Anda di halaman 1dari 7

ANALISA POLITIK HUKUM DAN EVALUASI

TERHADAP UU. NO. 7 TAHUN 1963 TENTANG


FARMASI

YULIATININGSIH
221017450004
REGULER B 01S2HMOO1
UNIVERSITAS PAMULANG
PENDAHULUAN
 Pelayanan kesehatan merupakan salah satu pelayanan dasar
yang harus diberikan dan dijamin oleh pemerintah kepada
seluruh warganya. Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 yang disebutkan bahwa “Setiap orang
berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta
memperoleh pelayanan kesehatan”.
 Berdasarkan Pasal 1 butir 1 PP No. 51 tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa, “Pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional”.
 Ketentuan ini memberikan kewenangan tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian dari pengelolaan sediaan farmasi
dari produksi sampai diterima pasien. Terdapat tiga kelompok tenaga
kesehatan yang telah memiliki undangundang sendiri sebagai dasar hukum
profesinya. Tenaga medis yang menghimpun dokter dalam menjalankan
praktik diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (selanjutya disebut dengan Undang-Undang Praktik
Kedokteran). Profesi perawat menjalankan profesinya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan (selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang Keperawatan). Dan bidan dalam
menjalankan profesinya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019
Tentang Kebidanan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Kebidanan). Sampai saat ini, tenaga kefarmasian belum memiliki dasar
hukum selevel undang-undang yang mengatur profesi dan pelayanan
kefarmasian.
 Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, dasar hukum khusus
yang tertinggi yang dimiliki oleh tenaga kefarmasian dimuat Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
(selanjutnya disebut dengan PP Pekerjaan Kefarmasian). Selain pengaturan
dalam PP Pekerjaan Kefarmasian tersebut, pengaturan tenaga kefarmasian
ANALISIS TEORI DAN PRAKTIK
EMPIRIS
ANALISIS TEORI
 Kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian diperlukan untuk perlindungan
hukum, pemenuhan hak tenaga kefarmasian dan pemenuhan hak pasien dalam
mendapatkan pelayanan kefarmasian yang maksimal.
ANALISIS EMPIRIK
 Kepastian hukum dibidang kefarmasian dipengaruhi oleh pengaturan pelayanan
kefarmasian yang saling bertentangan dan konsistensi peraturan yang dibuat
pemangku kebijakan. Pengaturan kefarmasian yang dilakukan oleh Menteri
kesehatan sering kali berubah sehingga mengakibatkan permasalahan baru
 Misalnya pengaturan terkait dengan standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas yang dimuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Selanjutnya
disebut dengan PMK) Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas. Selanjutnya permenkes ini diperbarui dengan PMK
Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Kemudian direvisi kembali dengan PMK Nomor 26 Tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TENTANG FARMASI
 Apoteker didefinisikan oleh Federasi Farmasi Internasional atau FIP
adalah individu yang melakukan praktek kefamasian berdasarkan
pada peraturan hukum yang berlaku, serta syarat dan kode etik
kefarmasian
 Apoteker merupakan pelaksana utama dalam praktik kefarmasian,
sehingga apoteker terkait erat dengan hak dan kewajiban, Tanggung
jawab apoteker berorientasi pada obat dan pasien, hal ini didasarkan
pada filosofi Pharmaceutical Care. Apoteker perlu dilindungi secara
hukum. Apoteker sebagai tenaga kefarmasian dalam melaksanakan
tugasnya harus berdasarkan pada kode etik dengan standar
pelayanan kefarmasian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/I X/2004
Saat ini, pemerintah Indonesia kurang memperhatikan hak-hak dan
perlindungan apoteker, sehingga pelanggaran dan diskriminasi terhadap
apoteker kerap kali terjadi. Terkait permasalahan ini, pemerintah memiliki andil
besar dalam pembentukan kebijakan dan peraturan hukum yang melindungi
hak-hak profesi apoteker di Indonesia. Sejauh ini, peraturan hukum terkait
Apoteker diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009
tentang pekerjaan kefarmasian, fasilitas pelayanan kefarmasian, yaitu “sarana
yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek,
instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat terlihat bahwa tidak
dijelaskan apa yang dilakukan apoteker dan tenaga kefarmasian dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian. Hal ini akan semakin rancu jika merujuk
pada pengertian Apotek dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009
tentang pekerjaan kefarmasian, yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”.
PENUTUP
 KESIMPULAN
Dalam presentasi kali ini saya menitik beratkan kepada pasal 2
huruf (e) UU No.7 tahun 1963 tentang Kefarmasian. Terkhusus
mengenai tenaga /pekerja kefarmasian. Dimana belum adanya
payung hukum atau kepastian hukum yang tetap sepertihalnya
yang ada pada profesi kesehatan lainnya.

 SARAN / Harapan Saya


1. Legislatif menanggapi permasalahan ini dengan dibuatnya uu
mengenai tenaga kefarmasian
2. Pemerintah mampu memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum yang tetap kepada tenaga kefarmasian dalam
pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai