkan proses seleksi dan pengangkatan anggota DJSN. Namun, karena
masalah tersebut cukup sulit diputuskan, maka UU tidak menyebutkan. Presiden diharapkan
akan menetapkan wakil-wakilnya secara bijaksana. Dewan ini akan merumuskan dan
menyinkronkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Nantinya, seluruh
rakyat akan memiliki jaminan sosial yang sama skemanya, setara prosentase iurannya, dan
setara manfaat yang akan diterima. Kesetaraan tidak berarti sama persis, sebab tidak bisa
dipastikan semua peserta akan sama pernah menerima operasi ginjal, akan tetapi setara
dimaksudkan sesuai dengan kebutuhan medis peserta. Iurannya pun setara, artinya kalau
pegawai negeri membayar 5% iuran dari gajinya, maka pegawai swasta juga membayar 5%
Untuk efisiensi dan efektifitas fungsi DJSN, maka harus ada beberapa Komite yang
terdiri dari para ahli dan yang sehari-hari mengerjakan evaluasi atas penyelenggaraan
jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN. Komite dapat dibentuk secara permanen untuk
terus-menerus memantau penyelenggaraan, misalnya Komite Investasi, agar BPJS tidak
seenaknya menempatkan dana yang mungkin lebih didorong atas kepentingan tertentu.
Komite yang diperlukan antara lain:
1. Komite Aktuaria: tugasnya adalah melakukan evaluasi rutin tentang iuran dan
perkiraan biaya medis serta menerbitkan tabel iuran, khususnya untuk pekerja
mandiri dan penduduk miskin atau kurang mampu secara berkala.
2. Komite Investasi: Komite ini sangat penting karena BPJS, khsusnya BPJS
penyelenggara program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun akan mengakumulasi
dan menghimpun ratusan Triliun rupiah (Dana Amanat) di masa datang. Kalau saja
dana tersebut diinvestasikan pada portofolio yang tidak tepat, akan memberikan hasil
pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana Amanat akan memberikan
hasil yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2% diatas itu. Sehingga
peserta akan merasa puas dengan perkembangan dana yang mereka miliki. Komite ini
bertugas menyusun perumusan dan pedoman portofolio investasi bagi kantor pusat
dan kantor cabang BPJS.
3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu muncul pada operasi yang begitu
besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan menyelesaikan secara
internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran
kepada fasilitas kesehatan, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, peserta,
pemberi kerja, dan atau fasilitas kesehatan
4. Komite pelayanan: Komite ini khususnya diperlukan untuk program AKN dengan
tugas melakukan pemantauan dan perumusan jenis-jenis pelayanan, obat dan bahan
medis habis pakai yang dijamin atau tidak dijamin serta besaran urun biaya. Komite
juga melakukan evaluasi dan perumusan tentang mutu pelayanan fasilitas kesehatan,
persyaratan mutu pelayanan, dan merumuskan tentang pedomaan telaah utilisasi
terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta
Paling lambat setiap tanggal 5 bulan berjalan, pemberi kerja wajib menyetorkan
potongan iuran pekerja dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya ke rekening
BPJS. Misalnya, iuran untuk bulan Januari 2005 harus sudah dibayarkan oleh pemberi kerja
kepada BPJS paling lambat tanggal 5 Januari 2005. Pengusaha yang lalai harus dikenakan
sanksi berupa denda atau kalau terus-menerus lalai, maka Direktur Keuangan atau Direktur
Utama harus bisa diseret ke pengadilan atau dikenai hukuman kurungan. Tanpa ada
penegakan hukum yang tegas, khususnya dalam lima tahun pertama penyelenggaraan, maka
SJSN tidak akan berjalan baik. Lima tahun pertama amat penting untuk meyakinkan semua
pemberi kerja membayar iuran. Kalau pemberi kerja tidak bisa yakin bahwa SJSN
diselenggarakan dengan bersih, jujur, dan betul-betul memihak peserta, maka akan sulit
mengembangkan SJSN di kemudian hari. Praktisnya pembayaran iuran akan dibayar
sekaligus untuk semua program jaminan sosial, hanya saja kepada rekening yang berbeda.
Badan pengelola AKN dalam lima tahun pertama, sebelum jumlah peserta cukup
besar, hanya dapat menggunakan iuran yang diterima untuk biaya administrasi maksimum
15% iuran, pada tahun ke 6-10 besarnya biaya operasional harus maksimum 10%, dan
menjadi maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya. Dengan demikian,
penyelenggaraan AKN ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang selama ini
membeli asuransi kesehatan yang mempunyai loading (biaya operasional, biaya pemasaran
dan keuntungan) yang mencapai 40% dari premi. Pembatasan ini sangat penting dirumuskan
dalam peraturan, agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan mengiur mengetahui
dengan jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar yang dikelola secara
nasional.
Secara garis besar, UU SJSN mewajibkan BPJS untuk memberikan jaminan kepada
seluruh peserta sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN dan yang diatur oleh
peraturan pemerintah, dan atau DJSN. Karena sistem AKN menggunakan teknik managed
care dalam pengendalian biaya, maka timbul masalah dimana bisa terjadi di suatu daerah
yang cukup banyak pesertanya, tetapi fasilitas kesehatan yang akan dikontrak tidak memadai
jumlahnya dan tidak selalu menyediakan pelayanan atau dokter spesialis yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, di Kalimantan bisa jadi banyak perusahaan kayu yang memiliki ribuan
karyawan, akan tetapi rumah sakit atau dokter spesialis mungkin tidak tersedia. Dalam hal
itu, BPJS wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas
kesehatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan para pesertanya. Apabila penyediaan tenaga
dan fasilitas tidak efisien atau terlalu mahal, BPJS wajib memberikan kompensasi lain seperti
memberikan penggantian biaya berobat. Disinilah pentingnya ada Komite Pelayanan yang
selalu memantau kondisi di berbagai daerah, kepuasan peserta dan memantau kelayakan
manfaat program.
Salah satu komponen penting dalam menjamin kepuasan peserta adalah tugas BPJS
untuk menerbitkan buku saku yang berisi hak dan kewajiban peserta dan anggota
keluarganya, tata cara memperoleh pelayanan, pelayanan yang ditanggung/dijamin, dan
jaminan yang tidak ditanggung, besaran urun biaya untuk berbagai pelayanan, dll. Selain itu
BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku tersebut setiap terjadi perubahan kebijakan iuran,
paket pelayanan, maupun prosedur pelayanan dan mencantumkan seluruh isi buku saku
tersebut dalam website BPJS.
Pengendalian mutu pelayanan merupakan faktor yang juga tidak kalah pentingnya.
Oleh karena itu BPJS wajib mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di
berbagai fasilitas yang dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS melakukan
berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap peserta akan mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan kualitas terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan
keuangan suatu daerah.
Seperti dikemukakan diatas, BPJS wajib memberikan informasi yang rinci dan jelas
kepada seluruh peserta tentang hak-hak peserta. Hak terpenting peserta adalah hak atas
pelayanan. Idealnya, seperti tercantum dalam UU SJSN, manfaat yang diberikan bersifat
komprehensif dan diberikan di fasilitas kesehatan swasta atau fasilitas kesehatan pemerintah
yang mandiri (otonom) dimana birokrasi pemerintah yang tidak efisien tidak mempengaruhi
kinerja pelayanan. Namun dalam jangka pendek tentu tidak mungkin mencapai hal itu,
karena biaya yang mahal dan transformasi fasilitas kesehatan pemerintah menjadi suatu
badan otonom—yang dalam UU Perbendahaan Negara disebut Badan Layanan Umum
(BLU), belum memungkinkan. Untuk 10 tahun pertama masih dapat ditolerir perbedaan
Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat, dan paradigma pencegahan lebih baik dari
pengobatan, maka BPJS harus memberikan pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi
dan konseling keluarga berencana merupakan pelayanan pencegahan penting dalam
mengendalikan besarnya jumlah peserta dalam jangka panjang. Untuk menurunkan angka
kematian ibu dan kematian bayi, BPJS harus mampu menyediakan Pelayanan ante natal
lengkap, minimum 4 kali selama kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada
ibu dan anaknya, sampai anak mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu menjamin
pemeriksaan medik rutin untuk mendeteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit
infeksi kronis pada anak berusia di bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih
cepat meningkatkan status kesehatan yang selama ini tidak cukup cepat meningkat. Angka
kematian bayi dan ibu di Sri Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah dari di Indonesia
karena semua anak dan ibu dapat menerima pelayanan tersebut secara gratis. Di Indonesia,
seorang ibu yang bersalin di puskesmas harus membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat
ini biaya persalinan di puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalam kondisi seperti itu,
tentu saja perempuan miskin akan cendrung tidak ke puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih
murah atau tidak sama sekali. Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat
diberikan dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan DJSN
tiap tiga tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih
Banyak pihak yang mengkritisi bahwa AKN hanya memberikan pelayanan kuratif
dan tidak memberikan pelayanan preventif kesehatan masyarakat. Harus disadari bahwa
pelayanan kesehatan masyarakat seperti penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan
penanganan polusi adalah tugas Dinas Kesehatan yang harus didanai dari APBN/APBD.
Meskipun demikian, pelayanan kuratif pada hakikatnya juga memiliki nilai preventif untuk
mencegah memberatnya kasus atau kematian dini. Oleh karena itu, dalam AKN digariskan
bahwa setiap peserta berhak atas jaminan berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada
peserta yang mungkin tidak menggunakan haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan alergi
sederhana, mereka akan menggunakan haknya dalam pengobatan kasus-kasus rawat jalan
mahal di rumah sakit dan pelayanan perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta.
Untuk pelayanan kesehatan primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus yang
tidak perlu ditangani dokter spesialis, BPJS harus melakukan kontrak dengan dokter
keluarga. Dokter keluarga (termasuk dokter gigi) adalah dokter yang mendapat pelatihan
khusus dan mendapat sertifikasi dari organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter
yang berkonstrasi pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan
memungkinkan dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat kontrak pelayanan
dengan pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan, peserta dapat memilih pelayanan di
klinik spesialis atau di rumah sakit yang dikehendaki tetapi harus mendapatkan rujukan dari
dokter keluarga yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat
saja masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang diatur sama di suatu
wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus. Jadi klinik dan rumah sakit harus
bekerja sama dengan apotik untuk mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna menjamin
pengendalian biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini harus
diatur oleh BPJS.
Hak perawatan peserta idealnya sama untuk seluruh peserta, yang di negara maju
disebut sebagai semi-private room and board. Di Indonesia barangkali ruang perawatan
tersebut setara dengan ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya, BPJS
menetapkan besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan perawat, serta
standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS (pemerintah atau swasta).
Namun untuk pertama kali, karena variasi tingkat penghasilan, pendidikan, dan status sosial,
program AKN masih harus mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit kelas III (tiga)
untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200% UMP. Misalnya,
di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan, seorang pekerja yang mendapatkan
upah atau gaji sebesar sampai dengan Rp Rp 1.000.000 akan mendapat perawatan di kelas
III (baik RS publik maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut dibawah 200% UMP
yang besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu BPJS harus
mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima. Pekerja dengan gaji
dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat menerima perawatan di kelas III. Untuk
pekerja yang bergaji lebih tinggi, misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat perawatan di
kelas II (dua). Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan mendapat
perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP harus membayar
sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar oleh perusahaan asuransi atau
bapel JPKM swasta. Inilah prinsip koordinasi manfaat.
Di beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan untuk pelayanan rawat jalan
yang lebih besar tingkat moral hazardnya ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat
jalan tidak dijamin, alias peserta harus membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di
Indonesia kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang Indonesia cendrung
maunya berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya tidak perlu. Peserta sering minta
dirujuk, ini moral hazard namanya. Untuk menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat
diwajibkan membayar urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan
biaya maksium sebesar UMP.
Yang dimaksud dengan fasilitas kesehatan adalah dokter keluarga, dokter spesialis,
klinik praktek bersama, klinik 24 jam, rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta, Apotik,
Laboratorium klinik, laboratorium radiologi, dan fasilitas lain yang akan ditetapkan oleh
DJSN. Untuk menjamin bahwa setiap peserta dan anggota keluarganya yang berhak
menerima manfaat AKN menerima pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, pelayanan
harus diberikan oleh fasilitas kesehatan yang diseleksi dan diterima oleh BPJS. Proses seleksi
dan penerimaan untuk dikontrak sebagai fasilitas kesehatan ini dikenal dengan istilah
kredensialing (credentialing). Puskesmas dan ruang perawatan kelas III RS pemerintah yang
memberikan pelayanan dengan tarif subsidi untuk sementara tidak dimasukan dalam
kelompok fasilitas kesehatan dalam BPJS karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk
memberikan pelayanan kepada penduduk yang belum terdaftar pada BPJS, sampai seluruh
penduduk menjadi peserta BPJS. BPJS membayar fasilitas kesehatan dengan tarif prospektif
yang diarahkan pada tarif paket seperti kapitasi, tarif paket rawat jalan, paket prosedur, paket
per hari rawat, atau paket per kelompok diagnosis (DRG). Sistem pembayaran kepada
fasilitas kesehatan dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah antara Kantor Cabang
BPJS, Dinas Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas kesehatan setempat.
Besarnya biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh AKN ditetapkan
bersama oleh Dinas Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas kesehatan setempat dengan
mempertimbangkan pemenuhan biaya produksi operasional fasilitas kesehatan dan total
perkiraan biaya pelayanan untuk seluruh peserta untuk satu tahun tidak melebihi 80% iuran
setahun yang terkumpul di suatu kota/kabupaten. Batasan 80% ini digunakan untuk
memberikan ruang ketersediaan dana cadangan (5%), dana untuk rujukan ke fasilitas
kesehatan di provinsi atau di ibu kota (10%) dan biaya operasional sebesar 5%.
Fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai hak dan kewajiban atau tugas tertentu.
Tugas pokok fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut:
1) Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif preventif terhadap pasien,
sesuai dengan kebutuhan medis peserta.
2) Memeriksa kelayakan pengobatan peserta pada tingkat institusi. Pasien rujukan yang
tidak memerlukan perawatan tidak diperkenankan dirawat inap.
3) Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan manajemen mutu yang dikembangkan oleh
BPJS sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.
4) Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau
mengirimkannya melalui email ke Pusat Informasi BPJS setiap tanggal 10 untuk
utilisasi bulan sebelumnya.
5) Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan kepada dokter
primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang peserta
dalam rangka memantau derajat kesehatan peserta yang menjadi tanggungannya.
6) Merujuk ke Dinas Kesehatan/Dinas Sosial setiap orang sakit yang belum menjadi
peserta tetapi tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang
dibutuhkannya untuk menjadi peserta PBI.
Agar permainan berlangsung seimbang, apabila terjadi kelalaian pada pihak BPJS,
maka pihak BPJS wajib membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan yang lebih besar dari
denda yang dikenakan kepada pemberi kerja.
Pada tanggal 1 Februari 2005, tiga pemohon masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Jawa Timur, Satuan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai SATPEL JPKM), dan Perhimpunan Badan
Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai
PERBAPEL JPKM) mengajukan gugatan (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK)
tentang UU SJSN. Para pemohon menilai bahwa Pasal 5 ayat (1), ayat (2), (3) dan ayat (4)
dan Pasal 52 tidak sesuai dengan UUD45, bersifat monopolistis, tidak adil/selaras dengan
UU Otonomi Daerah. Oleh karenanya, ketiga pemohon meminta MK untuk membatalkan
pasal dan ayat tersebut dalam UU SJSN.
Pasal 5 UU SJSN menyebutkan bahwa Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 5 ayat (2) yang
berbunyi “Sejak berlakunya undang-undang ini,badan penyelenggara jaminan sosial yang ada
dinyatakan sebagaiBadan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut undang-undang ini”.
Sementara Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi ”Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES)”
Pasal 5 ayat (4) berbunyi “Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undang-undang”.
Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan (5) serta Pasal 57 ayat (1) dan (3)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;